Etika Baru dalam Bersosial Media: Jangan Suka Main Hakim Sendiri

Akhir-akhir ini, semakin gencar bermunculan opini bahwa social media, khususnya Instagram, dipenuhi dengan kepalsuan. Sampai muncul teori (yang bahkan diperkuat oleh opini psikolog) soal pasangan yang tampak mesra di social media adalah pasangan yang aslinya tidak harmonis.

Saya tidak menutup mata bahwa kepalsuan itu memang benar ada, tapi saya yakin tidak semuanya. Pasangan yang hanya saling memeluk saat sedang difoto hanya untuk keperluan pencitraandi social media juga memang benar ada, tapi tetap bukan berarti semua pasangan yang tampak mesra itu sedang berpura-pura. Saya sendiri, dan beberapa beberapa orang yang saya kenal baik sama sekali tidak suka memajang kehidupan palsu di social media yang kami miliki sehingga tidak adil jika kepalsuan itu dipukul rata kepada semua pengguna social media.

Saat saya menulis caption soal saya yang sedang merasa bahagia, maka saya betulan sedang merasa bahagia saat menulis caption tersebut. Lalu apakah saya juga pernah menulis caption sedih di saat sedang sedih? Pernah, tapi tidak sering. Menulis soal perjuangan saya sembuh dari depresi pun pernah saya lakukan. Jadi apapun yang saya tulis memang benar demikian adanya.

Lalu bagaimana dengan foto yang saya upload? Kenapa saya hanya upload foto-foto di saat saya sedang tersenyum lebar?

Sederhana saja sih jawabannya: masa’ iya saya mau upload foto saya setelah menangis tersedu-sedu? Hidung merah, mata bengkak dan berair, make-up luntur ke mana-mana… Buat apa saya pamer foto wajah saya yang sedang jelek-jeleknya?

Saya hanya upload foto saat sedang merasa senang bukan berarti saya berpura-pura hidup saya selalu senang. Saya hanya memilih untuk tidak banyak membagikan kesedihan atau musibah yang sifatnya sangat personal.

Beberapa sahabat saya pernah bilang bahwa mereka bisa menebak kondisi mood saya hanya dari Instagram posts saya saja. Saat sedih, saya jadi lebih sering repost kalimat-kalimat motivasi. Caption yang saya tulis juga isinya seperti tengah menyemangati diri saya sendiri. Atau kalau sedang kelewatan sedihnya, saya bisa berhari-hari absen dari social media. Frekuensi saya posting akan turun drastis selama mourning period saya itu.

Kesimpulannya: saya bukan orang yang suka memalsukan hidup saya di social media dan saya yakin di luar sana pun masih banyak orang lain yang seperti saya. Jadi jelas tidak bisa disimpulkan bahwa semua isi socmed itu sudah pasti palsu.

Nah, masalah selanjutnya: bagaimana cara membedakan akun yang senang memalsukan kehidupannya dengan akun yang apa adanya?

Jawaban saya: memangnya buat apa sih, kita ingin jadi “hakim” yang menilai kehidupan orang lain? Apa manfaatnya main hakim sendiri seperti itu? Dan kalau benar isi social media orang lain itu penuh dengan kepalsuan, apa ruginya buat kita?

Masalahnya begini… bisa jadi, hanya orang yang bersangkutan dan Tuhan saja yang tahu autentik atau tidaknya isi social media mereka. Sudah repot-repot jadi hakim juga belum tentu dapat jawaban yang akurat. Kemudian itu tadi… kalaupun kita bisa dapat jawaban akurat, apa untungnya buat kita?

Saya pribadi lebih memilih untuk berpikiran positif tentang konten teman-teman saya.

Pasangan yang tampak mesra di socmed saya lihat sebagai “harapan” bahwa suatu saat, saya juga akan bisa mendapatkan pasangan saya sendiri. Saya tidak repot-repot berpikiran bahwa jangan-jangan kemesraan itu hanyalah topeng. Saya justru berharap mereka betulan bahagia dengan pasangannya itu.

Saya juga tidak pernah repot-repot berpikiran orang yang malah sering upload foto saat dia sedang pergi berlibur adalah orang yang tidak menikmati perjalanannya itu. Saya paham betul bahwa upload foto adalah salah satu cara mereka untuk menikmati perjalanan itu sendiri. Lagipula bisa saja dia upload foto-foto itu saat sedang duduk dalam perjalanan menggunakan mobil atau bis selama berjam-jam lamanya. Di saat orang lain tidur, dia upload foto ke social media. Bisa saja kan?

Lalu bagaimana dengan orang yang senang upload foto makanan di social media? Saya malah senang melihatnya. Kadang saya jadi dapat ide selanjutnya mau makan apa dan di mana. Lagipula sebetulnya, upload foto makanan enak itu bisa membantu rezeki penjual makanannya lho.

Saat ada teman yang gemar upload jam tangan atas tas mewah pun buat saya tidak ada salahnya. Saya tidak pernah menghakimi mereka sebagai tukang pamer. Lagipula coba deh, dipikir begini. Masih kah kita anggap mereka sedang pamer jika mereka hanya upload foto tas seharga lima puluh ribu rupiah? Nah masalahnya, bagaimana jika mereka memang hanya punya tas yang paling murah seharga lima puluh juta? Mereka jadi sama sekali enggak boleh upload foto tas ke social media begitu? Is that even fair to them?

Sudah waktunya kita berhenti main hakim sendiri apalagi jika kita sampai menyebarkan asumsi yang tidak berdasar itu kepada orang lain. Selama isi konten teman kita tidak merugikan orang lain dan tidak melanggar ketentuan masing-masing platform, maka biarkan saja mereka posting apapun yang mereka sukai. Jika kita tetap tidak suka melihatnya, kita selalu bisa hide atau menyembunyikan konten mereka dari timeline kita (semua popular socmed mempunyai fitur ini). Tidak perlu membuang waktu kita sendiri untuk berpikiran negatif tentang hidup orang lain.

Ingat kembali satu hal: social media itu seharusnya menyenangkan sekaligus mempererat silaturahmi, bukan sebaliknya.

Nah, mumpung sedang musim liburan, coba dinonaktifkan julid mode-nya 😉 Daripada pusing memikirkan liburan orang lain, kenapa tidak menikmati hari libur kita sendiri?

Have fun and happy holiday!

Leave a comment