Saya Juga Terkena Dampak dari Corona… dan Ini Cara Saya Mengatasinya

Desember 2019, saya putuskan untuk resign dari Gopay. Saya ingin fokus membesarkan The Lens Story, start-up yang saya dirikan sejak tahun 2017, sekaligus menyelesaikan buku pertama yang kemudian saya beri judul The Little Handbook for Big Career. Saya juga berencana menerima lebih banyak undangan sebagai speaker setelah resign dari Gopay. Terikat sebagai karyawan telah sangat membatasi aktivitas saya sebagai speaker. Jika saya tampil membawa nama perusahaan, saya harus mendapatkan ijin dari atasan dan tim Public Relation. Padatnya pekerjaan di kantor juga membuat saya tidak bisa menerima semua undangan untuk menjadi pembicara. Dalam bayangan saya saat itu, saya bisa menerima undangan sebagai speaker kapan saja dan di mana saja (tidak terbatas di Jabodetabek), jika saya sudah resign dari Gopay.

Setelah resign, saya fokus menulis buku selama 3 bulan. Semua undangan sebagai speaker saya tunda hingga bulan April. Selesai menulis buku, saya juga sudah sempat meeting dengan Gramedia untuk jual buku di toko mereka. Saya optimis sekali buku saya bisa masuk ke rak “best seller” di Gramedia hanya dalam hitungan bulan. Salah satu penulis di penerbit besar pernah bilang ke saya bahwa di Indonesia ini, bisa jual 1.000 eksemplar saja sudah masuk kategori “best seller” di toko buku. Saat itu saya berpikir, 1.000 eksemplar bukan angka yang mustahil. Lagipula toh, minimum order untuk naik cetak memang 1.000 eksemplar. Saya bisa saja cari percetakan lain yang bersedia cetak kurang dari 1.000 tapi biaya produksi bukunya akan naik hampir dua kali lipat. Jadi mau tidak mau, saya harus berani cetak langsung 1.000 buku.

Saya juga sudah menyiapkan banyak rencana kerja untuk The Lens Story di tahun 2020 ini. Salah satunya, ingin ikut wedding fair. Saya juga sudah siapkan konsep untuk kerja sama bareng artis atau selebgram di Indonesia. Saya optimis penjualan The Lens Story dapat meningkat tajam setelah saya tidak lagi bekerja sebagai karyawan.

Semua rencana sudah tersusun rapih. Saya bukan tipe orang yang nekad meninggalkan a very good job tanpa ada rencana yang solid. Semuanya sudah saya siapkan masak-masak mulai dari rencana bisnis hingga modal usaha untuk mendanai semua rencana itu. Saya sangat bersemangat menyambut hidup baru saya sebagai penulis, pembicara, dan pengusaha penuh waktu di tahun 2020.

Tapi lalu di bulan Maret 2020, COVID-19 mulai masuk ke Indonesia. Saya mulai ragu untuk mencetak 1.000 buku sekaligus. Bagaimana jika saya sudah cetak 1.000 buku tapi lalu pembelinya hanya sedikit? Namun demi menjaga agar harga jual buku saya tetap terjangkau, saya malah nekad mencetak 3.000 buku sekaligus dengan harapan akan dapat terjual setelah wabah ini berakhir.

Kemudian di bulan April, PSBB diberlakukan. Shopping malls mulai ditutup. Menjual buku melalui toko buku offline bukan lagi pilihan yang tepat. Saat nanti mall sudah kembali buka pun, saya tidak yakin akan langsung seramai tahun lalu. Kemudian karena trend WFH, lima undangan sebagai speaker di bulan April dan Mei batal semua. Sales The Lens Story juga anjlok sampai 100%. Semua rencana yang sudah saya susun rapih tidak bisa saya wujudkan di H1 2020 ini. Atau bisa juga, tidak akan bisa saya wujudkan sampai akhir tahun ini.

Saya tentu kecewa, tapi tidak lama-lama.

Offline events batal, saya ganti jadi webinar. Kadang free webinar, kadang paid webinar. Berkat serangkaian webinar itu, saya mendapat kesempatan untuk membuat video training yang nantinya dapat dibeli menggunakan kartu prakerja.

Kemudian untuk buku, tidak jadi jual buku di Gramedia, saya jual di Tokopedia dan Shopee. Yang tidak saya sangka, Alhamdulillah, saya berhasil mencapai angka penjualan 1.000 eksemplar hanya dalam waktu 3 bulan saja.

Untuk The Lens Story yang sepi order, saya gunakan peluang itu untuk mengembangkan website. Saya gunakan dana darurat untuk mempercantik website. Harapan saya, website sudah ready untuk support begitu banyak business plan saya setelah wabah ini berakhir.

Kejadian ini membuat saya mempelajari 3 hal penting:

  1. Pentingnya dana darurat untuk perusahaan;
  2. Pentingnya punya lebih dari satu sumber penghasilan; dan
  3. Pentinganya kemampuan beradaptasi dalam waktu singkat.

Mungkin iya, penghasilan saya akan lebih besar jika tidak ada Corona, tapi saya tidak mau berpikir seperti itu. Saya juga tidak pernah berpikiran tidak seharusnya saya resign dari Gopay. Saya tidak menyesal karena di tahun ini, saya dipertemukan dengan orang-orang luar biasa yang membantu saya memasarkan The Little Handbook for Big Career. Mereka menawarkan bantuan mulai dari book editing, membuatkan promotional video, hingga menyelenggarkan online events untuk mempromosikan buku saya. Semuanya tidak meminta fee, mereka bilang mereka merasa terdorong untuk membantu saya memberikan manfaat melalui buku yang saya tulis itu. Mengenal mereka telah menjadi pengalaman yang tidak terlupakan buat saya.

Kemudian bagian terbaik dari tahun ini adalah book review yang saya dapatkan dari para pembaca. Senang sekali saat mengetahui betapa buku saya telah memberikan manfaat dan pola pikir baru untuk para pembacanya. Banyak pembaca yang bilang, “Andai buku ini terbit sejak dulu, karier saya sekarang pasti akan lebih baik lagi.”

Mendengar itu semua membuat saya meyakini bahwa saya sudah memilih jalan karier yang terbaik untuk diri saya di tahun ini. Tentu bukan perjuangan yang mudah terlebih lagi untuk saya yang terbiasa menerima pemasukan tetap selama 11 tahun bekerja sebagai karyawan. Memang tidak mudah, tapi saya sangat mensyukurinya. Terlebih lagi selama tiga bulan belakangan ini, saya mendapatkan kemewahan yang tidak pernah saya dapatkan selama 11 tahun terakhir: tidur minimal 8 jam tiap harinya.

Hingga sekarang pun saya masih fokus memikirkan rencana-rencana karier saya ke depannya. Mulai dari strategi bisnis The Lens Story sampai rencana pemasaran buku saya. Memang penuh dengan ketidakpastian, tapi saya lebih memilih untuk tetap optimis menjalaninya. Bersikap pesimis hanya membuat saya semakin stres. Risiko bisnis hanya perlu masuk ke dalam mitigation plan saya saja, tidak perlu sampai masuk berlarut-larut ke dalam pikiran saya juga. Terlalu banyak pikiran hanya membuat saya tidak fokus kepada hal-hal yang jauh lebih penting.

Corona ini datang tanpa diundang. Tidak ada satu pun pengusaha yang memperkirakan hal ini akan terjadi. Tidak ada orang yang memasukkan “damage cost” karena Corona ke dalam budget dan annual business plan mereka. Tapi ya mau bagaimana lagi? Saya tidak bisa menyalahkan virus yang bahkan tidak bisa saya lihat dengan mata telanjang. Jadi daripada terus bersungut-sungut, lebih baik saya tanyakan pada diri sendiri, “What should I do next? Let’s bring it on!”

Leave a comment