Semakin ke sini, semakin sering gue menyudahi yang namanya debat kusir. Gue bahkan juga mulai berusaha untuk tidak memulai perdebatan yang tidak perlu.
Apa saja contohnya?
Yang pertama saat gue dengar sekelompok ABG ngobrol soal pentingnya kuliah di universitas negeri. Supaya gampang cari kerja katanya sih. Waktu itu rasanya, gatal ingin ikut komentar. Tapi lalu gue berpikiran, apa gunanya? Nanti malah gue dicap iri hati hanya karena gue ini “cuma” lulusan swasta. Jadi ya sudah, gue ignore saja. Memulai perdebatan soal kampus dan memenangkan perdebatan itu tidak bikin karier gue jadi lebih baik atau lebih buruk. Tidak ada manfaatnya dan malah beresiko merusak hubungan baik dengan mereka. Ada banyak nasehat baik yang bisa gue berikan kepada adik-adik gue itu, dan mendikte mereka harus kuliah di mana jelas bukan salah satunya.
Yang ke dua saat gue posting di salah satu komunitas traveling online Indonesia. Gue cari teman jalan ke Iceland untuk ride sharing dan dengan jujur gue bilang gue enggak bisa nyetir. Respons yang gue dapatkan? 80% komentar yang tidak membantu sama sekali. Ada yang malah nyuruh gue belajar nyetir (padahal, orang yang sudah biasa nyetir di Indonesia saja belum tentu sanggup menyetir di atas salju dan es), dan kebanyakan, malah bilang seolah tidak pantas mencari teman jalan hanya untuk dijadikan supir (malah, ada juga yang minta dibayari tiket pesawatnya, hehehe). Akhirnya, setelah gue dapat teman jalannya, post itu gue hapus dari forum. Menjawab kenyinyiran netijen tidak akan bikin gue merasa lebih baik, yang ada hati akan makin panas dengan balasan mereka. Baru di situ gue sadari istilah ride sharing masih tidak common di Indonesia. Jika mendengar ride sharing saja mereka langsung sewot, apalagi saat mereka tahu soal konsep hitchhiking yang 100% numpang gratisan ya? Gue sempat jelaskan soal konsep ini, sampai gue kasih link khusus komunitas ride sharing sedunia, tapi komentar julid terus saja berdatangan. Niatnya cari teman jalan yang sama-sama orang Indonesia, eh gue malah kena bully. Dan sayangnya, saat mereka sudah terlanjur salah ngomong, mau dijelaskan seperti apapun, mereka tidak akan mau menerima kebenaran yang gue sampaikan. Jadi sudahlah, dihapus saja! Beres masalahnya.
Yang ke tiga, saat ada teman yang mengomentari isi Instagram story yang gue tulis berdasarkan pengalaman kerja di kantor. Dia merasa lebih ahli di bidang itu sehingga apapun yang gue tulis dia anggap salah. Setelah beberapa menit, gue sudahi percakapan itu. Nggak ada untungnya buat gue. Dia ini teman yang sama yang dulu ngotot memaksa gue untuk lebih suka sama penyanyi kesukaan dia dan gemar sekali menjelek-jelekan penyanyj kesukaan gue (padahal, soal selera kan tidak bisa dipaksa!). Dia selalu merasa benar, sehingga kalau mau diteruskan, tidak akan pernah ada habisnya. Gue tidak akan pernah menang melawan dia, dan kalaupun gue bisa menang, apa sih yang sebenarnya akan gue dapatkan? Terus berdebat dengan dia tidak akan membuat gue lebih pintar, yang ada malah akan buang-buang waktu gue saja. Lebih baik waktu itu gue gunakan untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat!
Gue sangat mengerti lonjakan emosi yang membuat kita merasa gatal ingin mendebat, tapi sekarang, gue lebih memilih untuk memakai logika. Sebelum mendebat, gue tanya pada diri gue sendiri; apa untungnya buat gue? Jika tidak ada, tinggalkan saja. Sebagai muslim, meninggalkan debat kusir ini salah satu bagian dari ajaran agama lho. Dan jika saja ada lebih banyak orang yang mempunyai kesadaran ini, maka perdebatan panas di online media tidak akan sampai separah situasi kita saat ini. Mungkin niatnya baik, tapi akhirnya malah jadi merugikan diri sendiri, merusak tali silaturahmi, dan tentunya, malah merusak image kita di mata lawan bicara.
Think before you argue, once it’s out, it’s out forever.