Do We Need a Backup Plan in Love?

Pernah ada seorang teman yang menyarankan supaya gue juga punya backup plan untuk urusan cowok. Apa yang dia maksud dengan backup plan? Semacam cowok ‘cadangan’ just in case gue enggak berhasil mendapatkan gebetan yang gue suka. Pertanyaannya sekarang, “Do I really need that?

Omongan si teman itu awalnya hanya gue anggap sebagai angin lalu. It sounds like a crazy plan to me. Sampai kemudian, tiba-tiba gue sadar dengan sendirinya… Gue sendiri pun, satu atau dua kali sebelumnya, pernah melakukan yang namanya backup plan untuk urusan cinta-cintaan.

Kenapa gue melakukan hal itu?

Karena gue enggak yakin hubungan gue dengan si gebetan ‘inti’ akan jadi kenyataan. Gue enggak yakin dia juga punya perasaan yang sama kayak gue.

Dengan adanya backup planat least, hidup gue enggak sedih-sedih banget. Jadi ada hiburan yang bisa bikin gue lebih cepat melupakan rasa sedih akibat patah hati.

Kemudian ada juga yang bilang, hadirnya si cowok ke dua bisa membuat si cowok pertama jadi merasa ‘terpancing’. You know… Guys’ competitive instinct; they will work even harder when they know they have a competitor.

And finally, a backup plan could save a little bit of my remaining dignity after being ‘rejected’ by the one whom I really wanted.

Jika demikian, apa benar berarti backup plan itu wajib hukumnya?

Baru-baru ini, ada satu kejadian yang bikin gue jadi malu sendiri. Singkat cerita, gue jadi bertanya-tanya sama diri gue sendiri, “Bagaimana kalau gue sendiri yang dijadikam ‘cadangan’ oleh orang lain? Will I be happy with that?”

Senangkah gue saat tahu cowok yang rajin telepon gue itu nantinya akan berhenti cari-cari gue setelah berhasil mendapatkan cewek impiannya itu?

Senangkah gue saat tahu cowok yang dinner date sama gue itu juga pergi nge-date dengan cewek lain dalam waktu yang hampir bersamaan?

Bisakah gue mempercayai omongan manis cowok yang bisa jadi juga mengucapkan gombalan yang sama persis kepada gebetan-gebetan dia yang lainnya?

Dan apa kabar harga diri gue kalau gue sampai tahu bahwa gue hanya satu dari sekian orang lainnya dalam hati dia?

What makes he think he can do that to me? Who does he think he is?

If I don’t like being treated as an option, then why should I treat other people like that? I don’t want to be just an option, not even the number one option, I want to be the only one. 

Beda orang bisa jadi beda pendapatnya. And it doesn’t matter if you still find its necessary to have a backup plan. Yang penting buat gue, kalo gue enggak suka diperlakukan sebagai ‘option‘, jangan pula menempatkan orang lain dalam posisi yang sama!

Lalu bagaimana jika nanti kita tidak berhasil mendapatkan gebetan yang kita inginkan itu?

Well, we’re a grown up, aren’t we? Just man up and deal with it! Don’t play with fire if you’re afraid of getting burned, don’t fall in love if you’re afraid of getting hurt.

Kenapa Kita ‘Harus’ Pergi Umrah?

Jeddah, 27 Januari 2016

Awalnya, gue agak ragu-ragu untuk menulis perjalanan Umrah perdana gue ini. Gimana kalo jatuhnya seperti riya? Gimana kalo gue malah dianggap pamer, sombong, dsb dsb… Tapi setelah gue pikir kembali, jika tulisan gue ini bisa membawa manfaat untuk orang lain, kenapa tidak?

Jadi ceritanya, ortu gue udah menyarankan untuk pergi Umrah sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja sayangnya, gue selalu punya alasan untuk menunda rencana Umrah gue itu. Yang penting target gue, gue harus pergi Umrah sebelum menginjak usia 30. Secara November tahun ini akan jadi ultah gue yang ke 30, akhirnya gue putuskan untuk berangkat tahun 2016. Sengaja berangkat di bulan Januari di saat cuaca di Mekah sedang sejuk-sejuknya.

Sejak tahu akan segera pergi Umrah, gue mulai merenung di dalam hati… Nanti selama Umrah, gue ingin berdoa soal apa saja ya? Nggak mungkin dong, gue berdoa hanya soal jodoh gue saja? Secara tujuan gue Umrah kan sama sekali bukan demi cepat-cepat dapat jodoh! Tapi jika gue masih saja meminta banyak hal lainnya dalam doa-doa gue itu, kesannya gue ini serakah banget nggak sih?

Tanpa bermaksud sombong, gue betulan merasa sudah punya lebih dari cukup dalam usia gue yang masih terbilang muda ini. Bukan hanya soal materi, tapi lebih soal hidup gue yang semakin dewasa justru semakin bahagia, mimpi-mimpi gue yang sudah menjadi nyata, sahabat-sahabat yang gue jumpai sepanjang jalan kehidupan gue, dan yang paling penting, soal transformasi kepribadian dari gue yang dulu menjadi gue yang sekarang ini. Kalau menurut kalian gue masih punya banyak sifat jeleknya, kalian pasti bakal syok berat kalau sampai tahu kepribadian gue yang dulu. Tanpa perubahan kepribadian gue itu, entah hanya jadi apa diri gue yang sekarang ini.

If I already have this much, how can I still ask for more?

Tapi ya sudahlah, pergi ya pergi saja dulu. Soal doa biar nanti mengalir dengan sendirinya. Dan ternyata benar saja, doa itu; doa yang paling tulus dari lubuk hati itu, akhirnya benar datang dengan sendirinya.

Gue memulai perjalanan ibadah gue dari Madinah terlebih dahulu. Doa pertama, ke dua, ke tiga dan seterusnya mulai gue panjatkan. Soal rezeki yang halal, kesehatan, kebahagiaan, dan nggak munafik, soal minta diberikan jodoh yang terbaik pada waktu yang terbaik juga. Gue coba khusuk berdoa, tapi entah kenapa, rasa haru yang biasa dirasakan jamaah-jamaah Umrah pada umumnya masih belum gue rasakan. Masih belum, sampai akhirnya gue menginjakkan kaki di Raudhoh masjid Nabawi, Madinah.

Bagi yang belum tahu, Raudhoh adalah satu area khusus di dalam masjid Nabawi di mana doa-doa yang kita panjatkan Insyaallah akan dikabulkan. Satu area kecil yang diperlukan kesabaran ekstra hanya untuk masuk, shalat, dan berdoa di dalamnya.

Sebelum masuk area Raudhoh, gue diberitahu bahwa ciri-ciri area Raudhoh adalah beralaskan sajadah berwarna hijau. Setelah menunggu selama hampir 3 jam lamanya, akhirnya, tiba giliran gue menginjakkan kaki di karpet hijau itu.

Sambil berdiri dan menunggu giliran untuk shalat sunnah di area Raudhoh, gue mulai memanjatkan doa di dalam hati. Doa-doa yang kurang lebih sama dengan doa-doa gue sebelumnya, kecuali satu doa yang secara spontan gue ucapkan, persis saat tinggal satu langkah menuju giliran gue untuk menjalankan shalat sunnah di sana.

Saat itu, gue berdoa agar tetap menjadi orang yang hidup dengan penuh rasa syukur. Berawal dari doa itu, gue lanjutkan dengan mengucapkan syukur atas segala anugerah yang telah Allah berikan. Rasa syukur yang teramat besar untuk karier gue, impian-impian gue, dan semua kebahagiaan yang gue dapatkan dalam hidup gue ini.

Gue terus mengucap syukur, sampai tanpa terasa, air mata turun membasahi kedua tangan yang sedang gue tenggadahkan untuk berdoa. Entah kenapa, bukannya menangisi hal-hal yang gue inginkan untuk hidup gue, gue malah meneteskan air mata haru atas hidup yang telah Allah anugerahkan kepada gue sampai dengan usia 29 tahun ini.

Setelah genap seminggu gue menjalankan ibadah ini, sudah begitu banyak doa yang gue panjatkan, tapi tidak ada satu doa lain pun yang berhasil mendatangkan keharuan yang sama besarnya dengan doa gue di Raudhoh itu. Gue sungguh berharap, sekedar doa guna senantiasa diingatkan untuk mengucap syukur pun, akan jadi doa yang mencukupi segala doa lainnya.

Persis kemarin siang, gue sudah menuntaskan ibadah Umrah gue. Rasa haru yang gue rasakan di Raudhoh dan rasa damai yang gue rasakan selama Sai buat gue mulai bertanya-tanya di dalam hati, “Kenapa gue tidak pergi Umrah sejak awal ya? Kenapa harus tunggu usia 29 tahun terlebih dulu?”

Banyak orang yang sering titip doa minta diberikan panggilan untuk datang ke tanah suci. Buat sebagian orang, Umrah memang bukan sesuatu yang mudah. Biayanya, waktunya, kekuatan fisiknya… Tapi berkaca dari diri gue sendiri, kedatangan gue ke sini bukan soal dipanggil atau tidak dipanggil, tapi lebih kepada mau datang atau tidak mau datang. Mau keluar uang sekarang atau nanti-nanti saja. Mau menunda, atau pergi sekarang juga.

Haruskah kita pergi Umrah? Memang bukan ibadah wajib, tapi jika sudah mampu, kenapa tidak? Tidak perlu menunggu kita butuh sesuatu untuk diminta kepada Allah, sekedar mengucap syukur atas segala anugerah-Nya, menurut gue, sudah lebih dari cukup. Dan tidak perlu direpotkan dengan pikiran, bagaimana jika sepulangnya dari Umrah, perilaku dan ketaatan kita tetap sama-sama saja dengan sebelumnya? Tetap pergi saja, karena jika kita baru pergi setelah merasa siap untuk pergi, maka bisa jadi, kita tidak akan pernah merasa cukup siap untuk pergi.

So I think I would say, if you can afford it, just do it. Your Europe trip can wait. Your new car can wait. Or maybe, your exclusive leather LV handbag can wait. If you can afford all of this, you can afford Umrah. Do it and experience the chills I got when I was there.

What is My Greatest Prayer?

If you ask me, “What are your greatest prayers?”

Here is my answer…

I always pray for a happy life. A good life, as a good person.

I always pray for a happiness even in every single pain I feel inside. Smile and laugh between the tears. Another sunshine after the rain and storms.

I always pray for a reminder to never stop trying to be a good person. Life can be rough, so cruel, so unfair… Yet I always pray that I would stay strong. I should never give up on being a good person.

I always pray that every problem I have will only make me better and wiser than before. I may cry and hide for a while, just a little while, but I always pray thay God will give me strength to move on and let it go.

I always pray that I will be strong enough to survive the rejections that will break my heart. I need to believe that when I am rejected by something good, I’m actually redirected to something better.

I always pray that I would genuinely accept the imperfections in me. No matter how hard I try, I cannot always get what I want to have. And no matter how sure I am, I can’t always be right all the times in my life.

I also pray that I will be forgiven. For all my flaws, my temper. For all the wrongs that I have said and done. For all the pains that I’ve put people through.

Finally, I always pray that God will never stop reminding me to be thankful for all I have. To always always put my feet on the ground. I pray that God will always bless every little step that I take in life.

 

Suka Duka Anak Kos

Cukup banyak orang yang heran kenapa gue malah mutusin buat balik lagi jadi anak kos ketimbang tinggal di rumah ortu yang sebenernya nggak jauh-jauh amat (baca: Bekasi). Padahal sebetulnya memang benar juga, tinggal sama ortu itu banyak benefit-nya. Ada yang bikinin sarapan, pulang-pergi kerja dijemput si Papi, ditambah kalo di rumah jadi bisa dekat sama si ponakan kesayangan… Tapi sebetulnya, ngekos juga banyak kelebihannya kok!

Berikut ini hal-hal yang gue suka dari tinggal di kosan:

  1. Ke kantor cuma 5 menit naik ojek dan nggak pake macet. Ada meeting pagi? No worries!
  2. Bisa pulang ke kosan kapan aja gue mau. Kalo dulu, gue lebih suka pulang agak malam setelah kemacetan mereda. Tapi sekarang, misal gue sedang capek-capeknya, gue bisa pulang tenggo tanpa perlu takut kena macet!
  3. Bisa tidur sampe siang hari kalo lagi weekend, hehehehe;
  4. Reactivating my social life. Dulu tiap kali weekend, bawaannya malas keluar-keluar rumah. Habisnya jauh sih! Tapi kalo sekarang? Hampir tiap weekend ada aja agenda meet-up gue;
  5. Dekat ke mana-mana. Udah jarang banget tuh, gue ngaret saat janjian sama orang lain. Gue selalu bilang sama mereka, ping gue kalo mereka sudah dekat. Dijamin kurang dari setengah jam gue udah sampe ke lokasinya!
  6. Karena lokasi kosan gue persis di tengah kota, jadi banyak orang yang menawarkan nganterin gue pulang ke kosan. Jadi hemat ongkos taksi deh, hehehehe;
  7. Masih karena lokasi kosan yang strategis, enggak pernah ada tuh, restoran yang enggak bisa delivery ke kosan gue. Enggak mesti pergi ke mall hanya untuk cari makanan enak!
  8. Bisa pulang dulu ke kosan misal ada acara malam hari yang mengharuskan gue untuk berganti pakaian. Nggak perlu lagi tuh, repot-repot bawa baju ganti dan touch-up di kantor 😉
  9. Jadi lebih mandiri. Pergi belanja sendiri, ngerapihin lemari baju sendiri, cari makan dan minum juga harus sendiri… Nggak bisa lagi apa-apa tinggal minta ke Papi, Mami, ART, atau adek-adek gue di rumah, hehehehe;
  10. Jadi punya lebih banyak waktu luang buat diri gue sendiri. Buat baca buku, nonton TV, dan juga buat bikin tulisan baru di blog! Mungkin itu sebabnya akhir-akhir ini gue makin rajin posting tulisan baru ke blog gue ini, hehehehe.

You Jump, I Jump

Masih ingat adegan di film Titanic di mana Rose bilang begini ke Jack, “You jump, I jump, Jack!” Satu adegan yang meninggalkan kesan mendalam buat gue… Kemudian hari ini, gue ngobrol-ngobrol sama salah satu teman cowok soal alasan kenapa perasaan gue sering banget berubah-ubah dengan sendirinya.

Gue bilang, “Gue suka galau sendiri karena cowok-cowok itu juga enggak jelas apa maunya. Padahal gue sih simple aja, you jump, I jump!”

Teman gue itu malah bilang begini, “Emang susah sih, itu… Cewek gue sendiri aja masih pake safety belt.”

See? It’s not only me!

Cewek pada umumnya itu cenderung ingin mencari rasa aman. Kita cenderung enggak berani menjadikan perasaan kita sendiri sebagai taruhan. Malah kan kalo kata orang tua jaman dulu, perempuan itu lebih baik dicintai daripada mencintai. Konsep jaman dulu yang agak salah juga sebenarnya, tapi intinya, perempuan dari jaman dulu sampai jaman sekarang itu cenderung sama-sama saja: mereka perlu diyakinkan, itu saja!

Makanya kalo gue ngelihat teman-teman cewek seumuran yang masih pacaran ‘sembunyi-sembunyi’…

Atau yang masih enggak mau kelihatan vulnerable di depan pacarnya sendiri…

Atau mungkin yang seperti gue; kadang suka, kadang biasa aja…

Itu semuanya lebih karena satu alasan yang sama: kita belum merasa yakin dengan hubungan itu sendiri. Dan biasanya, cowok itu sendiri juga yang udah bikin kita ngerasa ragu-ragu!

Ragu apakah dia bisa selamanya setia.

Ragu apakah dia bisa menerima kita dengan segala kelebihan dan kekurangan kita.

Ragu apakah dia akan bersedia melewati semua rintangan yang ada hanya untuk tetap bersama kita.

Dan ragu apakah perasaan dia sama besarnya dengan perasaan kita untuk dia…

Ada lagi salah satu teman gue yang pernah menyampaikan sudut pandang sebaliknya: cowok juga bisa jadi ngerasa ragu-ragu karena dia lihat si ceweknya seperti masih ragu-ragu. Well in that case, someone has to make an effort, right? Enggak cowok banget menurut gue kalo ngadepin cewek yang dia suka aja dia enggak berani…

Back to Titanic, I believe all girls on earth only want to feel so safe that she’s willing to jump off a boat with him. We only want to have a belief that no matter what happens, he will keep us safe. The more risky the relationship is, the more important it is for us just to feel safe. Otherwise, we would rather watch our own feeling to him just fading away. It’s always better to let it go before it gets deeper, isn’t it?

Once again, no matter what may happen afterward, you jump, I jump.

My English Teacher, 14 Years Ago

Banyak yang bilang, bahasa Inggris gue bagus. Walau hasil tes IELTS gue masih belum sesuai harapan, tapi ok lah, sekali ini gue akui, bahasa Inggris gue memang lumayan. Dan kali ini, gue akan mengungkap rahasia di balik English skill gue itu, yang belum pernah gue ceritakan pada satu orang pun.

14 tahun yang lalu, gue baru memulai tahun pertama gue di bangku SMA. Waktu itu, jam sekolah gue masih masuk siang dan pulang sore. Dua kali dalam seminggu, gue ikut kursus bahasa Inggris, kelas pagi di ILP Pondok Gede.

Sebetulnya saat itu gue sudah malas pergi kursus. Sebelum ILP, gue pernah kursus 1 tahun di BBC. Bahkan, pernah pula ikut kursus sampai lulus – kurang lebih 2 tahun – di IEC. Tapi toh tetap saja Bahasa Inggris gue hanya segitu-gitu saja! Mungkin bukan salah tempat kursusnya, tapi emang gue aja yang enggak berbakat.

Capek dan bosan kurus terus menerus bikin gue jadi malas pergi kursus ke ILP. Ditambah lagi waktu itu, gue ngerasa enggak punya teman di tempat les. Tiap kali menunggu kelas dimulai atau saat sedang istirahat, gue hanya duduk diam atau pura-pura tertarik mendengar percakapan orang lain. Benar-benar bukan masa-masa yang menyenangkan!

Saking malas dan bosannya, lama-lama gue mulai suka bolos. Gue tetap pergi les dari rumah, tapi tidak selalu sampai ke gedung ILP. Selama sekitar dua jam, gue hanya jalan berkeliling mall sampai tiba waktunya pergi ke sekolah. Gue masih ingat masa-masa itu gue sering bolak-balik melewati toko jam hanya untuk melihat saat itu sudah jam berapa. Lega banget rasanya saat tahu sudah waktunya gue naik angkot menuju SMA gue! At least kalau di sekolah, gue punya teman-teman baik yang bisa bikin gue ngerasa terhibur.

Gue terus saja sesekali membolos (gue akal-akali supaya jangan sampai menembus batas absensi maksimum), sampai tiba waktunya pengambilan raport pertama gue di ILP. Siang itu, gue duduk berdua saja dengan guru les gue. It surprised me that somehow I still got pretty good grades in that score report.

Saat gue masih temenung meratapi nilai gue itu, si guru les bilang begini sama gue, “Sebetulnya kamu itu punya potensi, tapi saya nggak ngerti… kenapa kamu terlihat sangat menarik diri? Absensi kamu nyaris membuat kamu gagal di term ini. Tapi buat saya, kamu masih layak untuk lulus karena memang sebetulnya kamu itu jauh lebih baik daripada ini.”

Suara si pak guru yang sangat tenang itu bikin gue nyaris meneteskan air mata persis di depan dia. Gue cuma diam, dan saat gue melangkah keluar ruangan, air mata gue menetes tidak tertahankan… Masa-masa bolos gue cukup berakhir sampai di situ saja.

And you know what? In the following terms after that, I managed to earn “The Best Student” certificates from ILP Pondok Gede. I kept winning that title multiple times in a row, over and over again.

Beberapa waktu yang lalu, dalam rangka evaluasi kinerja tim gue di Lazada, gue memberi nasehat begini kepada salah satu tim gue yang tengah mengalami trauma cukup berat dalam perjalanan karier-nya, “Dulu juga saya pernah ada di posisi yang sama seperti kamu. Dan kalo kamu tanya gimana caranya saya bisa move on sampai di sini, kuncinya ya hanya diri saya sendiri. Kenyataannya, enggak ada orang yang datang lalu  ngerubah hidup saya begitu aja.”

Meskipun saat itu gue bilang begitu, sebetulnya kalau dipikir lagi, kenyataanya memang pernah ada orang-orang yang mengubah hidup gue, dan guru les gue itulah salah satunya. Memang benar, nasehat dia siang itu tidak begitu saja bikin gue langsung mahir berbahasa Inggris, gue tetap harus belajar dengan keras untuk mengejar ketertinggalan gue saat itu, tapi mungkin bisa jadi, jika saat itu guru gue bukanlah dia, maka gue tetap hanya gue yang buang-buang uang untuk les Bahasa Inggris tanpa hasil yang memuaskan.

So I think I have to admit… Sometimes, we only need ‘someone’ to wake us up. To remind us. To motivate us for being a better one and to unleash the very best of us. My English teacher was my ‘someone’ and I hope, I can also be that ‘someone’ for anyone else.

My English teacher may already forget me since many years ago, but I will always remember him as someone who made me believe the good things in me. And again I hope, someday there will be someone I know who remember me the way I remember my English teacher.

Thank you, Pak Uyung! I am not who I am today without my pretty good English. And maybe my English would never be this good, if it was not because of you 🙂

 

I Finally Find My Pace

I can’t really share the details here, but there’s one thing or two I’ve been thinking a lot, confused me for a little while, but just out of the blue, I simply knew what I should do. I finally know what I want, and I finally find my pace to make it happen. Or maybe, to let it all just slip away.

I have come to realize how I used to rush many things in my life. I have to do it NOW. ASAP. Immediately. And so on. For some things in life, for instance working environment, it can be a good thing. But apparently, that’s not always the case for all other aspects in life.

When you want to pursue your dreams, it’s not about how fast you get there, but how you have prepared yourself to make it happen, unless, you’re happy enough for being just a mediocre.

Or when you fall in love, it’s not about how fast you make him yours, but how many years you will spend with him afterward. Not all people meet each other and stay together just in a month, some other still needs to be convinced before they move forward.

We simply need to remember that sometimes, good things take time. Rome was not built overnight, remember?

Hence I would say, just enjoy the ride! No need to speed up and risk it all. Then on the other hand, no need to freak out and take a u-turn when the road is bumpy. Just go with it, believe in yourself, do your best, and see how it turns out. Maybe, you will arrive in your destination, but maybe, God will lead you to somewhere else even beyond your imagination.

After spending many years in the same drama over and over again, it really feels good to finally found my pace. Now, it’s your turn to find yours!

Kenapa Gue Pengen Pergi Umrah?

Seem’s like January first week has been a productive week for me to write. It’s only the third day and I have posted 4 new titles already! I should really keep it up! 😀

Kali ini gue mau cerita pengalaman gue manasik Umrah hari ini. Jujur awalnya, gue agak males-malesan pergi manasik. Emang penting banget ya? Toh udah ada buku panduan doa dan gue juga nanti akan pergi sama ortu yang sebelumnya udah pernah naik haji.  Masalahnya, hari ini gue ngantuk berat! Secara cuma sempat tidur 2 jam saja…

Di awal-awal, gue sempet nyaris ketiduran, sampai akhirnya ada satu judul presentasi di depan layar yang menarik perhatian gue; “Meluruskan niat untuk Umrah.” Inti dari presentasi yang satu itu adalah; kenapa kita memutuskan untuk pergi Umrah?

It’s interesting. It’s indeed a good question to myself. Why do I want to do it? Why now? 

Ada beberapa orang yang mengira gue pergi Umrah tahun ini hanya karena ingin berdoa minta diberikan jodoh. Setiap kali mendengar statement seperti itu, gue cuma senyum-senyum kecil saja. Soalnya kalau mau diladeni, bisa tidak ada habisnya!

Jadi bukan, jodoh bukan alasan gue kepingin pergi Umrah. Percaya nggak percaya, hingga hari ini, gue belum pernah sekalipun minta diberikan jodoh dalam doa-doa yang gue panjatkan.

Kenapa enggak pernah?

Karena bagaimana jika ternyata gue belum siap untuk settle down? Bagaimana jika ini bukan waktu yang tepat untuk gue menemukan pasangan hidup gue? Bagaimana jika ternyata menurut Allah, sebaiknya gue mengejar sederet cita-cita gue yang masih belum tercapai itu?

Terlepas dari kelakuan gue yang agak-agak moderat, sebetulnya gue ini tipe orang yang menyerahkan masa depan gue hanya di tangan Allah. Gue tahu apa yang gue mau, dan gue berusaha keras untuk mewujudkan semua itu, tapi, jika menurut Allah itu bukan yang terbaik untuk gue, maka gue akan coba untuk ikhlaskan. Ibaratnya, gue yang pegang pensil, gue yang menulis, tapi gue serahkan penghapusnya ke tangan Allah.

Jadi memang hanya itu saja isi doa gue pada umumnya; minta diberikan jalan keluar dan masa depan yang terbaik menurut-Nya, dan diberikan kekuatan untuk menerima kenyataan jika apa yang akhirnya Allah berikan tidak sesuai dengan harapan gue. Itulah sebabnya, di saat hubungan-hubungan gue yang terdahulu tidak berlangsung selamanya, gue ikhlas.

Dan sejujurnya, gue tidak melihat isi doa gue di Mekah dan Madinah nanti akan berubah dari biasanya. Gue tetap tidak akan meminta cepat-cepat dipertemukan dengan jodoh gue. Gue tetap hanya akan meminta diberikan hidup yang baik, masa depan yang baik, dan kekuatan yang cukup untuk bisa menjalaninya dengan baik.

Jika demikian, lantas apa alasan gue kepingin pergi Umrah?

Jawaban gue sederhana saja, gue hanya ingin mengucapkan lebih banyak syukur kepada Allah atas semua yang sudah Ia berikan untuk hidup gue. Atas segala kemudahan di tengah kesulitan, atas kekuatan di tengah segala ujian, dan atas kesuksesan setelah segala perjuangan dan kerja keras gue.

Gue menyadari, orang yang kerjanya luar biasa keras bukan hanya gue saja, tapi tidak semuanya mendapatkan apa yang telah gue dapatkan. Dan sejujurnya, gue ngerasa belum cukup banyak berterima kasih atas segala anugerah-Nya itu 😦

Satu harapan gue, semoga Umrah ini bisa mendatangkan Rahmat untuk hidup gue sehingga apapun pilihan hidup yang nantinya gue jalani, semua itu senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.

Amiin. 🙂

 

Maybe, You Only Need to Let It Out

Have you ever felt so depressed that you want to run away from your own life? Feeling so down, sad, angry, confused, upset, all in the same time.

I do. And so does everyone of us.

Nobody says that this life is an easy stuff, especially when things are getting rough. Or when something you least expected turn into a reality. Or maybe, when you find yourself got trapped between difficult choices.

I hate to say this but in fact, no matter how hard you try to have a peaceful life, difficult times will always happen anyway. There’s always that one time where you can’t help but wondering, “How could this happen to me?”

It’s simply inevitable, but it doesn’t necessarily mean you have to be drown in your agony. If it’s not easy to make things get better, at least, you can definitely do something to make yourself feel better. And what do I do to make myself feel better? It’s simple; I only need to find someone to talk.

I need to hear me saying that thought out of my mind.

I need to tell someone what I really feel about it. No sugar coating, no lie, no denial.

I need to speak it up, I simply need to let it out.

Will it solve my problems? Perhaps no, BUT, it will definitely help me to find a way to solve my problems.

It always helps me to reduce my pain. And when my emotion is on a good state, my mind will also work on its very best state to figure out the next steps I should take to make things right.

I know that every people is different. If it works for me, it doesn’t mean it will also work for everyone else. But think again… Why do you think people pays a lot of money just to go talking with a shrink? It’s not about finding someone who is trained to solve your problems, it’s merely about finding someone whom you can trust to hear your problems.

Last week, the Christmas long weekend has been literally a long weekend to me. I lost my appetite, I couldn’t sleep well at night, and I sighed so many times during the days and nights. The situation remained along the weekdays until I decided to take my phone and reached out an old friend of mine. It was actually not a super big problem, but if I didn’t do anything, that problem would only get bigger and kill me inside.

And you know what… I was so right to get him for help! Around 4 hours chat and I felt so relieved. I finally slept well and ate a lot after waking up. I still had no clue what to do next, but at least, I simply knew that everything would be just fine.

Human was not created to live alone. I know that talking with someone can be risky. What if they can’t be trusted? Or what if they are not interested to listen to our problems? But still… we need someone to just sit and listen to us. It’s not about looking for their approvals or advice, it’s solely about us needing to let it out.

I used to be a very closed book person when I was teenager. And what was the result? I felt so lonely and so alone even when I was actually sitting in a crowded place. I am happier when I have someone to share my stories with. Believe me when I say, you are wiser when you are happier.

Find someone you can trust, a good listener who knows you well or willing to get to know you better, talk to them, and you will see how I am right about this matter.

Cewek dan Cowok Tidak Bisa Hanya Berteman Saja?

Ceritanya kemarin malam, untuk pertama kalinya gue posting foto gue berdua dengan salah satu sahabat cowok gue ke Path. Maksudnya sih cuma untuk meramaikan Path gue aja, sama seperti yang biasa gue lakukan saat jalan bareng teman-teman cewek gue misalnya, tapi ternyata efeknya sampai ke mana-mana! Sampai ada yang PM gue hanya untuk tanya dia itu pacar gue atau bukan! Padahal jelas-jelas di caption fotonya gue tulis, “This friendship must last forever.”

Lucunya adalah, semakin gue coba menjelaskan bahwa gue dan dia hanya berteman saja, justru semakin orang yang bereaksi tidak percaya. Sepertinya masih banyak orang yang berpendapat, cewek dan cowok itu tidak bisa hanya berteman saja. Padahal kenyataannya, gue ini punya sampai tiga sahabat cowok lho. Dan bener deh, kita ini hanya berteman saja!

Terinspirasi dari kehebohan itu, gue jadi kepengen cerita soal teman-teman baik gue ini. Semoga setelah baca tulisan ini, orang-orang di sekitar gue bisa mulai percaya kalo kita memang murni hanya berteman saja, hehehehe.

.

My High School Best Friend

Sahabat cowok pertama yang gue punya tidak lain teman gue di bangku SMA dulu. Dan sebetulnya dia bukan cuma berteman dekat dengan gue saja, tapi juga berteman dengan 3 cewek lainnya.

Tanggal 8 Agustus tahun 2001, kita berlima bikin semacam perjanjian tertulis untuk pembentukan gank yang hari itu kita beri nama Wannabe; singkatan dari tiga nama boybands kesukaan kita saat itu: Westlife, Nsync, dan Backstreet Boys.

Sahabat gue yang satu ini bisa dibilang salah satu orang yang paling lucu yang pernah gue kenal. He never failed to make me laugh! Dia udah jadi satu dari hanya sedikit orang yang tahu betul hal-hal bodoh yang pernah gue lakukan waktu SMA dulu. Dan terutama, soal betapa gue tergila-gilanya sama salah satu teman sekelas kita dulu, hehehehe.

.

My Office Mate in Accurate

Sebelum mulai bekerja full time jadi auditor di EY, sebetulnya gue pernah kerja freelance sebagai konsultannya Accurate, 8 tahun yang lalu. Awalnya, gue dan dia hanya saling ngobrol soal pekerjaan saja, tapi lama-lama, kita mulai suka ngobrol soal begitu banyak hal. Dari dulu sampai sekarang, dia masih jadi tempat curhat favorit gue, biasanya kalo gue lagi pusing urusan cowok dan ngerasa perlu persepektif cowok.

Gue dan teman cowok yang satu ini boleh dibilang punya begitu banyak perbedaan, tapi dia juga udah jadi satu dari sedikit orang yang bisa bikin gue ngerasa bebas jadi diri gue sendiri, dan bebas untuk mengucapkan apapun yang ingin gue ucapkan. As much as it may seem impossible, I still really wish that my friendship with him will last forever. Masalahnya, enggak ada banyak orang yang bisa gue ajak curhat di tengah malam di saat weekdays, hehehehehe.

.

My Office Mate in Niro

Entah sejak kapan persisnya, gue dan cowok yang satu ini udah jadi teman karib di kantor kita dulu. Dia bukan cuma udah jadi teman berbagi terbaik untuk gue saat itu, tapi udah banyak bantu untuk urusan pekerjaan juga. My life at work was so much easier because of him.

This one guy always has a belief in me. Dia selalu bisa melihat sisi positif dari diri gue di saat orang lain berkata sebaliknya, selalu support gue meski di saat dia tidak sependapat dengan gue, dan selalu bisa memaafkan kejelekan-kejelekan gue terutama di masa-masa sulit gue dulu, hehehehe.

Gue senang dan sangat bersyukur meskipun sekarang gue sudah tidak lagi bekerja di kantor yang sama, gue dan dia masih tidak menjadi orang asing untuk satu sama lainnya. Dan tentunya, dia ini masih jadi konsultan pajak favorit gue sampai sekarang, hehehehe.

.

Have I ever had a feeling for one of them?

Sebetulnya, ada cukup banyak orang yang menanyakan hal tersebut ke gue. Pernah nggak gue suka sama mereka? Atau sebaliknya, mungkin nggak, mereka punya rasa suka sama gue?

Jawabannya sederhana saja: I totally don’t think so.

Mereka bisa jadi sahabat yang baik buat gue, begitu pula sebaliknya, tapi akan lain halnya kalo gue sampe pacaran dengan mereka. Lagipula emang udah pada dasarnya, gue ini jelas-jelas bukan tipe cewek kesukaan mereka juga sih. On the other side, I’m not that kind of girl who keeps someone I crush in a friend zone anyway.

Itulah sebabnya kalau menurut gue, cewek dan cowok tidak bisa murni berteman itu sebetulnya hanya mitos saja! Enggak ada salahnya berteman dengan lawan jenis, malah banyak manfaatnya, asal tahu batasnya dan tidak pernah ada unsur pura-pura ingin berteman padahal maksudnya hanya ingin pdkt saja, hehehehe.