If He Has These 5 Qualities, He’s a Keeper

Apa kriteria pasangan idaman kalian? Good looking, lucu, pintar, perhatian? Well, that is so teenager, isn’t that? 

Realitanya, definisi pasangan ideal sama sekali tidak sesederhana itu. Ada hal-hal sepele yang dulu gue lewatkan dan baru sekarang gue sadari betapa pentingnya hal-hal sepele itu dalam membangun sebuah hubungan jangka panjang. Belajar dari pasangan-pasangan yang paling bahagia yang pernah gue kenal, berikut ini 5 hal penting yang menandakan bahwa si dia adalah pasangan yang pantas untuk kita pertahankan.

He puts our comfort and happiness before him

Dulu, pernah ada cowok yang peduli banget sama gue sampai hal kecil sekecil-kecilnya. Jika diingat kembali, dulu dia sering banget mengutamakan diri gue sebelum dia mengutamakan dirinya sendiri. Contohnya tiap kali pergi makan bareng. Begitu masuk restoran, dia akan langsung meneliti isi buku menu… bukan untuk berpikir dia mau makan apa, tapi lebih memikirkan apakah ada menu yang bisa gue makan (ya, dulu itu, gue picky banget untuk urusan makanan). Kemudian tiap kali pergi makan ke restoran Cina atau Jepang, hal pertama yang dia minta setelah memesan makanan adalah sepasang sendok dan garpu. Bukan buat dia, tapi buat gue yang dulu sama sekali tidak bisa makan pakai sumpit. Dia mendengar baik-baik semua isi cerita gue , dan… dia tidak segan menunjukkan bahwa dia sangat mengenal gue, luar-dalam.

His action shows us how much he cares

Perhatian itu bukan soal seberapa rajin dia telepon kita hanya untuk tanya sedang apa, di mana, sudah makan atau belum, dan basa-basi standar ala orang pacaran pada umumnya. Perhatian yang sesungguhnya jauh melebihi sekedar kata-kata.

Gue kebetulan punya beberapa sahabat cowok yang menunjukan perhatian mereka (sebagai teman) dalam bentuk tindakan yang nyata. Membelikan makanan dan obat saat gue sakit. Atau sekedar memberikan satu-satunya helm yang dia punya untuk gue gunakan selama berboncengan dengan dia di motornya.

If he means it, he will show it.

He knows our flaw and he loves us anyway 

Mencintai seseorang di saat-saat terbaiknya itu mudah, tapi tetap mencintai seseorang meski setelah kita mengenal dia luar-dalam, lengkap dengan segala kekurangan, kesalahan, dan kegagalannya, itu lain cerita.

Dan bukan hanya berlaku untuk cowok sebenarnya… menerima seseorang apa adanya juga bisa jadi tantangan tersendiri untuk cewek pada umumnya. Makanya… kalau sudah ketemu seseorang yang tetap memiliki keyakinan atas diri kita meski setelah melihat sisi buruk dalam diri kita ini, lebih baik diusahakan sekuat tenaga untuk mempertahankan dia dalam hidup kita.

He forgives us, over and over again

Ironisnya, semakin dekat kita dengan seseorang, justru semakin besar dampak rasa sakit yang bisa kita goreskan dalam hati mereka itu. Dan hubungan yang awet itu sama sekali bukan hubungan yang tidak pernah saling menyakiti, melainkan hubungan di mana keduanya selalu bersedia untuk saling memaafkan, lagi… dan lagi… dan lagi…

He does the extra miles just to make us happy

Dulu, pernah ada satu cowok yang tidak pernah gagal membuat gue terkejut dengan usaha-usaha dia untuk menyenangkan gue. Bukan soal hadiah mahal atau apa, tapi sekedar tahu dia rela berusaha keras untuk mewujudkan keinginan gue saja sudah sangat menyentuh hati. Misalnya, saat dia repot-repot mencarikan komik kesukaan gue yang saat itu sedang sangat langka di toko buku terdekat. Gue hanya cerita gue sedang cari komik itu, dia langsung bergerak sendiri untuk mencari buku itu sampai dapat. Hanya komik, tapi sangat berkesan!

Kenyataannya, masih banyak cowok yang malas repot-repot sampai sebegitunya. Tidak semua orang menyadari, tapi sebetulnya, punya pasangan yang mau berusaha ekstra keras untuk membahagiakan mereka itu sudah seharusnya mereka syukuri dan hargai.

Finally, you can settle for the less, except on how much he cares about you

Tidak ada yang salah dari mengurangi kriteria yang kita miliki untuk pasangan ideal. Penampilan fisik bukan segalanya, kemapanan bisa dibangun perlahan-lahan, bahkan kesamaan hobi sebetulnya tidak harus jadi patokan. Hal-hal seperti itu bisa kita coret dari daftar kriteria yang kita punya, tapi sekali lagi gue tulis di blog ini, jangan biarkan diri kita berakhir dengan cowok yang menyayangi kita sekadarnya saja.

Ada Apa dengan Generasi Y?

Beberapa hari yang lalu, ada satu topik di CFO Innovation Forum yang lumayan bikin gue kepikiran sampai beberapa hari lamanya. Saat tengah berlangsung diskusi tentang tips dan trik mempertahankan top talents; ada dua peserta yang mengajukan pertanyaan soal bagaimana caranya mempertahankan generasi Y alias generasi yang lahir tahun 80 sampai dengan 90-an. Ternyata menurut generasi sebelumnya, generasi Y itu identik dengan kreatif, ambisius, tetapi sangat mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

Sebagai satu dari sedikit peserta forum yang lahir di tahun 80-an, gue hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan diskusi saat itu. Dalam diam gue berpikir…

“Is it a good or bad thing? And WHY? Why do we; the Y generation, tend to do that?”

Kalau menurut pendapat gue, kasus gue sendiri tidak sebegitu parahnya. Gue cuma pernah satu kali kerja di satu perusahaan kurang dari satu tahun, itu pun hanya pekerjaan freelance yang memang hanya ideal untuk mahasiswa yang masih harus menyelesaikan studinya. Segera setelah lulus sidang S1, gue langsung pindah ke pekerjaan yang dapat memberikan status karyawan permanen ketimbang hanya freelancer saja. Setelah itu, masa kerja gue kurang lebih selalu kisaran tiga tahun untuk masing-masing tiga perusahaan berikutnya. 

It’s not that bad, is it?

Meski menurut gue masa kerja gue masih wajar-wajar saja, kenyataannya memang, di mata generasi yang lebih tua pada umumnya, gue tetap termasuk golongan “kutu loncat”. Masih ok menurut teman-teman gue pada umumnya, tapi tetap dianggap terlalu cepat berpindah-pindah setidaknya di mata para orang tua di keluarga besar gue. Itu sebabnya gue jadi tergelitik untuk bertanya pada diri gue sendiri… kenapa? Kenapa generasi gue ini bisa sampai lebih dikenal sebagai kutu loncat yang bahkan bisa berganti pekerjaan dalam satu atau dua tahun sekali?

Berikut ini hasil observasi terbatas gue beberapa hari belakangan ini. Gue tidak bilang isi tulisan gue ini secara mutlak menggambarkan SEMUA orang yang termasuk dalam generasi Y, tapi setidaknya, poin-poin di bawah ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pengalaman orang-orang terdekat yang juga masuk ke dalam generasi Y. Semoga isi tulisan gue ini bisa jadi bahan instropeksi buat kita semua!

Generasi Y menyukai sesuatu yang instan

Gue cukup sering melihat generasi Y yang memutuskan untuk pindah kerja hanya demi mendapatkan kenaikan pangkat atau minimal kenaikan gaji melebihi pekerjaan mereka sebelumnya. Pola pikir mereka, “Jika ada yang lebih cepat, kenapa tidak?” 

Generasi Y, disadari atau tidak, punya jiwa berkompetisi yang lebih tinggi

Selain faktor ingin serba instan, generasi Y cenderung lebih tidak mau kalah dengan teman-temannya sendiri. Ada rasa terpacu yang menggebu saat melihat teman-teman lain yang sudah duduk di level manajerial (atau bahkan level direksi!) di usia yang masih terbilang muda. Gue juga sering melihat generasi Y memutuskan resign hanya karena faktor kompetisi yang gue sebutkan di sini. Semacam pembuktian, “Kalau dia bisa, gue juga bisa!”

Generasi Y lebih mudah merasa jenuh

Kenapa semakin ke sini semakin banyak perusahaan yang memperbolehkan karyawannya berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya? Karena generasi masa kini terkenal sangat mudah jenuh dengan pekerjaanya. Gue sendiri pun, satu dari sekian banyak generasi Y yang pernah meninggalkan pekerjaan yang katanya impian sejuta umat hanya karena merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja.

Generasi Y lebih menjunjung tinggi hidup bahagia

Gue dan cukup banyak generasi Y lainnya punya prinsip mendasar bahwa hidup itu yang penting bahagia. Toleransi kita terhadap hal-hal yang dapat mengurangi kebahagiaan jadi terbilang sangat rendah. Jika pekerjaan kita saat ini tidak berhasil (atau tidak lagi) mendatangkan kebahagiaan yang kita inginkan, maka kita akan lebih memilih untuk mencoba peruntungan dengan mencari kebahagiaan itu di tempat lain di luar sana.

Generasi Y lebih suka “mengganti” daripada “memperbaiki”

Handphone sudah mulai sering hang? Ganti baru saja. Bos sudah mulai terasa sangat-sangat menyebalkan? Ganti bosnya saja! Cari perusahaan lain saja…

Generasi Y lebih “idealis”

Semakin ke sini, semakin banyak karyawan muda yang nekad resign meskipun masih belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Gue akui bahwa dulu juga gue pernah melakukan hal yang sama. Padahal, pekerjaan yang gue tinggalkan sama sekali tidak sebegitu buruknya. Malah sebetulnya, gue sudah mendapatkan gaji dan tunjangan di atas rata-rata. Kenapa tetap resign juga? Karena idealisme. Karena ada satu atau dua hal dalam pekerjaan tersebut yang tidak sejalan dengan definisi pekerjaan ideal menurut versi gue ini.

Generasi Y lebih impulsif dan di saat yang bersamaan, bersifat lebih naif

Entah bagaimana, generasi Y cenderung lebih meyakini bahwa di luar sana, PASTI ada pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan kita saat ini. Kita seolah lupa bahwa tidak ada pekerjaan yang sempurna. Saking impulsifnya, tidak terpikir di benak kita bahwa kenyataannya, mau bekerja di manapun (bahkan jika kita berbisnis sendiri pun) tetap akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasa tidak tahan dan ingin “menyerah” saja.

Kesimpulannya? Generasi Y lebih mudah untuk menyerah!

Gue sering mendengar para generasi Y (termasuk gue sendiri) bilang begini, “Gue ngerasa pekerjaan gue ini udah jadi semacam comfort zone.”

Meski katanya penting untuk kita merasa nyaman dalam menjalani sesuatu, kenyataannya, istilah comfort zone justru identik dengan konotasi negatif. Terjebak dalam comfort zone seringkali dianggap mimpi buruk di mata generasi Y. Padahal bisa jadi sebetulnya, kita hanya sedang mencari-cari alasan untuk menyerah saja.

So? Is it good or is it bad?

Meski kedengarannya memang tidak enak (kesannya kok ya, generasi Y ini generasi yang lembek banget), menurut pendapat gue, tidak ada “benar dan salah” dari semua perilaku generasi Y yang gue sebutkan di atas. Gue akui bahwa kadang-kadang, menyerah kalah (bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga dalam hal-hal lainnya) bisa jadi pilihan terbaik yang gue miliki saat itu. Toh kenyataannya, gue tidak pernah menyesali keputusan gue untuk resign dari perusahaan-perusahaan gue sebelumnya. Gue bersyukur dengan semua pekerjaan yang pernah gue miliki, tapi gue juga mensyukuri keputusan gue untuk pindah ke pekerjaan selanjutnya.

Misalnya, gue bangga banget pernah kerja di EY. Mencantumkan EY di CV gue telah memberikan gue peluang untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan gue selanjutnya. Tapi, gue juga bersyukur gue tidak berlama-lama kerja di sana, karena ternyata, gue jauh lebih menyukai pekerjaan sebagai corporate finance daripada pekerjaan sebagai financial auditor.

Meskipun demikian, bukan berarti gue mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari menjadi kutu loncat. Sekali lagi, tidak ada “benar” dan “salah” yang sifatnya mutlak dalam topik yang satu ini. Semuanya harus kembali pada diri kita sendiri. Beda orang bisa beda kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Lagipula sebetulnya, selama kami (para generasi Y) masih melompat-lompat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, itu artinya, kami masih belum menyerah untuk mengejar mimpi.

Pada akhirnya, gue hanya bisa berusaha menanamkan pola pikir ini pada diri gue sendiri tiap kali gue dihadapi pada dilema ingin resign atau tetap di sini, “If I do this, will I be proud of myself for doing this?”

Ask that question, repeteadly, before making any decision.