Critical Eleven – Movie Review

Berawal dari rekomendasi beberapa orang teman, gue jadi kepingin nonton film ini. Tipe film yang bisa menguras air mata katanya. It sounds perfect for my current mood! 

Jadilah gue memisahkan diri dari keluarga setelah acara buka bareng dan langsung beranjak sendirian ke bioskop hanya untuk nonton Critical Eleven. 

Berikut ini serangkaian isi pikiran gue dari awal hingga akhir film. Berhenti baca sampai di sini jika tidak ingin dapat bocoran soal jalan cerita film ini!

Hal pertama yang terlintas di benak gue: aktingnya kok agak kaku ya? Dialognya kurang menggigit. Kenapa dua orang itu cekikikan atas sesuatu yang enggak ada lucu-lucunya? Hmm… Bisa jadi maksudnya, orang yang lagi pdkt emang suka kayak begitu kali ya? Ngetawain hal-hal yang enggak lucu-lucu amat…

Begitu menginjak adegan Ale mengenalkan Anya ke seluruh anggota keluarganya… hati gue mulai meleleh. Tipe adegan yang bikin gue jadi berpikir, “Kalo gue enggak cepat-cepat move on, gue akan semakin lama untuk bisa mendapatkan hidup yang seperti itu.”

Semakin lama, semakin gue menilai dua tokoh utama dalam film ini punya kemampuan akting yang mumpuni. Chemistry-nya dapet banget! Pasangan suami-isteri betulan aja belum tentu bisa menunjukan chemistry sekuat itu! Adegan saat mereka harus berpisah sementara (si Ale ceritanya kerja di tambang minyak laut lepas), lumayan bikin gue jadi berpikir, “Bisa nggak ya, gue menjalani rumah tangga yang seperti itu?”

Konflik rumah tangga mulai bermunculan perlahan. Ale mulai terlihat sebagai sosok suami yang termasuk posesif. Sifat yang sebetulnya sangat tidak cocok untuk dipasangkan dengan karakter Anya yang juga termasuk keras. The conflict looks real and somewhat it feels relatable to myself.

Konflik yang awalnya bisa diatasi dengan cara Anya yang terpaksa mengalah saja, akhirnya mulai terasa terlalu berat saat bayi mereka lahir dalam keadaan meninggal. Akting para pemainnya betulan keren banget! Air mata gue sampai sedikit menetes saat nonton adegan yang satu ini. Enggak terbayang kalau sampai harus melewati cobaan seperti itu!

Pasca meninggalnya anak Ale dan Anya, konflik antara mereka semakin meruncing hingga puncaknya, Ale mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya dia ucapkan. Kalimat yang membuat Anya kehilangan gairah untuk mempertahankan rumah tangganya. Dan lagi-lagi, gue merasa terhubung dengan adegan itu. Gue kenal satu cowok yang sifatnya persis seperti Ale: tidak bisa mengendalikan kata-katanya di saat sedang marah. Gue sampai berpikiran, “Pasti seperti itu rasanya kalau sampai gue betulan married dengan cowok ini.”

Sampai sini, sempat ada beberapa adegan yang agak terlalu lebay. Anya terpikir untuk bunuh diri? Orang dengan karakter kuat seperti Anya semestinya tidak punya mental lemah seperti itu. Kemudian saat adegan Ale mengalami kecelakaan mobil… gue malah menghela napas. Pikir gue, “Really? An accident? It’s so typical Indinesian novel story!”

Dan tentu saja, Ale dan Anya akhirnya berbaikan setelah kecelakaan mobil tersebut! Rasa kecewa karena kisah klise itu akhirnya tertutupi dengan adegan penutup film ini. Kehangatan keluarga dan persahabatan di akhir film, membuat gue kembali berbisik pada diri gue sendiri, “Right… At the end of the day, that’s the life I want for my future.”