Berawal dari salah satu foto yang diunggah oleh Jakarta Info via Instagram, gue jadi terdorong untuk membuat tulisan ini.
Foto itu menampilkan sekumpulan orang yang sedang asyik makan nasi bungkus di stasiun MRT Jakarta. Ada ibu, bapak, dan anak-anaknya. Gue lumayan kaget melihat fotonya, tapi lebih kaget lagi saat membaca kolom komentarnya.
Pertama, gue juga sudah pernah mencoba naik MRT Jakarta, dan gue tidak melihat ada larangan untuk makan.
Ke dua, gue tetap bisa mengerti bahwa piknik dalam stasiun memang beresiko dianggap norak oleh kalangan tertentu. Piknik di stasiun juga bukan sesuatu yang akan pernah gue lakukan.
Ke tiga, kalaupun piknik di stasiun MRT itu salah, memberikan komentar yang merendahkan pelakunya juga sama salahnya. Boleh berkomentar, asalkan santun dan tidak merendahkan orang lain.
Baca komentar-komentar itu bikin gue sedih. Sedih karena gue bisa merasakan kebahagiaan mereka yang piknik di stasiun MRT. Mereka yang bisa jadi, hanya punya dana sekadarnya untuk bisa berekreasi. Kalaupun gue ada di sana, di stasiun itu, melihat mereka sedang piknik di dalam stasiun, gue tetap tidak akan menegur. Selama mereka tidak meninggalkan sampah, tidak mengganggu ketertiban, dan bahkan tidak melanggar aturan (secara memang tidak ada larangan untuk makan di stasiun), gue akan biarkan.
Kenapa gue biarkan?
Karena alasan kemanusiaan. Piknik itu bagaimanapun juga salah satu cara mereka untuk berbahagia. Gue enggak akan tega merusak kebahagiaan mereka itu. Terbayang dalam benak gue si ibu yang antusias menyiapkan makanan untuk keluarganya. Si ayah yang mengurus tiket dan rencana perjalanannya. Dan anak-anak yang antusias menaiki kereta (sama seperti ponakan-ponakan gue yang sangat gembira naik kereta MRT).
Piknik di stasiun itu cuma fase yang akan berlalu dengan sendirinya. Nanti toh pasti akan ada aturan yang jelas, dan akan ada juga petugas yang mendisiplinkan. Jika petugasnya saja masih membiarkan, maka bukan tempat gue untuk menegur orang-orang yang tidak sepenuhnya salah itu.
Beberapa orang menulis di Instagram Jakarta Info soal “keterbelakangan mental”, tapi yang gue lihat justru “kemunduran dalam tata krama”. Jangan karena merasa tidak kenal, atau jangan karena merasa hanya menulis di dunia maya, kita jadi merasa boleh berkomentar seenaknya.
Ingat juga bahwa merendahkan orang lain tidak menjadikan posisi kita sendiri jadi lebih tinggi dari mereka.
Boleh marah, tapi jangan merendahkan, termasuk di dunia maya, apalagi di dunia nyata.
Let’s live in peace, shall we?