Kenapa Kita ‘Harus’ Pergi Umrah?

Jeddah, 27 Januari 2016

Awalnya, gue agak ragu-ragu untuk menulis perjalanan Umrah perdana gue ini. Gimana kalo jatuhnya seperti riya? Gimana kalo gue malah dianggap pamer, sombong, dsb dsb… Tapi setelah gue pikir kembali, jika tulisan gue ini bisa membawa manfaat untuk orang lain, kenapa tidak?

Jadi ceritanya, ortu gue udah menyarankan untuk pergi Umrah sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja sayangnya, gue selalu punya alasan untuk menunda rencana Umrah gue itu. Yang penting target gue, gue harus pergi Umrah sebelum menginjak usia 30. Secara November tahun ini akan jadi ultah gue yang ke 30, akhirnya gue putuskan untuk berangkat tahun 2016. Sengaja berangkat di bulan Januari di saat cuaca di Mekah sedang sejuk-sejuknya.

Sejak tahu akan segera pergi Umrah, gue mulai merenung di dalam hati… Nanti selama Umrah, gue ingin berdoa soal apa saja ya? Nggak mungkin dong, gue berdoa hanya soal jodoh gue saja? Secara tujuan gue Umrah kan sama sekali bukan demi cepat-cepat dapat jodoh! Tapi jika gue masih saja meminta banyak hal lainnya dalam doa-doa gue itu, kesannya gue ini serakah banget nggak sih?

Tanpa bermaksud sombong, gue betulan merasa sudah punya lebih dari cukup dalam usia gue yang masih terbilang muda ini. Bukan hanya soal materi, tapi lebih soal hidup gue yang semakin dewasa justru semakin bahagia, mimpi-mimpi gue yang sudah menjadi nyata, sahabat-sahabat yang gue jumpai sepanjang jalan kehidupan gue, dan yang paling penting, soal transformasi kepribadian dari gue yang dulu menjadi gue yang sekarang ini. Kalau menurut kalian gue masih punya banyak sifat jeleknya, kalian pasti bakal syok berat kalau sampai tahu kepribadian gue yang dulu. Tanpa perubahan kepribadian gue itu, entah hanya jadi apa diri gue yang sekarang ini.

If I already have this much, how can I still ask for more?

Tapi ya sudahlah, pergi ya pergi saja dulu. Soal doa biar nanti mengalir dengan sendirinya. Dan ternyata benar saja, doa itu; doa yang paling tulus dari lubuk hati itu, akhirnya benar datang dengan sendirinya.

Gue memulai perjalanan ibadah gue dari Madinah terlebih dahulu. Doa pertama, ke dua, ke tiga dan seterusnya mulai gue panjatkan. Soal rezeki yang halal, kesehatan, kebahagiaan, dan nggak munafik, soal minta diberikan jodoh yang terbaik pada waktu yang terbaik juga. Gue coba khusuk berdoa, tapi entah kenapa, rasa haru yang biasa dirasakan jamaah-jamaah Umrah pada umumnya masih belum gue rasakan. Masih belum, sampai akhirnya gue menginjakkan kaki di Raudhoh masjid Nabawi, Madinah.

Bagi yang belum tahu, Raudhoh adalah satu area khusus di dalam masjid Nabawi di mana doa-doa yang kita panjatkan Insyaallah akan dikabulkan. Satu area kecil yang diperlukan kesabaran ekstra hanya untuk masuk, shalat, dan berdoa di dalamnya.

Sebelum masuk area Raudhoh, gue diberitahu bahwa ciri-ciri area Raudhoh adalah beralaskan sajadah berwarna hijau. Setelah menunggu selama hampir 3 jam lamanya, akhirnya, tiba giliran gue menginjakkan kaki di karpet hijau itu.

Sambil berdiri dan menunggu giliran untuk shalat sunnah di area Raudhoh, gue mulai memanjatkan doa di dalam hati. Doa-doa yang kurang lebih sama dengan doa-doa gue sebelumnya, kecuali satu doa yang secara spontan gue ucapkan, persis saat tinggal satu langkah menuju giliran gue untuk menjalankan shalat sunnah di sana.

Saat itu, gue berdoa agar tetap menjadi orang yang hidup dengan penuh rasa syukur. Berawal dari doa itu, gue lanjutkan dengan mengucapkan syukur atas segala anugerah yang telah Allah berikan. Rasa syukur yang teramat besar untuk karier gue, impian-impian gue, dan semua kebahagiaan yang gue dapatkan dalam hidup gue ini.

Gue terus mengucap syukur, sampai tanpa terasa, air mata turun membasahi kedua tangan yang sedang gue tenggadahkan untuk berdoa. Entah kenapa, bukannya menangisi hal-hal yang gue inginkan untuk hidup gue, gue malah meneteskan air mata haru atas hidup yang telah Allah anugerahkan kepada gue sampai dengan usia 29 tahun ini.

Setelah genap seminggu gue menjalankan ibadah ini, sudah begitu banyak doa yang gue panjatkan, tapi tidak ada satu doa lain pun yang berhasil mendatangkan keharuan yang sama besarnya dengan doa gue di Raudhoh itu. Gue sungguh berharap, sekedar doa guna senantiasa diingatkan untuk mengucap syukur pun, akan jadi doa yang mencukupi segala doa lainnya.

Persis kemarin siang, gue sudah menuntaskan ibadah Umrah gue. Rasa haru yang gue rasakan di Raudhoh dan rasa damai yang gue rasakan selama Sai buat gue mulai bertanya-tanya di dalam hati, “Kenapa gue tidak pergi Umrah sejak awal ya? Kenapa harus tunggu usia 29 tahun terlebih dulu?”

Banyak orang yang sering titip doa minta diberikan panggilan untuk datang ke tanah suci. Buat sebagian orang, Umrah memang bukan sesuatu yang mudah. Biayanya, waktunya, kekuatan fisiknya… Tapi berkaca dari diri gue sendiri, kedatangan gue ke sini bukan soal dipanggil atau tidak dipanggil, tapi lebih kepada mau datang atau tidak mau datang. Mau keluar uang sekarang atau nanti-nanti saja. Mau menunda, atau pergi sekarang juga.

Haruskah kita pergi Umrah? Memang bukan ibadah wajib, tapi jika sudah mampu, kenapa tidak? Tidak perlu menunggu kita butuh sesuatu untuk diminta kepada Allah, sekedar mengucap syukur atas segala anugerah-Nya, menurut gue, sudah lebih dari cukup. Dan tidak perlu direpotkan dengan pikiran, bagaimana jika sepulangnya dari Umrah, perilaku dan ketaatan kita tetap sama-sama saja dengan sebelumnya? Tetap pergi saja, karena jika kita baru pergi setelah merasa siap untuk pergi, maka bisa jadi, kita tidak akan pernah merasa cukup siap untuk pergi.

So I think I would say, if you can afford it, just do it. Your Europe trip can wait. Your new car can wait. Or maybe, your exclusive leather LV handbag can wait. If you can afford all of this, you can afford Umrah. Do it and experience the chills I got when I was there.

5 thoughts on “Kenapa Kita ‘Harus’ Pergi Umrah?

  1. dee says:

    Senangnya sudah umroh. Doain aku nyusul ya mbaa.. Semoga diberi rejeki dan kesempatan kesana. :’) Semoga doa-doanya disana diijabah mba.

Leave a comment