Jack Ma dan Rencana Pensiunnya

Hampir dua tahun yang lalu, gue pernah mengkuti townhall meeting dengan Jack Ma di kantor Lazada Singapura. Jack Ma yang perawakannya kecil tetapi bisa menyihir begitu banyak orang hanya dengan kharismanya saja. Saat Jack Ma mulai bicara, ruangan yang tadinya sangat riuh langsung berubah menjadi sunyi senyap. Bule-bule Eropa dan Amerika yang bekerja di Lazada pun tampak sangat menganggumi dan menaruh respect kepada sosok Jack Ma.

Mendengar Jack Ma berbicara langsung di depan gue sudah jadi pengalaman yang tidak terlupakan buat gue. Apalagi waktu itu, gue diberikan front seat oleh kantor dan juga diberikan kepercayaan untuk menjadi satu dari lima orang yang diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan kepada Jack Ma dan timnya. Baru sekali itu saja, gue merasa luar biasa gugup hanya karena mengajukan satu pertanyaan ke orang lain!

Jack Ma ini sudah menjadi salah satu role model gue khususnya dalam kapasitas gue sebagai pengusaha kecil-kecilan. Jack Ma memberikan harapan bahwa siapapun bisa mendulang sukses dalam hidupnya. Gue bukan anak orang kaya, bukan lulusan kampus ternama, bukan lulusan luar negeri, tidak pernah bekerja di luar negeri juga, tidak pernah pula bekerja di top consulting firm, tapi gue optimis, insyaallah gue akan bisa perlahan-lahan mewujudkan cita-cita dan impian gue.

Jika Allah memberikan gue usia yang cukup panjang, saat pensiun nanti, gue ingin pensiun seperti Jack Ma pensiun dari karier-nya:

  1. Beliau pensiun meninggalkan warisan yang membanggakan;
  2. Beliau pensiun setelah mendidik begitu banyak pekerja di Alibaba Group; dan
  3. Beliau pensiun dalam keadaan finansial yang bukan cuma akan mampu mencukupi kebutuhan sisa hidupnya, tapi juga tetap mampu untuk mendonasikan hasil kerjanya untuk kegiatan amal yang bermanfaat untuk masyarakat luas.

What can be better than that kind of retirement?

Congratulation for your retirement, Jack Ma! It was a pride to me that I was once a part of your empire even just for a while and even just as a little part of it. Thanks for the inspiration and I wish nothing but the best for you. Have a great life ahead!

Indonesia dan Kisruh Politik Akhir-akhir Ini

Pilpres 2019 bikin gue ngerasa ngeri. Ricuhnya pilkada DKI masih terasa hangat di benak gue. Waktu itu, sampai ada teman lama yang tidak bisa menghadiri acara ulang tahun gue di Jakarta (dia tinggal di Bandung), karena rasa takut kerusuhan massal yang menyudutkan kaum Chinese keturunan akan kembali berulang hari itu. Ya, buat begitu banyak teman kita di luar sana, masalah ini sebegitu seriusnya.

Gue sangat menyesali makin ke sini isu politik semakin melekat kepada isu agama. Memang penting untuk memilih pemimpin yang bergama, tapi sayangnya, para pendukung yang ribut-ribut di social media atau mereka yang sampai turun ke jalan ini tidak selalu menunjukan perilaku selayaknya orang yang beragama. Bagi teman-teman sesama muslim, ingatkah kalian cerita soal Nabi Muhammad yang tetap bersabar saat dilempari kotoran oleh para pembencinya? Bukankah sikap sabar seperti itu yang diajarkan oleh Nabi kita itu?

Tidak ada yang salah dari menyuarakan pendapat selama dilakukan dengan cara yang sopan dan terpelajar. Mengatai orang lain dengan julukan “goblok” di ruang publik tidak membuat kita jadi lebih pintar daripada orang tersebut. Dan sekali lagi, apapun agama yang kalian anut, menghina tanpa belas kasih sama sekali bukan bagian dari ajaran agama yang kalian anut itu.

Yang terakhir, gue sebetulnya bingung sih ya… banyak di antara kita membela para calon pemimpin ini (yang notabene orang asing buat kita) sampai putus hubungan baik dengan keluarga dan teman masing-masing. Padahal saat nanti kita butuh bantuan, siapa yang akan bisa memberikan bantuan buat kita kalau bukan keluarga dan teman-teman kita sendiri? Dan asal tahu saja, para calon pemimpin yang sedang berkompetisi itu bisa duduk makan bareng sambil ketawa-ketawa seolah enggak ada apa-apa! Masyarakat yang panas ini semacam “korban” dari timses masing-masing calon DAN dari awak media yang senang melakukan click baits (sengaja bikin judul tulisan yang provokatif hanya supaya website mereka ramai pengunjung). Ayo kita buktikan bahwa kita ini lebih cerdas daripada timses dan jurnalis mana pun! Jangan sampai orang lain yang untung, tapi malah kita yang buntung!

Let’s be wiser and smarter, shall we? 😉

Anak Jakarta Selatan dan Bahasa Campur-campurnya

Akhir-akhir ini, sedang marak beredar meme soal kebiasaan anak-anak Jakarta Selatan yang sering menggunakan mixed language dalam percakapan sehari-harinya. Pertama kali lihat meme itu, gue langsung tertawa terbahak-bahak! Gue betul-betul bisa mengerti jokes itu karena gue sendiri juga persis seperti itu, hehehehe.

Berikut ini pembelaan diri gue sebagai orang yang bekerja dan tinggal di Jakarta Selatan (KTP Bekasi itu cuma buat memenuhi kebutuhan administratif aja secara gue udah jarang banget pulang ke Bekasi, hehe).

Jadi awalnya, menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari itu hanya tuntutan pekerjaan saja. Sejak lulus dari EY, gue mulai bekerja dengan tenaga kerja asing di perusahaan-perusahaan gue selanjutnya. Hal itu memuncak saat gue kerja di Lazada di mana bule-bulenya bukan hanya pimpinannya saja tapi juga beberapa rekan kerja yang selevel dengan gue. Belum lagi di sana, gue aktif berkomunikasi dengan rekan kerja di negara lain juga. Selama kerja di Lazada, gue pernah bekerja dengan lebih dari 30 kewarganegaraan!

Saking seringnya ngomong pakai bahasa Inggris bikin gue suka tanpa sadar menggunakan bahasa asing itu bahkan di saat gue sedang ngobrol dengan sesama orang Indonesia. Kalimat favorit gue:

  1. Oh my God!
  2. It’s unbelievable!
  3. It doesn’t make any sense!
  4. Who do they think they are?
  5. I’m going nuts here!

Dan gue bisa menggunakan 5 kalimat di atas secara bersamaan di saat gue sedang marah-marah, hehehehe.

Selain tanpa sadar ngomong dalam full English, gue juga bisa tanpa sadar ngomong dalam mixed language. Apa alasannya?

  1. Kata yang gue ingat secara refleks malah kata dalam bahasa Inggris;
  2. Gue suka bingung mencari terjemahan kata yang pas dalam bahasa Indonesia terutama kata-kata yang berhubungan dengan teknologi. Misalnya, gue enggak pernah tahu apa terjemahan yang tepat untuk kata “database“. Kalau gue maksa dengan bilang “media penyimpanan data”, lawan bicara gue pasti akan bingung;
  3. Masih ada kaitannya dengan teknologi, terjemahan istilah teknologi dalam bahasa Indonesia itu rasanya aneh aja gitu. Gue lebih nyaman bilang “download” ketimbang “unduh” misalnya;
  4. Nomor 2 dan 3 semakin akut buat gue karena 4 tahun belakangan ini gue bekerja di technology company di mana gue harus banyak menguasai istilah-istilah teknologi.

Fenomena ini bukan cuma terjadi sama gue dalam komunikasi verbal saja, tapi juga dalam komunikasi via tulisan. Gue butuh waktu lebih lama untuk menulis formal e-mail dalam bahasa Indonesia ketimbang menulis dalam bahasa Inggris. Ini juga karena faktor kebiasaan saja sih. Gue sering berpikir gini saat sedang tulis e-mail dalam bahasa Indonesia, “Hmm… ini terlalu baku… kaku banget kesannya. Tapi kalau diganti malah jadi kayak tulisan nggak resmi… Hmm…”

Akhirnya, karena gue tidak bisa mengubah komunikasi gue dengan rekan kerja asing gue, mau nggak mau gue hanya bisa berbahasa Indonesia ya dengan keluarga dan teman-teman yang sesama orang Indonesia. Meskipun jadi campur-campur, tapi kan setidaknya tetap terpakai. Saat menulis blog ini juga pun, gue usahakan mayoritas tetap bahasa Indonesia (pakai bahasa informal supaya lebih gampang, hehehe). Karena sebetulnya, menurut gue bahasa Indonesia itu unik dan indah!

Mau contoh keunikan dari bahasa Indonesia? Yang paling gue suka, bahasa Indonesia ini kaya akan sinonim yang secara harfiah sama, tapi beda secara makna. Contohnya, penggunaan kata “saya” untuk percakapan formal, “gue” untuk percakapan informal, dan “aku” buat ngomong sama pacar, hehehehe. Beda sama bahasa Inggris yang cuma punya satu kata “I”. Keren kan? 😉

Menurut gue yang paling penting dari komunikasi adalah menggunakan bahasa yang paling tepat supaya pesannya bisa tersampaikan. Jika mixed language justru lebih efektif ketimbang full Indonesian, ya kenapa tidak? Mesti disesuaikan dengan konteks, topik, dan lawan bicaranya juga. Soal gaya bahasa anak Jakarta Selatan yang dijadikan lelucon itu malah bikin gue bangga! Itu artinya, kita anak-anak Jaksel berhasil mencuri perhatian dengan cara kita berkomunikasi, hehehehe.

Peace and cheers!