September Kelabu, Lagi…

Jakarta, 5 September 2018

Jakarta macet… gue dalam perjalanan menuju Bekasi… ingin cepat sampai sana. Ingin segera ketemu sahabat-sahabat gue… ingin ketemu dengan keluarga dari sahabat gue yang lainnya… yang baru saja menghembuskan napas terakhirnya.

Namanya Rudi Junaidi. Biasa kita panggil Junet. Sahabat satu gank sedari SMA. Orang yang kenal dekat sama gue pasti pernah mendengar nama Junet dari mulut gue. Cerita-cerita gue soal keunikan-keunikan sahabat gue yang satu ini.

Junet masih jadi teman curhat favorit gue. Teman yang bisa dengan santainya gue tanya, “Do you think that my crush is gay?” atau berbagai pertanyaan random yang hanya gue rasa nyaman untuk ditanyakan kepada Junet saja. He never judged, he was one of a few people who made me feel like I could really be myself just the way I really am.

Sudah belasan tahun saling mengenal, silaturahmi gue dan Junet tidak pernah putus… sampai akhirnya dia meninggalkan gue dan sahabat-sahabat lainnya terlebih dulu.

Awal minggu ini, Miko, salah satu teman sekantor Junet yang kebetulan gue kenal mengabari soal Junet masuk rumah sakit. Junet memang sudah sebulan ini mengeluh sakit kepala. Ingin segera jenguk, tapi kantor sedang migrasi sistem, tim gue sedang bekerja siang-malam, 7 hari dalam seminggu… gue putuskan jenguknya nanti saja di hari Sabtu. Tidak terpikir penyakit Junet sebegitu parahnya… padahal hasil tes MRI dia itu bersih, tidak ditemukan penyakit atau kelainan apapun.

Tadi sore, saat sedang sibuk berdiskusi dengan tim gue, Miko telepon ke hp gue… Dari situ gue mulai khawatir… something might have gone wrong. Gue tidak dengar jelas Miko bilang apa, gue hanya mendengar dia tengah menangis tersedu-sedu. Meski tidak terdengar jelas, gue tahu dengan sendirinya, Junet sudah tiada…

Telepon terputus, Miko tidak bisa dihubungi kembali. Gue kontak Nitya, sahabat gue yang lainnya, yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjenguk Junet. Gue masih berpikiran, “Mungkin gue salah dengar, mungkin Junet masih kritis, mungkin Junet masih ada…”

Nitya ternyata baru sampai parkiran rumah sakit. Dia tiba persis sesaat sebelum Junet pergi meninggalkan kita semua. Nitya juga yang kemudian mengkonfirmasi kabar buruk itu, dan baru pada saat itu semuanya jadi terasa nyata buat gue; Junet, sahabat baik kita semua, sudah pergi untuk selama-lamanya.

Gue mulai fokus atur rencana untuk langsung pergi ke rumah orang tua Junet. Gue hubungi supir gue minta dijemput. Setelah beres urusan penjemputan, pikiran gue rasanya kosong. Gue bingung harus bagaimana. Dan tiba-tiba saja, mata gue mulai terasa hangat… gue cepat-ceat beranjak ke toilet kantor, masuk ke bilik toilet, menutup dudukan toilet, duduk di atasnya… dan air mata pertama gue untuk Junet mulai menetes dengan sendirinya.

Junet yang selalu ceria. Yang selalu menghibur kita semua. Yang selalu tertawa meskipun jokes gue enggak ada lucu-lucunya. Yang selalu menyemangati gue tiap kali sedang patah hati. Yang selalu jadi satu dari sedikit teman lama yang masih gue sebut sebagai “sahabat”… kini sudah tiada. Segala rencana meet-up selanjutnya, acara jalan-jalan selanjutnya, semua tinggal rencana saja. Lambaian tangan Junet saat terakhir kali gue bertemu dia 2 bulan yang lalu telah menjadi lambaian perpisahan terakhir dia, untuk selama-lamanya…

Gue nggak sangka Junet pergi secepat ini… di usia yang masih sangat muda. Yang lebih gue nggak sangka, gue merasa kehilangan sampai sebesar ini. This has been the biggest lost to me and it really really broke my heart. Jadi terasa banget betapa berartinya 17 tahun persahabatan gue dengan dia, jadi sebegitu terasa, justru setelah dia benar-benar pergi dari hidup kita semua.

This is one of the moments that make me realize that “life is short” is so true! Gue jadi kepikiran cita-cita dan rencana-rencana Junet yang belum tercapai… kepikiran anak perempuannya yang masih balita… Kepikiran betapa cepat semua itu hilang, hanya dalam sekejap mata.

Sampai sini gue bingung mau tulis apa lagi… Gue pengen bilang thanks atas segala bantuan dia dari hal kecil sampai besar, dari dulu sampai sekarang, ingin juga bilang thanks atas persahabatan gue dan dia selama ini… tapi bagaimana caranya gue bilang thanks? Junetnya udah nggak bisa lagi mendengar gue…

Gue udah hampir sampe ke rumah ortunya Junet. Rumah yang terakhir gue datangi untuk menjenguk kelahiran anak pertamanya akan menjadi rumah tempat gue melihat wajahnya, untuk terakhir kalinya…

Rest in peace, Junet. You will be forever missed.