Saya Juga Terkena Dampak dari Corona… dan Ini Cara Saya Mengatasinya

Desember 2019, saya putuskan untuk resign dari Gopay. Saya ingin fokus membesarkan The Lens Story, start-up yang saya dirikan sejak tahun 2017, sekaligus menyelesaikan buku pertama yang kemudian saya beri judul The Little Handbook for Big Career. Saya juga berencana menerima lebih banyak undangan sebagai speaker setelah resign dari Gopay. Terikat sebagai karyawan telah sangat membatasi aktivitas saya sebagai speaker. Jika saya tampil membawa nama perusahaan, saya harus mendapatkan ijin dari atasan dan tim Public Relation. Padatnya pekerjaan di kantor juga membuat saya tidak bisa menerima semua undangan untuk menjadi pembicara. Dalam bayangan saya saat itu, saya bisa menerima undangan sebagai speaker kapan saja dan di mana saja (tidak terbatas di Jabodetabek), jika saya sudah resign dari Gopay.

Setelah resign, saya fokus menulis buku selama 3 bulan. Semua undangan sebagai speaker saya tunda hingga bulan April. Selesai menulis buku, saya juga sudah sempat meeting dengan Gramedia untuk jual buku di toko mereka. Saya optimis sekali buku saya bisa masuk ke rak “best seller” di Gramedia hanya dalam hitungan bulan. Salah satu penulis di penerbit besar pernah bilang ke saya bahwa di Indonesia ini, bisa jual 1.000 eksemplar saja sudah masuk kategori “best seller” di toko buku. Saat itu saya berpikir, 1.000 eksemplar bukan angka yang mustahil. Lagipula toh, minimum order untuk naik cetak memang 1.000 eksemplar. Saya bisa saja cari percetakan lain yang bersedia cetak kurang dari 1.000 tapi biaya produksi bukunya akan naik hampir dua kali lipat. Jadi mau tidak mau, saya harus berani cetak langsung 1.000 buku.

Saya juga sudah menyiapkan banyak rencana kerja untuk The Lens Story di tahun 2020 ini. Salah satunya, ingin ikut wedding fair. Saya juga sudah siapkan konsep untuk kerja sama bareng artis atau selebgram di Indonesia. Saya optimis penjualan The Lens Story dapat meningkat tajam setelah saya tidak lagi bekerja sebagai karyawan.

Semua rencana sudah tersusun rapih. Saya bukan tipe orang yang nekad meninggalkan a very good job tanpa ada rencana yang solid. Semuanya sudah saya siapkan masak-masak mulai dari rencana bisnis hingga modal usaha untuk mendanai semua rencana itu. Saya sangat bersemangat menyambut hidup baru saya sebagai penulis, pembicara, dan pengusaha penuh waktu di tahun 2020.

Tapi lalu di bulan Maret 2020, COVID-19 mulai masuk ke Indonesia. Saya mulai ragu untuk mencetak 1.000 buku sekaligus. Bagaimana jika saya sudah cetak 1.000 buku tapi lalu pembelinya hanya sedikit? Namun demi menjaga agar harga jual buku saya tetap terjangkau, saya malah nekad mencetak 3.000 buku sekaligus dengan harapan akan dapat terjual setelah wabah ini berakhir.

Kemudian di bulan April, PSBB diberlakukan. Shopping malls mulai ditutup. Menjual buku melalui toko buku offline bukan lagi pilihan yang tepat. Saat nanti mall sudah kembali buka pun, saya tidak yakin akan langsung seramai tahun lalu. Kemudian karena trend WFH, lima undangan sebagai speaker di bulan April dan Mei batal semua. Sales The Lens Story juga anjlok sampai 100%. Semua rencana yang sudah saya susun rapih tidak bisa saya wujudkan di H1 2020 ini. Atau bisa juga, tidak akan bisa saya wujudkan sampai akhir tahun ini.

Saya tentu kecewa, tapi tidak lama-lama.

Offline events batal, saya ganti jadi webinar. Kadang free webinar, kadang paid webinar. Berkat serangkaian webinar itu, saya mendapat kesempatan untuk membuat video training yang nantinya dapat dibeli menggunakan kartu prakerja.

Kemudian untuk buku, tidak jadi jual buku di Gramedia, saya jual di Tokopedia dan Shopee. Yang tidak saya sangka, Alhamdulillah, saya berhasil mencapai angka penjualan 1.000 eksemplar hanya dalam waktu 3 bulan saja.

Untuk The Lens Story yang sepi order, saya gunakan peluang itu untuk mengembangkan website. Saya gunakan dana darurat untuk mempercantik website. Harapan saya, website sudah ready untuk support begitu banyak business plan saya setelah wabah ini berakhir.

Kejadian ini membuat saya mempelajari 3 hal penting:

  1. Pentingnya dana darurat untuk perusahaan;
  2. Pentingnya punya lebih dari satu sumber penghasilan; dan
  3. Pentinganya kemampuan beradaptasi dalam waktu singkat.

Mungkin iya, penghasilan saya akan lebih besar jika tidak ada Corona, tapi saya tidak mau berpikir seperti itu. Saya juga tidak pernah berpikiran tidak seharusnya saya resign dari Gopay. Saya tidak menyesal karena di tahun ini, saya dipertemukan dengan orang-orang luar biasa yang membantu saya memasarkan The Little Handbook for Big Career. Mereka menawarkan bantuan mulai dari book editing, membuatkan promotional video, hingga menyelenggarkan online events untuk mempromosikan buku saya. Semuanya tidak meminta fee, mereka bilang mereka merasa terdorong untuk membantu saya memberikan manfaat melalui buku yang saya tulis itu. Mengenal mereka telah menjadi pengalaman yang tidak terlupakan buat saya.

Kemudian bagian terbaik dari tahun ini adalah book review yang saya dapatkan dari para pembaca. Senang sekali saat mengetahui betapa buku saya telah memberikan manfaat dan pola pikir baru untuk para pembacanya. Banyak pembaca yang bilang, “Andai buku ini terbit sejak dulu, karier saya sekarang pasti akan lebih baik lagi.”

Mendengar itu semua membuat saya meyakini bahwa saya sudah memilih jalan karier yang terbaik untuk diri saya di tahun ini. Tentu bukan perjuangan yang mudah terlebih lagi untuk saya yang terbiasa menerima pemasukan tetap selama 11 tahun bekerja sebagai karyawan. Memang tidak mudah, tapi saya sangat mensyukurinya. Terlebih lagi selama tiga bulan belakangan ini, saya mendapatkan kemewahan yang tidak pernah saya dapatkan selama 11 tahun terakhir: tidur minimal 8 jam tiap harinya.

Hingga sekarang pun saya masih fokus memikirkan rencana-rencana karier saya ke depannya. Mulai dari strategi bisnis The Lens Story sampai rencana pemasaran buku saya. Memang penuh dengan ketidakpastian, tapi saya lebih memilih untuk tetap optimis menjalaninya. Bersikap pesimis hanya membuat saya semakin stres. Risiko bisnis hanya perlu masuk ke dalam mitigation plan saya saja, tidak perlu sampai masuk berlarut-larut ke dalam pikiran saya juga. Terlalu banyak pikiran hanya membuat saya tidak fokus kepada hal-hal yang jauh lebih penting.

Corona ini datang tanpa diundang. Tidak ada satu pun pengusaha yang memperkirakan hal ini akan terjadi. Tidak ada orang yang memasukkan “damage cost” karena Corona ke dalam budget dan annual business plan mereka. Tapi ya mau bagaimana lagi? Saya tidak bisa menyalahkan virus yang bahkan tidak bisa saya lihat dengan mata telanjang. Jadi daripada terus bersungut-sungut, lebih baik saya tanyakan pada diri sendiri, “What should I do next? Let’s bring it on!”

Confession of a Workaholic

Hari ini, gue cerita ke salah satu teammate di kantor soal obrolan gue dengan dokter internis tadi malam.

Dokter: Sering telat makan?

Gue: Sering.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja.

Dokter: Sering stres?

Gue: Sering.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja.

Dokter: Istirahat cukup?

Gue: Enggak. Tidur sehari kira-kira cuma 5 jam aja.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja juga.

Mendengar cerita itu, teman gue tertawa kecil. Dia lalu bilang, “Ini persis yang waktu itu elo ceritain, Mbak. Problem elo besar, tapi happiness lo juga besar.”

Gue mengerutkan dahi. “Oh? Gue pernah bilang begitu ke elo ya?”

Teman gue mengangguk. “Iya. Waktu itu elo bilang, problem score elo 9 dari 10, tapi happiness score elo juga 9 dari 10.”

Gue tersenyum dalam hati. Memang persis itu yang gue bilang ke dia beberapa bulan yang lalu. Dan persis seperti itu pula yang gue rasakan selama 10 tahun belakangan ini. Selama 10 tahun; sejak gue mulai meniti karier gue.

Banyak orang yang mengasihani workaholic seperti gue. Nggak punya kehidupan di luar dinding kantor, katanya. Sering lembur, kerja sampai sakit-sakitan, masih jomblo pula! Tapi sejujurnya, gue enggak merasa perlu dikasihani. Karier gue telah memberikan gue begitu banyak hal yang tidak pernah gue dapatkan sebelumnya.

Apa saja?

Yang pertama, teman-teman terbaik sepanjang masa. Teman yang datang menjenguk ke kosan saat gue tengah sakit sambil membawakan DVD kesukaan, teman yang mengirimkan hadiah ke kantor baru gue untuk merayakan pertemanan kita yang sudah menginjak 7 tahun lamanya, dan teman-teman yang ikut sedih saat gue sedih, ikut bahagia saat gue bahagia. Tidak pernah ada teman-teman yang begitu menginginkan happy ending buat gue melebihi teman-teman yang gue temui di dunia kerja.

Masih ada juga bos-bos yang luar biasa. Bos yang percaya pada kemampuan gue di saat gue berpikir gue bukan siapa-siapa. Bos yang memberikan lebih dari yang kiranya berhak gue dapatkan. Bos yang memperhatikan wellbeing gue sampai ke hal yang paling kecil sekecil-kecilnya. Bos yang membuat gue merasa sudah menjadi pribadi yang utuh, yang membuat gue pelan-pelan mulai menyadari value dalam diri gue sendiri. Bos luar biasa yang tanpa mereka, gue mungkin bukan siapa-siapa.

Kemudian ilmu dan pengalaman yang membuat gue merasa “kaya raya”. Gue seringkali merasa telah belajar lebih banyak di dunia kerja ketimbang belajar di bangku sekolah sampai kuliah dulu. Senang banget rasanya jika gue bisa membagi ilmu gue ini kepada orang lain (seperti yang tadi gue bilang; gue jadi merasa kaya raya!). Dan pengalaman seperti itu tuh rasanya sangat menyenangkan! Gue enggak akan pernah merasakan betapa fulfilling-nya perasaan bahwa gue ini bisa berguna buat orang lain jika bukan karena pekerjaan gue 10 tahun belakangan ini.

Dan yang terakhir, karier gue ini juga yang kemudian mewujudkan mimpi-mimpi gue yang lainnya. Mulai dari lihat bunga sakura di Jepang, menginap di cave house di Santorini, sampai masuk ke dalam ice cave dan melihat aurora di Iceland. Jangankan itu semua deh. Sekedar tempat tinggal yang nyaman saja gue sudah sangat bersyukur! Gue juga masih bisa beli baju, tas, sepatu, dan apapun yang dulu cuma bisa gue lihat di halaman majalah saja.

Di balik segala hal yang menyenangkan dari karier gue ini, perjuangannya memang tidak mudah. Makin ke sini, pekerjaan gue terasa makin sulit dan banyak rintangannya. Semakin susah untuk sekedar bisa tidur nyenyak dan makan tepat waktu. Bukan sesuatu yang gue banggakan, tapi juga bukan sesuatu yang gue sesali.

My life is hard, my job is hard, but I’ve been having a lot of fun along my way.

Kalaupun gue bisa memutar balik waktu, gue tidak akan mengubah pilihan karier gue. Gue akan tetap memulai karier di Accurate walaupun itu bikin skripsi gue hanya bisa selesai “ala kadarnya”. Gue akan tetap memilih EY yang terkenal dengan jam lemburnya (pekerjaan yang kemudian memberikan gue penyakit lambung). Gue akan tetap memilih Niro, Lazada, dan Go-jek Group lengkap dengan segala suka-dukanya. Memang sulit dan terkadang menguras air mata, tapi gue sangat mensyukurinya! Entah apa jadinya jalan hidup gue tanpa rentetan pekerjaan gue itu…

I am not who I am without my long nights at work… and I have nothing to regret. And that my friend… a confession of a workaholic.

If I Were Born Rich…

All these hypes about Crazy Rich Asian leads me to wonder… what if I were born rich? What if my parents could afford a fancy school abroad? What if I had a family business to inherit? And what if I grew up with many crazy rich Indonesians all my life?

When I was kid, I was a very lazy kid. I often got bad scores at school and I secretly hid my test results underneath the clothes in my closet. What even worse, I often went early to school just to copy my smart friends’ homeworks! No wonder if my parents were very upset with me back then. Not to mention I was also very lazy at home too. I hated doing dishes, cleaning up my room and all those domestic stuffs at home. My Mom often told me when she was angry, “You should grow up as a rich person, you know! Otherwise, you won’t be able to hire a helper to clean your room!”

It all changed little by little when I entered high school. I started to make a solid plan for my future (otherwise, as my Mom said, I would not survive my own miserable life!). And then in the college, I studied very hard and I managed to graduate with a very decent GPA. I started my career a few months before graduation and it went so well I couldn’t be more thankful for all achievements I’ve earned by far. Life has been great in the past one decade and I can tell that I’m one of the happiest persons I know.

Question now: would I be as accomplished and happy as I am right now if only I were born rich many years ago?

I honestly doubt that I could be the same person as I am right now if my parents were crazy rich. Why? It’s simply because I was born lazy!

Wanting to have a decent life, comfort bed to sleep, see the world, and wear a nice outfit was my greatest motivation in the first place. The only reason why I started to fight my laziness was to get myself the comfortable life I always wanted. That would never be the same if I already had all those privileges since I was a baby! I wonder what would be my life motivation after all.

It’s a lie if I tell you that I don’t envy what I saw in Crazy Rich Asian movie, but still, that movie doesn’t change the fact that I am grateful for not being born in a rich family. Telling people how I started my career from the scratch has always been my most favorite stories to tell! I’m not ashamed to tell people how poor I once was and how I worked day and night to turn my life to be a better place to live in. All those prides and satisfactions would never exist if only I were born rich 31 years ago.

Be thankful of who we are. We are who we are for a reason, and we are the only person who can make the most of out life path. It doesn’t matter to me how I was born, but it’s very important to me how I live my life, right now, as a grown up.

I hope… I really really hope… I can keep making myself feel proud of myself until the day I die, someday.

It’s NOT My Job to Be a Likable Boss at Work

A few days ago, I read an article about tips and tricks to be liked by subordinates at work and I asked myself, “Is it really important to be liked by everyone in my team?”

The way I see it, I was not hired to be their friends and to be liked or loved by each and everyone of them. It’s never been my job to be a likable boss in the office.

My job is to train them, to pass them the knowledge I’ve learned in the past 10 years.

My job is to develop the next generation of leaders at work, to build a solid and strong legacy in the Company.

My job is to support them and to stand up for them when they are wronged. They should never feel alone in their battles at work.

My job is to coach them and to let them know the mistakes they did so that they will be able to learn from those mistakes (it might make them hate me, but again, it’s not my job to make them like me).

And finally, my job is to make sure that they are well appreciated for their hard works and contributions. It’s not their job to ask for promotion, bonus, or salary adjustment that they deserve, it’s mine.

If somebody in my team hates me for doing the right thing, if they forget all the good things I’ve done for them just because I fail to entertain them, then it’s not me, it’s them. It might not come out pretty in the hard times, but sometimes, desperate times call for desperate measures. Even with all those pressures and angers I throw, I’m just doing my job. And that is exactly my main job as a leader: lead my team to get the job done. And that’s that.

There Might Be a Little Truth Behind The Office Rumors

Sebagai orang yang sering dijadikan bahan gosip di kantor manapun gue pernah bekerja 7 tahun belakangan ini, gue lebih memilih untuk bersikap netral saat mendengar gosip yang beredar di dunia kerja. Reaksi gue hanya, “Oh ya?” atau “Ooh…” atau “I see.”

Gue tidak mau langsung percaya dengan apa yang gue dengar karena biasanya, segala ucapan yang hanya berani diucapkan di belakang orang yang bersangkutan tidak terjamin kebenarannya. Bisa jadi dilebih-lebihkan, bisa jadi 100% fitnah, bisa juga hanya sekedar ujaran kebencian yang didasari rasa iri dan dengki saja.

Sepintas memang tidak ada yang salah dari cara berpikir gue itu, sampai suatu hari, gue kena batunya. Tiga kali berturut-turut pula! Orang yang tetap gue percaya terlepas dari segala gosip miring yang menimpa mereka ternyata benar serigala berbulu domba.

It’s scary, isn’t it?

Niatnya ingin berprasangka baik, eh, yang ada malah gue yang kena getahnya!

Sejak itu, tiap kali mendengar gosip kantor, gue tidak lagi langsung menganggap gosip itu sebagai angin lalu. Sikap gue di awal tetap netral, tapi kabar yang beredar itu akan gue jadikan input untuk menghadapi orang yang bersangkutan. Gue tetap tidak akan membiarkan pendapat orang lain langsung menjadi pendapat gue pribadi tanpa disaring dan divalidasi terlebih dulu, tapi setidaknya, gue harus bersikap waspada. Hal ini penting terutama jika kita duduk di kursi pimpinan di kantor kita masing-masing. Kerusakan yang ditimbulkan satu saja bad employee betul-betul bisa merusak performa tim secara keseluruhan. Jika gosipnya bersifat pribadi, soal orang yang suka ganti-ganti pacar misalnya, selama hal itu tidak menganggu performa dia di dunia kerja, itu bisa kita abaikan saja. Tapi jika gosipnya sudah berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, maka sudah sepatutnya kita bersikap waspada. Gosip kantor pun, jika kita “manfaatkan” dengan cara yang benar, bisa membantu kita untuk mengelola perusahaan dengan lebih baik.

Sometimes, gossip is the way this universe warn you to stay alert because the chances are, there is a little truth behind every rumor we heard.

Jack Ma dan Rencana Pensiunnya

Hampir dua tahun yang lalu, gue pernah mengkuti townhall meeting dengan Jack Ma di kantor Lazada Singapura. Jack Ma yang perawakannya kecil tetapi bisa menyihir begitu banyak orang hanya dengan kharismanya saja. Saat Jack Ma mulai bicara, ruangan yang tadinya sangat riuh langsung berubah menjadi sunyi senyap. Bule-bule Eropa dan Amerika yang bekerja di Lazada pun tampak sangat menganggumi dan menaruh respect kepada sosok Jack Ma.

Mendengar Jack Ma berbicara langsung di depan gue sudah jadi pengalaman yang tidak terlupakan buat gue. Apalagi waktu itu, gue diberikan front seat oleh kantor dan juga diberikan kepercayaan untuk menjadi satu dari lima orang yang diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan kepada Jack Ma dan timnya. Baru sekali itu saja, gue merasa luar biasa gugup hanya karena mengajukan satu pertanyaan ke orang lain!

Jack Ma ini sudah menjadi salah satu role model gue khususnya dalam kapasitas gue sebagai pengusaha kecil-kecilan. Jack Ma memberikan harapan bahwa siapapun bisa mendulang sukses dalam hidupnya. Gue bukan anak orang kaya, bukan lulusan kampus ternama, bukan lulusan luar negeri, tidak pernah bekerja di luar negeri juga, tidak pernah pula bekerja di top consulting firm, tapi gue optimis, insyaallah gue akan bisa perlahan-lahan mewujudkan cita-cita dan impian gue.

Jika Allah memberikan gue usia yang cukup panjang, saat pensiun nanti, gue ingin pensiun seperti Jack Ma pensiun dari karier-nya:

  1. Beliau pensiun meninggalkan warisan yang membanggakan;
  2. Beliau pensiun setelah mendidik begitu banyak pekerja di Alibaba Group; dan
  3. Beliau pensiun dalam keadaan finansial yang bukan cuma akan mampu mencukupi kebutuhan sisa hidupnya, tapi juga tetap mampu untuk mendonasikan hasil kerjanya untuk kegiatan amal yang bermanfaat untuk masyarakat luas.

What can be better than that kind of retirement?

Congratulation for your retirement, Jack Ma! It was a pride to me that I was once a part of your empire even just for a while and even just as a little part of it. Thanks for the inspiration and I wish nothing but the best for you. Have a great life ahead!

Anak Jakarta Selatan dan Bahasa Campur-campurnya

Akhir-akhir ini, sedang marak beredar meme soal kebiasaan anak-anak Jakarta Selatan yang sering menggunakan mixed language dalam percakapan sehari-harinya. Pertama kali lihat meme itu, gue langsung tertawa terbahak-bahak! Gue betul-betul bisa mengerti jokes itu karena gue sendiri juga persis seperti itu, hehehehe.

Berikut ini pembelaan diri gue sebagai orang yang bekerja dan tinggal di Jakarta Selatan (KTP Bekasi itu cuma buat memenuhi kebutuhan administratif aja secara gue udah jarang banget pulang ke Bekasi, hehe).

Jadi awalnya, menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari itu hanya tuntutan pekerjaan saja. Sejak lulus dari EY, gue mulai bekerja dengan tenaga kerja asing di perusahaan-perusahaan gue selanjutnya. Hal itu memuncak saat gue kerja di Lazada di mana bule-bulenya bukan hanya pimpinannya saja tapi juga beberapa rekan kerja yang selevel dengan gue. Belum lagi di sana, gue aktif berkomunikasi dengan rekan kerja di negara lain juga. Selama kerja di Lazada, gue pernah bekerja dengan lebih dari 30 kewarganegaraan!

Saking seringnya ngomong pakai bahasa Inggris bikin gue suka tanpa sadar menggunakan bahasa asing itu bahkan di saat gue sedang ngobrol dengan sesama orang Indonesia. Kalimat favorit gue:

  1. Oh my God!
  2. It’s unbelievable!
  3. It doesn’t make any sense!
  4. Who do they think they are?
  5. I’m going nuts here!

Dan gue bisa menggunakan 5 kalimat di atas secara bersamaan di saat gue sedang marah-marah, hehehehe.

Selain tanpa sadar ngomong dalam full English, gue juga bisa tanpa sadar ngomong dalam mixed language. Apa alasannya?

  1. Kata yang gue ingat secara refleks malah kata dalam bahasa Inggris;
  2. Gue suka bingung mencari terjemahan kata yang pas dalam bahasa Indonesia terutama kata-kata yang berhubungan dengan teknologi. Misalnya, gue enggak pernah tahu apa terjemahan yang tepat untuk kata “database“. Kalau gue maksa dengan bilang “media penyimpanan data”, lawan bicara gue pasti akan bingung;
  3. Masih ada kaitannya dengan teknologi, terjemahan istilah teknologi dalam bahasa Indonesia itu rasanya aneh aja gitu. Gue lebih nyaman bilang “download” ketimbang “unduh” misalnya;
  4. Nomor 2 dan 3 semakin akut buat gue karena 4 tahun belakangan ini gue bekerja di technology company di mana gue harus banyak menguasai istilah-istilah teknologi.

Fenomena ini bukan cuma terjadi sama gue dalam komunikasi verbal saja, tapi juga dalam komunikasi via tulisan. Gue butuh waktu lebih lama untuk menulis formal e-mail dalam bahasa Indonesia ketimbang menulis dalam bahasa Inggris. Ini juga karena faktor kebiasaan saja sih. Gue sering berpikir gini saat sedang tulis e-mail dalam bahasa Indonesia, “Hmm… ini terlalu baku… kaku banget kesannya. Tapi kalau diganti malah jadi kayak tulisan nggak resmi… Hmm…”

Akhirnya, karena gue tidak bisa mengubah komunikasi gue dengan rekan kerja asing gue, mau nggak mau gue hanya bisa berbahasa Indonesia ya dengan keluarga dan teman-teman yang sesama orang Indonesia. Meskipun jadi campur-campur, tapi kan setidaknya tetap terpakai. Saat menulis blog ini juga pun, gue usahakan mayoritas tetap bahasa Indonesia (pakai bahasa informal supaya lebih gampang, hehehe). Karena sebetulnya, menurut gue bahasa Indonesia itu unik dan indah!

Mau contoh keunikan dari bahasa Indonesia? Yang paling gue suka, bahasa Indonesia ini kaya akan sinonim yang secara harfiah sama, tapi beda secara makna. Contohnya, penggunaan kata “saya” untuk percakapan formal, “gue” untuk percakapan informal, dan “aku” buat ngomong sama pacar, hehehehe. Beda sama bahasa Inggris yang cuma punya satu kata “I”. Keren kan? 😉

Menurut gue yang paling penting dari komunikasi adalah menggunakan bahasa yang paling tepat supaya pesannya bisa tersampaikan. Jika mixed language justru lebih efektif ketimbang full Indonesian, ya kenapa tidak? Mesti disesuaikan dengan konteks, topik, dan lawan bicaranya juga. Soal gaya bahasa anak Jakarta Selatan yang dijadikan lelucon itu malah bikin gue bangga! Itu artinya, kita anak-anak Jaksel berhasil mencuri perhatian dengan cara kita berkomunikasi, hehehehe.

Peace and cheers!

4 Hal yang Gue Pelajari dari Bos-bos Bule

Selama hampir 4 tahun bekerja di Lazada, gue kerja di bawah kepemimpinan 5 bos bule (European & American). Ini belum termasuk bos bule di regional office atau bos bule di divisi lainnya. Ada kesamaan di antara mereka yang kemudian tanpa gue sadari, mulai terserap sebagai bagian dari diri gue sendiri.

Apa saja?

Kebiasaan bertanya; apa kabar? Tiap kali baru berjumpa, tiap harinya

Kebanyakan bule itu memang menanyakan kabar untuk basa-basa saja sih, tapi tanpa gue sadari, gue jadi ketularan. Tidak sampai separah mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali setiap harinya, tapi setidaknya, gue rutin menanyakan kabar rekan kerja yang sudah beberapa hari tidak gue jumpai atau yang gue tahu sedang melewati masa-masa penuh perjuangan dalam pekerjaannya.

Pertanyaan “apa kabar” ini juga sudah gue modifikasi menjadi…

  1. How’s life?
  2. How’s your project going?
  3. All good in the office?

Dan bedanya gue dengan bule kebanyakan, gue mencampur budaya peduli ala orang Indonesia ke dalam sapaan gue itu. Gue bukan hanya bertanya sambil lalu saja, tapi gue juga tertarik dan sungguh-sungguh ingin mendengarkan jawabannya.

Sedikit Sentuhan Fisik

Beberapa bos gue di Lazada memang bisa kelewat friendly. Bukan cuma menepuk di punggung, tapi bisa sampai merangkul pundak atau bahkan sampai cium pipi! Untuk cium pipi itu tidak pernah gue alami sendiri sih. Meski tidak sampai sebegitunya, awalnya gue tetap merasa agak risih. Tapi lalu tanpa gue sadari, gue sendiri jadi ketularan suka sesekali menepuk pundak rekan kerja atau bawahan gue di kantor!

Pada dasarnya jika kita tidak merasa nyaman, kita punya hak untuk menyuarakannya. Tapi menurut gue, tidak perlu sampai heboh dibesar-besarkan juga (kecuali jika sifatnya sudah mengarah ke pelecehan seksual). Coba berpikiran positif karena sebetulnya, saat mereka menepuk pundak kita, itu adalah cara mereka untuk mengatakan, “I’ve got your back!”

Tidak pelit pujian

Dibanding bos-bos gue yang orang Indonesia asli, bos-bos bule ini lebih terbuka bukan hanya saat memberikan kritik, tapi juga saat memberikan pujian baik itu pujian lisan atau pujian melalui tulisan yang mereka kirimkan via Skype messenger. Sangat sering gue menerima pujian seperti, “You’re so good, you know?” Atau “Wow, that’s impressive. You’re impressive.” Atau, “Nobody in this room understands this as well as Riffa does.”

It’s flattering, isn’t it?

Tanpa gue sadari, pujian-pujian itu membuat gue jadi sangat percaya diri. Gue yang dulunya minder sekarang malah jadi orang yang sangat yakin dengan kemampuan diri gue sendiri. Gue jadi sadar kualitas baik apa saja yang harus gue pertahankan dalam diri gue ini. Kepercayaan diri ini pula yang kemudian banyak membantu gue melewati masa-masa sulit dalam perjalanan karier gue. Gue sekarang meyakini, “Jika mereka saja percaya sama kemampuan gue, kenapa gue tidak mempercayai kemampuan diri gue sendiri?”

They didn’t take no as an answer

Dulu, bos-bos gue itu sering dengan bangganya bilang bahwa mereka tidak menerima jawaban tidak sebagai jawaban atas pertanyaan atau permintaan mereka. Pikir gue saat itu, “They’re sooo stubborn!” Sifat mereka yang satu itu udah bikin gue harus kerja mati-matian untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang datang sebagai efek samping dari ide dan inovasi mereka.

Kemudian belum lama ini di kantor gue, saat bos baru (yang juga orang bule), menyampaikan kabar soal kenaikan jabatan gue, dia bilang begini, “You are the right person for this job because you are very determined and you don’t take no as an answer.”

Wait, what? Damn it! I’m exactly like my bosses back at Lazada!

Pada akhirnya gue mulai berubah pikiran. Doesn’t take no as an answer itu tidak selalu berarti keras kepala, tapi lebih kepada persistence. Lebih kepada sikap pantang menyerah meskipun banyak rintangan yang datang menghadang. Bagaimanapun pada akhirnya, diperlukan keteguhan hati yang seperti itu untuk bisa sampai ke tujuan akhir yang kita inginkan. Dan tentunya, suatu tujuan tidak akan tercapai jika hanya sang pimpinan perusahaan yang memiliki persistence seperti itu! Itulah sebabnya mereka tidak mau menerima jawaban tidak dari timnya sendiri: supaya semuanya bisa bersama-sama making goals happen!

Semakin ke sini, semakin gue melihat peningkatan kualitas dalam kapasitas diri gue sebabai leader. Dan baru sekarang gue menyadari, para mantan bos bule gue itu pula yang sebetulnya sudah banyak membantu gue untuk bisa menjadi pemimpin yang lebih baik. Ini yang gue maksud dengan, “Saat mengenal orang lain, ambil yang baik-baiknya untuk menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya!”

Am I Introvert or Extrovert?

I am introvert, but I can be extrovert when I have to.

Introvert is not comfort to be in the middle of the crowds, and neither am I. Mingle is definitely not my thing, except when it comes to work. Talking to clients and colleagues is a part of my job description, so that like it or not, I have to blend in. I can’t be just the girl who sits quietly on the corner (even back in college, I always sat on the front row just because it helped me to focus with my study back then).

Introvert is more comfortable with small circle of friends and I find it is so true to me. I feel more engaged with a smaller group of friends and I’m not interested to have more friends in my phonebook. However, that simply can’t be the case when I’m at work. Networking can be so powerful I can’t ignore it at all. Not only networking helps me to achieve my goals, but also it gives me the best opportunity I could possibly have.

Finally, as most people know, introvert is shy, and so am I. Introvert is not that kind of person who is carving to be the center of attention. With that being said, I just can’t be shy at work. I have to show others what I’m capable of even if it will tend to make me as the center of people’s attention. I know that being shy will never take me this far in my career. And it turns out that being well known is actually not that bad, not at all!

Does it mean we have to be extrovert at work? Not entirely. There are many introvert qualities that also keep me going with my career.

The first one, introvert is a good observer. When I don’t talk, I observe, I connect the dots, and I get myself an insight. It makes me good at reading people and this kind of knowledge is a powerful skill you’ve got to have at work. When you know the people you work with, you know how to deal with them so that you can work together with them to pursue the goals (in other words, your goal).

The second one, introvert is a better listener. I’m capable to patiently listen to my colleague instead of rushing to get my own turn to speak. And once again, it helps me to get to know the people I’m working with. It gives me so many useful information about them and about many other things happening in the office. Knowledge is power, and sometimes, all you’ve got to do is just to listen to others’ long talks.

The third one, introvert is usually sensitive and so am I. I can sense how others feel towards something just by looking at their gestures and facial expressions. It helps me to predict someone’s reaction to certain thing so that I can prepare the best way to deliver that information to them. Different people may require different approach, and this is where being sensible can be a huge help.

The fourth one, and this is the most important one, happiness of an introvert comes from within. I don’t lay my personal satisfaction on someone else, not even my bosses. I know myself better than anyone else in the office. That’s why I don’t need my boss’ compliment just to make me proud of my works. Not all bosses keen to let me know how satisfied they are with my works and that’s totally fine to me. Same thing when my boss has a bad day, it won’t instantly get under my skin. His problem is not necessarily my problem too. And that to me, is the beauty of being an introvert.

Unlike many researches out there, I’m a firm believer that introvert and extrovert have equal chance to succeed. Everyone can be anyone they want as long as they work hard and work smart to make it happen. Don’t let ourselves become the barrier of our career. Overcome our personality problems and start to make things happen!

My Belated Farewell Note to Lazada

Biasanya, gue akan segera menulis farewell note gue di blog ini segera setelah hari terakhir gue di perusahaan ybs. Kali ini lain ceritanya. Hari terakhir gue di Lazada sudah lewat 2 minggu yang lalu sebenarnya, tapi gue baru ingin menulis farewell note itu baru-baru ini saja. Kenapa demikian? Karena ternyata, ini perpisahan paling berat yang pernah gue rasakan!

Sebetulnya gue sudah mengajukan resign sejak pertengahan tahun lalu. Cukup waktu untuk handover, cari pengganti gue, dan yang enggak kalah penting, untuk menyiapkan perasaan gue sendiri. Saat gue resign, gue sedang merasa sangat nyaman dengan tim terakhir gue di Lazada. Bukan cuma cocok dalam hal pekerjaan, tapi juga dalam hal-hal di luar pekerjaan. Berkat mereka, hidup gue di kantor jadi terasa lebih menyenangkan. Gue jadi lebih banyak tertawa, dan gue juga jadi merasa punya tim yang bisa gue percaya. Banyak orang yang bersikap berbeda di depan dan di belakang gue, tapi tim gue itu, gue yakini bukan salah satunya. Dan percaya nggak percaya, tim seperti itu sekarang ini sangat sulit untuk didapatkan!

Minggu pertama setelah resign, sangat terasa ada yang hilang dari keseharian gue. Makan siang jadi terasa berbeda, makan Indomie juga jadi terasa berbeda (sudah bukan lagi makan Indomie malam-malam di pinggir jalan dekat kantor). Ingin cerita ini-itu tapi tidak ada teman di sebelah gue yang bisa langsung gue ajak bicara. Dan tentu saja, sudah tidak ada lagi teman-teman cowok yang celetukannya bisa bikin gue tertawa terbahak-bahak!

Di akhir minggu pertama, gue enggak bisa tidur. Gue kangen Lazada. Timnya, sudut-sudut kantornya, kegilaan pekerjaan gue sehari-harinya, gue bahkan juga kangen dengan kamar kost yang sudah gue tinggalkan segera setelah resign dari Lazada itu. Baru terasa, sangat-sangat terasa, semuanya enggak akan pernah lagi kembali sama.

Ternyata memang benar, kita tidak akan benar-benar tahu apa yang pernah kita miliki sampai kita benar-benar kehilangan. Awalnya gue pikir, gue hanya akan kehilangan tim terbaik yang pernah gue punya saja, tapi ternyata, gue juga kehilangan sebagian kecil dari diri gue sendiri.

Gue mulai kerja di Lazada saat bisnis marketplace-nya baru lahir hampir 4 tahun yang lalu. Banyak kenangan, pengalaman, dan pembelajaran yang tidak ternilai harganya. Di sana gue dipertemukan dengan teman-teman baru, di sana juga gue kehilangan beberapa teman lainnya, di sana gue pernah sampai jatuh cinta (ada sampai belasan cowok yang gue pernah naksir selama kerja di sana, hehehe), di sana gue pernah berprestasi, di sana juga gue pernah melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan. Jika diingat lagi, sulit dipercaya semua itu pernah terjadi hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun lamanya!

Di awal minggu ke dua, gue mulai mempertimbangkan untuk kembali kerja di perusahaan lainnya (awalnya, gue berniat fokus mengurus bisnis gue sendiri saja). Melihat betapa antusiasnya orang-orang di calon kantor baru gue itu pada akhirnya membuat gue mulai bilang sama diri gue sendiri, “It’s time to move on.”

Lazada, sampai kapanpun, akan selalu menjadi cerita favorit gue. Gue akan selalu bangga pernah menjadi bagian dari cerita sukses perusahaan ini. Kemudian soal tim gue, entah kenapa, gue mulai meyakini, “It was not a goodbye between us!”

I often feel blessed with my life, and Lazada has been one of the greatest blessings in my entire life. Thanks to you, Lazada! Thanks for the memories and all those crazy days! You will be missed.

xoxo,

Riffa.