Hari Ini Gue Pilih Pasangan Nomor 02, Tapi Kalau Mereka Benar Kalah pun, Gue Nggak Akan Buat Keributan

Hasil quick count mulai bermunculan di media massa jam 3 sore hari ini. Antusias menunggu, gue malah ketiduran. Bangun tidur jam 4 sore, gue langsung ambil hp, buka aplikasi detik.com, dan mendapati pasangan nomor 01 unggul di semua lembaga survey yang diberitakan oleh news portal itu.

Kecewa? Sedikit. Gue enggak ngefans sama Prabowo, tapi gue masih punya belief and hopes sama Sandiaga. Tapi ya sudah. Pemilu itu kan bukan keputusan gue saja. Kalah-menang juga sudah biasa. And I don’t have to win all the times anyway.

Jadi daripada bikin keributan, apalagi sampai menciptakan atau ikutan mengedarkan hoax, lebih baik gue tetap fokus dengan hidup gue sendiri. Fokus dengan hal-hal yang bisa gue kendalikan. Fokus dengan bertanya pada diri gue sendiri, “Apa yang bisa gue kontribusikan untuk negeri gue ini?”

Kontribusi kita pada tanah air tidak berhenti setelah Pemilu usai. Setidaknya untuk diri gue sendiri, gue masih punya cara untuk mengubah apa yang menurut gue baik untuk bangsa ini. Gue memang bukan siapa-siapa, tapi pastilah ada yang bisa gue coba lakukan dengan kapasitas diri yang gue miliki.

Apa contohnya? Sederhana saja: gue bisa memulai dari karier yang gue miliki.

Pekerjaan gue saat ini memberikan gue akses untuk mengutarakan pendapat ke lembaga pemerintahan. Bank Indonesia dan Dirjen Pajak misalnya. Memang spesifik terkait industri perusahaan tempat gue bekerja, tapi gue bisa mulai dari sana. Pelan-pelan, gue bisa membangun relasi dengan petinggi di masing-masing lembaga dan tidak mustahil jika suatu hari nanti, gue bisa membagikan gagasan yang didengar yang tidak lagi terbatas pada industri perusahaan tempat gue bekerja.

Banyak di antara kita yang mempunyai kapasitas untuk benar-benar mengubah sebagian kecil dari negeri kita tercinta ini. Apapun itu, menciptakan keributan bukan salah satunya. Jadi bagi pendukung pasangan yang kalah, mari berbesar hati. Dan bagi pendukung pasangan yang hari ini menang, tolong jangan terlalu tinggi hati. Tidak ada ruginya menjaga perasaan pendukung pasangan yang kini tengah merasa kecewa.

Selamat kepada semua orang yang hari ini memberikan hak pilihnya di tengah gencarnya ajakan untuk tidak memilih. Kalian luar biasa! Setidaknya kalian masih percaya, negeri ini masih bisa berubah lebih baik dari sebelumnya.

Kenapa Gue Tidak Mau Jadi Golput?

Jujur awalnya, gue hampir golput di Pemilu tahun 2019 nanti. Gue enggak happy dengan pemerintahan Jokowi, tapi gue juga pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan Prabowo (cuma insiden kecil, tapi terasa menyebalkan). Gue juga tidak terkesan tiap kali melihat mereka berpidato di ranah publik. Beda banget dengan saat gue melihat pidatonya Obama, misalnya.

Beberapa bulan berlalu, akhirnya hari ini gue menjatuhkan pilihan. Apa pilihan gue? Pilihan untuk setidaknya, gue tidak golput.

Kenapa tidak jadi golput?

Karena kejadian yang gue alami belasan tahun yang lalu.

Saat itu gue masih duduk di bangku SMA. Ceritanya sedang ada pemilihan Ketua KIR; ekstrakurikuler yang gue ikuti. Waktu itu gue kecewa karena senior-senior di sana tidak memilih gue untuk menjadi salah satu calon ketua KIR yang baru, sehingga akhirnya pada saat pemilihan, gue memilih untuk abstain.

Saat hasil pemilihan selesai dibacakan, Ketua KIR yang lama, mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota, “Hari ini ada satu suara yang abstain. Boleh tahu siapa orangnya?”

Semua orang diam. Gue hanya diam.

Dia melanjutkan, “Tidak akan ada konsekuensi… kami hanya ingin dapat masukan… apa alasannya? Apa yang bisa kami perbaiki untuk pemilihan berikutnya?”

Dan gue tetap diam. Tidak berani mengakui bahwa pada saat itu, gue memilih untuk abstain.

Si kakak kelas gue itu mulai kelihatan kecewa. Dan dia mengakhiri pertemuan dengan pertanyaan yang tidak terjawab.

Saat itu, gue jadi malu dengan diri gue sendiri. Gue yang tidak mengakui perbuatan gue itu betul-betul bukan diri gue yang biasanya. Walau sebetulnya, ada alasan kenapa gue tidak mau mengakuinya. Alasan yang kemudian menjadi alasan untuk gue tidak pernah lagi memutuskan untuk abstain di pemilihan-pemilihan lain yang harus gue lakukan sepanjang hidup gue.

Alasan apa?

Alasan bahwa sebetulnya, gue malu mengakui bahwa gue baru saja melakukan hal yang tidak ada gunanya. Golput itu tidak akan pernah mengubah apa-apa. Tidak ada manfaatnya. Jadi daripada bikin malu diri sendiri, gue akhirnya lebih memilih untuk bungkam. Dalam hati gue bertekad… tidak akan pernah lagi, gue menempatkan diri gue dalam rasa malu atas keputusan gue sendiri. Gue berjanji, gue tidak akan pernah golput lagi.

Lalu kenapa gue bilang golput itu tidak ada gunanya?

Karena saat kita memilih untuk golput pun, di pemilihan manapun, pasti akan tetap ada kandidat yang keluar sebagai pemenangnya. Dengan memilih abstain, kita kehilangan kontribusi untuk menentukan siapa pemenangnya. Dan bagi gue, tidak ada kontribusi itu artinya sama saja dengan tidak ada kegunaannya.

Selain soal tidak memberikan kontribusi apa-apa, golput bisa jadi pertanda pola pikir yang terlalu pesimis. Atau bisa juga, pola pikir yang terlalu sombong… merasa diri jauh lebih baik daripada para kandidat yang namanya tertera di kertas suara. Kembali lagi apapun alasannya, dengan tidak memilih, kita memilih untuk menjadi seseorang yang tidak memberikan kontribusi.

Masih ada waktu 4 hari lagi untuk menentukan pilihan. Pelajari masing-masing paslon, plus-minusnya, track record-nya, rencana kerja dan janji-janjinya… Gue juga masih tidak sepenuhnya sreg dengan pilihan gue nanti, tapi setidaknya, gue memberikan kontribusi. Setidaknya, gue tidak membiarkan satu suara gue terbuang sia-sia.

Selamat menentukan pilihan dan selamat menikmati pesta demokrasi!

Indonesia dan Kisruh Politik Akhir-akhir Ini

Pilpres 2019 bikin gue ngerasa ngeri. Ricuhnya pilkada DKI masih terasa hangat di benak gue. Waktu itu, sampai ada teman lama yang tidak bisa menghadiri acara ulang tahun gue di Jakarta (dia tinggal di Bandung), karena rasa takut kerusuhan massal yang menyudutkan kaum Chinese keturunan akan kembali berulang hari itu. Ya, buat begitu banyak teman kita di luar sana, masalah ini sebegitu seriusnya.

Gue sangat menyesali makin ke sini isu politik semakin melekat kepada isu agama. Memang penting untuk memilih pemimpin yang bergama, tapi sayangnya, para pendukung yang ribut-ribut di social media atau mereka yang sampai turun ke jalan ini tidak selalu menunjukan perilaku selayaknya orang yang beragama. Bagi teman-teman sesama muslim, ingatkah kalian cerita soal Nabi Muhammad yang tetap bersabar saat dilempari kotoran oleh para pembencinya? Bukankah sikap sabar seperti itu yang diajarkan oleh Nabi kita itu?

Tidak ada yang salah dari menyuarakan pendapat selama dilakukan dengan cara yang sopan dan terpelajar. Mengatai orang lain dengan julukan “goblok” di ruang publik tidak membuat kita jadi lebih pintar daripada orang tersebut. Dan sekali lagi, apapun agama yang kalian anut, menghina tanpa belas kasih sama sekali bukan bagian dari ajaran agama yang kalian anut itu.

Yang terakhir, gue sebetulnya bingung sih ya… banyak di antara kita membela para calon pemimpin ini (yang notabene orang asing buat kita) sampai putus hubungan baik dengan keluarga dan teman masing-masing. Padahal saat nanti kita butuh bantuan, siapa yang akan bisa memberikan bantuan buat kita kalau bukan keluarga dan teman-teman kita sendiri? Dan asal tahu saja, para calon pemimpin yang sedang berkompetisi itu bisa duduk makan bareng sambil ketawa-ketawa seolah enggak ada apa-apa! Masyarakat yang panas ini semacam “korban” dari timses masing-masing calon DAN dari awak media yang senang melakukan click baits (sengaja bikin judul tulisan yang provokatif hanya supaya website mereka ramai pengunjung). Ayo kita buktikan bahwa kita ini lebih cerdas daripada timses dan jurnalis mana pun! Jangan sampai orang lain yang untung, tapi malah kita yang buntung!

Let’s be wiser and smarter, shall we? 😉

Bijaksanakah Menyebarluaskan Berita Orang yang Baru Pindah Agama?

Apa yang kita rasakan saat melihat orang dari agama lain berpindah memeluk agama yang juga kita yakini? Bangga, haru, tersentuh… Tapi bagaimana rasanya jika kita melihat kejadian yang sebaliknya? Seseorang dari agama kita berganti meyakini agama lainnya? Marah, kesal, kecewa?

Jika kita tidak suka melihat orang lain keluar dari agama kita, maka menurut gue, sebaiknya tidak perlu ikut menyebarluaskan berita, gambar, atau video orang lain yang baru saja memeluk agama kita. Jangan merusak tali persaudaraan antar agama dengan sesuatu yang tidak begitu jelas apa manfaatnya.

Berpindah agama, kenyataannya, tidak semudah yang terlihat di video 30 detik. Ada orang tua dan anggota keluarga lainnya yang merasa kecewa. Ada teman-teman dan tetangga yang memandangnya sebelah mata. Ada konflik batin yang luar biasa sebelum akhirnya seseorang memutuskan untuk mengganti sesuatu yang dia yakini bertahun-tahun lamanya. Dan umumnya, mereka tidak menyukai publikasi yang berlebihan. Kenapa? Karena mereka tidak mau menyakiti perasaan orang-orang dengan agama yang mereka tinggalkan… Jika mereka saja enggan untuk menyebarluaskan, kenapa malah kita yang lebih semangat untuk sharing sana-sini?

Jangan pernah berpikir bahwa siapa tahu, berita yang kita sebarkan itu akan “mengilhami” orang lain untuk ikut memeluk agama yang kita yakini kebenarannya. Berpindah keyakinan sama sekai tidak sesederhana itu! Keyakinan tidak datang dari sekadar berita pendek, keyakinan datang dari dalam diri sendiri. Dari pembelajaran yang bisa jadi sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Jadi sekali lagi, sebelum berbagi berita yang kontroversial seperti itu, tanya kembali pada diri kita sendiri… apa manfaatnya? Jika efek negatifnya lebih banyak dari manfaatnya, maka sebaiknya, jangan dilakukan.

Selain masalah publikasi, menurut gue, akan lebih baik lagi jika kita tidak meributkan keputusan seseorang terkait agama yang dipeluknya. Agama adalah urusan masing-masing orang, dan kita harus bisa menghargai keputusan mereka, sama seperti kita ingin dihargai sebagai orang yang tetap meyakini agama kita sendiri.

Let’s Vote and Keep Indonesia United!

Pilkada Jakarta tahun ini, sesuai prediksi, udah jadi lebih menghebohkan daripada Pilpres Indonesia terakhir. “Kampanye” di mana-mana, permusuhan di mana-mana, saling menghina dan saling menyudutkan tanpa pandang bulu, belum lagi media massa plus hoax provokatif berebaran hampir tiap jam tiap harinya. Bukan cuma menghebohkan Jakarta, tapi sampai ke hampir semua kota lainnya di Indonesia!

Akibatnya? 

Putus tali silaturahmi. Nggak lagi saling tegur sapa. Atau yang sepele, unfriend di social media. Social media seolah berubah mejadi “the war zone”. Tentu tidak ada yang salah dari berbagi berita.. tapi seringkali, caption yang menyertai bisa terasa lebih panas membara daripada isi berita yang biasanya sudah cukup provokatif itu.

Bener deh. Gue pribadi tidak mengerti kenapa mesti sampai sebegitunya

Membela sesuatu yang kita yakini kebenarannya tidak mesti diiringi dengan balas menyerang kubu seberang. Balas menghina hanya akan membuat kita turun ke level yang sama dengan orang lebih dulu menghina pilihan kita itu.

Setidaknya buat gue, sangat tidak worth it kehilangan teman, sahabat, kolega, apalagi anggota keluarga hanya karena berbeda pilihan.

Kalo gue enggak mau berhubungan dengan pendukung no. 3, gue akan kehilangan banyak banget keluarga besar yang menemani gue puluhan tahun lamanya. 

Kalo gue enggak mau berteman dengan pendukung no. 2, gue akan kehilangan beberapa sahabat yang udah terbukti selalu siap membantu dalam masa-masa sulit gue.

Dan kalo gue enggak mau berteman dengan pendukung no. 1, gue akan kehilangan beberapa mantan rekan kerja yang pernah berkontribusi dalam membangun karier gue dulu.

Siapapun paslon yang kita dukung, bagaimanapun, tetap bukan mereka yang kelak akan mengulurkan tangan saat kita membutuhkan bantuan. Bukan mereka yang sudah menemani perjalanan hidup kita belasan atau puluhan tahun lamanya. Boleh mendukung, ikut berkampanye, tapi jangan berlebihan. Dan sekali lagi, boleh saja membela pilihan kita masing-masing, tapi tidak usah balas menghina apalagi dengan sesuatu yang belum terbukti kebenarannya. 

Don’t make all those provocators dancing on the chaos they make. Let’s vote and keep Indonesia united!

Apa Salahnya Sekolah Mengajarkan Siswi Muslimnya untuk Berjilbab?

Berawal dari statement Ahok yang satu ini, “Kan dipaksa tanda kutip dong. Kalau kamu bilang nih setiap hari Jumat sekolah harus pakai jilbab, berarti kan seragam sekolah. Jilbab itu bukan seragam sekolah, ini panggilan hati akhlak agama.” Gue jadi gemas untuk ikut berkomentar.

Yang pertama, tidak benar bahwa jilbab itu panggilan hati. Sama seperti shalat dan puasa, jilbab itu ajaran agama Islam yang wajib hukumnya bagi wanita yang sudah mendapatkan menstruasi pertamanya. Tidak perlu menunggu dapat panggilan hati dulu untuk menjadikan jilbab itu wajib bagi seorang wanita. Tidak benar pula jilbab itu bagian dari ahlak agama. Dalam Islam, ahlak itu artinya prilaku, sedangkan jilbab itu konteksnya pakaian untuk menutup aurat. Ahlak sifatnya tidak kasat mata, sedangkan jilbab sifatnya sudah tentu sangat kasat mata. Betul-betul dua hal yang berbeda.

Yang ke dua, mengingat jilbab juga bagian dari ajaran agama, apalah salahnya mengajarkan siswi muslim untuk menjalankan ajaran agamanya? Bukankah memang itu fungsi mata pelajaran agama di sekolah? Sama seperti guru agama mengajarkan praktek wudhu, shalat, mengaji, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana jika siswi ybs melepas jilbabnya selepas jam sekolah? Nah, sekarang gue tanya… Bagaimana jika siswi ybs hanya shalat saat pelajaran agama saja? Hanya mengaji saat ujian saja? Haruskah sekolah juga berhenti memberikan materi praktek shalat dan mengaji?

Menurut gue, tidak ada salahnya, bahkan ada baiknya sekolah mewajibkan siswi muslimahnya (baca: hanya yang muslim saja) berjilbab di sekolah. Supaya mereka terbiasa dengan jilbab itu sendiri, terbiasa dengan ajaran agama mereka sendiri. Sama seperti mata pelajaran lainnya, tugas sekolah hanya mengajarkan, soal diterapkan di luar sekolah atau tidak sudah jadi tanggung jawab masing-masing pelajar.

Gue nulis begini bukan berarti gue benci banget sama Ahok. Honestly, gue belum pernah menemukan tokoh politik yang selalu gue support 100% semua pendapat dan keputusannya. Mendukung satu orang bukan berarti harus mengangguk setuju pada semua perkataannya kan? Dan kebetulan untuk hal yang satu ini, gue tidak sependapat dengan Ahok.

Buat yang mau comment, please behave yaaa. I have a right to filter your comments.

Good night!

Emansipasi Salah Kaprah

I am an independent girl, but I am NOT a feminist. Karena tidak seperti kaum feminis pada umumnya, gue masih senang diperlakukan sebagai perempuan. Senang rasanya saat ada cowok yang bersedia memberikan tempat duduknya buat gue di dalam busway, atau saat ada teman cowok yang menawarkan diri untuk membawa kardus-kardus berat yang harus gue pindahkan. Selain itu, gue juga masih sangat menyukai hal-hal yang berbau romantis (ingat ya, romantis, bukan gombal!). Dan yang paling penting, gue tidak menyetujui pandangan kaum feminis bahwa kedudukan pria dan wanita harus setara dalam SEGALA hal.

Memang benar bahwa perempuan harus memperoleh kesempatan yang sama dalam mengeluarkan pendapat, menuntut ilmu, berkarier serta memperoleh hak yang setara dengan pria (misalnya, udah nggak jaman tuh perusahaan hanya memberikan asuransi kesehatan untuk karyawan laki-lakinya saja). Akan tetapi, dalam kehidupan berumah tangga, kedudukan seorang suami harus tetap lebih tinggi daripada kedudukan istrinya. Kenapa? Karena ibarat sebuah kapal, hanya akan ada satu orang yang menahkodainya. Artinya, kepala keluarga hanya tetap berjumlah satu dan sudah menjadi kodrat laki-laki untuk mengepalai sebuah keluarga.

Jadi salah besar kalau ada yang mengira gue ini tipe feminis tulen yang merasa bisa survive hidup seorang diri. Faktanya, gue justru suka bingung sama perempuan yang merasa bisa hidup tanpa laki-laki seumur hidupnya, apalagi penganut feminis yang sampe mutusin buat jadi lesbian! Ih, enggak banget deh… Memang benar pendapat mereka bahwa tanpa laki-laki pun kita sudah bisa menghidupi diri kita sendiri. But woman will always be a woman. We were born for having a guy to complete our life.

Singkatnya menurut gue, gerakan feminisme yang berlebihan adalah suatu bentuk emansipasi yang salah kaprah. Karena pada dasarnya, emansipasi hanya bicara soal kesetaraan hak untuk perempuan dalam menjalani kehidupannya. Dulu, Ibu Kartini hanya memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam pendidikan dan bukan mengajarkan bagaimana caranya hidup tanpa laki-laki, iya kan?

Maka dalam versi yang lebih modern, emansipasi berarti:

  1. Menyekolahkan anak-anak serta memberi fasilitas secara adil tanpa membedakan jenis kelaminnya;
  2. Memberikan kebebasan kepada istri untuk tetap meniti karier;
  3. Merekrut karyawan berdasarkan kualifikasi, dan bukan berdasarkan gender;
  4. Memberikan promosi berdasarkan prestasi. Walaupun dia itu perempuan yang sudah menikah, tapi kalau dia punya prestasi yang cemerlang, kenapa tidak?
  5. Memberikan benefit yang setara antara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki;
  6. Menaruh hormat kepada atasan, meskipun dia itu seorang perempuan;
  7. Memberikan hak yang setara kepada perempuan untuk mengeluarkan pendapat;
  8. Menghargai dan mendukung perempuan dengan cita-cita setinggi langit dan bukan malah menghindari apalagi mencibir karena sirik.

Bentuk emansipasi salah kaprah lainnya seringkali datang dari para kaum lelaki. Berhubung sudah jaman emansipasi, mereka (cowok-cowok jaman sekarang) cuek aja duduk manis di dalam bis ketimbang ngasih tempat duduknya buat ibu-ibu bahkan nenek-nenek yang berdiri di depan mereka. Gue pernah lho, naik bis penuh sesak dalam keadaan sakit dan terpaksa berdiri, lalu cowok di depan gue bukannya iba ngelihat muka pucat plus batuk-batuk gue, eh, dia malah enak-enakan tidur di tempat duduknya itu! Dalam hati gue gemes banget; dia itu laki apa bukan sih???

Sekali lagi gue tekankan bahwa emansipasi hanya bicara soal kesetaraan hak dan bukan suatu upaya pembuktian bahwa perempuan itu pasti lebih hebat daripada laki-laki dalam segala hal di dunia ini. Gimanapun secara fisik, laki-laki diciptakan lebih kuat daripada perempuan. Jadi syukurilah anugerah itu dengan tetap bersikap gentle. Enggak perlu lah bukain pintu atau narikin kursi, secara buka pintu dan narik kursi toh bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Tapi soal ngangkat barang-barang berat, jemput si pacar lewat tengah malam, kasih tempat duduk buat manula, ibu hamil, dan orang sakit itu HARUS dilakukan selama kalian para cowok masih mampu untuk melakukannya. Kalian masih pengen dihormati dan diakui kejantanannya toh? Jadi cobalah belajar how to be a gentle man dan bersedia berusaha lebih keras untuk memperlakukan perempuan dengan baik.

Tulisan ini akan gue akhiri dengan tambahan tips buat sisi cewek maupun tips buat sisi cewek.

Buat teman-teman cowok, cobalah pahami keingin kami (para cewek-cewek masa kini:) untuk meraih cita-cita kami dalam hidup ini. Kami juga punya mimpi, kami juga bekerja keras untuk mewujudkannya, tapi kenapa seringkali semua itu harus kandas atas nama cinta? Rasanya miris banget setiap kali ngelihat cewek yang dipaksa untuk memlih antara karier atau pernikahan… Padahal cita-cita itu tidak hanya bicara soal uang, tapi juga aktualisasi diri, kehidupan sosial, kepuasan dan kebanggaan dalam berprestasi. Jadi daripada merasa terancam, kenapa kita tidak saling bahu membahu saja dalam mengejar mimpi kita bersama?

Buat teman-teman cewek akan gue bagi menjadi dua golongan tips.

Yang pertama tips buat perempuan dengan pola pikir yang masih konvensional. Gue tidak akan menganggap enteng pilihan seseorang untuk menjadi ibu rumah trangga yang seutuhnya. Ngurus rumah dengan segala tetek bengeknya adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Meski demikian, jangan lantas bermulut nyinyir kepada perempuan yang sibuk mengejar karier di luar sana. Jangan berusaha membuat hidup orang lain menderita dengan mengatai dia terlalu ambisius apalagi mengatai dia bakal jadi perawan tua yang hidupnya tidak bahagia! Sungguh ironis fakta bahwa hidup perempuan seringkali menjadi lebih sulit karena keberadaan perempuan lain dalam lingkungannya.

Lalu buat para perempuan mandiri masa kini, please berhenti membohongi diri bahwa kita pasti bisa hidup bahagia seorang diri. Ok saat ini kita bahagia, tapi sampai kapan? Sanggupkah kita menjalani masa tua kita seorang diri? Berpasangan memang pasti mendatangkan begitu banyak masalah baru, tapi tetap saja jutaan orang di dunia ini lebih memilih untuk hidup sampai tua bersama pasangannya, iya kan? Jangan lupa bahwa bagaimanapun, manusia dilahirkan berpasang-pasangan… Tips lainnya, cobalah untuk sesekali mengurangi kadar kemandirian kita dalam kehidupan sehari-hari. Biarkan si pacar menggandeng lengan kita saat akan menyeberang jalan, berikan senyuman tulus dan ucapkan terima kasih saat pasangan memberikan kejutan, dan jangan pernah mengatakan pada orang yang kita cintai bahwa hidup kita akan baik-baik saja meski tanpa kehadirannya.

Jujur sampe sekarang gue sendiri masih mengalami dilema ala perempuan Indonesia. Gue pengen banget kuliah lagi, tapi gue takut nanti malah jadi perawan tua. Gue juga punya ambisi karier setinggi langit, tapi lagi-lagi, gue takut nanti malah jadi perawan tua! Maka besar harapan gue, tulisan ini akan memberi kontribusi berupa pola pikir yang lebih bijaksana soal konsep emansipasi.

Untuk gue sendiri, gue lebih memilih untuk tetap mengejar apa yang gue cita-citakan dalam hidup ini. Konon katanya, kelak kita akan lebih banyak menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan selagi muda daripada menyesali kegagalan yang pernah kita lakukan di waktu yang lalu. Dan pastinya, gue tidak ingin menghabiskan masa tua gue dengan tenggelam dalam penyesalan. Soal jodoh, gue percaya bahwa itu semua sudah ada yang mengatur. Gue nggak ngerasa perlu takut sama cowok yang membatasi kehidupan karier pasangannya karena toh secara otomatis gue emang enggak respek sama cowok seperti itu.

Lalu kalo soal pilih-pilih cowok sih, jawaban gue simpel aja: kita harus teliti sebelum membeli kan, hehe… Lagipula sebetulnya gue enggak segitu pemilihnya kok. Emang dasar aja gue belum beruntung buat urusan asmara… Tapi emang sih, pada dasarnya gue bukan tipe orang yang bersedia pacaran sama siapa aja asalkan dia suka sama gue. I need someone who treats me as a person, and in the same time, he has a quality to make me have a will to put my faith and respect in him. Dan pastinya, cowok itu tidak boleh memiliki pemahaman yang salah kaprah soal emansipasi, hehe…

Akhir kata, selamat hari Kartini! Mari kita rayakan dengan penuh syukur karena setidaknya, pada jaman ini diskriminasi gender telah berkurang sedikit demi sedikit. Let us keep the good work ok!

Tentang Caleg dan Poligami

Gue ngerasa geli sama politik ala Indonesia. Selaluuu aja ada gosip yang beredar setiap kali musim kampanye mulai menjelang. Ada capres/caleg yang disebut-sebut mafia Indonesia, ada pula yang dibilang antek-anteknya Amerika, sampe yang paling hangat, soal partai yang katanya banyak diwakili oleh caleg yang berpoligami.

Soal yang kemaren-kemaren, gue nggak berani komentar karena enggak begitu tahu kebenaran soal isu ybs. Tapi soal caleg yang berpoligami… hmm… bolehlah ya gue sedikit berkomentar, hehe.

Megacu pada dua artikel di Detik.com, ada sebuah organisasi perempuan Indonesia yang akan mengumumkan daftar nama caleg yang berpoligami. Mereka menghimbau untuk tidak memilih caleg yang tercantum dalam daftar itu. Di lain pihak, menurut Sekjen PKS, apa yang dilakukan oleh organisasi itu sudah berada di luar konteks politik. Sang sekjen yang juga pelaku poligami itu berpendapat, poligami adalah urusan pribadi setiap orang.

Sebelum gue menyampaikan pendapat gue soal caleg yang berpoligami, ijinkan gue menyampaikan pendapat gue soal poligami itu sendiri. Harus diakui, poligami memang dihalalkan oleh agama Islam. Tapi maaf-maaf kalo gue bilang, aplikasi poligami pada masyarakat Indonesia pada umumnya itu SALAH BESAR. Menrut gue, suatu praktek poligami sudah sesuai dengan tujuan mulia dari poligami itu sendiri APABILA:

  1. Wanita yang dinikahi adalah wanita yang sulit mendapatkan suami DAN istri pertama dengan ikhlas megijinkan suaminya untuk menikah kembali;
  2. Istri pertama dalam keadaan sakit sehingga dengan ikhlas meminta suaminya untuk menikahi wanita lain; dan
  3. Negara ybs dalam keadaan perang.

Nah, pertanyaan gue sekarang, dari beberapa orang caleg yang melakukan poligami, ada berapa banyak caleg yang melakukan poligami atas dasar tiga point yang gue sebutkan di atas? Gue emang nggak punyi bukti, tapi gue YAKIN kebanyakan istri muda mereka lebih yahud daripada si istri pertama…

Lalu pertanyaan berikutnya, benarkah tidak ada hubungannya antara politik dengan isu poligami?

Setujuhkah elo kalo gue bilang poligami untuk mencari istri muda yang lebih yahud adalah tindakan yang hanya dilandasi oleh nafsu semata? Dan setujukah kamu bahwa tiga godaan utama buat laki-laki adalah tahta, harta, dan wanita?

Jadi menurut gue, caleg yang tidak bisa menahan nafsunya soal wanita kemungkinan besar juga tidak memiliki kemampuan untuk menahan diri soal tahta dan harta dalam hidup mereka.

Memang benar bahwa poligami masih lebih mendingan daripada melakukan zina. Tapi tetap saja, kedua hal itu sama-sama mengindikasikan ketidakmampuan seorang laki-laki untuk mengendalikan nafsu mereka. Jadi, mari kita pilih caleg yang tidak berpoligami tapi juga tidak berzina! Pelajari baik-baik caleg yang akan kita pilih. Kalo masih enggak yakin juga, ya sudah, kita golput saja, hahaha, ajakan sesat nih!

Ok, selamat memilih!

Pasukan Jihad Untuk Palestina

Bukan sekali dua kali gue denger pernyataan seperti ini, “Ngepain sih orang Indonesia repot-repot ngurusin Palestina? Pake mau pergi ke sana segala… Apa mereka enggak takut mati konyol?”

Sebetulnya ya, gue paling males ngebahas soal konflik di salah satu kawasan Timur Tengah itu. Kenapa? Karena pasti bahasan itu ujung-ujungnya hanya mendsikreditkan agama Islam atau Nasrani. Jangan aja gara-gara Palestina-Israel lagi ’berantem’ terus gue sama temen gue itu jadi ikutan ’berantem’ juga…

Tapi, statement yang gue kutip di awal bener-bener mendorong gue untuk mengeluarkan opini. Lewat tulisan ini gue mau balik bertanya, ”Kenapa kita harus mempertanyakan orang-orang yang dengan sukarela pergi ke sana untuk memberikan BANTUAN?”

Coba bayangkan…

  • Suatu malam elo lagi tidur nyenyak tau-tau ada bom jatuh di atas genteng rumahlo;
  • Masih mending kalo elo langsung mati, tapi gimana kalo elo malah hidup dengan tangan buntung atau tubuh penuh dengan luka berlumuran darah?
  • Karena serangan dari pihak lawan, elo terpaksa berbulan-bulan atau bahkan mungkin bertahun-tahun hidup di tepat pengungsian yang katanya berbau tidak sedap dengan fasilitas yang sangat minim;
  • Sepanjang hari dalam setiap detiknya elo ngerasa waswas dengan anggota keluargalo yang mungkin lagi pergi cari makanan dan tidak pernah kembali lagi karena tertembus peluru atau terkena serangan bom berikutnya;
  • Elo juga nggak bisa hidup tenang karena  khawatir akan muncul lagi serangan yang dilakukan oleh pihak lawan;
  • Dan hiduplo enggak tenang karena ayah dan saudara laki-lakilo terpaksa maju ke medan perang untuk membela bangsanya… Nggak ada yang bisa jamin mereka akan pulang dengan selamat atau pulang dengan tubuh utuh yang segar bugar.

Nah, kalo elo berada dalam posisi-posisi tersebut di atas, apa lagi yang elo harapkan selain memperoleh PERTOLONGAN? Dalam agama Islam, semua umat Islam itu bersaudara. Dan apa pantas kita membiarkan saudara kita hidup terlunta-lunta sementara kita hidup enak di Indonesia sini? Jadi apa salahnya jika para kaum jihad itu mencoba untuk memberikan pertolongan? Kalaupun akhirnya perjuangan mereka sia-sia, setidaknya mereka sudah mencoba…

Jangan dikira pergi ke medan perang itu keputusan gampang! Mereka juga punya keluarga, punya kehidupan, hanya bedanya; mereka punya hati nurani yang jauh lebih peka daripada kita yang hanya berdiam diri.

Jadi terlepas apapun agama yang kita anut, terlepas siapa di antara Israel dan Palestina yang terlebih dulu memulai perselisihan, ada baiknya kita mendukung niat baik orang-orang yang ingin pergi membela Palestina. Israel itu udah banyak ’antek-anteknya’ dan tidak seharusnya mereka menyerang warga sipil seperti itu. Jadi cobalah berhenti memojokkan para pasukan Jihad. Jangan persulit mereka denagn pandangan sinis dan cibiran yang melukai hati. Sekali lagi gue bilang, seandainya kita (baca: orang Indonesia) yang dijatuhi rentetan bom, apa kita masih bisa menganggap sinis orang-orang yang berniat menolong kita?

Tidak banyak yang bisa gue lakukan untuk Palestina. Gue pergi jihad yang ada nanti gue malah ngerepotin orang lain… Jadi besar harapan gue, setidaknya tulisan ini bisa jadi salah satu bentuk kepedulian gue untuk Palestina. Semoga dengan ini gue bisa mengetuk hati teman-teman semua untuk sama-sama menyalurkan bantuan atau sekedar dukungan moral. Mereka yang terlunta-lunta di sana juga manusia biasa seperti kita. Mereka punya keluarga, punya rekan dan sahabat, punya mimpi dan impian… mereka semua punya KEHIDUPAN yang telah dihancurkan oleh peperangan.

Mari kita panjatkan doa, semoga perang antara Israel-Palestina dapat segera diakhiri dan tidak akan terulang lagi, selamanya…