Random Theory of the Day!

Jadi ceritanya, akhir-akhir ini gue sedang tergila-gila dengan sport shoes. Gue beli langsung 2 pasang sepatu Nike setelah jatuh cinta dengan 1 pasang Nike yang gue beli akhir tahun lalu. Sepatunya empuk, nggak bikin lecet, nggak bikin pegal seperti high heels kesayangan!

But did you know? Awalnya gue paling anti pakai sepatu tertutup. Trauma! Sekitar 6 tahun yang lalu, kuku jempol kaki gue pernah kena luka dalam (kukunya seperti hampir lepas!) hanya karena gue pakai sepatu tertutup selama dua hari untuk keperluan stocktaking di kantor gue saat itu. Sejak itu, gue langsung blacklist semua jenis sepatu yang tertutup bagian depannya.

Kemudian akhir tahun yang lalu, gue terpaksa beli sport shoes untuk keperluan photoshoot The Lens Story (start-up yang baru gue bangun saat itu). Tema photoshoot-nya car free day, modelnya gue dan tiga orang teman cowok gue di kantor. Demi hasil foto maksimal, gue beli sepasang Nike pertama gue. Dan ternyata sepatu Nike itu nyaman banget dipakainya! Gue pakai lagi sepatu ini untuk berkunjung ke gunung Bromo, kemudian untuk stocktaking (lagi) di kantor baru gue, dan tetap nyaman tanpa ada masalah sama sekali!

Hari ini, begitu pulang ke kos dan melepas sepatu Nike terbaru gue, gue berpikir dalam hati, “Mungkin waktu itu, gue hanya belum menemukan merk sepatu yang tepat. Mesti coba berbagai jenis sepatu dengan berbagai merk baru bisa ketemu yang cocok.”

Gue terdiam sejenak. Soal cowok pun, mungkin, sebelumnya gue hanya belum menemukan cowok yang tepat. Mungkin, gue hanya harus memberi kesempatan pada tipe cowok yang berbeda dari biasanya.

Random banget sih memang, tapi teori dadakan ini relevan banget buat gue dalam begitu banyak hal!

Dulu, gue pernah anti banget pakai soft lens. Susah pakainya dan cuma bikin stres! Sekarang? Setelah beberapa ganti merk, akhirnya gue menemukan ukuran dan merk yang tepat dan sejak saat itu, gue malah merasa nggak nyaman jika harus mengganti soft lens dengan kacamata.

Gue juga pernah merasa tersiksa jika harus banget pakai alas bedak yang sangat ringan sekalipun (gue sampai jadi kurang excited kalau diminta jadi pagar ayu hanya karena malas bersentuhan dengan alas bedak). Wajah terasa tebal dan hanya bikin minyak di wajah semakin menggila. Tapi sekarang, setelah beberapa kali mencoba berbagai merk alas bedak, gue malah jadi ketagihan pakai alas bedak!

Dan yang paling mencolok, dulu gue paling benci dengan angka-angka! Matematika, fisika, aduh lihat bukunya saja gue sudah merinding! Semuanya berubah sangat-sangat drastis saat gue mengenal akuntansi. Gue 20 tahun yang lalu pastilah enggak menyangka bahwa gue bisa lulus S1 akuntansi dengan IPK 3.7!

Don’t you see? Sometimes, we only need to widen our choices just to get our perfect match!

Jangan keburu fed-up duluan, nyerah duluan, dan kapok duluan! Berikan kesempatan pada hal-hal baru untuk melihat mana yang paling cocok untuk diri kita ini! Terus-terusan mencoba segala sesuatu yang sama persis hanya akan memberikan hasil yang juga sama persis! Stick with the goal but be flexible with the methods!

Nah, gimana? Masih nyambung nggak analogi gue ini? Mungkin, untuk urusan jodoh pun, kita hanya perlu memberikan kesempatan pada lawan jenis yang berbeda dengan mantan-mantan kita sebelumnya.

Mungkin iya, mungkin juga tidak, tapi entah kenapa akhir-akhir ini, gue cenderung berpikiran bahwa mungkin, analogi gue ini memang benar adanya.

We’ll see!

Hargai Saya, dengan Tidak Menyalin Tulisan Saya Tanpa Ijin

Hari ini, ada salah satu pembaca blog saya yang mengirimkan link menuju blog lain yang isi tulisannya sangat mirip dengan tulisan saya. Dia mengganti tulisan saya tentang Natasha Cibubur menjadi Natasha Mall Lipo Cikarang. Dia ganti semua kata “gue” di tulisan asli saya menjadi “saya” di blog dia itu.

Kesal? Tentu saja! Saya langsung tinggalkan comment, saya minta dia hapus tulisannya. Saya tidak akan besar-besarkan, asalkan dihapus. Dan sekarang, penulis ybs sudah menghapus bukan hanya tulisan soal Natasha itu saja, tapi juga keseluruhan alamat website yang dia miliki. Kenapa sampai sedrastis itu? Kemungkinan besar karena ada lebih dari satu tulisan saya yang dia salin tanpa ijin. Saya temukan setidaknya 2 judul lain yang ditulis sama persis tanpa editing sedikit pun.

Tadinya saya sempat mau heboh sendiri, sudah saya screenshot segala isi blog dia yang salinan blog saya itu. Tapi karena dia sudah menghapus website-nya, maka saya tepati janji saya, tidak akan saya besar-besarkan. Meski demikian, saya tetap ingin menulis judul ini murni sebagai reminder untuk teman-teman yang lainnya juga supaya bisa menghargai hasil karya penulis dengan tidak menyalin tanpa ijin.

Menulis blog juga diperlukan usaha. Isinya memang pendek, tapi “latihan” menulisnya sudah saya lakukan sejak masih duduk di bangku SD (dulu, saya sampai punya berjilid-jilid buku diary untuk menulis).

Untuk menghasilkan satu judul, biasanya saya membutuhkan waktu paling cepat 30 menit (kecuali micro blog yang bisa selesai dalam 10 menit, itu pun tidak banyak jumlahnya). Paling cepat 30 menit, paling lama bisa berjam-jam! Ada pula tulisan yang baru saya publish setelah bolak-balik menyunting isinya selama beberapa minggu lamanya.

Tulisan yang sudah saya terbitkan akan saya baca berulang-ulang (bisa sampai belasan kali), hanya untuk memastikan tidak ada typo yang terlewat, gaya bahasa sudah enak, dan tanda baca juga sudah tepat.

Dan seringkali, semua upaya itu saya lakukan di tengah-tengah kesibukan saya sehari-harinya. Seringkali badan sudah capek, tapi saya tahan sebentar untuk menulis. Pernah juga saya menulis di tengah jam istirahat, atau di perjalanan menuju kantor. Menahan kantuk hanya demi menyelesaikan satu judul tulisan pun sudah sangat sering saya lakukan. Ini semua sama sekali tidak semudah kelihatannya!

Oh ya, tulisan soal Natasha yang dia salin itu dulu saya tulis di dalam bis (waktu itu masih belum punya kendaraan pribadi), sambil berdiri, sambil berdesakan dengan penumpang lainnya. Saya masih ingat karena memang tulisan soal Natasha itu merupakan salah satu top title saya yang ramai pembaca meski sudah lewat 7 tahun lamanya.

It’s being said that there’s nothing can hurt a writer like a plagiarism, and now I find it so true!

Jadi tolong, hargai hasil karya saya dengan tidak menyalin tanpa ijin. Boleh repost 100%, tapi tolong cantumkan nama saya sebagai penulis aslinya.

Ada penulis lain yang punya tulisan mirip dengan karya saya? Tolong bantu laporkan ya. Saya jamin PASTI penulis lain itu yang menyalin tulisan saya karena tidak pernah sekalipun saya menyalin tulisan milik penulis manapun.

Untuk mbak yang sudah menyalin isi tulisan saya, tolong jangan diulangi ya. Comment yang melaporkan blog kamu juga sudah saya hapus supaya tidak ada pembaca lain yang berusaha mencari jejak kamu. Thanks sudah dihapus blog-nya, silakan coba mulai dari 0 saja, mulai dengan menulis menggunakan kata-kata dan kalimat kamu sendiri. Dicoba saja dulu mbak, pelan-pelan pasti bisa.

Good night!

Why Do People Crave for Happy Ending?

Many people love to see a happy ending in the movie they watch, and so do I.

Why is that?

It’s because happy ending soothes our soul. To some extent, it gives us hopes. Hopes that we can still find the light at the end of the tunnel. Hopes that things will get better. Hopes that we too, are going to get our happy ending.

Have some hopes! We are never too late nor too old for a happy ending.

When You Want Something, You Go and Get It!

Long time ago, I desired something so badly it started to scare me. The stake was high and I was unsure if it was worth all the risks and efforts needed to make it happen. So there I decided to take it for granted. I thought, that desire was only temporary and I would be just fine to live without it.

I thought I would be alright, until the day I learned that I had lost my chance. And that lost hit me hard. That was the first time I understood what it meant when people said that we didn’t really know what we once had until it was gone. It was forever gone. I had my chance and I lost it.

Years after that, regret of not doing my best still haunts me. Everytime this life takes me down to the rockbottom, I’ll look back to my past and I’ll wonder if there was anything I could have done any differently. I should have tried harder to make it happen, I should never let it go in the first place!

But of course, what’s gone is gone. There’s nothing I can do to change my past. All that I can do is just watching the life that I could have had from the sidewalk. Oftentimes I tell myself, “If only I tried harder, that could have been the life that I live in.”

If only I knew how miserable a regret could feel, I would have just fought hard to go and get if for myself. Because the truth is, if you think that giving it a try is scary, then believe me, regret will eventually scare you more. It’s so true when people says it’s better to try and fail rather than never try and always wonder. I really wish that I was that wise many years ago.

If you want something, the only thing you should do is simply doing your best, your very very best, to make it happen. Maybe you’ll fail, but maybe you’ll succeed. You’ll never know, until you’ve really tried.

Break a leg and make yourself proud!

The Best BB Cushion This Far: YSL!

Buat yang belum tahu, BB cushion adalah bedak cair yang disimpan dalam wadah yang menyerupai bedak badat. Di dalamnya, bedak cair itu disimpan di dalam cushion (bantalan dengan pori-pori). Cara ambil bedaknya harus menggunakan sponge (bisa pakai sponge yang sama dengan sponge untuk bedak padat). Praktis, tapi cepat habis.

Awalnya, gue beli BB cushion merk Clinique karena terpaksa. Waktu itu gue sedang ikut program pendidikan di Lazada Thailand dan kehabisan bedak. SPG di Sephora dekat kantor menawarkan bedak itu dan gue setuju untuk membeli. Dan gue langsung suka dengan hasilnya!

Kelebihan BB cushion:

  1. Lebih ringan dari alas bedak cair;
  2. Medium coverage tanpa terasa tebal di wajah; dan
  3. Penggunaan sponge bikin telapak tangan jadi bebas dari noda bekas bedak! Lebih praktis daripada bedak cair karena enggak usah repot-repot pakai sponge terpisah (seperti Beauty Blender misalnya).

Hanya saja sayangnya, BB Cushion merk Clinique terasa too oily untuk wajah gue. Teman gue lalu menganjurkan merk Laneige; pelopor BB cushion katanya sih. Tapi ternyata, Laneige malah lebih nggak cocok buat kulit wajah gue. Jatuhnya malah lebih greasy dibanding Clinique.

Nggak lama kemudian, gue menemukan iklan Sulwhasoo di Cosmopolitan. Tergoda, gue coba beli, dan yang ini jauh lebih baik! Hanya saja sayangnya, merk ini pun tetap tidak menahan minyak di t-zone gue (dahi dan hidung). Yang paling ganggu, setelah agak siang, akan mulai tampak gumpalan bedak cair di sudut cuping hidung gue. It’s really not cool, isn’t it?

Gue bertahan pakai Sulwhasoo lebih lama daripada Laneige yang langsung gue kasih ke orang lain itu. Kulit gue jadi kelihatan lebih enak dilihat dengan BB cushion keluaran Sulwhasoo. Coverage-nya juga tampak lebih baik daripada Clinique dan Laneige. Sampai akhirnya, gue iseng coba YSL berdasarkan rekomendasi dari adik gue yang sedang obsessed jadi beauty influencer itu.

YSL memang paling mahal dibanding semua merk yang gue tulis di sini, but it definitely worths the price! Masalah bedak menggumpal di sudut hidung itu akhirnya terselesaikan oleh YSL! T-zone gue tetap sedikit berminyak sih, tapi gue rasa itu bukan salah bedaknya, tapi emang kulit gue saja yang terlalu berminyak di daerah hidung. Gue tanpa bedak sedikitpun, di dalam ruangan ber-AC sekalipun, akan tetap mengeluarkan minyak berlebih! Asalkan bedak gue tidak terlihat berantakan saja sudah sangat bagus buat ukuran gue.

Oh ya, YSL sedang mengeluarkan BB cushion special edition dengan case yang sangat cantik! Nanti bisa beli refill-nya saja kalau sudah habis isinya. SPG mereka juga sangat helpful btw. Si mbaknya mengajarkan gue cara supaya sponge-nya awet (dibuka sedikit penutup bagian atasnya supaya ada sirkulasi udara), dan cara mengeluarkan bedak saat sudah hampir habis (cukup dicubit bantalannya). Belanja di sini selalu jadi pengalaman yang menyenangkan buat gue (favorit gue yang lainnya apa lagi kalau bukan lipstik legendarisnya!). Silahkan dicoba jika ada budget lebih untuk make-up!

Cara Instan Untuk Hidup (Lebih) Bahagia

Sebetulnya, hidup bahagia itu tidak sulit. Menambah kebahagiaan juga sama sekali tidak sulit. Bagaimana caranya? Cara paling instan: ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain.

Contohnya?

Gue ikut tersenyum lebar saat melihat luapan kegembiraan seorang teman yang baru lulus SPMB. Gue bukan lulusan negeri, tapi beda orang beda pula jalan hidupnya. Gue senang melihat dia senang, hasil kerja kerasnya untuk lulus SPMB sudah terbayar. And it worths a celebration!

Gue ikut lega saat akhirnya, teman gue melahirkan anak pertamanya setelah 8 tahun menikah. Gue sendiri belum menikah, tapi bukan berarti gue mesti nyinyir tiap kali melihat kebahagiaan pasangan yang sudah menikah.

Gue bahkan pernah beberapa kali ikut repot menyiapkan pernikahan teman baik gue. Gue ikut berbahagia di hari bahagianya mereka, ikut terharu di posesi akad nikah mereka, dan dengan tulus mendoakan yang terbaik untuk hidup dan masa depan mereka.

Gue selalu paling senang lihat-lihat toko online yang dibangun teman atau kerabat gue. Kadang sampai merinding melihat mimpi mereka sudah jadi kenyataan! Meskipun masih kecil-kecilan, setidaknya mereka sudah memulai.

Gue juga sangat menikmati foto-foto liburan milik teman-teman di socmed gue. Kadang gue tertarik bertanya soal pengalaman liburan mereka di sana. Tidak pernah terpikir oleh gue untuk menuduh mereka sedang pamer. Buat gue, foto-foto mereka itu justru menambah wawasan!

Iri adalah penyakit hati yang paling tidak membahagiakan. Jika kita tidak senang melihat orang lain senang, jika kita senang menyindir atau melakukan hal-hal tertentu untuk mengurangi kebahagiaan orang lain, maka pada saat itu, satu-satunya orang yang sedang tidak berbahagia adalah diri kita sendiri.

Belajar berbahagia untuk orang lain bisa dimulai dengan berhenti melihat kebahagiaan orang lain dengan sudut pandang yang selalu negatif. Sebetulnya saat kita sedang merusak kebahagiaan orang lain, kita juga sedang merusak kesempatan untuk membahagiakan diri kita sendiri. Belum lagi rasa panas karena dengki yang tersimpan dalam hati! Berbahagia untuk orang lain itu bukan cuma indah, tapi juga bisa melipatkgandakan kebahagiaan yang kita rasakan dalam hati kita ini.

Mulai dari sekarang, dan rasakan perbedaannya!

Ingin Hidup Lebih Damai? Kurangi Berdebat yang Tidak Penting!

Semakin ke sini, semakin sering gue menyudahi yang namanya debat kusir. Gue bahkan juga mulai berusaha untuk tidak memulai perdebatan yang tidak perlu.

Apa saja contohnya?

Yang pertama saat gue dengar sekelompok ABG ngobrol soal pentingnya kuliah di universitas negeri. Supaya gampang cari kerja katanya sih. Waktu itu rasanya, gatal ingin ikut komentar. Tapi lalu gue berpikiran, apa gunanya? Nanti malah gue dicap iri hati hanya karena gue ini “cuma” lulusan swasta. Jadi ya sudah, gue ignore saja. Memulai perdebatan soal kampus dan memenangkan perdebatan itu tidak bikin karier gue jadi lebih baik atau lebih buruk. Tidak ada manfaatnya dan malah beresiko merusak hubungan baik dengan mereka. Ada banyak nasehat baik yang bisa gue berikan kepada adik-adik gue itu, dan mendikte mereka harus kuliah di mana jelas bukan salah satunya.

Yang ke dua saat gue posting di salah satu komunitas traveling online Indonesia. Gue cari teman jalan ke Iceland untuk ride sharing dan dengan jujur gue bilang gue enggak bisa nyetir. Respons yang gue dapatkan? 80% komentar yang tidak membantu sama sekali. Ada yang malah nyuruh gue belajar nyetir (padahal, orang yang sudah biasa nyetir di Indonesia saja belum tentu sanggup menyetir di atas salju dan es), dan kebanyakan, malah bilang seolah tidak pantas mencari teman jalan hanya untuk dijadikan supir (malah, ada juga yang minta dibayari tiket pesawatnya, hehehe). Akhirnya, setelah gue dapat teman jalannya, post itu gue hapus dari forum. Menjawab kenyinyiran netijen tidak akan bikin gue merasa lebih baik, yang ada hati akan makin panas dengan balasan mereka. Baru di situ gue sadari istilah ride sharing masih tidak common di Indonesia. Jika mendengar ride sharing saja mereka langsung sewot, apalagi saat mereka tahu soal konsep hitchhiking yang 100% numpang gratisan ya? Gue sempat jelaskan soal konsep ini, sampai gue kasih link khusus komunitas ride sharing sedunia, tapi komentar julid terus saja berdatangan. Niatnya cari teman jalan yang sama-sama orang Indonesia, eh gue malah kena bully. Dan sayangnya, saat mereka sudah terlanjur salah ngomong, mau dijelaskan seperti apapun, mereka tidak akan mau menerima kebenaran yang gue sampaikan. Jadi sudahlah, dihapus saja! Beres masalahnya.

Yang ke tiga, saat ada teman yang mengomentari isi Instagram story yang gue tulis berdasarkan pengalaman kerja di kantor. Dia merasa lebih ahli di bidang itu sehingga apapun yang gue tulis dia anggap salah. Setelah beberapa menit, gue sudahi percakapan itu. Nggak ada untungnya buat gue. Dia ini teman yang sama yang dulu ngotot memaksa gue untuk lebih suka sama penyanyi kesukaan dia dan gemar sekali menjelek-jelekan penyanyj kesukaan gue (padahal, soal selera kan tidak bisa dipaksa!). Dia selalu merasa benar, sehingga kalau mau diteruskan, tidak akan pernah ada habisnya. Gue tidak akan pernah menang melawan dia, dan kalaupun gue bisa menang, apa sih yang sebenarnya akan gue dapatkan? Terus berdebat dengan dia tidak akan membuat gue lebih pintar, yang ada malah akan buang-buang waktu gue saja. Lebih baik waktu itu gue gunakan untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat!

Gue sangat mengerti lonjakan emosi yang membuat kita merasa gatal ingin mendebat, tapi sekarang, gue lebih memilih untuk memakai logika. Sebelum mendebat, gue tanya pada diri gue sendiri; apa untungnya buat gue? Jika tidak ada, tinggalkan saja. Sebagai muslim, meninggalkan debat kusir ini salah satu bagian dari ajaran agama lho. Dan jika saja ada lebih banyak orang yang mempunyai kesadaran ini, maka perdebatan panas di online media tidak akan sampai separah situasi kita saat ini. Mungkin niatnya baik, tapi akhirnya malah jadi merugikan diri sendiri, merusak tali silaturahmi, dan tentunya, malah merusak image kita di mata lawan bicara.

Think before you argue, once it’s out, it’s out forever.

Am I Introvert or Extrovert?

I am introvert, but I can be extrovert when I have to.

Introvert is not comfort to be in the middle of the crowds, and neither am I. Mingle is definitely not my thing, except when it comes to work. Talking to clients and colleagues is a part of my job description, so that like it or not, I have to blend in. I can’t be just the girl who sits quietly on the corner (even back in college, I always sat on the front row just because it helped me to focus with my study back then).

Introvert is more comfortable with small circle of friends and I find it is so true to me. I feel more engaged with a smaller group of friends and I’m not interested to have more friends in my phonebook. However, that simply can’t be the case when I’m at work. Networking can be so powerful I can’t ignore it at all. Not only networking helps me to achieve my goals, but also it gives me the best opportunity I could possibly have.

Finally, as most people know, introvert is shy, and so am I. Introvert is not that kind of person who is carving to be the center of attention. With that being said, I just can’t be shy at work. I have to show others what I’m capable of even if it will tend to make me as the center of people’s attention. I know that being shy will never take me this far in my career. And it turns out that being well known is actually not that bad, not at all!

Does it mean we have to be extrovert at work? Not entirely. There are many introvert qualities that also keep me going with my career.

The first one, introvert is a good observer. When I don’t talk, I observe, I connect the dots, and I get myself an insight. It makes me good at reading people and this kind of knowledge is a powerful skill you’ve got to have at work. When you know the people you work with, you know how to deal with them so that you can work together with them to pursue the goals (in other words, your goal).

The second one, introvert is a better listener. I’m capable to patiently listen to my colleague instead of rushing to get my own turn to speak. And once again, it helps me to get to know the people I’m working with. It gives me so many useful information about them and about many other things happening in the office. Knowledge is power, and sometimes, all you’ve got to do is just to listen to others’ long talks.

The third one, introvert is usually sensitive and so am I. I can sense how others feel towards something just by looking at their gestures and facial expressions. It helps me to predict someone’s reaction to certain thing so that I can prepare the best way to deliver that information to them. Different people may require different approach, and this is where being sensible can be a huge help.

The fourth one, and this is the most important one, happiness of an introvert comes from within. I don’t lay my personal satisfaction on someone else, not even my bosses. I know myself better than anyone else in the office. That’s why I don’t need my boss’ compliment just to make me proud of my works. Not all bosses keen to let me know how satisfied they are with my works and that’s totally fine to me. Same thing when my boss has a bad day, it won’t instantly get under my skin. His problem is not necessarily my problem too. And that to me, is the beauty of being an introvert.

Unlike many researches out there, I’m a firm believer that introvert and extrovert have equal chance to succeed. Everyone can be anyone they want as long as they work hard and work smart to make it happen. Don’t let ourselves become the barrier of our career. Overcome our personality problems and start to make things happen!

My Ultimate Travel Goals

Dari begitu banyak tempat yang ingin gue datangi, berikut ini Top 10 yang belum kesampaian! Semoga gue diberikan cukup umur dan juga cukup waktu untuk mewududkan semuanya. Doakan yaa!

  1. Japan in winter, pengen mampir ke Shirakawa-go saat sedang turun salju dan Jigokudani (mau lihat monyet salju sedang berendam air panas!)
  2. Iceland in winter, pengen coba masuk ke ice cave (mesti kuat dingin!), berendam di Blue Lagoon (di sini boleh pake muslim swimsuit kok), dan pastinya, pengen kejar aurora juga. November tahun ini, insyaallah 🙂
  3. France in summer, terutama karena kepingin foto di ladang bunga lavender saat sedang mekar-mekarnya! Pengen juga hire professionals photographer untuk berfoto dengan Eiffel sebagai backdrop dari berbagai angles! Gue sampe udah simpan beberapa referensi foto untuk nanti berfoto di sana, hehehe;
  4. Foto sambil pangku bayi panda di Chengdu, Cina. Kalau mau, ada juga program volunteer berbayar untuk satu hari penuh. Peserta volunteer bertugas mulai dari bersih-bersih dan kasih makan panda-panda di sana! Aktivitas wajib buat pencinta panda!
  5. Berfoto di tengah gurun pasir yang gede. Foto di tenda dan foto naik unta juga. Waktu ke Arab, cuma sempat foto di sebelah unta dan ukuran gurun pasirnya termasuk kecil banget! Belum good enough untuk centang bucket list gue, hehehehe;
  6. Naik balon udara mengelilingi Cappadocia Turkey dan The Grand Canyon US (kalo nanti main ke US, bolehlah sekalian lihat Niagara Falls, naik ke Empire State Building, dan nonton Broadway);
  7. Pergi ke Maldives bareng sama future husband. Maldives ini udah lama jadi satu-satunya tempat yang nggak akan gue datangi tanpa pasangan. I just don’t think it’s suitable for a trip with friends, isn’t it?
  8. Going back to Santorini, ini juga mesti sama si future husband, hehehehe;
  9. Mampir ke Venice, Italia. Dan ya, ini juga kalo bisa sih pergi sama si future husband gue itu (semoga tulisan ini nggak bikin siapapun orangnya keluar keringat dingin, hehehehe);
  10. My final goal: lihat polar bear di habitat aslinya. Ini bisa dilakukan via Canada, Greenland, Rusia, atau Norway. Pengen juga sekalian foto-foto di rumah igloo yang masih asli (penasaran pingin ngerasain bagian dalam rumahnya). Sebelum datang ke sana mesti latihan tahan dingin dulu nih!

Disadari atau Tidak, Online Media Bisa Membuat Kita Menjadi (Lebih) Nyinyir

Akhir-akhir ini, sedang ngetren istilah “julid”. Menurut staf gue yang masih baru lulus kuliah, julid itu artinya nyinyir (satu lagi istilah yang juga sedang naik daun akhir-akhir ini). Kemudian tadi pagi, gue menemukan video yang mengatakan, “Online media dapat membuat kita mengatakan hal-hal yang tidak akan kita ucapkan langsung kepada orang yang duduk semeja dengan kita.”

And I find it so true!

Awalnya gue pikir, budaya nyinyir di online media (mulai dari social media hingga news portal) itu hanya sering terjadi di Indonesia saja. Tapi ternyata, di negara-negara maju juga keadaannya enggak jauh berbeda! Bule-bule di LinkedIn gue juga seringkali meninggalkan comments yang isinya bikin geleng-geleng kepala.

Nah, balik lagi pertanyaannya… akankah kita mengucapkan hal yang sama tajamnya langsung kepada orang di depan kita?

Gue pribadi fortunately bukan tipe orang yang cuma berani di dunia maya saja. Apapun yang gue tulis di dunia maya juga bisa gue utarakan langsung di dunia nyata. Meski begitu, gue tetap sependapat bahwa kenyataannya, ada begitu banyak orang di sekitar kita yang bisa berubah menjadi lebih lancang di online media.

Kenapa bisa demikian?

Seperti yang pernah gue tulis sebelumnya, seringkali kita lupa bahwa orang yang kita sakiti di dunia maya adalah orang yang juga punya perasaan di dunia nyata. Itu kemungkinan pertama.

Kemungkinan ke dua, online media telah “berhasil” memunculkan sifat asli yang kita sembunyikan di kehidupan nyata sehari-harinya. Jika benar begitu, maka kita sepatutnya khawatir. Jelas bukan pertanda baik jika sifat asli kita betulan kental dengan kebencian yang membabi buta.

Kemungkinan ke tiga, yang ini sederhana saja: kita cuma pengecut yang hanya berani berkomentar di dunia maya saja 😉

Tidak ada yang salah dari menyuarakan pendapat, terutama jika niat dan muatannya positif. Akan tetapi, hal yang paling baik sekalipun akan tetap bisa menjadi suatu hal yang sangat salah jika dilakukan dengan cara yang juga salah. Jangan sampai kita kehilangan teman, keluarga, atau bisa juga, kehilangan kesempatan kerja, hanya karena sesuatu yang kita tulis di dunia maya.

Ingat selalu bahwa sekali kita menaruh sesuatu di online media, maka hal itu akan selalu ada di dunia maya, selama-lamanya.