I Will Survive One More Time

Minggu kemarin, ceritanya gue balik lagi ke Phuket dan Bangkok, kali ini bareng teman-teman sekantor di Lazada. Phuket dan Bangkok; dua kota yang kalau diingat-ingat lagi, pernah jadi tempat pelarian gue beberapa tahun yang lalu.

Gue pergi ke Phuket enggak lama setelah patah hati terburuk yang pernah gue alami enam tahun yang lalu, dan gue pergi ke Bangkok saat hidup gue sedang mengalami begitu banyak ujian dalam begitu banyak hal sekaligus tiga tahun yang lalu.

And you know what? Last week’s trip was actually pretty much the same; I left Jakarta in a heartbreak.

Masalah pekerjaan yang semakin lama terasa semakin membebani pundak gue. Masalah cinta-cintaan yang masih saja patah hati lagi patah hati lagi. Dan masalah pribadi lainnya yang membuat gue mulai meragukan diri gue sendiri.

What do I do wrong? What makes me deserve this? Why is my very best effort never good enough for them? Why should the same thing keep happening to me over and over again? What should I do to make things right?

Saat kembali mengunjungi Patong Beach minggu lalu, gue duduk cukup lama dengan salah satu teman gue curhat soal kekecewaan gue soal patah hati yang seolah tidak pernah ada habisnya. Hal yang sama juga gue lakukan di pantai yang sama, dengan teman curhat yang berbeda, 6 tahun sebelumnya.

Kemudian saat menghabiskan malam terakhir di Bangkok beberapa hari yang lalu, di perjalanan kembali ke hotel, gue sibuk merenung soal beratnya tanggung jawab baru gue di Lazada. Renungan yang sama juga gue lakukan, di kota yang sama, saat gue baru saja menginjak tahun pertama di level manajerial, 3 tahun sebelumnya.

Sebetulnya gue mau bilang, gue pulang ke Jakarta dengan keadaan terinspirasi atau semacamnya, tapi sayangnya, tidak begitu kenyataannya. Gue pulang ke Jakarta dalam keadaan masih begitu-begitu saja. Masih bingung gue maunya apa, masih bingung harus bagaimana, dan masih enggak yakin apakah gue akan bisa survive melewati ujian yang sama untuk ke sekian kalinya.

I was still in doubt, until this morning; my first day back to work after my holiday.

Enggak ada hal luar biasa yang terjadi di kantor hari ini sebetulnya, hanya saja, percaya nggak percaya, sambutan dari teman-teman sekantor membuat gue merasa seperti pulang ke rumah. Nggak disangka-sangka, dalam satu hari yang penuh dengan agenda meeting ini, gue malah banyak menertawakan hal-hal yang sebetulnya bikin gue stres banget itu. Bahkan anehnya, bule-bule yang biasanya bikin gue sewot sendiri malah jadi orang-orang yang membuat gue merasa terhibur sepanjang hari ini.

Kemudian sekitar satu jam yang lalu, saat gue tinggal sendirian di kantor yang mulai sunyi dan gelap gulita, gue sempat flash back sebentar, dan gue sadar dengan sendirinya… I used to be in the same situations and I survived it all. If I could do it back then, what makes me think that I can’t do it now?

Di awal gue baru menjabat sebagai manager, Group GM di kantor sempat meragukan capability gue sebagai manager. GM yang sama yang 2 tahun kemudian menjadi orang yang paling menyayangkan kepergian gue dari perusahaan gue sebelumnya itu. Jika gue bisa melewati tahun pertama gue di kursi managerial meski tanpa dukungan yang memadai, kenapa sekarang gue tidak bisa melewati tahun pertama gue di kursi VP ini? Apalagi bedanya, di Lazada ini gue punya begitu banyak orang yang mendukung perjalanan karier gue!

Kemudian 6 tahun yang lalu itu, gue pernah patah hati sampai kerja tanpa kenal waktu. Gue ingat suatu malam 6 tahun yang lalu, sepulang kerja menjelang jam 3 pagi, jantung gue terasa nyeri. Energi gue seolah tersedot habis. Dari yang awalnya hendak pulang ke rumah, gue langsung minta diantar supir taksi menuju rumah sakit terdekat. Jika gue bisa move on dari patah hati yang sebegitu buruknya, kenapa sekarang gue tidak bisa? Apalagi bedanya, kali ini gue sudah mengusahakan sebanyak yang gue bisa. Gue yakin kali ini, gue tidak akan lagi tenggelam dalam pikiran, “What if I did it differently?”

After I wrote this here, I know that things will not be magically easier to me. It will still be challenging. It will still be painful. But at the end of the day, this too will pass. And somehow, I just know that I will survive one more time, won’t I?

The Wake-Up Calls

Seperti yang pernah beberapa kali gue tulis di blog ini, ada beberapa orang yang kehadirannya seolah menjadi wake-up call dalam hidup gue ini. A wake up call to make me become a better person in life. Contohnya, tulisan gue yang ini dan ini.

Pertanyaannya, is that really necessary? Tidak bisakah kita mengubah jalan hidup kita tanpa perlu ada wake-up call sama sekali? Pertanyaan selanjutnya, apakah benar wake-up call seperti itu akan langsung mengubah hidup kita semudah kita membalikan telapak tangan?

Gue akan coba jawab dari perspektif gue sendiri. Bisa jadi, jawaban gue ini memang hanya terbatas dari pengalaman pribadi gue sendiri, tapi siapa tahu, tulisan gue ini bisa membawa manfaat!

Menurut gue, ibarat kehidupan sehari-hari, wake-up call itu sederhananya nyaris sama saja dengan alarm yang membangunkan kita dari tidur lelap di pagi hari. Hanya alarm. Suara bising yang membuat kita tersadar dan dihinggapi dengan rasa tidak nyaman. Setelah itu, keputusan tetap ada di tangan kita: menekan snooze untuk bisa tidur lebih lama lagi, atau, berusaha keras untuk membuka mata, turun dari tempat tidur, dan memulai hari yang baru.

What I’m trying to say, most likely, each and everyone of us already has that wake-up call in life. Bisa jadi wake-up call itu datang dari seseorang yang mengajarkan kita hal-hal penting dalam hidup ini, atau bisa jadi, wake-up call kita itu hanya sesuatu yang kita jumpai dalam keseharian kita saja. Misalnya, peristiwa yang kita saksikan di perjalanan menuju kantor, film yang kita tonton, atau bisa juga, cerita hidup orang lain yang menggerakan hati nurani. Semua itu pada akhirnya akan kembali lagi pada diri kita sendiri.  Will we listen to that call and change our life or we will just ignore it and stay the same?

Kemudian yang sudah-sudah, wake-up call yang pernah gue dapatkan hanya sempat hadir dalam sekejap saja. Satu bulan, dua bulan, paling lama hanya satu tahun saja. But do you know? Butuh waktu bertahun-tahun untuk gue memperjuangkan hal yang ingin gue ubah dari diri gue itu. Butuh usaha yang luar biasa kerasnya. Semakin besar perubahan yang ingin gue lakukan, semakin besar pula usaha yang harus gue kerahkan.

Contohnya, butuh waktu 15 tahun sampai akhirnya gue mencapai kematangan dalam kepercayaan diri gue. Ternyata mengubah sifat minder itu tidak semudah kelihatannya! Mau tahu apa yang lebih buruk dari 15 tahun? Kenyataan bahwa bisa jadi, perlu waktu seumur hidup kita untuk terus memperjuangkan perubahan yang kita inginkan. Kenapa bisa sampai seumur hidup lamanya? Jawabannya sederhana saja: karena tidak ada manusia yang sempurna.

Tiap orang dilahirkan dengan kekurangannya masing-masing. Dan kenyataannya, kekurangan itu akan terus menjadi kekurangan yang melekat di dalam diri kita. Hanya saja bedanya, kekurangan itu sudah tidak lagi kasat mata. Kekurangan itu sudah tidak lagi menjadi batu sandungan dalam hidup kita sendiri. Kekurangan itu sudah berhasil kita kalahkan dengan perjuangan yang tiada hentinya.

Once again, wake-up call is just an alarm ringing for a few minutes. Waking up or staying asleep, the choices are yours.

Happy Monday and wishing you a powerful week ahead!

I Want to Take My Charm Back

Kemarin malam, saat menunggu lift untuk turun ke lobi gedung, gue berpapasan dengan salah satu rekan kerja dari divisi lain. Dia menyapa dengan senyum lebar, gue hanya membalas dengan senyum tipis sambil berpikir keras di dalam diam, “Who is this guy?”

Kemudian di dalam lift, cowok ini dengan ramah bertanya soal kebiasaan gue pulang malam. Gue tidak memperhatikan, mengerutkan dahi, lalu dengan dingin membalas, “Sorry?”

Dia mengulang pertanyaannya, dia juga menambahkan, dia sering melihat gue di cafeteria kantor di saat jam makan malam (Lazada menyediakan makan malam prasmanan untuk karyawan yang bekerja lembur).

Lagi-lagi, gue cuma tersenyum tipis. Dan lagi-lagi, gue bingung sendiri. “Who is this guy? I’ve never seen him in the cafeteria.”

Begitu sampai lobi, gue tidak pakai berbasa-basi. Gue berjalan lurus menuju mobil yang sudah menunggu di depan gedung. Baru saat hendak membuka pintu mobil, gue terpikir untuk saying goodbye. Setidaknya, berbasa-basi untuk bilang, “Have a nice weekend!

Sayangnya, begitu gue berbalik badan, cowok itu sudah berjalan belok ke arah lain. And just like that, I really felt bad.

Kalau diingat-ingat lagi, dulu gue tidak begitu. Dalam situasi yang sama seperti malam kemarin, gue akan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar sebelum masuk ke dalam mobil.

Selain itu dulu, gue selalu menjawab dengan senyum tulus, terkadang dengan lelucon, tiap kali ada teman sekantor yang menyapa, “How are you doing?” atau “How was your weekend?” Kalau sekarang? Cuma senyum tipis atau bahkan langsung to the point, “What’s up?” Tidak ada lagi basa-basi untuk sekedar balas menanyakan kabar mereka. Gue sempat beranggapan, semua itu cuma basa-basi ala orang bule yang sifatnya hanya buang-buang waktu. Padahal sebetulnya, apa salahnya sih? Dan apa susahnya sih, menjawab dengan ramah?

Kemudian dulu, gue termasuk sering chatting di Skype dengan teman-teman lintas divisi hanya untuk sekedar tertawa-tawa melepas stres. Bahkan dulu, gue juga sesekali menyempatkan makan siang atau malam dengan mereka ketimbang hanya terus-terusan berkumpul dengan tim gue sendiri.

Sesampainya di kosan tadi malam, gue melihat ke arah cermin yang terletak tidak jauh dari pintu masuk kamar kos. Dan sejujurnya, gue tidak menyukai pantulan yang gue lihat di cermin itu.

I looked defeated. I lost the bright shine on my eyes. I lost that pretty smile on my lips. All that I saw was a tired, stressed, sad, and disappointed face. I don’t know when it first started, but apparently, life has slowly taken my charm.

Pertanyaannya, kenapa bisa begini? Ada begitu banyak hal yang sungguh gue syukuri dalam hidup gue, tapi kenapa gue malah kehilangan positive vibe dari diri gue ini?

Bigger responsibility, of course. At the end of the day, there’s a price I’ve got to pay just to earn my job.

And the hopes that I put high on other people. Friends who didn’t seem comfort to be seen around me. Colleagues who turned against me. “The ally” who decided to give up the fight. And all people who made me lose my trust on them.

Is that all? No, there’s one more thing: my eyes tend to focus just to the prizes. 

Rasanya gue harus jujur mengakui, gue masih sering terlalu fokus untuk mengejar hal-hal yang belum gue miliki. Gue tidak bisa mengatasi rasa penasaran dalam diri gue sendiri. My obsession consumes me. My obsession has taken my charm away!

If I look back to the past year, I have forgotten that life was not only about winning. I forgot that I had to be happy with every little thing I do.  I forgot to smile everytime I had a chance. I forgot to give some more room for new people in my life. I forgot that people would not hurt me unless I let them.  All of that, all together, has made me lose the most attractive part of me: a happy face of mine.

I am happy with my life, but I still can be happier, once I used to be happier, and I only need to put more efforts to make it happen. Now I really want to take my charm back!

Have a nice weekend!

7 Tricks to Reduce My Anger

Akhir-akhir ini, gue sedang coba beberapa trik baru untuk mengurangi kebiasaan marah-marahnya gue. Kadang, marah itu perlu. Bisa jadi cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Tapi kalau sampai terlalu sering, apalagi kalau marahnya sampai kelewat batas, kebiasaan buruk ini malah bisa jadi bumerang buat diri gue sendiri! Gue yakin bisa dikurangi, tapi agak susah untuk hilang sepenuhnya… secara marah-marah rasanya udah kayak bagian dari ‘jati diri’ gue, hehehehehe.

  1. Saat ada e-mail yang menyebalkan, langsung ketik balasannya untuk meluapkan rasa kesal, tapi setelah itu, simpan dulu di draft. Buka lagi draft-nya 2 atau 3 jam kemudian, dijamin gue akan memperhalus isi balasan e-mail gue itu, hehehehe. Setelah isinya terlihat lebih sopan, baru balasannya gue kirim!
  2. Saat ada orang lain yang mengajak berdebat kusir, entah itu dengan cara texting atau meeting in person, maka gue akan lebih memilih untuk mengakhirinya saja. Gue bisa bilang ada urusan lain dan harus segera pergi. Berdebat kusir itu hanya akan buang-buang waktu! Walking out justru akan lebih efektif untuk membuat si lawan bicara berpikir jernih dengan sendirinya;
  3. Tahu tipe orang yang suka menyindir dengan cara bercanda dan ketawa-tawa? Tidak usah ambil hati. Balas dengan santai, blak-blakan saja, setelah itu langsung tinggalkan. Sama kayak si tukang debat kusir, menghadapi orang seperti ini tidak akan pernah ada habisnya!
  4. Ganti marah-marah dengan senyum kecil yang agak-agak sinis. Selain senyum, bisa juga mengganti marah-marah dengan cara yang lebih cerdas. Misalnya, “Oh ya? Tulisan saya kurang jelas? Bagian yang mana? Coba kita tanya pendapat orang lain.”
  5. Saat ada orang lain merasa bisa mengerjakan pekerjaan kita dengan lebih baik, biarkan saja. Tinggalkan saja dan biarkan dia berusaha sendiri. Enggak usah diambil hati. Saat nanti orangnya datang untuk tanya bagaimana cara mengerjakannya, tertawakan saja! It feels even better than yelling at them, hehehehe;
  6. Jangan memprioritaskan orang lain yang hanya menjadikan kita sebagai option. Mencoba bertahan hanya akan membuat kita jadi cranky. Dikit-dikit berantem lagi, marah-marah lagi… It’s wasting our time and energy! Ibaratnya pesan makan, orang-orang seperti mereka cukup dijadikan sebagai side dish saja, jangan malah dijadikan main course!
  7. Jangan suka memendam perasaan. Lebih baik diutarakan sedikit demi sedikit, di saat emosi masih cenderung tenang dan kata-kata masih terjaga, ketimbang ditumpuk dan berujung dengan marah-marah besar. Kalau sudah dibilang terus terang tapi masih saja diulang-ulang, itu namanya mereka tidak respect! Kalau sudah begitu, baru lah kita boleh marah-marah sama mereka, hehehehe.

Gue tahu marah-marah akan terus jadi kebiasaan jelek gue sampai kapanpun. Secara tidak ada manusia yang sempurna, maka itulah salah satu ketidaksempurnaan gue. Hanya saja masalahnya, kebiasaan jelek yang satu itu adalah kebiasaan yang paling sering membawa penyesalan. Pengen banget bisa dikurangi, dan 7 langkah di atas adalah usaha gue untuk bisa sampai ke sana. Misal ada tips tambahan, please let me know yaa!

Someone Who Changed My Life

A few weeks back, a guy from my past congratulated me for my recent promotion at work. He seemed impressed with my achievement. I only said thanks, but deep in my heart, I whispered, “Maybe, I wouldn’t make it this far if it was not because of you.”

So many years ago, my life was completely a boring one. I didn’t have any passion, dream, ambition, not either a simple purpose in life. I didn’t even understand what a true happiness felt like. My life was okay, but not wonderful. My life was very plain in so many ways, until I met him.

What makes him so special? Well, a very long time ago, he was the only person who believed in my potential even a lot more than I believed in myself. He said, I could be anything I wanted if only I tried hard enough to make it happen. And somehow, he made me believe in that!

So there I started to picture my own future. I pictured myself as a successful young woman with a pretty dress working in a high rise building (sounds stupid, I know 😉 ). She has a happy life, she travels the world, and she is surrounded by the people she loves. For the first time in my life, I had something to pursue. I had many good reasons to wake up in the morning, and I had a strong belief that someday I’d get there.

And then today, after so many years have passed me by, anytime I look back to my past, I still can’t believe how that insecure, lazy, and grumpy girl can live the life I live in now. It’s not a perfect one, not either an easy one, but it’s nearly everything I’ve always dreamed of. And most of the times I think, I might not be who I am today if it was not because of that boy I met so many years ago.

Last week, I was sitting in a blue taxi taking me to Grand Indonesia, just by myself. As I just said, my life is everything I’ve always dreamed of, except when it comes to love.  Then out of the blue, I thought of him, and it just hit me… he was actually the biggest loss I’ve ever had in life.

Back to the past, I was only a teenager when the first time I met him. So many things made me decide that he was not good enough for me. I mean, he and his tons of girlfriends! Could I ever trust him? So that I thought, I was still young, I would still meet a lot of new boys at school, college, and later at work!

Then what about my real life after that? Is it true that I would meet another boy in another chance?

It’s true that I met a lot of new guys after that one guy, but recently I just realized… none of those new guys treated me the way he did. I don’t know how deep their feelings to me, but one thing I know, there was nobody ever fought for me and wanted to be with me as much as he did. I rarely doubt my own decision, yet this time, I began to wonder, “What my life would be if I did it differently?”

Does it mean that I regret my decision? Well, I’m actually still a believer that everything happens for a reason. I don’t think this guy regrets the ending of our story since now he is happily married anyway. So no, I don’t think it’s something to regret. Yet if there is one thing I’ve learned, I simply learned that I should have given him a chance. I should have given myself a chance, not only back then, but also to the chances to come! At least even if it fails, I know that I have given my very best fight. Failure may haunt me for years, but a regret for never trying may haunt me for a lifetime!

However, regardless how it was ended between us, I’m still so grateful that I met him. And somehow I believe, each and everyone of us got one, didn’t we? We all had that someone who brought out the very best in us, the one who enhanced us, the one who made us a better us. And if everything happens for a reason, I believe he happened to become my wake-up call. He was not someone who was meant to be with me, but he was still someone who changed my life.

Finally, as I believe he has no regret on me, I really hope that someday I’ll prove myself that I also have nothing to regret on him. I hope that someday, I will meet someone that makes me realize that all those heartbreaks have finally made a perfect sense. A perfect sense that brings me to someone who is meant to be with me, forever and ever 🙂

I Choose to Be Happy

Entah sejak kapan persisnya, tiap kali dihadapkan pada keputusan-keputusan sulit dalam hidup gue, pada akhirnya gue akan bertanya sama diri gue sendiri, “Keputusan mana yang akan bikin gue lebih bahagia?”

Waktu kuliah dulu, awalnya gue sempat lebih memilih berteman dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan latar belakang dengan gue. Masalahnya saat itu, di kampus gue memang begitu kecenderungannya; orang-orang berteman sesuai dengan ras dan agamanya masing-masing. Tapi tidak berapa lama, gue malah menemukan kelompok kecil yang membuat gue lebih merasa nyaman dan juga membuat gue lebih sering tertawa dibanding sebelumnya. One Indian girl, one Chinese girl, and me; a Moslem girl with a hijab, we could make it until graduation.

Kemudian saat baru memulai perjalanan karier gue, dulunya gue pikir, uang adalah hal terpenting dalam memilih pekerjaan. Saat memilih pekerjaan pertama setelah kelulusan, jujur gue masih memilih perusahaan dengan tawaran gaji yang paling tinggi pada saat itu. Tapi sekarang, gaji tinggi bukan lagi segala-galanya. Jika baru tahap interview saja gue sudah luar biasa ragu, atau sederhananya, tidak merasakan ada chemistry dengan perusahaan tersebut setelah hal-hal yang gue temukan selama proses interview itu sendiri, maka buat apa dipaksakan?

Masih dalam hal karier, gue sudah sering membuktikan bahwa hal yang paling mudah belum tentu hal yang akan paling membawa kebahagiaan. Percaya nggak percaya, tugas dan proyek yang awalnya terlihat hampir mustahil pada akhirnya malah menjadi tantangan karier yang paling membuat gue ngerasa puas dengan pencapaian diri gue sendiri. And you know what? I feel happy when I’m satisfied! Itu pula sebabnya, pekerjaan yang terasa sangat mudah adalah pekerjaan yang kemudian gue tinggalkan meskipun sebetulnya, pekerjaan itu punya masa depan yang sangat menjanjikan untuk diri gue ini.

Finally about my love life. Ortu gue pernah bertanya kenapa gue enggak jadian aja sama si A dan si B yang bla bla bla. Jawaban gue pendek saja, “Sama mereka cuma teman aja.” Tapi jawaban sebenarnya, gue hanya tidak menemukan kebahagiaan yang gue cari dengan mereka. Wajah ganteng dan karier yang sudah mapan entah kenapa sudah tidak lagi menjadi prioritas gue. Percuma punya pasangan yang bisa bikin cewek-cewek lain iri sama gue jika berpasangan dengan cowok itu hanya akan sering membuat gue tidak bisa tidur nyenyak di malam hari…

Singkatnya, dalam setiap keputusan yang gue ambil, gue hanya memilih untuk bahagia. Bisa jadi bukan keputusan yang tampak ideal, terlihat unusual, akan banyak rintangannya, dsb dsb… Tapi jika memang itu yang gue butuhkan untuk bisa hidup bahagia, maka itu pula yang akan gue pilih untuk hidup gue ini.

Why do I do that?

Because I’ve come to learn that happiness is also a work. As much as I believe that there are so many little things that we can be happy with, I also believe that the greater happiness we want to pursue, the greater efforts needed to take us there. That’s why again, everytime I need to make a tough decision, I don’t care what most people will do about it, I simply think and ask myself, “What will I do about it? Which one will make me happier?”

Life can be anything, and I just choose to be happy. That’s it.