Bertahun-tahun yang lalu, gue sempat dekat dengan satu cowok yang terkenal sangat sangat mencintai dirinya sendiri. Tipe cowok yang sangat menikmati kesendiriannya, fokus dengan diri sendiri, hidup, dan masa depannya. Saat akhirnya dia memutuskan untuk pergi, gue menghibur diri sendiri dengan berpikiran, “It’s not me, it’s him. Cowok kayak dia emang nggak akan pernah bisa berkomitmen dengan siapapun.”
Lalu apa yang terjadi? Beberapa tahun kemudian, ternyata malah dia yang married duluan! Beberapa bulan sebelum hari pernikahannya, gue sempat BBM-an agak lama sama dia, membahas soal gue yang masih santai-santai saja hidup sendirian. Saat itu, nggak disangka-sangka, cowok ini malah bilang begini, “Elo cuma belum nemuin cowok yang tepat aja. Dulu juga gue enggak kebayang kepengen married dan berkeluarga, sampe akhirnya gue ketemu tunangan gue.”
Waktu itu, rasanya seperti disambar petir. Buat gue, itu sama saja dia bilang bahwa masalahnya sederhana saja: gue bukanlah cewek yang tepat buat dia. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak pula selamanya.
Meski demikian, gue tidak lantas berpikiran bahwa ada yang salah dalam diri gue ini. Saat itu gue justru belajar bahwa pasangan yang tepat adalah pasangan yang dapat menerima gue dengan segala kekurangan dan yang tidak kalah penting, dengan segala kelebihan gue juga. Dan sekali lagi, masalahnya hanya lah, apa yang gue punya bukanlah apa yang dia cari untuk hidupnya sendiri.
Pria yang tepat tidak akan menganggap gue terlalu cerewet, terlalu judes, terlalu serius, terlalu banyak mikir, dan lain sebagainya. Dia akan bisa melihat bahwa segala kekurangan gue itu sudah jadi satu paket dengan segala kelebihan yang kemudian membentuk kepribadian gue ini.
Pria yang tepat juga tidak akan menganggap gue terlalu kurus, terlalu tinggi, dan lain sebagainya. Dia hanya akan melihat hal-hal yang dia sukai dari diri gue ini. He will look at me as if I am the prettiest girl on earth.
Pria yang tepat tidak akan melihat sederetan cita-cita dan ambisi gue sebagai suatu masalah besar. Dia akan bisa mengerti bahwa karier dan sederet wish lists gue itu adalah hal-hal yang telah sangat membahagian gue, dan dia tidak akan berkeinginan untuk mengambil kebahagiaan itu dari masa depan gue.
Yang terakhir, pria yang tepat tidak akan melihat pencapaian hidup gue sebagai suatu ancaman. Dia akan memiliki kebesaran hati bukan hanya untuk menerima kelebihan gue tersebut, tetapi juga untuk mampu menjadi pendukung terbaik dalam perjalanan karier gue ke depannya.
Pria yang tidak bisa menerima semua itu bukan berarti pria paling payah sejagad raya, dia hanya bukan pria yang tepat buat gue, dan gue juga bukan wanita yang tepat untuk hidupnya. Seringkali, kita hanya harus bisa menerima kenyataan bahwa memang tidak semua orang dapat menjadi pasangan yang tepat untuk satu sama lainnya.
I’m still a believer that someday, the right person will come along. The one who celebrates me, the one who really wants to be a part of my future, the one who never let me feel anything less than who I am. Someday I’ll find him, and I’m on my way.