My France Trip Itinerary (Wanted: Travelmate!)

Awalnya, gue pengen pergi ke Prancis akhir bulan November sampai dengan awal bulan Desember (2 weeks trip). Ceritanya kan, sekalian ulang tahun di sana, hehehehe. Pertimbangan lainnya, periode ini termasuk ideal untuk bisa cuti dan cuacanya juga masih acceptable buat gue yang enggak suka sama summer heat (kalo kepanasan, muka gue jadi oily dan kelihatan kurang bagus saat difoto, hehehehe) tapi enggak sanggup juga handle temperatur di bawah 3 derajat celcius (hidung berair, muka pucat, tangan serasa kebas… ndeso banget deh pokoknya :p ).

Tapi ternyata… boat tour di Gorge du Verdon (canyon river yang keren banget itu!) hanya buka di summer season saja. Belum lagi lavender dan bunga matahari di daerah Provence yang juga hanya mekar si musim panas saja… Jadilah gue kepikiran untuk reschedule tiket pesawat gue dari November ke akhir Juni (berangkat di hari ke dua Lebaran). Jika harga reschedule tiket gue ini masih masuk akal, maka berikut ini itinerary gue!

June 27, landed on Paris and go straight to Aix en Provence

Istirahat sebentar, mandi + dandan, lalu jam 2 siang langsung ikut group tour ke ladang lavender dan bunga matahari!

 June 28, visit Verdon Gorge!

Verdon Gorge ini salah satu places to visit before I die, ini pula sebabnya gue relakan bayar extra money hanya untuk ganti tanggal tiket… Gue pengen banget naik boat  (yang biasanya warna putih itu) menyusuri canyon-nya! Selain mengunjungi Verdon canyon, itinerary-nya juga termasuk Lake of Sainte-Croix, Moustiers-Ste-Marie, Manosque, dan sekalian mampir ke pabriknya L’occitane (gue suka banget sama produknya, dan katanya mereka jual di sana dengan harga lebih murah!).

June 29, Camargue

Awalnya tidak terpikir untuk datang ke sini, tapi secara sudah jauh-jauh ke Provence, jadi sekalian saja! Main destination? Lihat burung flamingo di bird park-nya!

June 30, explore Luberon Village

Katanya sih, Luberon Village ini salah satu desa yang paling cantik di Prancis. Check the pictures below!

July 1, go back to Paris and visit Versailles

Agenda di hari ini gue bikin agak santai… hanya Versailles Palace dan sekitarnya saja, secara istana ini sebetulnya sudah lumayan besar, apalagi jika mau keliling tamannya juga. Oh ya, rencananya gue mau sewa sepeda untuk berkeliling di sini!

July 2, explore Colmar & Eguisheim

Agenda di hari ini lebih ke jalan-jalan santai, foto-foto, dan naik boat di Little Venice-nya. Kenapa gue kepingin datang ke sini? Check the pictures below!

Note: Eguisheim itu desa yang menginspirasi desanya Belle di Beauty and the Beast lho.

July 3, Loire Valley

Bertema castle trip, di hari ini gue akan berkunjung ke Loire Valley yang dalam bayangan gue, rasanya akan seperti melangkah ke dalam cerita dongeng! Chambord; salah satu castle di wilayah ini dulunya merupakan bangunan yang menginspirasi kastilnya Beauty and the Beast! Castle yang ingin gue kunjungi di antaranya Chambord, Chenonceau, dan Amboise.

April 4, Disneyland! 

Di Paris ini, ada dua Disney parks yang berbeda: Disneyland Park dan Walt Disney Studios Park. Awalnya kepingin datang ke dua parks sekaligus, tapi setelah lihat-lihat isi attractions-nya, gue lebih pilih untuk hanya datang ke Disneyland Park-nya saja. I always love Disneyland and I’m sure I’m going to love this one too!

July 5, Eiffel (finally!) & Louvre

Di hari ini, gue punya agenda pribadi buat hire professional photographer selama 4 jam. Backdrop-nya apa lagi kalau bukan Eiffel tower! Gue udah punya beberapa photo spot yang gue mau dan rencananya, fotografer ini akan gue bawa naik cruise-nya (kalau perlu sekalian naik sampai ke atas Eiffel Tower-nya juga), supaya hasil fotonya jadi variatif, hehehehe.

Setelah photo session, gue akan beranjak ke Louvre. Gue bukan tipe orang yang senang buru-buru saat berkunjung ke museum. I will take my time, as long as I like. Itu sebabnya, agenda gue di hari ini cukup hanya 2 tempat saja.

July 6, Notre-Dame dan Montmartre 

Dua tempat ini kayaknya termasuk must visit saat di Paris. I’ll give it a try!

Malam harinya, gue mau nonton setidaknya satu cabaret show di Paris, tapi masih ragu-ragu mau nonton yang mana. Tadinya mau nonton Moulin Rouge, tapi kok pake ada penari topless segala ya? Udah terlalu touristy juga cabaret show yang satu itu. Ada rekomendasi? Let me know!

July 7-8, no idea (just yet!)

Seriously, I still have no idea what to do for these two days 😀 Please leave comments if you have any suggestion!

July 9, shopping day!

Hari terakhir di Paris akan gue mulai dari Champs-Élysées untuk acara belanja plus foto-foto sebentar di depan Arc de Triomphe. And yes, of course I’m going to visit Louis Vuitton store! Ini juga kan salah satu things to do before I die 😀 Agak shallow sih emang, hehehehe. Udah lama naksir hatbox-nya LV, semoga jadi kebeli! Selain itu, gue juga mau hunting toko parfum yang ada di novel/film Me Before You itu lho, hehehehe.

Di hari ini, gue berencana pulang ke hotel agak lebih awal untuk packing dan juga untuk tidur lebih cepat supaya tidak ketinggalan pesawat besok paginya.

P.s.: Tergoda lihat foto-foto yang gue posting di atas? Ikut yuk! Gue masih cari teman jalan nih, hehehehe.

Little Things I’m Enjoying This Year

I’m a believer that happiness can also come from the little things. Here is the list of the little things I’m enjoying throughout the year!

  1. Wake up early in the morning and I can hear the birds chipping from the trees outside of my windows!
  2. Sleep surrounded by multiple pillows, bolsters, cushions, and dolls!
  3. Taking pictures with my new phone! Check my Instagram account to see how awesome this phone camera really is!
  4. Random talks with my four years nephew. He can be smart, funny and sweet all in the same time!
  5. Open video gallery in my phone and watch the videos of my little niece. She’s so adorable!
  6. Leave office on time just to watch my favorite TV shows (The Royals, Scandal, Notorious, and many more!)
  7. Just found a dessert restaurant in Kemang (restaurant name: Cacaote) and I have tried nearly all of their cakes menu! It’s fun to try different cake in every order and to wonder how it tastes! My favorite? Mango, vanilla, and raspberry flavor; they’re the best!
  8. Play Gojek swipe games and I can earn up to 400 points at one swipe!
  9. Order Gofood only to buy one cup of bajigur, almost everyday until I get bored, hehehehe;
  10. Browse my old folders and find many pictures to be posted to Instagram. Somehow I can be surprised seeing how good those pictures are, hehehe;
  11. Pamper myself with mani-pedi (I love seeing how pretty my nails turned out!), brow threading (tried once and I’m addicted to it now!), try Bio Oil to get rid the marks from my bike accident in Greece;
  12. Mix and match old clothes in my wardrobe. It’s odd how I can forget that I have some cool stuffs in there, hehehe;
  13. Long chats with some old friends. They’ve really helped me to get through the worst days of my life!
  14. Watch cute cats and dogs videos on Instagram; and
  15. Spend times alone just to figure out, “What’s next?” The ideas popped up on my mind can be unpredictably awesome, hehehehe.

Have fun with the little things and wish you a wonderful weekend!

If He Has These 5 Qualities, He’s a Keeper

Apa kriteria pasangan idaman kalian? Good looking, lucu, pintar, perhatian? Well, that is so teenager, isn’t that? 

Realitanya, definisi pasangan ideal sama sekali tidak sesederhana itu. Ada hal-hal sepele yang dulu gue lewatkan dan baru sekarang gue sadari betapa pentingnya hal-hal sepele itu dalam membangun sebuah hubungan jangka panjang. Belajar dari pasangan-pasangan yang paling bahagia yang pernah gue kenal, berikut ini 5 hal penting yang menandakan bahwa si dia adalah pasangan yang pantas untuk kita pertahankan.

He puts our comfort and happiness before him

Dulu, pernah ada cowok yang peduli banget sama gue sampai hal kecil sekecil-kecilnya. Jika diingat kembali, dulu dia sering banget mengutamakan diri gue sebelum dia mengutamakan dirinya sendiri. Contohnya tiap kali pergi makan bareng. Begitu masuk restoran, dia akan langsung meneliti isi buku menu… bukan untuk berpikir dia mau makan apa, tapi lebih memikirkan apakah ada menu yang bisa gue makan (ya, dulu itu, gue picky banget untuk urusan makanan). Kemudian tiap kali pergi makan ke restoran Cina atau Jepang, hal pertama yang dia minta setelah memesan makanan adalah sepasang sendok dan garpu. Bukan buat dia, tapi buat gue yang dulu sama sekali tidak bisa makan pakai sumpit. Dia mendengar baik-baik semua isi cerita gue , dan… dia tidak segan menunjukkan bahwa dia sangat mengenal gue, luar-dalam.

His action shows us how much he cares

Perhatian itu bukan soal seberapa rajin dia telepon kita hanya untuk tanya sedang apa, di mana, sudah makan atau belum, dan basa-basi standar ala orang pacaran pada umumnya. Perhatian yang sesungguhnya jauh melebihi sekedar kata-kata.

Gue kebetulan punya beberapa sahabat cowok yang menunjukan perhatian mereka (sebagai teman) dalam bentuk tindakan yang nyata. Membelikan makanan dan obat saat gue sakit. Atau sekedar memberikan satu-satunya helm yang dia punya untuk gue gunakan selama berboncengan dengan dia di motornya.

If he means it, he will show it.

He knows our flaw and he loves us anyway 

Mencintai seseorang di saat-saat terbaiknya itu mudah, tapi tetap mencintai seseorang meski setelah kita mengenal dia luar-dalam, lengkap dengan segala kekurangan, kesalahan, dan kegagalannya, itu lain cerita.

Dan bukan hanya berlaku untuk cowok sebenarnya… menerima seseorang apa adanya juga bisa jadi tantangan tersendiri untuk cewek pada umumnya. Makanya… kalau sudah ketemu seseorang yang tetap memiliki keyakinan atas diri kita meski setelah melihat sisi buruk dalam diri kita ini, lebih baik diusahakan sekuat tenaga untuk mempertahankan dia dalam hidup kita.

He forgives us, over and over again

Ironisnya, semakin dekat kita dengan seseorang, justru semakin besar dampak rasa sakit yang bisa kita goreskan dalam hati mereka itu. Dan hubungan yang awet itu sama sekali bukan hubungan yang tidak pernah saling menyakiti, melainkan hubungan di mana keduanya selalu bersedia untuk saling memaafkan, lagi… dan lagi… dan lagi…

He does the extra miles just to make us happy

Dulu, pernah ada satu cowok yang tidak pernah gagal membuat gue terkejut dengan usaha-usaha dia untuk menyenangkan gue. Bukan soal hadiah mahal atau apa, tapi sekedar tahu dia rela berusaha keras untuk mewujudkan keinginan gue saja sudah sangat menyentuh hati. Misalnya, saat dia repot-repot mencarikan komik kesukaan gue yang saat itu sedang sangat langka di toko buku terdekat. Gue hanya cerita gue sedang cari komik itu, dia langsung bergerak sendiri untuk mencari buku itu sampai dapat. Hanya komik, tapi sangat berkesan!

Kenyataannya, masih banyak cowok yang malas repot-repot sampai sebegitunya. Tidak semua orang menyadari, tapi sebetulnya, punya pasangan yang mau berusaha ekstra keras untuk membahagiakan mereka itu sudah seharusnya mereka syukuri dan hargai.

Finally, you can settle for the less, except on how much he cares about you

Tidak ada yang salah dari mengurangi kriteria yang kita miliki untuk pasangan ideal. Penampilan fisik bukan segalanya, kemapanan bisa dibangun perlahan-lahan, bahkan kesamaan hobi sebetulnya tidak harus jadi patokan. Hal-hal seperti itu bisa kita coret dari daftar kriteria yang kita punya, tapi sekali lagi gue tulis di blog ini, jangan biarkan diri kita berakhir dengan cowok yang menyayangi kita sekadarnya saja.

Ada Apa dengan Generasi Y?

Beberapa hari yang lalu, ada satu topik di CFO Innovation Forum yang lumayan bikin gue kepikiran sampai beberapa hari lamanya. Saat tengah berlangsung diskusi tentang tips dan trik mempertahankan top talents; ada dua peserta yang mengajukan pertanyaan soal bagaimana caranya mempertahankan generasi Y alias generasi yang lahir tahun 80 sampai dengan 90-an. Ternyata menurut generasi sebelumnya, generasi Y itu identik dengan kreatif, ambisius, tetapi sangat mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

Sebagai satu dari sedikit peserta forum yang lahir di tahun 80-an, gue hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan diskusi saat itu. Dalam diam gue berpikir…

“Is it a good or bad thing? And WHY? Why do we; the Y generation, tend to do that?”

Kalau menurut pendapat gue, kasus gue sendiri tidak sebegitu parahnya. Gue cuma pernah satu kali kerja di satu perusahaan kurang dari satu tahun, itu pun hanya pekerjaan freelance yang memang hanya ideal untuk mahasiswa yang masih harus menyelesaikan studinya. Segera setelah lulus sidang S1, gue langsung pindah ke pekerjaan yang dapat memberikan status karyawan permanen ketimbang hanya freelancer saja. Setelah itu, masa kerja gue kurang lebih selalu kisaran tiga tahun untuk masing-masing tiga perusahaan berikutnya. 

It’s not that bad, is it?

Meski menurut gue masa kerja gue masih wajar-wajar saja, kenyataannya memang, di mata generasi yang lebih tua pada umumnya, gue tetap termasuk golongan “kutu loncat”. Masih ok menurut teman-teman gue pada umumnya, tapi tetap dianggap terlalu cepat berpindah-pindah setidaknya di mata para orang tua di keluarga besar gue. Itu sebabnya gue jadi tergelitik untuk bertanya pada diri gue sendiri… kenapa? Kenapa generasi gue ini bisa sampai lebih dikenal sebagai kutu loncat yang bahkan bisa berganti pekerjaan dalam satu atau dua tahun sekali?

Berikut ini hasil observasi terbatas gue beberapa hari belakangan ini. Gue tidak bilang isi tulisan gue ini secara mutlak menggambarkan SEMUA orang yang termasuk dalam generasi Y, tapi setidaknya, poin-poin di bawah ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pengalaman orang-orang terdekat yang juga masuk ke dalam generasi Y. Semoga isi tulisan gue ini bisa jadi bahan instropeksi buat kita semua!

Generasi Y menyukai sesuatu yang instan

Gue cukup sering melihat generasi Y yang memutuskan untuk pindah kerja hanya demi mendapatkan kenaikan pangkat atau minimal kenaikan gaji melebihi pekerjaan mereka sebelumnya. Pola pikir mereka, “Jika ada yang lebih cepat, kenapa tidak?” 

Generasi Y, disadari atau tidak, punya jiwa berkompetisi yang lebih tinggi

Selain faktor ingin serba instan, generasi Y cenderung lebih tidak mau kalah dengan teman-temannya sendiri. Ada rasa terpacu yang menggebu saat melihat teman-teman lain yang sudah duduk di level manajerial (atau bahkan level direksi!) di usia yang masih terbilang muda. Gue juga sering melihat generasi Y memutuskan resign hanya karena faktor kompetisi yang gue sebutkan di sini. Semacam pembuktian, “Kalau dia bisa, gue juga bisa!”

Generasi Y lebih mudah merasa jenuh

Kenapa semakin ke sini semakin banyak perusahaan yang memperbolehkan karyawannya berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya? Karena generasi masa kini terkenal sangat mudah jenuh dengan pekerjaanya. Gue sendiri pun, satu dari sekian banyak generasi Y yang pernah meninggalkan pekerjaan yang katanya impian sejuta umat hanya karena merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja.

Generasi Y lebih menjunjung tinggi hidup bahagia

Gue dan cukup banyak generasi Y lainnya punya prinsip mendasar bahwa hidup itu yang penting bahagia. Toleransi kita terhadap hal-hal yang dapat mengurangi kebahagiaan jadi terbilang sangat rendah. Jika pekerjaan kita saat ini tidak berhasil (atau tidak lagi) mendatangkan kebahagiaan yang kita inginkan, maka kita akan lebih memilih untuk mencoba peruntungan dengan mencari kebahagiaan itu di tempat lain di luar sana.

Generasi Y lebih suka “mengganti” daripada “memperbaiki”

Handphone sudah mulai sering hang? Ganti baru saja. Bos sudah mulai terasa sangat-sangat menyebalkan? Ganti bosnya saja! Cari perusahaan lain saja…

Generasi Y lebih “idealis”

Semakin ke sini, semakin banyak karyawan muda yang nekad resign meskipun masih belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Gue akui bahwa dulu juga gue pernah melakukan hal yang sama. Padahal, pekerjaan yang gue tinggalkan sama sekali tidak sebegitu buruknya. Malah sebetulnya, gue sudah mendapatkan gaji dan tunjangan di atas rata-rata. Kenapa tetap resign juga? Karena idealisme. Karena ada satu atau dua hal dalam pekerjaan tersebut yang tidak sejalan dengan definisi pekerjaan ideal menurut versi gue ini.

Generasi Y lebih impulsif dan di saat yang bersamaan, bersifat lebih naif

Entah bagaimana, generasi Y cenderung lebih meyakini bahwa di luar sana, PASTI ada pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan kita saat ini. Kita seolah lupa bahwa tidak ada pekerjaan yang sempurna. Saking impulsifnya, tidak terpikir di benak kita bahwa kenyataannya, mau bekerja di manapun (bahkan jika kita berbisnis sendiri pun) tetap akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasa tidak tahan dan ingin “menyerah” saja.

Kesimpulannya? Generasi Y lebih mudah untuk menyerah!

Gue sering mendengar para generasi Y (termasuk gue sendiri) bilang begini, “Gue ngerasa pekerjaan gue ini udah jadi semacam comfort zone.”

Meski katanya penting untuk kita merasa nyaman dalam menjalani sesuatu, kenyataannya, istilah comfort zone justru identik dengan konotasi negatif. Terjebak dalam comfort zone seringkali dianggap mimpi buruk di mata generasi Y. Padahal bisa jadi sebetulnya, kita hanya sedang mencari-cari alasan untuk menyerah saja.

So? Is it good or is it bad?

Meski kedengarannya memang tidak enak (kesannya kok ya, generasi Y ini generasi yang lembek banget), menurut pendapat gue, tidak ada “benar dan salah” dari semua perilaku generasi Y yang gue sebutkan di atas. Gue akui bahwa kadang-kadang, menyerah kalah (bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga dalam hal-hal lainnya) bisa jadi pilihan terbaik yang gue miliki saat itu. Toh kenyataannya, gue tidak pernah menyesali keputusan gue untuk resign dari perusahaan-perusahaan gue sebelumnya. Gue bersyukur dengan semua pekerjaan yang pernah gue miliki, tapi gue juga mensyukuri keputusan gue untuk pindah ke pekerjaan selanjutnya.

Misalnya, gue bangga banget pernah kerja di EY. Mencantumkan EY di CV gue telah memberikan gue peluang untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan gue selanjutnya. Tapi, gue juga bersyukur gue tidak berlama-lama kerja di sana, karena ternyata, gue jauh lebih menyukai pekerjaan sebagai corporate finance daripada pekerjaan sebagai financial auditor.

Meskipun demikian, bukan berarti gue mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari menjadi kutu loncat. Sekali lagi, tidak ada “benar” dan “salah” yang sifatnya mutlak dalam topik yang satu ini. Semuanya harus kembali pada diri kita sendiri. Beda orang bisa beda kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Lagipula sebetulnya, selama kami (para generasi Y) masih melompat-lompat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, itu artinya, kami masih belum menyerah untuk mengejar mimpi.

Pada akhirnya, gue hanya bisa berusaha menanamkan pola pikir ini pada diri gue sendiri tiap kali gue dihadapi pada dilema ingin resign atau tetap di sini, “If I do this, will I be proud of myself for doing this?”

Ask that question, repeteadly, before making any decision.

My Two Cents – Haqy Selma Journey

Sudah baca cerita ala fairy tale Selma-Haqy yang notabene anaknya Amien Rais itu? Lama-lama, gue gatal juga pengen ikutan komentar. Banyak yang berprasangka, Selma tega meninggalkan pacar lamanya demi langsung married dengan Haqy yang sudah mapan. Dengan Haqy yang anak orang kaya dan ternama. Bisa jadi benar, tapi bisa juga tidak benar.

Sebagai sesama cewek, gue bisa melihat Haqy seperti Selma melihat suaminya itu: gentle man yang tahu pasti apa yang dia inginkan dan mau terang-terangan berusaha untuk mendapatkannya. Seperti yang gue peenah tulis sebelumnya, cowok yang percaya diri itu kelihatan seksi, hehehe.

Hanya saja kenyataannya, cowok seperti itu sudah semakin langka. Banyak cowok jaman sekarang yang bisanya hanya kasih kode-kode saja. Atau sesekali nge-date tanpa ada kepastian mau dibawa ke mana. Atau pacaran sampai bertahun-tahun tanpa jelas arah dan tujuannya. 

Gue bahkan kenal beberapa cowok yang terang-terangan punya prinsip, “Jika tidak ada peluang, tidak usah dicoba-coba.” Makanya, sekalinya ada cowok yang berani coba-coba dan mempertaruhkan perasaannya sendiri, di mata cewek pada umumnya akan terlihat “cowok banget”. 

Modern atau tradisional, mandiri atau manja, usia 20-an atau 30-an, perempuan tetap perempuan; punya naluri dasar untuk jatuh hati dengan cowok yang mampu menempatkan dirinya sebagai “a fighter”. Yang punya keyakinan kuat atas dirinya sendiri. Yang betulan mampu meyakinkan kita, para perempuan, bahwa dia itu laki-laki yang siap serta mampu untuk menjadi pemimpin atas diri kita ini.

Makanya kalau menurut gue, bisa jadi, Selma memilih Haqy yang sudah mapan itu hanya kebetulan saja. Masih banyak Selma-Haqy di luar sana yang nekad membangun rumah tangga dengan bermodal kesederhanaan, hanya saja bedanya, mereka tidak sampai terekspos karena memang bukan anak dari orang ternama. 

Jadi perempuan itu kadang sangat capek rasanya. Capek menebak isi hati si dia. Capek dengan rasa insecure soal posisi kita sebetulnya ada di mana. Capek berpikir bagaimana caranya supaya dia tergerak untuk memberi kepastian. Capek bertanya-tanya masih kurang apa diri kita ini. Capek berdebat dengan diri sendiri apa harus tetap bertahan atau mulai cari yang lain saja… Makanya, saat datang cowok ala Haqy yang sangat jelas apa maunya, wah, itu memang rasanya seperti menemukan oase di gurun pasir! 

Memang benar merebut pacar orang lain tidak etis. Memang benar juga bahwa yang namanya pernikahan tidak boleh dipaksakan. Dan jelas memang benar bahwa Selma dan mantan pacarnya itu hanya tidak berjodoh saja. Tapi di saat yang sama, memang benar juga bahwa pada dasarnya, perempuan hanya perlu rasa aman. Perempuan perlu yakin bahwa dia tidak menjatuhkan perasaannya pada laki-laki yang salah; pada laki-laki yang hanya akan mematahkan hatinya – lagi dan lagi.

Someday, Somebody Will See Me the Way My Best Friends See Me

Have I ever told you how lucky I am for having incredible friends who somehow, choose to stay with me inspite of all my flaws?

They always see the good things in me. They believe that I must have a very good reason behind everything I do, even when it doesn’t always look pretty.

They are hurt, they are angry, they feel my pain everytime I’m wounded inside. Say something horrible about me, they will be the first ones who stand up for me, without being asked.

They care about me even when I don’t feel like I deserve any of that. They think of my problems as if those problems were theirs. They step up, they do something, just to make my problems go away. They really go beyond my imagination, a lot more than I ever expect from a best friend.

They have my name in their prayers, they sincerely wish nothing but the best for me, my life, and my future.

They know how cranky, grumpy, annoying, and moody I can be, but they also know that no matter how bad things go, I’ll never ever be one bad person. I’m no angel, but I’m not an evil either.

They understand I can be extremely noisy, pushy, demanding, and brutally honest, all of that just because I care. They also understand how weird and mellow and stubborn I can be, and all of that just because the way I am. It’s just the trait that has made me who I really am.

Can’t you see it now? For some reasons, they always find a way to believe in me. To forgive me. To accept me for being who I am. They help me to evolve, to be the very best of me. Not only they support me when life knocks me down, they also celebrate with me when this life raises me up. And everytime I feel so bad about myself, they constantly remind me that I am never as bad as I think I am.

They; my very best friends, make me believe that someday, a right man will come along and see me they way they see me. Treats me the way they treat me. Cares about me, fights for me, and chooses to always stay here right by my side. He will always stay, no matter what.

As my best friends always tell me all the way, “Hang on! You’ll get there, someday.”

Hidup Lebih Luas dari Dinding Kantor dan Rumah Saja

Awalnya, gue tipe orang yang merasa cukup dengan diri gue dan karier gue saja. Cukup ketemu teman-teman sesekali saja, toh di kantor juga sudah seminggu lima kali ketemu sama teman-teman sekantor. Weekend lebih enak di rumah, bangun siang, nonton serial TV kesukaan, home spa, atau pergi ke mall untuk nonton dan belanja sepuasnya. 

Puas dengan pekerjaan, puas dengan eratnya hubungan gue dengan rekan kerja, puas bisa memanjakan diri dengan beli ini dan itu, sempat membuat gue tenggelam dalam dunia gue sendiri. Sisi positifnya, gue bisa membuktikan bahwa gue bukan lagi tipe orang yang menggantungkan kebahagiaan gue di tangan orang lain. Menyenangkan awalnya, sampai lama kelamaan gue mulai bosan.

Gue lalu teringat sahabat-sahabat yang telah menemani gue bertahun-tahun lamanya. Gue mulai menyempatkan waktu untuk bertukar kabar dengan mereka. Hang out bareng lagi, traveling bareng lagi! Pergi berkunjung ke rumah sahabat, bahkan pernah sampai menginap beberapa hari lamanya!

Gue juga mulai menyisihkan lebih banyak waktu untuk keluarga gue sendiri. Mulai pulang ke rumah ortu lebih sering dari sebelumnya. Gue tetap suka tidur sampai siang di akhir pekan, tapi gue juga suka dibangunkan oleh ketukan pintu dari keponakan gue di Sabtu dan Minggu pagi.

Gue juga sudah tidak pernah lagi membiarkan jatah cuti gue hangus begitu saja. Gue sempatkan untuk traveling, setidaknya tiga bulan sekali. Gue manfaatkan business trip untuk dilanjutkan dengan leisure trip! Gue kembali lagi seperti gue di awal karier dulu; ada tiket murah? Langsung beli saja dulu! 

Sekarang, hidup gue jadi lebih berwarna. Lebih ramai dari sebelumnya. Masa-masa yang seharusnya sangat berat jadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani. Gue punya lebih banyak teman untuk berbagi. Lebih banyak alasan untuk tertawa. Dan lebih banyak kesempatan untuk menikmati hidup dengan cara yang berbeda-beda.

Hidup bukan hanya sebatas dinding kantor dan kamar tidur saja. Lihat dunia luar, jangan terlalu malas dengan hanya bermalasan di kamar tidur sepanjang akhir pekan! Jangan pula membiarkan karier menjadi satu-satunya kehidupan yang kita miliki. Karena bagaimanapun, ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diisi dengan karier kita saja.

Ada orang-orang tertentu, gue salah satunya, yang masih perlu belajar untuk memberi ruang untuk orang lain. Untuk hal lain. Untuk tujuan lain yang lebih besar dari sekedar membahagiakan diri sendiri. Pada akhirnya, kita akan mengerti dengan sendirinya kenapa orang bilang, “The more, the merrier.”

Selamat bermalam minggu!

Kenapa Selalu Ada Saja Perempuan yang Senang Mempersulit Hidup Sesama Perempuan?

Seringkali gue berpikir… kenapa ya, banyak sekali perempuan yang suka mempersulit hidup sesama perempuan lainnya?

Sebelum panas dan tersinggung dengan apa yang gue tulis barusan, coba kita pikir kembali.

Siapa yang lebih sering menanyakan 5 pertanyaan di bawah ini? Perempuan atau laki-laki?

“Kapan married?”

“Udah setahun married kok masih belum punya anak?”

“Setelah melahirkan, kok masih mau kerja kantoran sih?”

“Kenapa bayinya dikasih minum susu formula?”

“Elo gendutan ya kayaknya?”

Selain mengajukan pertanyaan usil yang sebetulnya bukan urusan mereka, entah kenapa, perempuan memang paling senang membicarakan perempuan lainnya. Dan, mereka juga paling sering menunjukan sifat iri dan dengki kepada sesama perempuan lainnya.

Ada teman perempuan baru mendapatkan promosi? Langsung dibahas ramai-ramai, dibahas soal status si teman yang masih saja jomblo karena karier-nya sudah ketinggian.

Ada teman perempuan baru jadian, tunangan, atau melangsungkan pernikahan? Cowok yang bersangkutan akan langsung dinilai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terkadang, komentar yang terlontar bisa sangat menyakitkan hati.

Si teman beli tas bermerk, dibahas dan dibilang buang-buang uang. Si teman kelihatan mendadak kurus, dibilang hidupnya tidak bahagia. Si teman mulai lebih berisi setelah menikah, dibilang tidak lagi merawat diri mentang-mentang sudah “sold out”. Kedengarannya memang ironis, tapi entah kenapa, selalu ada saja perempuan di sekitar gue yang senang mencari cara untuk merusak kebahagiaan perempuan lainnya.

Kemudian menurut pengalaman gue, secara umum perempuan tidak bisa menjaga rahasia sebaik laki-laki. Sudah dibilang “ini rahasia”, masih saja disebarluaskan sambil ditambahkan, “jangan bilang siapa-siapa ya.”

Susahnya lagi jadi perempuan, mau berpakaian seperti apapun (terbuka, tertutup, jilbab pendek atau jilbab lebar), akan tetap selalu ada perempuan lain yang mengomentari. Makin cantik orangnya, makin sering dijadikan bahan obrolan.

Gue juga perempuan, dan tidak henti-hentinya gue mengingatkan diri untuk tidak ikut-ikutan. Gue lebih memilih untuk ikut bahagia saat orang lain berbahagia. Gue tidak merasa perlu iri, karena pada dasarnya, tiap orang pastilah punya kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Lagipula toh, mengurusi hidup gue sendiri saja masih luar biasa sulitnya, buat apa pula gue repot-repot mengomentari hidup orang lain yang sama sekali bukan urusan gue.

Prinsip yang sekarang gue coba terapkan, “Jika tidak ada manfaatnya, jika bukan urusan gue sama sekali, tidak usah diucapkan.”