Pilihan Hidup Orang Lain Tampak Sempurna Karena Bukan Kita yang Menjalaninya

Saya belum lama nonton film Kim Ji Young, Born 1982. Ceritanya sederhana, tapi selama nonton film ini, ada begitu banyak nama yang melintas di benak saya. Nama-nama yang melintas di benak saya itu, mereka semua pasti bisa merasa relate saat menonton film yang satu ini.

Film ini berkisah tentang Ji Young yang saat masih single gagal mendapatkan promosi hanya karena diskriminasi gender. Pekerja perempuan dianggap tidak bisa berkomitmen untuk bekerja optimal dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Setelah married, Ji Young memutuskan untuk resign dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi ternyata, jadi ibu rumah tangga juga punya rintangannya tersendiri. Ada saja omongan orang yang menganggap rendah ibu rumah tangga. Mereka dianggap bisa santai-santai, nggak perlu repot-repot kerja dan cukup mengandalkan penghasilan suami. Di luar omongan orang, Ji Young diam-diam menyimpan kerinduan untuk kembali bekerja kantoran.

Selain Ji Young, ada mantan bos Ji Young yang merupakan seorang working mom. Mantan bosnya itu juga sering jadi omongan karena lebih mementingkan karier daripada suami dan anak-anaknya. Dia dianggap egois karena menitipkan anak kepada orang tuanya. Pendidikan anak dinilai tidak akan optimal jika tidak dididik langsung oleh ibunya.

Kemudian ada juga kakak perempuan Ji Young yang sangat mandiri dan belum menikah. Dan tentu saja, dia juga menjadi korban omongan orang karena masih belum menikah di usia sematang itu.

Film ini mengajarkan dua hal:

  1. Omongan orang tidak akan pernah ada habisnya. Whether you’re single, married, working mom, stay at home mom, people will always have something to say;
  2. Apapun yang menjadi pilihan hidup kita akan selalu ada plus-minusnya. Menjadi single tidak sepenuhnya enak, married tidak sepenuhnya enak, jadi ibu rumah tangga maupun wanita karier juga tidak akan pernah sepenuhnya enak.

Banyak di antara kita merasa iri melihat hidup orang lain dan berpikiran hidup kita akan bahagia jika bisa hidup seperti mereka. Padahal kenyataannya, hidup orang lain hanya tampak sempurna karena bukan kita yang menjalaninya. Orang yang menjalaninya tahu persis suka-duka yang harus mereka lewati dalam hidupnya itu. Mereka tahu persis bahwa hidup mereka pun masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Film ini semakin meyakinkan saya bahwa saya sudah memilih sikap yang tepat dalam menjalani hidup. Tidak pernah sekalipun saya ingin bertukar tempat dengan orang lain karena itu sama saja menukar masalah yang sudah biasa saya hadapi dengan masalah baru yang bisa jadi terasa masih asing untuk diri saya ini. Beda orang bisa beda life battle-nya, dan saya jelas lebih memilih “medan perangyang sudah saya kuasai dengan baik. Selain itu, memang benar banyak orang lain di luar sana yang memiliki apa yang tidak saya miliki, TAPI, saya juga memiliki apa yang tidak dimiliki oleh banyak orang di luar sana. Jadi buat apa iri?

Untuk teman-teman yang juga mengalami life battle seperti Ji Young wajib nonton film yang satu ini. Film ini merupakan a good reminder bahwa tidak ada pilihan hidup yang sempurna dan bahwa sesungguhnya, kita tidak membutuhkan kesempurnaan hanya untuk merasakan kebahagiaan. Berbahagialah dengan keputusan hidup kita masing-masing, dan jangan lupa, bahagia itu juga sebuah pilihan yang hanya dapat diambil oleh diri kita sendiri. Ingin terus bersungut-sungut atau belajar berbahagia dalam menjalani kehidupan, hal itu adalah sepenuhnya pilihan kita sendiri.

Once again I’m telling you: life is too short to be unhappy. Jadi jika kita bisa memilih untuk bahagia, kenapa harus memilih sebaliknya? Siapapun kamu dan apapun yang menjadi pilihan hidupmu, berbahagialah! We owe that to ourselves after all struggles in life, don’t we?

Wish you all a wonderful weekend!

One thought on “Pilihan Hidup Orang Lain Tampak Sempurna Karena Bukan Kita yang Menjalaninya

Leave a comment