Pilihan Hidup Orang Lain Tampak Sempurna Karena Bukan Kita yang Menjalaninya

Saya belum lama nonton film Kim Ji Young, Born 1982. Ceritanya sederhana, tapi selama nonton film ini, ada begitu banyak nama yang melintas di benak saya. Nama-nama yang melintas di benak saya itu, mereka semua pasti bisa merasa relate saat menonton film yang satu ini.

Film ini berkisah tentang Ji Young yang saat masih single gagal mendapatkan promosi hanya karena diskriminasi gender. Pekerja perempuan dianggap tidak bisa berkomitmen untuk bekerja optimal dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Setelah married, Ji Young memutuskan untuk resign dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi ternyata, jadi ibu rumah tangga juga punya rintangannya tersendiri. Ada saja omongan orang yang menganggap rendah ibu rumah tangga. Mereka dianggap bisa santai-santai, nggak perlu repot-repot kerja dan cukup mengandalkan penghasilan suami. Di luar omongan orang, Ji Young diam-diam menyimpan kerinduan untuk kembali bekerja kantoran.

Selain Ji Young, ada mantan bos Ji Young yang merupakan seorang working mom. Mantan bosnya itu juga sering jadi omongan karena lebih mementingkan karier daripada suami dan anak-anaknya. Dia dianggap egois karena menitipkan anak kepada orang tuanya. Pendidikan anak dinilai tidak akan optimal jika tidak dididik langsung oleh ibunya.

Kemudian ada juga kakak perempuan Ji Young yang sangat mandiri dan belum menikah. Dan tentu saja, dia juga menjadi korban omongan orang karena masih belum menikah di usia sematang itu.

Film ini mengajarkan dua hal:

  1. Omongan orang tidak akan pernah ada habisnya. Whether you’re single, married, working mom, stay at home mom, people will always have something to say;
  2. Apapun yang menjadi pilihan hidup kita akan selalu ada plus-minusnya. Menjadi single tidak sepenuhnya enak, married tidak sepenuhnya enak, jadi ibu rumah tangga maupun wanita karier juga tidak akan pernah sepenuhnya enak.

Banyak di antara kita merasa iri melihat hidup orang lain dan berpikiran hidup kita akan bahagia jika bisa hidup seperti mereka. Padahal kenyataannya, hidup orang lain hanya tampak sempurna karena bukan kita yang menjalaninya. Orang yang menjalaninya tahu persis suka-duka yang harus mereka lewati dalam hidupnya itu. Mereka tahu persis bahwa hidup mereka pun masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Film ini semakin meyakinkan saya bahwa saya sudah memilih sikap yang tepat dalam menjalani hidup. Tidak pernah sekalipun saya ingin bertukar tempat dengan orang lain karena itu sama saja menukar masalah yang sudah biasa saya hadapi dengan masalah baru yang bisa jadi terasa masih asing untuk diri saya ini. Beda orang bisa beda life battle-nya, dan saya jelas lebih memilih “medan perangyang sudah saya kuasai dengan baik. Selain itu, memang benar banyak orang lain di luar sana yang memiliki apa yang tidak saya miliki, TAPI, saya juga memiliki apa yang tidak dimiliki oleh banyak orang di luar sana. Jadi buat apa iri?

Untuk teman-teman yang juga mengalami life battle seperti Ji Young wajib nonton film yang satu ini. Film ini merupakan a good reminder bahwa tidak ada pilihan hidup yang sempurna dan bahwa sesungguhnya, kita tidak membutuhkan kesempurnaan hanya untuk merasakan kebahagiaan. Berbahagialah dengan keputusan hidup kita masing-masing, dan jangan lupa, bahagia itu juga sebuah pilihan yang hanya dapat diambil oleh diri kita sendiri. Ingin terus bersungut-sungut atau belajar berbahagia dalam menjalani kehidupan, hal itu adalah sepenuhnya pilihan kita sendiri.

Once again I’m telling you: life is too short to be unhappy. Jadi jika kita bisa memilih untuk bahagia, kenapa harus memilih sebaliknya? Siapapun kamu dan apapun yang menjadi pilihan hidupmu, berbahagialah! We owe that to ourselves after all struggles in life, don’t we?

Wish you all a wonderful weekend!

Belajar dari Kung Fu Panda

Setelah nonton Kung Fu Panda untuk ke sekian kalinya, saya jadi menyadari ada beberapa pelajaran yang bisa kita terapkan dalam dunia kerja, baik itu dari sudut pandang atasan maupun sudut pandang bawahan.

Apa saja?

Sebagai atasan….

  1. Jangan mudah menyerah saat mengembangkan bawahan di kantor. Tidak semua orang mempunyai learning curve yang sama cepatnya. Jika kita sebagai atasan sudah menyerah, mereka sebagai bawahan juga akan menyerah pada dirinya sendiri. Po tidak akan mau meneruskan latihannya jika bukan karena Shifu yang terus berusaha melatih anak didiknya itu!
  2. Believe in your team, even in their darkest times! Pada dasarnya, semua orang memiliki kebutuhan akan rasa dipercaya oleh orang-orang yang mereka anggap penting (dalam dunia kerja, atasan adalah salah satunya). Kepercayaan kita sebagai atasan dapat membantu mereka untuk bangkit dari masa-masa sulit dalam perjalanan karier mereka;
  3. Pelajari motivasi masing-masing orang dan kembangkan mereka dengan cara yang paling sesuai untuk mereka. Tidak ada yang namanya one size fits all dalam dunia kerja. Ingat adegan di mana Shifu melatih Po menggunakan makanan? Motivasi Po adalah makanan, sesuatu yang belum tentu sama penting untuk lima anak didik Shifu yang lainnya;
  4. Jangan membuat bawahan merasa “not good enough”. Ketika seseorang merasa bahwa upaya terbaik mereka tidak pernah cukup baik untuk atasannya, mereka akan lebih memilih untuk pergi dan mencari tempat lain yang membuat mereka merasa masih memiliki peluang untuk level up. Terkadang, bersikap keras dan tegas memang diperlukan, tapi jangan sampai kelewatan. Jika kita masih ingin mempertahankan mereka dalam tim, maka jangan sampai membuat mereka merasa kehilangan masa depan karier-nya bersama kita; dan
  5. Jangan sampai kita bablas membesarkan seorang “monster”. Terkadang, rasa bangga yang berlebihan terhadap bawahan bisa membuat mereka menjadi sombong. Membuat mereka menjadi lupa untuk bersikap rendah hati. Tujuan karier mereka jadi hanya materi dan jabatan semata (sama seperti Tai Lung yang terobsesi mendapatkan Dragon Scroll). Terlalu banyak pujian bisa membuat mereka tidak mau menerima kritik sekalipun kritik itu baik untuk mereka. Ingat selalu satu hal ini: atasan yang gelap mata akan menciptakan bawahan yang juga gelap mata.

Sebagai bawahan…

  1. Jangan takut untuk bermimpi besar. Banyak orang yang terlalu minder terhadap dirinya sendiri. Hanya untuk bermimpi pun mesti pakai embel-embel “harus tahu diri”. Seolah hanya orang besar yang boleh punya mimpi besar! Bermimpilah seperti Po si anak tukang mie yang akhirnya jadi Kung Fu master!
  2. Cari atasan yang bisa kita percaya sebagai role model. Penting untuk kita mendapatkan atasan yang dapat menjadi role model dalam perjalanan karier kita. Saat kita sudah menemukannya, maka kita harus percaya bahwa segala yang dia lakukan adalah untuk kebaikan diri kita, termasuk segala tuntutan dan kritikan yang dia berikan untuk kita! Cara seorang atasan mengembangkan anak buahnya tidak selalu manis dan membahagiakan, ibarat menelan pil pahit yang sebetulnya baik untuk diri kita ini;
  3. Jangan terlalu santai dalam menjalani karier. Orang yang terlihat selalu santai cenderung sulit mendapatkan kepercayaan rekan kerjanya, terutama atasannya. Selalu bercanda dan memasang silly face hanya selalu lucu untuk pergaulan sehari-hari saja. Selalu bertingkat demikian dalam dunia kerja dapat membuat orang lain mempertanyakan komitmen kita sebagai seorang pekerja;
  4. Jangan pernah terlalu lelah, apalagi terlalu malas, untuk terus bekerja keras. Tidak ada kesuksesan yang mudah untuk dicapai, itu sebabnya, atasan akan lebih memilih untuk mengembangkan orang-orang yang mempunyai kesadaran diri untuk bekerja keras dalam membangun karier-nya sendiri; dan
  5. Salah satu pelajaran terbesar yang ingin disampaikan Kung Fu Panda adalah untuk percaya pada diri sendiri. Akan percuma saja atasan punya kepercayaan besar pada diri kita jika kita justru tidak bisa mempercayai diri kita sendiri. Seperti isi movie quote-nya Kung Fu Panda: “To make something special, you only have to believe that is special,” dan “There is no secret ingredient, it’s just you.”

Finally, meskipun saya bilang ada hal-hal yang dapat kita pelajari dari Kung Fu Panda, tetap ada satu hal yang tidak boleh kita percaya dari jalan cerita film kartun ini.

Apa persisnya?

Jangan percaya bahwa kita bisa menjadi “master” dalam suatu hal hanya dalam waktu yang singkat saja. Seringkali, meskipun kita sudah berusaha sangat-sangat keras, tetap dibutuhkan waktu yang cukup atau bahkan sangat lama untuk kita bisa sampai di tujuan.

Kung Fu Panda tetap hanya film kartun, dan kenyataannya, tidak ada orang yang bisa jadi ahli Kung Fu hanya setelah berlatih selama beberapa minggu saja 😉

10 Random Thoughts – Beauty and the Beast 2017 Movie

I watched this movie a couple of weeks back and I just managed to write down my thoughts.

Here we go!

  1. The village and the castle are beautiful! Can’t wait to visit the real castle and village that inspired this fairy tale!
  2. Emma is the most beautiful Belle I’ve seen;
  3. The prince is also cute… except when he puts too much make-up on his face;
  4. I really love the songs! I always love the songs. They reminded me of the broadway show I used to watch! Both are enjoyable!
  5. Promoting gay in this popular fairy tale? Really? They’re kidding me!
  6. A beast becomes a better person only in a week? Even normal people don’t change that fast!
  7. And two people can fall in love only in a week? Come on!
  8. It’s true that there’s always a good side in every people we know though;
  9. The Paris short trip is a nice touch. It fills the gap about Belle’s mother;
  10. I like how they keep most of the original story lines. I just regret the gay casts in this movie.

My Stupid Boss the Movie

Saat pertama dengar film ini akan tayang, awalnya gue lupa-lupa ingat; ini film adaptasi novel yang mana ya? Rasanya kok familiar banget gitu. Lalu entah kenapa, gue malah sempat teringat dengan novel yang bercerita soal atasan yang selingkuh dengan sekretarisnya! Baru saat melihat poster filmnya gue menyadari… Ini My Stupid Boss yang lucu banget itu! Yang diangkat dari kisah nyata itu! Jadilah gue yang awalnya pengen nonton AADC (lagi) malah beralih ke film ini.

Soal jalan cerita kurang lebih sama persis kayak bukunya. Sepanjang film dipenuhi kekonyolan Bossman yang bikin penonton tertawa geli. Di luar itu, ada pula interaksi antar pemain lainnya yang terasa cukup menghibur (untuk bagian ini rasanya tidak pernah ada di versi bukunya). Klimaks cerita hanya sekedar Diana marah besar tetapi langsung jadi luluh saat melihat sisi baik hati dari bosnya itu.

Selain sukses bikin gue tertawa terbahak-bahak, ada pula adegan yang membuat gue ngerasa tersentuh. Yang pertama adegan saat Diana menari-nari dengan teman sekantornya (friendships in office nowadays is hard to find!) dan apa lagi kalau bukan adegan di panti asuhan! Adegan yang seolah mengingatkan kita bahwa selalu ada sisi baik dalam diri setiap orang.

Ya, itu dia pesan moral dari buku dan film ini: selalu ada sisi baik dalam diri setiap orang; semenyebalkan apapun orang tersebut. Dan tiba-tiba saja, gue jadi teringat dengan bos gue yang dulu. Tipe bos yang tidak kelihatan seperti bos. Penampilan sederhana, suka ngomong blak-blakan, senang bercanda dan suka dengan polosnya bilang begini, “Kalo yang susah-susah tanya Riffa aja, dia lebih pintar dari saya, hahahaha.”

Believe it or not, bos gue yang satu ini justru masih jadi bos terbaik yang pernah gue punya. Gue pernah punya bos lain yang jauh lebih pintar, yang lebih bijaksana, bahkan ada pula bos lain yang lebih serius berupaya untuk mengembangkan karier gue, tapi tetap saja, mantan bos gue yang sangat unik itu tetap meninggalkan kesan yang paling mendalam.

Kenapa bisa begitu? Karena banyak hal yang gue pelajari dari dia!

Gue banyak belajar soal kepemimpinan dari bos gue itu. Misalnya, mau tahu kunci untuk mendapatkan loyalitas tim? Jangan pernah jadi atasan pelit yang suka hitung-hitungan! Dan tidak ada salahnya sesekali mengeluarkan uang untuk tim dari dompet kita sendiri! Bukan untuk membeli loyalitas, tapi untuk sekedar membuktikan bahwa kita punya niat baik untuk merangkul tim kita lebih dari hanya sekedar rekan kerja!

Gue juga banyak belajar memaafkan dari bos gue itu. Kelakuan gue di awal kerja benar-benar enggak banget deh. Terlalu labil dan suka heboh mendramatisir keadaan. Si mantan bos udah banyak banget memaklumi kelakuan gue itu. Alasannya sederhana, karena saat itu gue dianggap masih sangat muda. Itu pula sebabnya, jika sekarang gue melihat tim gue bersikap kekanakan, gue akan coba nasehati sambil coba memaklumi, “Mereka masih muda… Suatu saat juga mereka akan sadar dan belajar dari kesalahannya.”

Si mantan bos ini juga mengajarkan gue soal pentingnya berusaha memahami perasaan tim kita sendiri. Amati dan coba tempatkan diri kita sendiri di posisi mereka. Bukan berarti kita harus berusaha membuat mereka selalu merasa senang, melainkan untuk membantu mereka menyelesaikan masalah mereka di dunia kerja. Saat kita sedang menolong bawahan itu sebetulnya sama saja kita sedang menolong tim, perusahaan, dan juga diri kita sendiri sebagai atasannya!

Selain tiga pelajaran penting itu, masih banyak hal-hal kecil lainnya yang gue palajari dari mantan bos gue itu. Soal memberikan perhatian-perhatian kecil, pentingnya memberikan penghargaan atas kerja keras tim, soal team bonding dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, tiap kali atasan-atasan gue selanjutnya memuji bakat kepemimpinan gue, dalam hati gue akan langsung teringat dengan atasan gue yang satu itu. Meski gue udah enggak kerja bareng dia lagi, segala hal yang dulu gue pelajari dari dia tetap selalu membantu gue di perjalanan karier gue selanjutnya.

Oh ya, tahu apa lagi satu hal penting yang gue pelajari dari dia? Bahwa sekeras apapun kita berusaha, kita tetap tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Kita tetap tidak akan pernah bisa jadi bos kesayangan semua orang. And it’s okay! As long as you’ve done your best, then the rest is none of your business.

Selamat hari Senin dan selamat mencoba untuk jadi atasan yang baik! Don’t be a stupid boss, okay? 😉

Why do We Fall for AADC 2?

Spoiler alert! Jangan baca kalau enggak mau tahu jalan cerita dan ending film-nya!

Belakangan ini gue baru menyadari bahwa sebetulnya, jalan cerita AADC 2 itu tidak ‘ideal’. Sebetulnya, Rangga dan Cinta melakukan hal yang kalau menurut istilahnya Cinta, hal yang ‘jahat’. Coba dipikir lagi… Rangga ngerebut tunangan orang lain dan Cinta selingkuh dari tunangannya. Well, she kissed Rangga first in that movie, didn’t she? Buat gue itu sama aja dengan selingkuh, hehehehe.

Tapi entah kenapa, fakta bahwa mereka berdua melakukan hal yang sifatnya jahat sama sekali tidak mengganggu gue selama nonton film itu. Padahal biasanya, gue paling sebal kalau nonton film tentang orang-orang yang selingkuh. Kesannya kok, seperti membenarkan hal yang salah gitu. Tapi sekali lagi, anehnya, gue tidak merasakan rasa sebal yang sama saat nonton AADC 2.

Kenapa bisa begitu?

Mungkin, tulisan gue setelah ini tidak merepresentasikan pendapat semua orang, tapi jika kamu juga merasakan hal yang sama dengan gue, maka bisa jadi, berikut ini alasannya.

Bisa jadi, kita tidak merasa ada yang salah dengan lanjutan kisah Rangga dan Cinta karena pada dasarnya, kita semua ingin melihat bahwa pada akhirnya, cinta sejati pasti akan bersatu. True love will win, it will always find a way back to each other. 

Kalau meminjam nasehatnya salah satu teman gue, “Jangan sampai elo mutusin buat give up tapi nanti, bertahun-tahun dari sekarang, elo bertanya-tanya sama diri lo sendiri; what if you did it differently? Jangan pernah bikin keputusan yang bikin elo berakhir dengan pertanyaan ‘what if‘ itu.”

Hanya saja kenyataannya, tidak semua orang punya kemampuan atau mungkin kemauan yang cukup keras untuk memperjuangkan true love itu sendiri. Tidak selalu soal mantan pacar yang pernah terlanjur kita tinggalkan, tapi juga semua kesempatan yang pernah kita lewatkan hanya karena kita anggap sebagai ‘mission impossible‘. Itulah sebabnya, saat kita melihat kisah percintaan di layar kaca, kita seolah berkaca pada pengalaman diri sendiri dengan harapan akan melihat ending yang berbeda. Kalau pemikiran gue sendiri, “Di dunia nyata aja hidup gue udah nggak happy ending, masa’ gue nonton film enggak happy ending juga sih?”

Nyaris semua orang yang nonton AADC 2 sudah mengikuti kisahnya Rangga dan Cinta dari film pertamanya. Seolah masih segar di ingatan kita naik-turunnya mereka berdua, betapa cute-nya proses pdkt mereka berdua, sehingga saat melihat merasa nyaris terpisahkan, kita jadi cenderung berpikir, “Seriously? You want to let it go?” Kita jadi melupakan bahwa dalam kisah itu, ada Trias yang tersakiti hatinya 😉

By the way, omong-omong soal Trias, meskipun amit-amit banget sih ya, tapi kalo gue jadi dia, gue akan lebih memilih untuk mengikhlaskan Cinta. Gue malah akan bersyukur Rangga datang kembali di saat yang ‘tepat’. Buat apa married sama seseorang yang hatinya masih ‘milik’ orang lain? Cepat atau lambat, Rangga akan jadi masalah dalam pernikahan mereka anyway. Dan percaya nggak percaya, gue cukup sering menemukan kejadian seperti ini dalam kehidupan nyata.

Dan ya, selain soal cinta segitiga, banyak hal dalam kisah AADC ini sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri.

Jatuh cinta dengan orang yang jauh berbeda dengan kita.

Jatuh cinta dengan orang yang sama sekali tidak terduga.

Kisah cinta yang awalnya tidak ‘direstui’ orang-orang terdekat kita.

Terpaksa pisah atau putus karena keadaan.

Perpisahan tanpa penjelasan.

Waktu yang terbuang hanya untuk bertanya-tanya, “Apa yang salah?”

Dan penyesalan yang datang kemudian.

Segala hal yang sifatnya common itulah yang membuat AADC melekat erat di hati kita. Setidaknya, melekat di hati gue. Dan sekali lagi, kesamaan itu pula yang membuat kita mengidam-idamkan happy ending antara Rangga dan Cinta. Happy ending yang diam-diam, kita harapkan untuk diri kita sendiri.

Dan tahu apa yang bisa kita pelajari dari film AADC? Happy ending itu tidak ditemukan, tapi diusahakan. Fight for someone you love. Give your very best fight, before you give it up.

AADC dan ‘Rangga Syndrome’

Warning! This post contains spoiler! Save this post for later unless you are keen on having some kind of sneak peek here 😉

Jadi ceritanya hari ini gue nonton AADC 2 setelah tertunda satu minggu gara-gara Hong Kong-Macau trip gue. Tadinya gue pikir, asyik juga kalo nontonnya sekalian movie date. Tapi berhubung masih jomblo juga, ya sudahlah, nonton sama teman-teman sekantor juga nggak masalah. Dan bener deh, meskipun kamu suka nonton sendirian, khusus untuk AADC lebih baik cari teman nonton. Secara AADC itu identik dengan cerita percintaan dan persahabatan  kan tuh. Sedih aja kalo jadi berasa udah pacar nggak punya, masa’ teman nonton juga nggak punya? Hehehehe.

Di awal film, gue sibuk menganalisa penampilan Cinta and the gank. Mereka itu kan ceritanya kelahiran tahun ’86, which is seangkatan sama gue, dan sempat terpikir di benak gue, “Well… Gue masih lebih awet muda kalo dibanding sama mereka, hehehehe.”

Semua pemain ceweknya lebih cantik sekarang kalo menurut gue. Paling salut sama Titi Kamal. Masih langsing meskipun anaknya udah lebih dari satu! Lalu untuk si ganteng Rangga… Gue yakin banget Nicholas Saputra sampe diet ketat hanya untuk main film sekuel ini, hehehehe.

Hal selanjutnya yang gue amati sudah tentu akting para pemainnya! Gaya akting yang masih nggak jauh beda dengan AADC 1 belasan tahun yang lalu. Dan entah kenapa, ada beberapa adegan Rangga-Cinta yang bikin gue bergumam, “Ih apaan sih” saking kaku dan jadulnya. Maksud gue, emangnya masih ada ya, orang Jakarta yang ngobrol dengan kosakata dan intonasi seperti itu di tahun 2016 ini? Terlalu kaku, baku, dan nggak enak didengar. Dan satu lagi, saat pertama Rangga muncul di layar, gue langsung cekikikan, “Si Rangga masih galau aja!”

Terlepas dari beberapa adegan kaku yang bikin gue berkerut dahi itu, tetap ada, bahkan lumayan banyak, adegan yang bikin gue senyum-senyum sendiri. Berantemnya Rangga dan Cinta emang selalu bikin gemas! Komentar salah satu teman nobar gue, “Pelajaran dari AADC 2: kalo cewek lagi galak mode: on, jangan langsung dikonfrontasi. Ajak jalan-jalan dulu! Bravo, Rangga!” Dan emang bener, cara Rangga mengatasi amarahnya Cinta udah berhasil bikin hati penonton jadi ikutan lumer, hehehehe.

Selain bikin senyum-senyum sendiri, ada pula adegan romantis dan sedih yang bikin gue merinding. Bener-bener merinding. Kayaknya ini film yang paling banyak bikin gue jadi merinding deh. Tipikal merinding yang bikin gue mempertanyakan keputusan yang baru saja gue ambil untuk love life gue sendiri. Tipikal merinding yang bikin sedih sekaligus bikin kita kangen sama orang yang kita suka. Tipe merinding yang bikin kita kepingin jatuh cinta lagi 😉

Tahu apa lagi yang gue suka dari AADC 2? Lokasi syutingnya! Gue tidak menyangka Yogyakarta bisa tampak seindah itu. Dari sekedar vila tempat Cinta dan teman-temannya menginap saja sudah luar biasa cantiknya! Belum lagi sederetan tempat kencan reuninya Rangga dan Cinta! Aaah… Jadi pengen balik lagi ke Yogyakarta! Tempat gue pertama kali ketemu sama first love gue dulu! 😉

Finally soal jalan cerita. Agak-agak klise sih menurut gue. Nggak sengaja ketemu di Yogya dalam waktu yang bersamaan? Cinta nyaris ketabrak truk dan jadi sadar kalo dia harus ngejar Rangga lagi? Oh, come on! Belum lagi Cinta yang udah nyaris married sama cowok lain itu… Cintapuccino banget nggak siih?

Yang konsisten kerennya apa lagi kalau bukan kisah persahabatannya! Persahabatan sepanjang masa dalam suka dan dalam duka. Nggak gampang dan jarang ada, makanya tadi saat nonton, gue jadi ngerasa beruntung! Gue emang payah buat urusan cinta-cintaan, tapi untuk persahabatan, gue masih beruntung punya beberapa sahabat yang sudah gue kenal belasan tahun lamanya! Tadi saja, gue nonton bareng teman sekantor yang juga sahabat gue dari bangku kuliah dulu!

Pada akhirnya, terlepas dari segala kekurangannya, gue tetap suka banget sama AADC 2. Tetap movie of the year kalo buat gue. It’s simply sweet and heartwarming. Tipe film yang bikin gue kepingin nonton sekali lagi! It’s a must watch, terutama buat generasi ABG di tahun 2000 awal kayak gue ini, hehehehe.

Speaking of AADC 2, film ini bikin gue jadi menyadari sesuatu: entah sejak kapan, gue udah terjebak dalam ‘Rangga syndrome‘. You know… Cowok puitis, tukang galau, misterius, susah ditebak, insecured dan kurang usaha buat ngejar cewek yang dia suka… Bahkan ternyata, selain hobi menulis, ceritanya Rangga itu suka fotografi dan traveling juga! Ya ampuun, deskripsinya mirip banget sama cowok terakhir yang gue sukaaa, uups 😀

Tanpa sengaja gue jadi berpikir… Apa yang bikin cowok seperti Rangga kelihatan menarik? Mari gue ulang: tukang galau, insecured dan kurang usaha buat deketin cewek yang dia suka! Apa menariknya coba? Cowok kok ya mellow banget gitu. Kenapa si Cinta bisa tergila-gila? Dan kenapa begitu banyak cewek Indonesia juga ikut tergila-gila sama si Rangga?

Ah sudahlah, itu toh bukan pertanyaan yang ada jawabannya. Toh si Rangga juga, ujung-ujungnya ada perubahannya. Realitanya pun begitu juga. Kalau Rangga tetap Rangga yang menutup diri dari Cinta, siapa pula yang masih akan jatuh cinta sama pujangga ini? Percuma jago nulis puisi kalau merasa mampu terus hidup sendiri…. Penonton juga pasti bosan kalau sepanjang film isinya tetap kebanyakan Cinta yang sibuk ngejar-ngejar si Rangga kayak film pertamanya dulu itu. If the feelings are mutual, the effort will be equal, remember?

Whatever it is, I would say AADC already had a perfect ending. And that tender kiss in a beautiful place like that… It may make you want to have someone by your side too 😉 Watch it and feel what I feel!

Tapi jangan salahin gue kalo abis itu jadi baper sendiri lho yaa, hehehehe.

Selamat menonton!

Cinderella, The Movie

CinderellaHal pertama yang menarik perhatian gue dari film Cinderella adalah lokasi syutingnya. Rumah tempat tinggal Cinderella saja sudah sangat cantik dan mempesona, apalagi istana tempat tinggal sang pangeran! Kelihatan lebih real dan lebih indah daripada Maleficent yang released tahun lalu. Benar-benar tipikal film yang sangat memanjakan mata kalo menurut gue.

Lalu bagaimana dengan jalan ceritanya?

Well, Cinderella is Cinderella. We all know her life story from the beginning until the end. There’s not much of surprises, yet I like this movie a lot more than the cartoon version.

Hal selanjutnya yang gue sukai, film versi 2015 ini menceritakan sedikit lebih banyak hal tentang sosok ibu tiri. Tentang isi hati dan asal muasal kebencian dia kepada Cinderella. We can see her more as a human in this movie version.

Selanjutnya, gue juga suka dengan bagian ending di mana sang Pangeran (yang sudah naik tahta menjadi Raja) ternyata menyamar sebagai pengawal demi ikut mencari Cinderella ke seluruh penjuru negeri. The idea of a man trying so hard to get the woman he loves always works to make my heart feels warm 😉

Gue juga suka satu scene yang menceritakan Cinderella sudah pernah bertemu satu kali dengan sang Pangeran yang kemudian, pertemuan singkat itu pula yang mendorong the prince charming menggelar pesta dansa yang terbuka untuk seluruh gadis di kerajaannya. Setidaknya, ini masih sedikit lebih masuk akal ketimbang jatuh cinta dan tergila-gila hanya karena satu kali pertemuan di pesta dansa.

Yang terakhir, kepribadian Cinderella di film ini terlihat lebih hidup, lebih menarik, dan juga lebih menyentuh hati. I like it when she looked at her step mother and said, “I forgive you.” Percakapan Cinderella dengan ayah kandungnya, dan juga dengan sang Pangeran sudah memberi bumbu tersendiri untuk fairy tale ini.

Terlepas dari kelebihannya, ada pula beberapa hal yang mengusik gue sepanjang film. Yang pertama soal pinggang Cinderella yang kecil banget! Benar-benar mirip figur boneka Barbie kalo menurut gue. Lalu yang ke dua soal noraknya penampilan kedua saudara tiri Cinderella. Si Ibu tiri, meskipun nyentrik, setidaknya masih terlihat fashionable. Tapi kenapa dua puteri kesayangannya dia biarkan berdandan norak seperti itu?

Cinderella gimanapun tetap bukan the best movie of the year buat gue. Apalagi sebetulnya gue tipikal orang yang suka sinis dengan pola pikir ala fairy tale. Maksud gue, kenyataannya hidup tidak pernah semudah itu. Tapi tetap saja, nonton film ini terasa cukup menghibur buat gue. Lagipula, seperti yang pernah gue dengar di salah satu American TV show, “Everyone, no matter how cynical, wants a happy ending.”

G.I. Joe Retaliation: Big Disappointment for Big Fan

GI Joe RetaliationWarning… this post contains spoiler. Buat kamu yang belum pernah nonton dan nggak ingin tahu bocoran ceritanya, cukup berhenti sampai di paragraf ini.

Pertama kali nonton G.I. Joe pada tahun 2009, gue langsung suka! Sejak nonton film ini pula, gue jadi ngefans sama Channing Tatum dan mulai heboh cari setiap film yang pernah dia bintangi. Nggak heran kalo gue pun jadi menanti-nantikan sekuel action movie yang satu ini.

Gue penasaran… gimana nasib Ana Lewis (Sienna Miller), pacarnya Duke (Channing Tatum) setelah akhirnya berhasil lepas dari cengkraman pasukan Cobra? Gimana kelanjutan persahabatan Duke dengan Rex yang tidak lain saudara kandungnya Ana? Dan akan ada teknologi canggih apa lagi yang dimiliki oleh pasukan G.I. Joe selanjutnya?

Buat kalian yang belum pernah nonton film pertamanya, G.I. Joe: The Rise of Cobra, mungkin akan menilai sekuel film ini keren-keren aja. Adegan action-nya emang tetap seru, terutama yang bagian kejar-kejaran ala ninja antara Snake Eyes dan Jinx versus pengawal-pengawalnya Cobra di tebing-tebing curam. Tapi bagi penggemar G.I. Joe sejak lama yang masih ingat persis jalan cerita film pertamanya, dijamin kecewa saat nonton G.I. Joe Retaliation.

Lupakan rasa penasaran gimana nasib Ana yang sempat disuntikkan nano-mites oleh kakaknya sendiri, karena di film ke dua, Ana tidak muncul sama sekali. Namanya sama sekali tidak disebut, seolah tidak pernah ada tokoh Ana dalam sejarah G.I. Joe. Lupakan pula teknologi super canggih seperti yang banyak kita lihat di film pertama, karena satu-satunya senjata yang paling canggih di G.I. Joe Retaliation hanya senapan yang punya menu touch screen yang sebetulnya, senjata yang mirip-mirip juga sudah pernah ada di film pendulunya. Dan yang paling mengecewakan adalah… tokoh Duke cuma muncul sebentar lalu dibikin mati di medan perang. Mati terkena serangan udara, lalu sosoknya hilang begitu saja. Sama sekali kisah kematian yang tidak berkesan. Orang yang enggak pernah nonton film pertamanya pasti nggak akan menyangka bahwa sebetulnya dan seharusnya, Duke adalah tokoh utama dalam film ini.

Seolah itu semua belum cukup mengecewakan, satu-satunya anggota G.I. Joe yang masih terus eksis dalam sekuelnya hanya tinggal the Snake Eyes saja. Jagoan-jagoan lainnya benar-benar tidak muncul batang hidungnya. Jagoan ceweknya pun berganti tokoh dari Scarlett menjadi Jaye. Tapi untunglah kisah hidup Snake Eyes dan Storm Shadow masih terus dibahas tuntas, kalau tidak, film ini benar-benar sudah kehilangan ‘napas’ G.I. Joe-nya.

Sampai sekarang gue belum dengan desas-desus seputar film ini. Misalnya, kenapa tokoh Duke dihilangkan begitu saja? Atau, kenapa anggota tim inti G.I. Joe-nya dirombak total? Dan kenapa tokoh Ana dan Rex dihilangkan begitu saja? Padahal, konflik antara Duke, Ana, dan Rex merupakan salah satu bumbu cerita yang paling menarik di film pendahulunya.

Terlepas dari hal-hal yang gue anggap mengecewakan dari film ini, sekali lagi, gue tetap mengakui adegan action dalam film ini memang asli seru dan layak tonton. Tidak ada kisah cinta-cintaan dalam film ini – dan bahkan setelah gue pikir-pikir, rasa-rasanya ini film action pertama yang gue tonton yang tidak menampilkan romantic scene sama sekali – tapi hal itu nggak bikin film-nya jadi terasa hambar. Kemudian meskipun tim G.I. Joe tidak lagi bersenjatakan teknologi tingkat tinggi seperti dulu, untuk special effect, sekuelnya ini tetap memanjakan mata penonton. So overall, it’s a fine movie, it’s just disappointing me who has been waiting for years just to see my favorite actor died just like that in this movie.

Dalam hati kecil, gue masih berharap, kekecewaan ini akan terbayar di film ke tiga. Mungkin sebenarnya, Duke masih hidup, dan nanti masih akan ada kelanjutan kisah Duke dan Ana juga. Soalnya to be honest… gue enggak ngefans sama jagoan-jagoan G.I. Joe yang baru, dan kalo buat gue. nonton film tanpa ada aktor favorit yang bermain di dalamnya itu ibarat makan sayur tanpa garam, hehehehe.

Perfect Ending in Breaking Dawn Part II

Biasanya, gue enggak gitu ngefans sama serial Twilight. Gue emang baca habis semua bukunya, dan selalu nonton film-filmnya, tapi ya udah, cuma sekedar gitu aja. Bukan tipe orang yang baca bukunya dan nonton filmnya sampe berkali-kali. Malah sebenernya, gue termasuk tipe orang yang suka mencela berbagai keganjilan dalam serial ini. Soal keberadaan vampir aja gue udah nggak percaya, apalagi vampir vegetarian yang bisa menghamili manusia biasa? Come on…

Terlepas dari kesinisan gue sama serial ini, gue akui, gue sudah merasakan chemistry yang sedikit berbeda saat menyaksikan official trailer-nya Breaking Dawn Part II. Trailer-nya itu keren, menyentuh hati, dan bikin gue jadi penasaran pengen cepet nonton filmnya.

Akhirnya Sabtu kemarin, gue dan adek gue nonton Breaking Dawn Part II di Mall Taman Anggrek. Bagaimana jalan ceritanya?

Kalo menurut adek gue yang mengaku Twilight big fan itu, terdapat beberapa perbedaan detail antara film dengan novelnya. Tapi kalo menurut gue… ada beberapa hal yang sudah sesuai dengan imajinasi gue saat membaca novelnya. Misalnya, rumah yang dihadiahkan untuk Edward dan Bella. The house is as beautiful as I imagined. Tidak semewah rumahnya Carlisle, tapi tetap terlihat klasik, manis, dan bikin iri! Kemudian soal kemarahan Bella saat tahu Jacob mengalami imprint dengan Renesmee (anaknya Bella dan Edward), itu juga mirip-mirip dengan apa yang gue bayangkan.

Jadi kalo menurut gue, film ini berhasil mewujudkan imjinasi para pembaca novel pada umumnya. Malah lebih dari itu, versi film menampilkan humor yang berhasil mengundang tawa para penonton. Thumbs up buat para pemain yang bisa menampilkan kelucuan itu hanya dengan gerak tubuh, mimik wajah, dan intonasi yang tepat. I just cannot remember whether I have ever laughed while reading the books, so I think this is a plus point for the movie.

Soal jalan cerita, sebetulnya tidak ada yang berbeda, kecuali satu kejutan besar saat pertarungan antara tim Edward dengan Volturi. Dari yang awalnya gue sempat berpikir, “Gilaaa… filmnya kok jadi nyebelin gini sih? Nyesel gue udah bela-belain ngantri tiket hampir 2 jam, dalam keadaan baru sembuh sakit pula!” Tapi ketika film itu tinggal sedikit lagi berakhir, gue malah langsung berubah pendapat, “This is the coolest Twilight movie ever! Malah, masih lebih bagus filmnya daripada bukunya!”

Soal detail cerita, gue enggak mau ngebocorin. Satu hal yang gue berani bilang, kali ini, film ini juga akan disukai oleh penonton cowok. Biasanya kan cowok-cowok suka ngeluh filmnya Twilight itu more romance but less action tuh. Tapi kalo kali ini, adegan action-nya terbilang seru, mendebarkan, dan sangat-sangat menguras emosi penonton. I never thought this movie would be as cool as this. Malah kalo menurut gue, masih lebih seru Breaking Dawn Part II daripada Skyfall…

Oh ya, satu hal yang selalu gue sukai dari Twilight adalah kisah persahabatan antara werewolf dengan vampire meskipun sebenarnya, golongan mereka itu sudah saling bermusuhan sejak jaman dahulu kala. Terharu rasanya saat melihat gerombolan serigala melangkah masuk ke lapangan untuk melengkapi tim Edward saat mereka hendak menghadapi Volturi. Lebih terharu lagi ketika akhirnya, mulai ada satu serigala yang berhasil dibunuh oleh tim lawan… Sedih banget rasanya saat layar menunjukkan kesedihan di kedua bola mata serigala yang terbunuh itu… Belum lagi lolongan pilu dari kawanan serigala lainnya saat melihat kawanan mereka terkapar tidak berdaya.

Yang terakhir ingin gue komentari adalah soal pemilihan pemainnya. Renesmee saat masih bayi terlihat cukup menggemaskan, tapi masih lebih lucu lagi si bayi immortal yang kemudian dibakar hidup-hidup oleh Volturi. Kemudian pada saat pertarungan itu terjadi, kalo menurut gue, pemeran Renesmee harusnya sedikit lebih muda daripada itu. Tapi kalo aktingnya sih udah cukup ok lah buat ukuran aktris cilik.

Finally, Breaking Dawn mengakhiri kisahnya dengan manis, dan ditutup dengan credit title yang menampilkan foto-foto seluruh pemain film dari mulai Twilight sampai Breaking Dawn. Para penonton pun terlihat meninggalkan bioskop dengan wajah puas, film yang sudah lama dinanti-nantikan menyajikan ending yang terbilang sempurna.

Gue pernah membaca komentar seorang pengamat film lokal. Katanya, untuk menjadi film yang berkesan, cukup berikan pembukaan yang bikin penasaran, dan penutupan yang tidak terlupakan. Jadi sekali lagi, terlepas dari semua kesinisan gue sama serial ini, gue akui, versi filmnya udah berhasil menyajikan ending yang tidak terlupakan. Berhasil memunculkan perasaan romantis dalam hati penontonnya, sekaligus memunculkan harapan kecil bahwa mungkin, loving someone for forever does still exist.

Loyalitas Kepada Atasan ala Skyfall

Menurut gue, big theme dari Skyfall adalah soal menguji loyalitas James Bond terhadap atasannya yang biasa disapa M. M yang memerintahkan anak buahnya untuk menembak musuh meskipun saat itu sang musuh sedang berduel dengan Bond di atas kereta yang melaju cepat sehingga beresiko salah sasaran, dan M yang berbohong agar dapat menerjunkan Bond kembali ke lapangan meskipun sebetulnya, menurut hasil tes mental dan fisik menyatakan Bond tidak lagi layak untuk bertugas. Ditambah lagi, ada hasutan dari mantan anak buah M tentang betapa tidak berperasaannya M kepada dia di waktu yang lalu. Jika kita yang menjadi James Bond, masihkah kita percaya, mau bekerja untuknya, bahkan masih mau mati-matian berusaha untuk melindungi nyawa M?

Jalan cerita Skyfall menurut gue terbilang sederhana. Tidak banyak unsur teka-teki dan tidak ada kejutan di akhir cerita seperti film action papan atas pada umumnya. Soal adegan laganya pun menurut gue standar-standar aja. Berkejaran dengan musuh menggunakan motor dan mobil sampai bikin keadaan kota panik dan kacau berantakan, berkelahi di atas kereta yang sedang melaju, memanfaatkan tabung gas untuk menciptakan ledakan, atau menembak permukaan danau yang membeku untuk mengalahkan musuh. Semua orang yang hobi nonton film pasti pernah melihat adegan sejenis di berbagai judul film lainnya.

Soal special effect juga nothing new lah ya. Udah sering disuguhi special effect yang wow dalam film-film masa kini, terutama film yang mempunyai versi 3D, membuat special effect di Skyfall jadi terlihat biasa-biasa saja. Tapi soal ide ada pistol yang hanya bisa dipakai oleh pemiliknya sounds like a good one sih. Rasanya udah bosen lihat adegan laga di mana pistol yang terlepas dari tangan sang jagoan malah berhasil direbut oleh sang musuh.

Selain beberapa kekurangan yang gue sebutkan di atas, tetap ada satu kelebihan yang nyaris selalu menjadi ciri khas film-film James Bond: menampilkan pemandangan yang spektakuler. Shanghai, Macau, dan Scotlandia tampak sangat menawan di film ini. Shanghai dengan gedung-gedung pencakar langitnya, Macau dengan keunikan kasinonya, dan Scotlandia dengan pemandangan alamnya… Bener-bener bikin pengen dateng ke sana! Bahkan Macau yang sudah pernah gue kunjungi pun terihat jauh lebih cantik di film ini.

Saat nonton Skyfall, dalam hati gue berpikir… Kalo gue jadi meneteri pariwisata Indonesia, gue bakal ngelobi PH film-film Hollywood sekelas James Bond supaya mau syuting di Indonesia. Let’s say, di Raja Ampat yang mempunyai pemandangan atas dan bawah laut yang luar biasa indah. Masih ingat salah satu pulau di Pha Nga Bay Phuket, Thailand yang kini ramai dikunjungi turis dan lebih dikenal dengan James Bond Island? Film James Bond yang berjudul The Man with the Golden Gun pernah syuting di tempat itu pada tahun 1974. Sudah lewat puluhan tahun… tetapi pulau itu tetap jadi salah satu top destination di Phuket.

Pada akhirnya, meskipun jalan cerita terbilang sederhana dan special effect tidak tampak luar biasa, Skyfall tetap salah satu film yang tergolong must watch di tahun ini. Bond Girl yang sangat cantik dan seksi, akting pemeran Silva (si penjahat) yang sangat all out, nice soundtrack, pemandangan kota dan alam yang sangat spektakuler, ending yang cukup menyentuh, dan moral lesson yang bisa kita dapatkan setelah nonton film ini.

Bicara soal moral lesson dalam Skyfall kembali lagi bicara soal loyalitas terhadap atasan. Gue pernah merasakan sendiri betapa sulitnya untuk tetap mempercayai atasan setelah mendengar berbagai sisi negatif tentang diri si bos yang beberapa di antaranya merupakan fakta, dan bukan sekedar isapan jempol belaka. Tidak peduli betapa baiknya si bos selama ini, tetap akan terasa sulit untuk kita tetap mempertahankan loyalitas pada saat-saat buruk seperti itu. Akan tetapi yang tidak kalah sulitnya bukan hanya mempertahankan loyalitas terhadap atasan di saat-sata terburuknya, melainkan juga bagaimana caranya agar kita bisa menjadi atasan yang dapat dipercayai sepenuhnya oleh anak buah kita?

Sebagai atasan, gue selalu berusaha untuk menjaga performance dan credibility gue dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, di luar itu gue berharap anak-anak buah gue pun akan selalu berusaha untuk percaya sama gue, tidak mudah terpengaruh oleh gosip-gosip yang beredar, dan selalu mencoba untuk melihat alasan kenapa gue melakukan sesuatu yang tampaknya tidak ideal itu? M was so lucky to have an agent like James Bond, and I wish I could be as luck as she was 🙂