Apakah Benar Kemajuan Jaman & Teknologi Telah Membuat Kita Lebih Duniawi, Hedonis, & Konsumtif?

Sejak e-commerce mulai booming di Indonesia, cukup banyak kalangan yang menyuarakan keprihatinan mereka soal masyakarat yang menjadi lebih konsumtif.

Apa saja contohnya?

Kehadiran Tokopedia, Lazada, dsb membuat orang lebih sering membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan.

Kehadiran Go-food dan Grab Food membuat orang jadi lebih sering jajan daripada sebelumnya.

Jika ruang ligkup diskusinya gue perlebar, kemajuan teknologi ini juga dikhawatirkan membuat masyarakat menjadi lebih hedonis dan duniawi.

Apa saja contohnya?

Peluang untuk selingkuh jadi lebih tinggi. Kenapa? Karena sekarang, kita bisa dengan mudah menemui orang baru dari lingkungan yang sama sekali berbeda dengan kita. Orang yang kita kenal tidak lagi melulu tetangga atau teman-teman di sekolah dan kantor kita saja. Bisa kenalan di online forum mengenai traveling misalnya, atau ada juga pertemanan yang dimulai dari social media seperti Facebook, Instagram, Twitter, atau gue akui, seperti blog gue ini misalnya. Kirim satu saja DM, perkenalan terjadi lah sudah. Kemudahan ini pula yang membuat semakin maraknya kasus selingkuh dengan kenalan dari dunia maya.

Contoh lainnya adalah aplikasi online dating seperti Tinder. Ganti-ganti teman kencan jadi semakin mudah dengan keberadaan Tinder. Hal ini mengakibatkan semakin banyak orang yang menolak untuk buru-buru “resmi” pacaran dengan gebetannya hanya karena dia masih ingin lihat-lihat lawan jenis lain yang mungkin akan dia temui melalui aplikasi itu. Ada pula yang dengan entengnya bilang putus karena toh masih ada Tinder yang akan “memberikan” dia pengganti posisi mantan pacarnya itu.

Bagaimana pandangan pribadi gue soal semua itu?

Jawaban gue sederhana saja: dalam hidup ini, tidak akan ada satu hal pun yang 100% baik untuk hidup kita. Hal yang baik pun, jika dilakukan secara berlebihan atau dilakukan dengan cara yang salah, akan merubah hal baik tersebut menjadi hal yang luar biasa buruknya.

Menolak teknologi sayangnya tetap bukan solusi terbaik. Gue pribadi malah betul-betul ogah banget jika harus kembali ke jaman sebelum ada online store, ride hailing apps, atau social media. Kemajuan teknologi membuat hidup gue terasa lebih mudah. Hidup itu sendiri saja sudah semakin berat, jika ada solusi yang dapat memudahkan berbagai aspek dalam hidup gue, ya kenapa tidak? Contohnya, fokus gue dalam pekerjaan pasti akan berkurang jika mood gue saat datang ke kantor sudah keburu rusak hanya karena sulit cari sarapan (nasib anak kost yang nggak bisa masak) atau sulit cari alat transportasi yang nyaman dan terjangkau. Selain itu, thanks to e-commerce, gue tidak perlu selalu repot-repot menyempatkan diri pergi ke mall di tengah macetnya lalu lintas kota Jakarta hanya untuk membeli barang yang gue butuhkan. Tinggal pesan di pagi hari, malamnya barang sudah tiba di rumah gue. Nyaman banget kan?

Kemudian soal teknologi yang meperbesar peluang untuk selingkuh, jika luasnya networking dan banyaknya pilihan membuat pasangan gue tergoda untuk selingkuh, berarti dia memang bukan pasangan yang tepat buat gue saja. Itu berarti, jodoh gue dan dia memang cuma sampai di situ saja. Jika dia sampai cari perempuan lain, maka dia juga harus ikhlaskan gue untuk move on supaya gue bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik daripada dia. Namun jika yang terjadi justru sebaliknya; dia bisa tetap setia meski dia punya banyak pilihan di depan mata, maka gue akan tahu dengan sendirinya; gue sudah memilih pasangan yang tepat untuk hidup gue ini.

Do not despise the existence of technology, despise the way we use it instead. We are smarter than our apps, it’s as simple as that.

4 Hal yang Gue Pelajari dari Bos-bos Bule

Selama hampir 4 tahun bekerja di Lazada, gue kerja di bawah kepemimpinan 5 bos bule (European & American). Ini belum termasuk bos bule di regional office atau bos bule di divisi lainnya. Ada kesamaan di antara mereka yang kemudian tanpa gue sadari, mulai terserap sebagai bagian dari diri gue sendiri.

Apa saja?

Kebiasaan bertanya; apa kabar? Tiap kali baru berjumpa, tiap harinya

Kebanyakan bule itu memang menanyakan kabar untuk basa-basa saja sih, tapi tanpa gue sadari, gue jadi ketularan. Tidak sampai separah mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali setiap harinya, tapi setidaknya, gue rutin menanyakan kabar rekan kerja yang sudah beberapa hari tidak gue jumpai atau yang gue tahu sedang melewati masa-masa penuh perjuangan dalam pekerjaannya.

Pertanyaan “apa kabar” ini juga sudah gue modifikasi menjadi…

  1. How’s life?
  2. How’s your project going?
  3. All good in the office?

Dan bedanya gue dengan bule kebanyakan, gue mencampur budaya peduli ala orang Indonesia ke dalam sapaan gue itu. Gue bukan hanya bertanya sambil lalu saja, tapi gue juga tertarik dan sungguh-sungguh ingin mendengarkan jawabannya.

Sedikit Sentuhan Fisik

Beberapa bos gue di Lazada memang bisa kelewat friendly. Bukan cuma menepuk di punggung, tapi bisa sampai merangkul pundak atau bahkan sampai cium pipi! Untuk cium pipi itu tidak pernah gue alami sendiri sih. Meski tidak sampai sebegitunya, awalnya gue tetap merasa agak risih. Tapi lalu tanpa gue sadari, gue sendiri jadi ketularan suka sesekali menepuk pundak rekan kerja atau bawahan gue di kantor!

Pada dasarnya jika kita tidak merasa nyaman, kita punya hak untuk menyuarakannya. Tapi menurut gue, tidak perlu sampai heboh dibesar-besarkan juga (kecuali jika sifatnya sudah mengarah ke pelecehan seksual). Coba berpikiran positif karena sebetulnya, saat mereka menepuk pundak kita, itu adalah cara mereka untuk mengatakan, “I’ve got your back!”

Tidak pelit pujian

Dibanding bos-bos gue yang orang Indonesia asli, bos-bos bule ini lebih terbuka bukan hanya saat memberikan kritik, tapi juga saat memberikan pujian baik itu pujian lisan atau pujian melalui tulisan yang mereka kirimkan via Skype messenger. Sangat sering gue menerima pujian seperti, “You’re so good, you know?” Atau “Wow, that’s impressive. You’re impressive.” Atau, “Nobody in this room understands this as well as Riffa does.”

It’s flattering, isn’t it?

Tanpa gue sadari, pujian-pujian itu membuat gue jadi sangat percaya diri. Gue yang dulunya minder sekarang malah jadi orang yang sangat yakin dengan kemampuan diri gue sendiri. Gue jadi sadar kualitas baik apa saja yang harus gue pertahankan dalam diri gue ini. Kepercayaan diri ini pula yang kemudian banyak membantu gue melewati masa-masa sulit dalam perjalanan karier gue. Gue sekarang meyakini, “Jika mereka saja percaya sama kemampuan gue, kenapa gue tidak mempercayai kemampuan diri gue sendiri?”

They didn’t take no as an answer

Dulu, bos-bos gue itu sering dengan bangganya bilang bahwa mereka tidak menerima jawaban tidak sebagai jawaban atas pertanyaan atau permintaan mereka. Pikir gue saat itu, “They’re sooo stubborn!” Sifat mereka yang satu itu udah bikin gue harus kerja mati-matian untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang datang sebagai efek samping dari ide dan inovasi mereka.

Kemudian belum lama ini di kantor gue, saat bos baru (yang juga orang bule), menyampaikan kabar soal kenaikan jabatan gue, dia bilang begini, “You are the right person for this job because you are very determined and you don’t take no as an answer.”

Wait, what? Damn it! I’m exactly like my bosses back at Lazada!

Pada akhirnya gue mulai berubah pikiran. Doesn’t take no as an answer itu tidak selalu berarti keras kepala, tapi lebih kepada persistence. Lebih kepada sikap pantang menyerah meskipun banyak rintangan yang datang menghadang. Bagaimanapun pada akhirnya, diperlukan keteguhan hati yang seperti itu untuk bisa sampai ke tujuan akhir yang kita inginkan. Dan tentunya, suatu tujuan tidak akan tercapai jika hanya sang pimpinan perusahaan yang memiliki persistence seperti itu! Itulah sebabnya mereka tidak mau menerima jawaban tidak dari timnya sendiri: supaya semuanya bisa bersama-sama making goals happen!

Semakin ke sini, semakin gue melihat peningkatan kualitas dalam kapasitas diri gue sebabai leader. Dan baru sekarang gue menyadari, para mantan bos bule gue itu pula yang sebetulnya sudah banyak membantu gue untuk bisa menjadi pemimpin yang lebih baik. Ini yang gue maksud dengan, “Saat mengenal orang lain, ambil yang baik-baiknya untuk menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya!”