How Did You Know That She/He was The One?

Berawal dari curhat gue ke salah satu sahabat, gue jadi mulai mempertanyakan: yang namanya Mr. Right atau The One atau apapun julukannya itu benar ada atau tidak?

Gue hapal banget tiap kali gue curhat soal cowok-cowok yang bikin gue patah hati, teman curhat gue itu akan bilang begini, “Biarin aja… he’s just not the one. Sabar, elo cuma belum ketemu cowok yang tepat.”

Nah lagi-lagi pertanyaannya, cowok yang tepat itu betulan ada atau enggak sih?

Akhir pekan ini, tiba-tiba saja gue jadi sadar betapa gue selalu punya alasan soal kenapa serentetan mantan gebetan gue itu tidak pernah good enough bahkan untuk sekedar menjadi pacar gue (dan ya, jumlahnya ada banyak banget!). Semakin lama dan semakin dalam gue mengenal mereka, semakin besar dorongan dalam diri gue untuk jaga jarak saja. Selalu ada saja hal-hal dalam diri mereka yang bikin gue berpikiran, “Kalaupun diteruskan, hubungan gue dengan dia enggak akan bertahan lama.”

Sok tahu banget nggak sih gue? Bukannya gue ini tipe orang yang sering bilang “you will never really know until you try”? Tapi entah kenapa, jika ada sangkut pautnya dengan romantic relationship, gue tipe orang yang enggak pernah berani ambil resiko. Gue suka dengan gegabahnya langsung mengambil kesimpulan “It won’t work between me and him” tanpa mau repot-repot untuk mencoba terlebih dulu.

Per sekarang ini, sudah puluhan cowok berlalu dan masih belum ada yang good enough buat gue. Dan ini bukan berarti gue ngerasa diri gue ini sudah perfect loh ya. Soalnya cukup sering juga gue memutuskan “he’s not the one” hanya karena gue ngerasa mereka nggak akan bisa handle me at my worst. Kesadaran besar atas rentetan kekurangan dalam diri gue ini juga yang akhirnya malah jadi deal breaker secara gue yakin banget nggak semua orang akan bisa awet menjalin hubungan erat sama gue.

Pada titik ini, akhirnya gue mulai bertanya-tanya. Apakah orang yang gue cari itu betulan ada di muka bumi ini? Apakah akan ada orang yang akan tanpa keraguan sedikit pun dapat gue pilih sebagai pasangan hidup gue nantinya? I surprisingly doubt that.

Gue langsung teringat dengan serentetan kenalan yang pernah ragu dengan rencana pernikahan mereka sendiri. Akhirnya memang tetap menikah juga, tapi bukankah itu berarti, mereka menikahi orang yang tidak 100% mereka yakini sebagai their Mr. Right?

Serius deh… bagaimana sih rasanya tahu dan yakin bahwa seseorang itu Mr. Right buat kita? Secara manusia itu tidak ada yang sempurna, dan secara sifat manusia itu sangat kompleks dan bervariasi antara satu orang dan yang lainnya, apa iya kita akan pernah menemukan seseorang yang sangat kompatibel dengan diri kita ini? Seseorang yang punya segala yang kita mau untuk kita jadikan sebagai pasangan hidup… Apakah orang seperti itu betulan ada?

Alasan lain gue mulai ragu soal keberadaan Mr. Right adalah fakta bahwa cowok-cowok yang dulu pernah gue kira sebagai “the one” ternyata hanya another jerk who broke my heart. Pernah ada momen-momen di mana dengan polosnya gue berpikir, “Akhirnya gue menemukan my Mr. Right!” Gue saat itu betul-betul yakin seyakin-yakinnya deh, tapi ternyata, semua itu cuma semacam false alarms belaka. Awalnya gue masih optimis, masih hopeful, tapi sekarang ini gue mulai berpikiran, “Maybe, it’s not them, it’s me.”

Kenapa gue malah menyalahkan diri gue sendiri? Karena mungkin, ekspektasi gue soal definisi Mr. Right yang menjadi akar permasalahannya. Mungkin, apa yang gue sebut sebagai “Mr. Right” ini memang tidak pernah ada di muka bumi ini (yang artinya, selama ini gue sudah sibuk mencari sesuatu yang nggak ada!). Mungkin memang sebetulnya, yang namanya the one itu cuma sekedar orang yang kita pilih untuk menjadi pasangan hidup meskipun dia tidak sepenuhnya kompatibel dengan diri kita ini.

What do you think, guys? Bagi yang pernah menemukan pasangan impiannya, tolong comment atau DM gue di socmed gue ya. Gue beneran bingung apakah memang benar “gue hanya belum menemukan cowok yang tepat” atau malah sebetulnya “tidak akan pernah ada cowok yang gue anggap 100% tepat sehingga sudah seharusnya gue mengubah pola pikir gue.”

Ditunggu pendapatnya!

Bisa Nggak, Cewek & Cowok Murni Bersahabat?

Judul blog ini boleh dibilang topik yang termasuk sering dibahas di berbagai media sejak jaman gue masih ABG sampai gue menginjak usia dewasa saat ini. Jawabannya pun selalu cenderung terbagi dua: bisa dan tidak bisa.

Lalu bagaimana pendapat pribadi gue?

Gue tentu tidak bisa menjawab pertanyaan ini atas nama semua orang di muka bumi ini, tapi gue tentu bisa menjawab berdasarkan pengalaman pribadi gue sendiri yang kebetulan, awet bersahabat dengan 3 lawan jenis mulai dari teman SMA (yang baru saja wafat 3 hari yang lalu, may he rest in peace), sampai teman yang gue temui di tempat gue pernah bekerja.

Siapa saja mereka? Berikut ini cerita singkatnya!

My high school buddy: Junet

Yang pertama namanya Junet; almarhum Junet, sahabat gue dari kelas 1 SMA. Dulu ceritanya gue dan dia bergabung dalam satu gank yang sama dengan 3 orang perempuan lainnya. Gue masih ingat saat SMA dulu, sempat ada gosip beredar soal gue pacaran sama Junet. Gosip yang tidak bertahan lama karena kemudian marak beredar kabar soal siapa cowok yang beneran gue suka di kelas kita itu, hehehe.

Junet ini orangnya selalu ceria. Setiap ada dia, gue pasti bisa ketawa sampai sepuas-puasnya. Junet juga sangat helpful, mulai dari bantu gue menyelesaikan skripsi sampai bantu gue supaya biaya liburan gue ke Bali bisa di-reimburse ke kantor gue sebelumnya (di sana memang ada program yang memberikan gue pilihan antata gadget, education, atau travel reimbursement).

Yang paling unik, Junet ini semacam gay radar buat gue. Berawal dari sebuah penelitian yang menyatakan 1 dari 10 cowok Indonesia itu ada kecenderungan homoseksual, gue jadi parno sendiri. Jadilah (hampir) tiap kali gue naksir cowok baru, gue akan kirim socmed link cowok itu ke Junet hanya untuk bertanya, “Do you think he’s gay?

Sejujurnya gue ini bukan tipe orang yang mudah mendapatkan sahabat. Ada banyak banget orang yang mengenal gue di sekolah dan di kantor gue, tapi hanya sedikit yang bisa awet dan tahan lama menjadi sahabat gue. Sifat keras gue bukan sifat yang bisa dimaklumi oleh semua orang. Itu pula sebabnya kehilangan Junet sudah jadi kehilangan terbesar dalam hidup gue; sahabat yang bisa menerima gue apa adanya (termasuk sahabat yang tidak pernah cemburu dengan pencapaian hidup gue), sudah berkurang jumlahnya satu orang. Gugur sudah rencana gue untuk menjadikan dia sebagai salah satu “best man” gue di pernikahan gue suatu saat nanti. He’s gone, but I will always remember him as my friend; my best friend (literally) forever.

My Playboy Best Friend: Steven

Jujur awalnya, gue enggak berniat menjadikan Steven sebagai sahabat. Kenapa? Karena awalnya gue langsung naksir sama dia, hehehe. Semacam naksir pada pandangan pertama. Kenapa gue berani nulis di sini? Ya karena orangnya juga sudah tahu. Dia malah pernah bilang cinta sama gue via telepon bertahun-tahun yang lalu (walau sekarang gue ragu apakah saat itu dia sedang dalam keadaan sober, hehehe). Perasaan gue ke Steven enggak bertahan lama selain karena dia sudah punya pacar, tapi juga karena gue menemukan gebetan baru di kantor gue yang selanjutnya (iya, gue emang gampang kena cinlok, hehe). Gebetan setelah Steven itu malah bukan sekedar gebetan sih. Kalau dipikir sekarang, dari semua cowok yang pernah gue suka, cuma satu orang itu saja yang pernah sampai tahap gue beneran cinta sama dia.

Kisah cinta gue itu sayangnya tidak berakhir baik. Gue patah hati habis-habisan. Dan saat itu, Steven banyak bantu gue untuk move on. Dari situ gue sadar, Steven akan lebih baik menjadi sahabat buat gue ketimbang pacar apalagi calon suami. Dan benar saja… sudah 10 tahun gue dan dia saling mengenal, dan dia selalu ada untuk mendengar kisah-kisah patah hati gue yang tidak pernah ada habisnya itu, hehehe.

With that being said, pertemanan gue dengan Steven ini ada pasang-surutnya. Kalau sedang berantem, kita bisa lose contact sampai setahun lamanya. Meski begitu hebatnya, tiap kali gue ngerasa butuh teman ngobrol setelah lose contact dengan dia berbulan-bulan lamanya, dia tetap bisa langsung meluangkan waktu untuk mendengarkan curhatan gue. Beda sama Junet yang sering gue jadikan sebagai gay radar, kalau Steven malah tanpa ditanya bisa langsung seenaknya menuduh begitu banyak mantan gebetan gue sebagai gay. Kadang bete sih, tapi berhubung gue butuh teman curhat (and again, teman gue itu jumlahnya nggak banyak), jadi ya sudahlah, terima saja resiko diceramahi, “I’ve told you, he’s gay!”

Yang namanya perasaan itu memang aneh ya. Rasa naksir gue ke Steven ini seperti sudah menguap dengan sendirinya. Gue bisa santai saja kenalan atau bahkan hang out bareng pacar terbarunya dia. Gue juga pernah dengan santainya membawa dia sebagai wedding date gue. Gue bahkan pernah datang ke rumah orang tua dia sebagai teman dan sama sekali enggak ada yang terasa aneh dari itu semua. He is my friend and will always be my platonic friend.

Best of the best: Chrisnata

Maaf yah Steven, tapi Chris ini emang best of the best, hehehe. Gue mengenal Chris sekitar 7 tahun yang lalu dan persahabatan gue dengan dia terjalin secara konsisten sampai sekarang. Dari semua sahabat gue, cuma Chris yang pernah mendengar segala-galanya. Biasa gue curhat ke Steven cuma kalo Chris sudah tidur dan nggak balas Whatsapp gue (gue tipe pekerja yang sering lembur dan cuma sempat curhat di malam hari, dan kebetulan Steven ini tipe orang yang meleknya malah di malam hari, hehehe).

Chris ini so sweet banget deh orangnya. Mengambilkan obat saat gue sakit, nemenin gue belanja baju, dan ingat cerita soal teman yang datang menjenguk saat gue sakit sambil membawa DVD Grey’s Anatomy kesukaan gue itu? Yup, that was Chris who did that. Beda sama Steven dan Junet yang lebih blak-blakan, Chris ini lebih berusaha untuk menjaga perasaan gue tiap kali dia menyatakan pendapatnya soal curhatan gue. That what makes him the best of the best, hehehehe.

Gue ingat banget beberapa tahun yang lalu, Chris bilang begini saat baru jadian dengan pacarnya, “Gue udah bilang sama cewek gue kalo elo itu temen baik gue.” Jadi ceritanya, saat itu dia merasa enggak nyaman jika harus kehilangan gue sebagai temannya hanya karena keberadaan pacarnya. Gue dan dia sama-sama berharap, kita berdua bisa terus bersahabat, untuk selama-lamanya. Amiin!

Jadi apa kesimpulannya?

Gue jelas meyakini bahwa cewek dan cowok bisa murni bersahabat bahkan hingga usia dewasa. Menurut gue, chemistry untuk sahabat dengan chemistry untuk pasangan hidup itu dua hal yang jauh berbeda. Bagaimanapun, ketetertarikan fisik itu komponen penting dalam romantic relationship, dan ketertarikan fisik itu yang tidak gue rasakan pada sahabat-sahabat gue ini (dan begitu pula sebaliknya). Kita juga bukan tipe sepasang sahabat yang punya pikiran, “Kalo sampe usia 40 kita masih single, kita married aja lah.” Karena memang bukan itu arah, niat, dan tujuannya! Kedudukan mereka buat gue sama persis dengan semua sahabat perempuan gue: kita hanya ingin menjalin persahabatan yang long lasting, yang bisa kita wariskan sampai ke generasi anak-anak kita nanti.

Ya, gue memang tidak punya banyak teman, tapi syukur alhamdulillah, gue punya cukup banyak sahabat yang luar biasa. Merusak persahabatan itu dengan unsur cinta-cintaan? Big no no!