Kekerasan Pada Anak… Salah Siapa?

Sudah lihat video seorang ibu yang mendorong anaknya keluar dari dalam mobil? Bukan cuma diusir, tapi juga didorong sampai jatuh. Di depan umum, jadi tontotan orang-orang asing, yang kemudian viral di dunia maya. Berawal dari Lambe Turah, berakhir di kepolisian.

Pertanyaannya… salah siapa?

Salah orang yang merekam dan menyebarkan videonya? Ini jelas opini ngawur! Gue enggak ngerti kenapa ada pihak kepolisian yang sempat-sempatnya mengancam hukuman pidana kepada penyebar video itu! Menurut gue, video ini justru sudah berkontribusi dalam upaya perlindungan anak dan bukan sebaliknya!

Salah anaknya? Ya, mungkin memang benar ada kesalahan si anak yang membuat ibunya menjadi marah dan gelap mata. Tapi bukankah kita semua tahu bahwa yang namanya manusia (apalagi masih anak-anak) sudah pasti pernah berbuat salah?

Beberapa hari yang lalu, gue baca komentar dari salah satu netizen yang bilang kurang-lebih begini, “Kalau ortu sampai marah dan memukul, itu pasti salah saya. Saya pantas dipukul dan saya harus instropeksi.”

Gue setuju harus kita harus instropeksi… tapi membenarkan pemukulan pada anak?

Rupa-rupanya, di Indonesia ini masih ada saja orang yang:

  1. Membenarkan kekerasan pada anak atas nama parenting (alasannya; demi kebaikan si anak); dan/atau
  2. Merasa punya hak milik dan hak penuh untuk memperlakukan anak mereka seenak jidat mereka saja.

Kenapa perlu ada undang-undang perlindungan anak? Untuk melindungi anak dari 2 tipe orang tua yang gue sebutkan di atas. Salah besar jika ada netizen yang bilang urusan rumah tangga bukan urusan pemerintah. Gue bahkan tidak menyalahkan netizen lain yang ikut keras (keras, bukan kasar) menyuarakan ketidaksetujuan mereka atas perbuatan si ibu meskipun sebetulnya hal itu bukan urusan pribadi mereka.

Gue betul-betul enggak paham dengan pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Katanya cinta, sayang, tapi kok dipukul dan disakiti? Jangankan memukul, melihat orang yang gue sayang sedang jatuh sakit saja rasanya sudah enggak tega!

Meski demikian anehnya, selalu ada saja anak yang dibesarkan oleh orang tua yang kasar yang mengaku berterima kasih atas didikan keras dari orang tuanya. Anak yang kemungkinan besar, akan mendidik anaknya dengan cara yang sama. Tapi masalahnya, tidak semua anak yang didik keras oleh orang tuanya bisa mengatasi trauma masa kecilnya. Tidak semuanya bisa move on dan benar-benar memaafkan orang tuanya. Coba pelajari dulu efek psikis dari kekerasan dalam rumah tangga dan tanyakan kembali pada diri sendiri… is that really what you want to happen to your loved ones?

Lagipula toh… anak yang tidak dibesarkan dengan kekerasan juga bisa survive dan sukses sebagai orang dewasa. Jika bisa dibesarkan dengan cara yang baik, kenapa harus dilakukan dengan cara yang buruk?

Jangan pernah membenarkan kekerasan, apapun alasannya. Bedakan batas antara parenting dengan domestic violence. Jangan pula menyalahkan diri sendiri saat ada orang lain yang berbuat kasar saat kita berbuat salah! Bahkan binatang pun tidak boleh diperlakukan dengan kasar! Please… always put that in your mind! You deserve to be treated much better.

Jadi kesimpulannya, siapa yang salah? Ibunya atau anaknya?

Anaknya mungkin saja salah, tapi ibunya jelas lebih salah.

Ingat bapak-ibu, tidak ada anak yang minta dilahirkan ke dunia. Anda sendiri yang memutuskan ingin punya keturunan. Punya anak adalah pilihan anda sendiri, maka bertanggung jawablah atas pilihan anda sendiri.

Setiap orang hanya punya masa kecil satu kali saja… dan kebahagiaan anak masih sepenuhnya bergantung kepada orang tuanya. Jangan terlalu dalam melukai anak-anak sendiri… anda tidak akan pernah tahu betapa kekerasan itu (baik verbal maupun physical) akan meninggalkan luka hati yang sangat dalam perasaan anak anda.