Nasehat Keren dari Seorang Teman

Semalam, salah satu teman sekantor menyampaikan ceramah yang dia dengar dari salah satu Ustadz ternama. Ceritanya semalam itu dia sedang menasehati saya soal cara memilih pasangan.

Kurang lebih, Ustadz ini bilang begini, “Saya sering banget mendengar keluhan istri yang kesal karena suaminya suka judi dan mabuk-mabukan. Saat saya tanya, “Sebelum nikah kamu tahu dia suka judi dan mabuk-mabukan atau belum?” Eh ternyata dia bilang dia sudah tahu. Kalau begitu ya kenapa kaget dan masih mengeluh?”

Ustadz ini kemudian menyampaikan, “Saat menikah, jangan memilih pasangan yang jelas-jelas masih membawa beban. Jangan diterima lalu berharap nanti akan berubah dengan sendirinya. Lain cerita kalau dia sudah tobat dengan sendirinya.”

Menurut saya, Ustadz ini ada benarnya. Merubah kebiasaan buruk orang lain itu tidak mudah. Apa yang membuat kita berpikir pernikahan akan merubah dia? Perubahan itu harus datang dari diri sendiri, bukan dari pernikahan, bukan pula datang dari keajaiban.

Katakan lah dia sudah tobat sebelum menikah. Itu saja masih ada resiko “kambuh”. Manusia pada umumnya, termasuk saya sendiri, cenderung kambuh kebiasaan buruknya saat hidup sedang banyak cobaan. Jika suatu saat pasangan kita kembali pada kebiasaan buruknya itu, kita bisa terima atau tidak? Bisa bersabar untuk membimbing dia atau tidak? Jika kiranya tidak bisa, jika kiranya hal itu bukan hal yang bisa kita toleransi, maka ada baiknya kita berpikir ulang untuk menikah dengan dia.

Masih single di usia 32 membuat saya banyak belajar mengenal diri saya sendiri. Apa yang saya sukai dan tidak sukai, apa yang bisa membuat saya bahagia, dan yang tidak kalah penting, hal-hal apa saja yang bisa dan tidak bisa saya toleransi dari orang lain, termasuk dari pria yang akan menjadi suami saya nantinya.

Apa saja batas toleransi saya? Saya tidak akan bisa menerima jika dia tidak lagi seiman dengan saya, jika dia melakukan kekerasan fisik pada saya, dan jika ada perempuan lain di antara saya dan dia.

Apa yang harus saya lakukan untuk mencegah hal itu? Jika sejak awal dia kasar dengan saya, dan jika sejak belum menikah saja dia suka lari ke perempuan lain alias mata keranjang, ya buat apa saya pilih dia sebagai suami saya?

Memang benar orang yang sekarang tidak kasar dan tidak suka selingkuh belum tentu kelak tidak akan pernah melakukannya, tapi probabilitasnya lebih rendah (ada banyak sekali riset dan literatur yang membuktikan hal ini). Terlepas dari probabilitas itu, sebagai perempuan, saya ingin jadi perempuan cerdas yang membuat pilihan cerdas. Saya tahu tidak akan ada orang yang sempurna, saya juga tahu siapapun orang yang menjadi pasangan saya nantinya pasti akan melakukan banyak kesalahan, tapi, saya punya hak untuk menentukan batas toleransi saya sendiri. Pernikahan memang tidak akan mudah untuk dijalani, tapi setidaknya, saya ingin bisa bahagia untuk menjalaninya.

Selama 32 tahun hidup saya, meski banyak sekali naik turunnya, saya selalu kembali bisa bangkit dari keterpurukan dan kembali pada kebahagiaan yang telah susah-payah saya perjuangkan untuk diri saya sendiri, dan… saya tidak ingin pernikahan memutar balik dan memporakporandakan kebahagiaan saya itu.

Jika suatu saat nanti saya memutuskan untu menikah, pernikahan itu harus membuat saya minimal sama bahagianya dengan saya yang sekarang, dan bukan sebaliknya.

A Reminder Before Lebaran: Don’t Let Messaging Technology Let You Lose The Human’s Touch

Semakin canggih teknologi, semakin berkurang pula sentuhan manusia (human’s touch) dalam halal bi halal yang seharusnya menjadi the real essence dari lebaran itu sendiri.

Berawal dari fungsi copy-paste pesan yang dikirim berulang-ulang melalui SMS, kemudian muncul broadcast satu pesan ke multiple contacts di BBM, dan yang paling mutakhir; WhatsApp Group atau messenger’s groups yang lain-lainnya.

Tidak ada salah dan benar dalam hal ini, tapi begini… apa yang membuat kita berpikir orang yang pernah kita sakiti perasaannya akan memaafkan perbuatan kita hanya dengan membaca satu pesan yang kita kirim ke semua orang?

Boleh saja menuliskan satu pesan yang kita copy-paste dari satu grup ke grup lain… ini toh memang sudah jadi bagian dari tradisi lebaran. Tapi jika ada orang-orang yang istimewa, atau orang-orang yang pernah kita sakiti perasaannya, jangan lah menganggap satu pesan massal itu cukup untuk halal bi halal dengan mereka.

Jika datang dan bertatap muka tidak memungkinkan, masih ada telepon. Jika telepon dirasa berat biayanya, masih ada direct message. Tuliskan secara personal, dengan tulus, dan sunggguh-sungguh.

Have the real talks instead of robotic messages. They are your friends/families, not your Company’s clients after all.

Mulai tahun ini, mari kita saling meminta maaf dengan cara yang layak dengan tujuan benar-benar mencari pemaafan dan bukan hanya sekedar basa-basi demi memenuhi tradisi Lebaran. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi diri kita sendiri, dan demi mereka yang pernah kita lukai perasaannya sepanjang tahun ini.

Selamat Idul Fitri bagi semua pembaca riffasancati.com! Mohon maaf jika ada tulisan saya yang kurang berkenan, semoga sempurna ibadah puasanya, dan selamat berkumpul dengan keluarga dan kerabat tercinta.

Wish you all a blessed Eid!

Kenapa Gue Masih Memilih Untuk Mempercayai Keberadaan Tuhan dan Agama-Nya?

Ada obrolan menarik malam ini. Antara gue dan salah satu teman baik yang menganut atheism sejak 2 tahun belakangan ini.

Surprisingly, dia berani bilang begini, “Menurut gue, lebih besar kemungkinan elo yang jadi atheis ketimbang gue yang masuk Islam. Soalnya elo itu orangnya logis banget. You’re half way there.”

Gue enggak terlalu kaget mendengarnya. Ortu gue sering mengungkapkan kekhawatiran mereka soal gue yang cenderung lebih sekuler ketimbang anggota keluarga gue yang lainnya. Bokap sampe pernah bilang, “Jangan terlalu banyak pakai logika. Semua yang berlebihan itu enggak baik.”

Salah satu sahabat baik gue yang lainnya juga pernah bilang, “Semakin pintar dan semakin logis seseorang, semakin tinggi kemungkinan enggak lagi percaya dengan konsep ketuhanan. Elo ada kecenderungan kayak gitu.”

Pertanyaannya sekarang: is that true? Apakah benar gue punya kecenderungan untuk menjadi atheis?

Jawabannya: very big no.

Gue memang tipe orang yang sangat mengandalkan logika. Beberapa teori keagamaan memang pernah gue mentahkan hanya karena menurut gue enggak masuk akal. Tapi pertanyaan selanjutnya: jika demikian, kenapa gue masih percaya dengan keberadaan Tuhan dan memilih satu agama untuk gue yakini?

Jawabannya sederhana: karena gue memerlukan keberadaan Tuhan dan pilar-pilar agama-Nya untuk mengendalikan diri gue sendiri.

Gue pasti sudah menjadi orang yang sangat-sangat jahat, dan/atau sangat-sangat nakal, jika gue enggak punya rasa takut atas Tuhan dan jika gue enggak punya ajaran agama yang menjadi acuan gue untuk menentukan batas antara benar dan salah dalam keseharian gue.

Gue tipe orang yang sangat emosional. Tipe orang yang marahnya meledak-ledak. Gawatnya lagi gue bukan tipe orang yang takut dengan orang lain, bukan pula tipe orang yang takut berurusan dengan konflik. Berantem ya berantem aja gitu. Meski demikian, gue bukan tipe orang yang suka membalas dendam. Bukan orang yang senang mati-matian balas menyakiti orang lain yang menyakiti perasaan gue. Ada kalanya orang terdekat gue sampai berkomentar, “Elo terlalu baik sama mereka. They don’t deserve it.”

Kenapa bisa begitu? Karena ajaran agama gue. Gue masih jauh banget dari akhlak yang sempurna menurut Islam, tapi setidaknya, gue cukup bisa menahan diri gue sendiri. Gue memang galak, tapi gue enggak jahat.

Kemampuan menahan diri dari perbuatan jahat itu menjadi semakin penting dengan bertambahnya kekuasaan yang gue miliki (contohnya di lingkungan kantor). Ditambah lagi gue tipe orang yang sangat analitis sehingga sangat mudah untuk gue menemukan “kartu AS” yang dapat gue gunakan untuk menjatuhkan orang lain yang gue benci. Gue punya pilihan, dan agama gue mendorong gue untuk selalu memilih menahan diri. Ada rasa takut hidup gue akan berubah menjadi tidak tenang jika gue melanggar ajaran yang sangat gue yakini kebenarannya itu. Rasa takut itu juga yang pada akhirnya menekan amarah yang panas membara dalam diri gue ini.

Mungkin sebagian dari kalian, pada titik ini akan bertanya-tanya, “Kenapa harus banget ajaran agama yang jadi acuan? Bukankah sudah ada peraturan-peraturan lain yang bisa gue jadikan acuan untuk mengendalikan diri? Undang-undang misalnya?

Well, enggak semua perbuatan jahat yang menyakiti perasaan orang lain itu melanggar Undang-undang. Gue bisa saja menyakiti perasaan orang lain dan tetap terbebas dari jerat hukum. Sebaik-baiknya peraturan kenegaraan, tetap tidak ada yang mengatur ways of living lebih baik dari ajaran suatu agama.

Kemudian selain soal sifat gue yang emosional, agama juga membantu gue untuk tidak menjadi anak nakal meskipun sebetulnya, ada pikiran-pikiran nakal yang tersimpan di dalam benak gue. Ditambah lagi gue tipe orang yang sangat mudah merasa penasaran, hidup di lingkungan yang cenderung bebas, ditunjang dengan kemampuan ekonomi untuk membiayai kenakalan-kenakalan itu. Gue bisa melakukannya jika gue mau, tapi gue lebih memilih untuk menahan diri. Sekali lagi, karena ajaran agama gue jelas-jelas mengatakan, jika lebih banyak mudharat-nya (sisi negatifnya), lebih baik tidak usah dilakukan sama sekali. Dan tidak pernah sekalipun gue menyesali keputusan ini. Gue mungkin memang kurang pergaulan, tapi gue tidak pernah kurang kebahagiaan. Dan itu yang lebih penting.

God doesn’t need me to believe in Him, but I definitely need to believe in Him to keep me sane and to help me getting through my own life. I need Him in my prayers, in my decisions, and in every single time of my life; both the good ones, and the hard ones. When I lose my belief, I lose most of the part that makes me a decent human being. I am not who I am without my belief, and that’s not going to change. Never.

P.s.: Tulisan ini tidak berarti gue tidak menghargai atheis apalagi pemeluk agama lainnya… Teman atheis yang gue ceritakan di sini teman baik gue, orang yang sangat baik dan sangat gue hargai, dan gue tidak memandang rendah keputusannya. Toh di Islam ada ayat mengatakan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat yang buat gue, berlaku juga dalam interaksi gue dengan atheis atau agnostik di sekitar gue.

Whatever your belief is, let’s live in peace, shall we?

One More Reason to Leave What’s Best on God’s Hands

Salah satu teman di kantor baru berangkat Umrah, dan seperti orang lain yang hendak berangkat Umrah pada umumnya, dia tanya ke gue, “Mau titip doa apa?”

Gue dengan cepat menjawab, “Semoga Allah tetap selalu memberikan segala yang terbaik buat gue.”

Hal ini mengingatkan gue dengan perjalanan Umrah gue sendiri beberapa tahun yang lalu. Waktu itu kebetulan gue sedang dihadapkan pada 2 pilihan: 2 cowok yang keduanya terlihat berusaha mendekati gue. Saat Umrah, gue berdoa minta dipilihkan yang terbaik oleh Allah. Lalu apa yang terjadi antara gue dengan 2 cowok ini? Gue tidak jadian dengan satupun dari mereka.

Setelah susah payah move on dari salah satu cowok yang gue sebutkan di atas, akhirnya, gue sempat kembali dekat dengan satu cowok baru yang tipe gue banget. Naksir pada pandangan pertama banget deh pokoknya. Ganteng, tinggi, pintar, rajin beribadah pula! Pikir gue saat itu, “He has everything I always wanted.” Gue sempat dengan sok tahunya berpikiran dia itu memang jodoh yang Allah inginkan buat gue (honestly, gue jarang banget dekat sama cowok alim kayak dia).

Cowok yang satu itu juga tidak sungkan menunjukan ketertarikan dia dengan gue. Dia juga cerita ke beberapa orang temannya soal perasaan dia ke gue. Sounds perfect and on track, no?

Waktu itu rasanya gue ngotot banget pengen cepat jadian sama dia. Harusnya mudah saja, tapi fakta malah menunjukan yang sebaliknya. Makin ke sini, hubungan gue dengan dia justru semakin rumit dan penuh drama. Banyak hal yang kemudian membuat gue dengan sangat sadar memutuskan untuk mulai jaga jarak dengan cowok yang satu itu.

Kalau ditanya sekarang, gue bersyukur banget saat itu gue tidak lantas jadian dengan cowok-cowok itu. Bukan soal mereka tidak baik buat gue, tapi lebih soal gue dan mereka memang tidak tepat untuk satu sama lainnya.

Mereka bukan tipe cowok yang akan bisa mengatasi gue dalam saat-saat terburuk gue. Begitu pula sebaliknya.

Mereka bukan juga tipe cowok yang bisa dengan tulus berbahagia atas setiap kemajuan dalam perjalanan karier gue. Tipe cowok yang menganggap pencapaian gue itu sebagai suatu “kekurangan” dalam diri gue ini.

Atau bisa juga terjadi, gue dan mereka punya prioritas yang berbeda. Salah satu sahabat gue sampai menasehati, “Jangan aja elo sampe kayak Luna Maya… Nunggu 5 tahun tapi akhirnya putus juga. Si Reino-nya nggak pernah niat nikahin dia ternyata. Luna Maya berharap itu bisa berubah, tapi nyatanya enggak kan.” Enggak ada benar-salah dalam hal ini karena bagaimanapun, tiap orang berhak punya prioritas untuk hidupnya masing-masing.

Don’t you see? We were just not meant to be! Padahal suka sama suka, tapi saat itu seperti tidak ada jalannya. Hal yang harusnya sederhana jadi luar biasa rumit dan bikin pusing kepala. Kalau dipikir sekarang, bisa jadi, itulah cara Allah menjawab doa gue: mereka bukan cowok yang terbaik untuk hidup dan masa depan gue. Mereka bukan cowok yang Allah pilihkan buat gue.

Sejak itu, moving on dari siapapun jadi terasa lebih mudah buat gue. Jika usaha terbaik gue tidak cukup baik untuk mereka, maka masalahnya hanya satu: bukan mereka orangnya. Allah hanya ingin gue menunggu lebih lama lagi. Dan hebatnya dari semua ini, keikhlasan gue itu malah membawakan lebih banyak kebahagiaan buat gue! Kenapa demikian? Karena hidup sendiri tanpa mereka di dalamnya ternyata jauh lebih baik daripada hidup dengan terus-terusan berusaha mempertahankan sesuatu yang secara konstan membuat gue merasa sedih dan patah hati.

Baru kemarin, sahabat gue yang mencetuskan teori soal Luna Maya itu juga bilang ke gue, “You are stronger than you were 3-5 years ago, you know.”

Yes, I’m much stronger than I was long time ago, and it’s only because I know, I truly know, what might seem like a loss to me is actually a redirection to the person that I belong.

Don’t lose faith, don’t be afraid to take care of the people we care about, be brave enough to love them, and let God do the rest.

Islam Ways of Living

Meskipun gue bukan pemeluk Islam yang luar biasa taat ibadahnya (dan gue sama sekali tidak bangga akan hal ini sih sebenarnya), tapi gue tetap menjadikan ajaran agama gue sebagai petunjuk hidup. Apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang sebaiknya gue lakukan dalam situasi tertentu, serta apa yang sebaiknya gue hindari dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa demikian? Karena gue selalu menemukan kebenaran di balik ajaran-ajaran itu. Ada banyak sekali pelajaran yang gue dapatkan dari agama gue ini. Bukan sesuatu yang gue dapatkan dari buku pelajaran biologi, fisika, akuntansi, atau mata pelajaran apapun di dunia ini. Bukan pula pelajaran yang diatur oleh Undang-undang negara manapun di dunia ini. Pelajaran-pelajaran yang membuat gue meyakini, inilah agama yang ingin gue peluk, seumur hidup gue.

Dari Islam gue belajar untuk berbagi. Bukan berbagi hanya di saat gue mampu, tapi juga di saat gue sendiri masih menjadi orang yang memerlukan bantuan finansial. Pokoknya selama gue masih mendapatkan penghasilan, maka di situ masih ada kewajiban untuk berbagi kepada mereka yang lebih membutuhkan. Dan gue sama sekali tidak merasa terbebani! It even makes me feel good! Gue malah bangga dan bersyukur bahwa setidaknya, gue masih bisa berbagi meskipun jumlahnya tidaklah seberapa. And the more I give, the more blessings I get in return.

Islam juga mengajarkan gue untuk mengutamakan melunasi hutang. Orang yang gue hutangi bisa jadi sangat memerlukan uang yang pernah mereka pinjamkan. Jangan sampai mereka harus merasa lelah secara fisik dan emosional hanya untuk menagih haknya itu. Jangan sampai gue malah menyakiti dan merugikan orang yang pernah bersedia memberikan gue pertolongan! Dan jangan sampai mereka merasa menyesal pernah bersedia repot-repot membantu kesulitan finansial gue saat itu.

Islam mengajarkan gue untuk membayar hak karyawan gue sebelum kering keringatnya (baca: bayar gaji tepat waktu!). Gue masih ingat masa-masa di mana gue sebagai karyawan masih sering mengalami “tanggal tua”. Kalau sudah sampai begitu, tiap tanggal gajian gue akan rajin ngecek e-banking. Pernah terjadi, gaji telat masuk sama dengan gue tidak punya uang untuk makan siang atau malam di hari gajian itu. Tidak enak kan rasanya? Apalagi jika ditambah utang yang sudah jatuh tempo! Sudah sangat tepat jika Islam mewajibkan umatnya untuk membayar hak-hak karyawan tepat pada waktunya.

Perilaku Nabi Muhammad soal menghargai niat baik orang lain juga mengajarkan gue untuk menghargai pemberian orang lain meskipun gue tidak menyukainya. Suka tidak suka, hadiah itu akan tetap gue pakai untuk menghargai niat baik orang yang memberikannya. Bagaimana jika hal itu malah membuat orang yang ybs malah terus menerus memberikan barang yang sama secara berulang-ulang? Well… selama barangnya bukan barang terlarang, apa sih ruginya buat gue menerima dan memakai barang itu? Kenapa harus menyakiti perasaan orang yang niatnya hanya ingin menyenangkan diri kita sendiri ?

Islam juga mengajarkan gue untuk tidak membungakan uang yang gue pinjamkan. Gue juga tidak mendukung model bisnis yang nominal bunganya sampai mencekik para nasabahnya (bunga sampai puluhan persen misalnya). Kenapa demikian? Karena orang yang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan uang untuk keadaan darurat umumnya tidak bisa berpikir jernih. Mereka ingin cari solusi cepat tanpa memperhitungkan kemampuan mereka untuk melunasi hutang beserta bunga puluhan persennya itu. Buat gue itu sama saja menyelesaikan masalah dengan masalah yang jauh lebih besar. Jika nominal bunga ini sudah sampai pada tahap lebih banyak menimbulkan masalah untuk para nasabahnya, maka buat gue, itu sudah masuk definisi riba yang haram hukumnya.

Gaya hidup gue juga kurang-lebih berkiblat pada ajaran Islam itu sendiri. Gue tidak mabuk-mabukan karena gue tidak mau kehilangan akal sehat gue sehingga sampai melakukan hal-hal bodoh yang hanya akan gue sesali di kemudian hari. Gue tidak mengkonsumsi babi dan menghindari air liur anjing karena ada alasan medis yang melatarbelakanginya (sudah pernah lihat video operasi mengeluarkan cacing pita dari dalam lambung manusia belum?). Dan gue juga menjauhkan diri dari zina karena seks bebas sangat rawan dengan penularan penyakit kelamin dan belum lagi resiko hamil di luar nikah (ini benar-benar bisa merusak segala hal yang sudah gue bangun untuk hidup dan masa depan gue banget sih).

Kerennya lagi, Islam juga mengajarkan untuk meninggalkan debat kusir. Bukan berarti tidak boleh mengeluarkan pendapat, tetapi jika pendapat kita itu tidak bisa diterima lawan bicara sehingga malah memicu perdebatan yang tidak ada habisnya, maka cukup akhiri sampai di situ saja. Perdebatan seperti itu tidak akan ada manfaatnya dan sangat beresiko berakhir dengan menyakiti salah satu atau bahkan kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Jadi jika kalian tidak suka dengan apa yang gue tulis di sini, tolong sampaikan dengan cara yang sopan dan santun ya. Jika sifatnya hanya cercaan yang dapat berujung debat kusir, gue tidak akan menanggapinya.

Lalu bagaimana pendapat gue soal Islam yang memperbolehkan poligami? Well, memperbolehkan itu berbeda dengan mewajibkan lho. Gue sebagai perempuan punya hak untuk menolak. Dan sebetulnya jika dipelajari baik-baik, tidak semua laki-laki diperbolehkan poligami dalam Islam. Coba dipelajari baik-baik dulu ayatnya sebelum terburu-buru mengikuti hawa nafsu!

Yang terakhir gue cuma ingin bilang, gue Islam bukan karena gue terlahir di keluarga muslim. Gue sudah cukup dewasa untuk memilih keyakinan gue sendiri dan gue merasa beruntung terlahir di keluarga yang menganut agama yang juga gue yakini kebenarannya. Islam is a guidance for my ways of living, until my last breath.

Makna Bermaafan yang Sebenarnya

Gue tidak pernah bosan untuk menulis di sini pentingnya bermaafan di hari Lebaran dalam artian yang sebenarnya.

Bermaafan di hari raya bukan hanya soal copy-paste gambar atau text dari satu grup WA ke grup lainnya. Bukan pula sekedar mengirimkan ucapan yang sama persis ke semua isi kontak di hp kita. Jangan gunakan “corporate style” yang mengirimkan standardtemplate ke seluruh rekan bisnis dalam kehidupan kita pribadi! Kenyataannya, standard template seperti ini seringnya tidak betul-betul dibaca dengan baik dan langsung saja dibalas dengan standard template yang lainnya. Niat untuk saling meminta maaf pada akhirnya jadi tidak betul-betul tersampaikan.

Kenapa? Karena beda orang bisa beda pula jenis kesalahan yang pernah kita perbuat pada mereka. Untuk tingkat kesalahan yang sangat menyakitkan hati, template yang kita copy dari orang lain atau kita download dari internet kemungkinan besar tidak akan membuat orang yang pernah kita sakiti merasa lebih baik. Ketulusan kita akan dipertanyakan… ini sebenarnya mau minta maaf atau tidak? Apalagi kalau tulisan yang kita niatkan sebagai personal apology itu malah dikirim ke WA group! Itu sih cuma akan dianggap angin lalu saja!

Sisihkan waktu untuk menulis permintaan maaf yang tulus, yang secara spesifik menggambarkan penyesalan kita atas kejadian terdahulu. Menggunakan nama mereka sebagai sapaan pembuka kalimat juga akan membuat pesan kita lebih tersampaikan. Bagaimana jika kita tidak pandai merangkai kata? Telepon saja!

Setiap kali Lebaran, gue selalu mengetik sendiri ucapan maaf gue ke orang-orang yang gue sadari pernah gue sangat gue sakiti perasaannya. Khusus untuk rekan satu tim di kantor, kecuali ada satu kasus yang spesifik, gue tetap mengirim pesan ke WA group, tapi isinya gue sesuaikan dengan konteks gue meminta maaf sebagai atasan mereka. Gue tulis secara personal hal-hal yang memang hanya relevan untuk ruang lingkup pekerjaan saja. Barulah untuk yang lain-lainnya gue ikut menggunakan standard template untuk membalas incoming text sebagai bentuk sopan-santun saja.

Lebaran itu seharusnya permulaan baru, memulai kembali dari lembaran baru. Bisa dicapai, asalkan dilakukan dengan cara yang benar.

Finally dari gue, mohon dimaafkan jika ada salah kata dalam tulisan-tulisan gue selama ini. Maafkan jika tanpa gue sadari, tulisan gue tanpa sengaja menyakiti hati kalian sebagai pembaca. Sebagai penulis, ada kalanya apa yang gue anggap “biasa saja” diterima secara berbeda oleh pembacanya. Apapun itu, mohon dibukanan pintu maaf sebesar-besarnya.

Selamat Idul Fitri dan selamat berlibur panjang!

Beramal, dengan Cara yang Baik dan Benar

Akhir-akhir ini sedang populer tulisan yang dibagikan via Facebook tentang pentingnya memberikan barang yang layak pakai dan bukan hanya sekedar barang murah meriah yang akhirnya tidak terpakai sama sekali. Kue kelewat murah yang rasanya tidak karuan, pakaian murah yang terasa panas dan tipis menerawang, serta pemberian-pemberian lain yang akhirnya tidak terpakai karena memang kualitasnya sangat tidak layak pakai.

Saat membaca tulisan itu, gue bertanya-tanya… kenapa ya, banyak orang yang melakukan amal menggunakan barang yang tidak layak pakai? Meminjam kalimat penulis yang gue sebutkan di atas, banyak orang yang sering bilang begini saat sedang membeli barang untuk amalnya, “Beli yang murah saja lah, buat dibagiin ini.”

Kembali lagi ke pertanyaan gue, “Kenapa?”

Jawaban gue berikut ini sifatnya hanya hasil observasi gue yang belum tentu bisa digeneralisasi, tapi tidak ada salahnya, dibaca untuk dijadikan dasar instropeksi diri.

Ada orang yang beli barang seadanya, lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, untuk kemudian aktivitas amalnya dibagikan berkali-kali di social media. Tidak penting kualitas barangnya, yang penting ada dokumentasinya.

Alasan lainnya, ada orang yang senang memberi karena dia senang melihat orang lain yang tampak senang saat menerima pemberiannya. Mereka lupa untuk berpikir lebih lanjut, “Akan tetap senangkah orang-orang itu saat membuka dan mengkonsumsi pemberian mereka itu?”

Ada pula orang yang asal-asalan memberikan barang asalkan dia tampak keren saat membagikan pemberiannya itu. Tipe orang yang senang menjadi pusat perhatian sehingga saat memberi, fokusnya malah diri dia sendiri dan bukan fokus kepada kebutuhan orang yang dia beri.

Atau bisa juga, ada orang yang hanya tidak menyisihkan lebih banyak waktu untuk mencicipi makanan atau mencoba barang-barang yang diberikannya itu. Fokusnya hanya budget, tanpa memikirkan kualitas pemberiannya.

Jika memang kita memiliki keterbatasan budget untuk amal kita itu, maka menurut gue, kita bisa mengurangi kuantitas untuk meningkatkan kualitasnya. Memberi 10 barang yang bermanfaat akan jauh lebih berarti dari 100 barang yang tidak layak pakai.

Kembali mengutip isi tulisan yang menginspirasi tulisan gue ini, “Jangan memberikan barang yang tidak sudi kita konsumsi sendiri.”

Coba bayangkan kesenangan orang yang kita beri yang langsung sirna dalam sekejap saat mereka mencicipi pemberian kita itu… Dari yang tadinya sangat senang akan berubah menjadi kecewa…. Tidak menutup kemungkinan, mereka bisa berkecil hati, merasa tidak cukup layak untuk menerima pemberian yang layak.

Mari kita belajar memberi di bulan yang baik ini, dengan cara yang juga baik, dengan tujuan yang tidak kalah baik.

Selamat berpuasa!

Punya Kenalan yang Berjilbab? Baca ini Dulu!

Beberapa minggu yang lalu, gue mengadakan photoshoot untuk website yang sedang gue bangun. Gue masuk ke ruang make-up bersamaan dengan make-up artist gue (sama-sama perempuan). Kemudian tiba-tiba saja, penjaga studio (laki-laki) masuk ke dalam ruangan dan dia tetap masuk meskipun gue bilang jangan masuk ke dalam karena gue sedang tidak mengenakan jilbab. Padahal, penjaga studio itu sama-sama muslim (gue tahu karena gue lihat dia shalat di studio), tapi dia tetap tidak mengindahkan larangan gue itu.

Hal ini mengingatkan gue dengan acara jalan-jalan dengan beberapa orang kenalan di waktu yang lalu. Waktu itu perempuan yang berjilbab bukan hanya gue, tapi ternyata, beberapa perempuan berjilbab lainnya tipe orang yang hanya pakai jilbab kalau bepergian saja. Mereka semua melepas jilbabnya di dalam villa meskipun saat itu ada beberapa teman laki-laki yang menginap di villa yang sama.

Akibatnya? Teman-teman cewek ini dengan santainya memperbolehkan teman-teman cowoknya masuk ke dalam kamar tanpa mengecek dulu apakah semua teman berjilbabnya sudah mengenakan penutup kepalanya (mungkin karena dipikirnya, semua hijabers punya kebiasaan yang sama dengan mereka). Dan di saat yang bersamaan, teman-teman cowok di sana juga jadi tidak merasa perlu berhati-hati.

Jika diingat lagi, sejak satu trip itu, gue putuskan pada group trips selanjutnya untuk tidak pernah lagi melepas jilbab gue di dalam kamar (kecuali jika gue mendapatkan satu kamar hanya untuk gue sendiri). Memang sangat tidak nyaman, tapi gue tidak akan pernah tahu siapa yang teman sekamar gue perbolehkan masuk saat gue sedang tidur tanpa jilbab gue.

Kenapa gue sangat ketat untuk urusan ini? Karena buat gue, jilbab itu sudah jadi bagian dari diri gue. Ibadah gue secara keseluruhan memang masih jauh dari sempurna, tapi untuk urusan aurat, gue ingin menjaga sebanyak yang gue bisa. Kepergok tanpa jilbab bisa bikin gue merasa sangat malu dan terus kepikiran sampai berhari-hari lamanya. Emang sih, jilbab gue belum sesuai syariat yang sebenar-benarnya, tapi tetap saja… jilbab gue kurang panjang bukan berarti gue memperbolehkan cowok yang bukan muhrim melihat gue tanpa jilbab sama sekali!

Memang benar akhir-akhir ini ada makin banyak perempuan yang terbiasa lepas-pasang jilbab, tapi bukan berarti kita boleh main pukul rata! Beda orang beda pula prinsip mereka dalam menjaga auratnya. Karena hal ini tidak selalu bisa dibedakan secara kasat mata, maka sebetulnya sama sekali tidak susah untuk kita bersikap hati-hati saat berada di sekitar perempuan yang berjilbab.

Jadi jika kamu mengenal perempuan lain yang berjilbab:

  1. Jangan biarkan laki-laki yang bukan muhrim melihat mereka tanpa jilbabnya. Bantu mereka untuk menjaga privasinya;
  2. Jangan mengambil foto mereka (apalagi menyimpannya!) saat mereka sedang tidak mengenakan jilbabnya;
  3. Minta ijin mereka sebelum menyebarluaskan (upload ke socmed misalnya) foto mereka saat belum mengenakan jilbab. Foto masa kecil mungkin masih tidak masalah, tapi pikir dua kali jika foto yang ingin disebarkan adalah foto mereka setelah dewasa; dan
  4. Jangan mendeskripsikan penampilan mereka tanpa jilbab kepada orang lain (menyebutkan model atau panjang rambut mereka misalnya). Jangan pula keluar kalimat, “Dia kalo lagi nggak pake jilbab itu cantik banget lho. Badannya bagus bla bla bla.” Mungkin maksudnya memuji, tapi perempuan yang tingkat keimanannya sangat tinggi tidak suka dibicarakan seperti ini.

Kita tidak perlu mengerti alasan kenapa ada perempuan yang menjaga aurat sampai sebegitunya, tapi kita tetap perlu menghargai keputusan mereka untuk menutup auratnya. Apa yang kita anggap tidak penting bisa jadi luar biasa penting untuk banyak hijabers di luar sana. Dan seperti yang gue tulis sebelumnya, melakukan 4 hal di atas sama sekali tidak sulit, jadi terlepas dari pendapat pribadi kita mengenai jilbab, tidak ada salahnya untuk melakukan hal-hal yang akan sangat mereka hargai itu.

Let’s learn to live in diversity, and we can start with protecting the others to believe in their beliefs.

Have a nice Sunday!

The Art of Forgiveness

I’ve learned that not all people who looks forgiving are actually holding no grudge. And not all people who speaks the ugly truth having the hard times to forgive the others’ flaws. Forgiveness is not how it seems, it’s how it really feels inside our heart.

Sometimes, forgiving is easy. Sometimes, it’s hard and it takes times. And sometimes, we’re not even sure if we can come back from the pain they put us through.

On the other hands, asking for forgiveness is easy. Sometimes, it’s terrifying. But then sometimes, we don’t even think we have something to apologize.

Forgiveness is getting more complicated as we grow older. We don’t always want to, but we have to. It’s not always asked for, but we still have to. And I believe, that’s Eid is all about: to forgive and to seek for forgiveness.

I know that it’s always easier being said than being done. Some pain is just too much to take. Not everything requires apology to make things right, but in the same time, not everything can be solved and fixed by an apology.

With that being said, somehow I found my way to forgive the people whom I never thought I’d ever forgive. They never ask for forgiveness, I never say they are forgiven either, and it’s not like I’m willing to live a life with them in it like it used to be. But still, I forgive them, in my own way.

I hope, they forgive themselves for everything they did. Or if they still believe they didn’t do anything wrong, I hope that someday they will wake up and learn from it. And on top of all that, I sincerey hope that God will forgive them for all the wrong said and done. I hope, God will help them to be a better person, and help them with a light at the end of the tunnels. Apart from all the nightmare they put me through, they used to be the people who meant a lot and whom I cherished the most.

Forgive people even when they don’t ask for forgiveness. Or even when they don’t deserve any of it. Forgive them not for them, forgive them for you, for your soul and your peace of mind.

Finally, if I ever hurt you with anything I said or did, please do forgive me with a chance to restart all over again. I’m no pure angel, but I’m no pure evil either.

Please forgive me for being a straight-talking.

Forgive me for fighting for what I believed was right until it hurt you along the process.

Forgive me when I’m not always capable of controlling my own anger.

And for the people I care about, please forgive me for the tough love and for not always being nice all the times. When it comes to you, I’m not being mean, I’m being myself who wants nothing but the best for you and your life. Maybe, I just don’t know how to do it right.

As usual for all my blog readers, please forgive me if I ever wrote something offended to you. Wish you all a blessed Eid and a new beginning for you and the loved ones. Happy Eid mubarak and happy holiday!

Supir Blue Bird Pagi Ini

Ceritanya hari ini, gue pesan taksi untuk berangkat ke apartemen gue untuk serah terima unit (akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, apartemen gue itu selesai juga!). Kebetulan pagi ini, gue diantar bapak supir taksi yang terlihat sangat dalam pemahaman agama Islam-nya. Ngobrol panjang lebar, si bapak supir bilang begini sama gue, “Saya salut… jarang ada orang kaya yang sifatnya santun kayak Mbak.”

Gue terdiam. Gue? Santun?

Well, pada dasarnya gue tipe orang yang menjunjung tinggi sopan santun. No bad languages, tidak pernah menghina orang lain dengan julukan-julukan yang merendahkan, tidak pernah marah-marah sampai banting barang dan sebagainya… Tapi… benarkah gue tipe orang yang santun dalam artian selalu bisa bersikap sopan, ramah, dan baik hati sepanjang waktu?

Jika lawan bicara gue menyenangkan, mood sedang bagus, tidak banyak tekanan, hidup sedang indah-indahnya… tentu mudah untuk bersikap santun. Tapi tunggu saat gue sedang ditempa banyak cobaan, stres dan tertekan karena pekerjaan, ditambah lagi jika dihadapi pada lawan bicara yang terasa menyebalkan! Masihkah bisa gue bersikap santun?

Baru-baru ini gue menyadari betapa benar bahwa kata-kata itu bisa lebih ‘tajam’ daripada pedang. Betapa emosi yang tidak terkendali benar-benar bisa melukai perasaan orang lain. Melukai dan bisa jadi, tidak akan pernah benar-benar bisa pulih sepenuhnya. Dan ironisnya, gue baru menyadari hal tersebut justru setelah gue mengalaminya sendiri. Saking sakit hatinya, gue malah bertanya-tanya sama diri gue sendiri, “Have I ever done the same thing to someone else?”

Sepanjang perjalanan, gue sangat-sangat menikmati percakapan gue dengan bapak supir ini. Percakapan yang seolah mengingatkan diri gue untuk terus berusaha menjadi a good person. Percakapan yang juga membuat gue berpikir keras, “Is there anything I can do to undo the pain I’ve put people through?”

Gue enggak bilang gue akan bisa berubah dalam sekejap mata. Usaha untuk bisa mengendalikan emosi itu udah seperti proyek abadi buat gue. Berkali-kali gue coba, berkali-kali gue gagal lagi dan lagi. Tetap ada saja salah-salah kata yang terucap dari mulut gue di saat gue sedang marah. Padahal sebetulnya, niat gue baik, hanya pemilihan kata dan intonasi yang banyak dipengaruhi oleh emosi gue itu.

Being a good person is not as easy as posting a good quote. It’s not as easy as writing this blog either. It takes quite an effort, and it may take us a lifetime to keep fighting for just being a good person. However somehow, just having the idea that I wanted to try harder already made me feel a lot better about myself. Suddenly, I knew, I just knew, I could still do better than I already did.