The Things I’ve Learned After Working for 7 Years

Seven years ago, I started my very first day in my career history. A freelance job in a small company, bus hopping from one client to another, worked on site during weekdays and worked on my thesis over the weekend. A first job that made me learn much more than a college can do. A job that made me learn how to speak, to be confident, to bring out all the best that I had in me.

Right after graduation, I made my dream come true: I worked as an auditor in a Big Four that I always wanted. Turned out that I didn’t want to do it for the rest of my life, yet I can’t deny that having this job in my CV has given me the opportunity to be the one that I’ve become. It’s the first place where I learned how to be an achiever at work, it’s the place where I learned how to survive in life.

Less than three years, I moved forward as a Company accountant. That new place was such a battlefield, it was that one tough place that made me find myself. I learned how to be strong, to be tough and unbreakable. I learned how I could wipe my tears and went back to my desk to finish my job by overnight.

Three years later, there I left again. I finally find a place that I enjoy the most. This new place feels like a different world to me. Though in the same time, it’s also the place where I learn to never give up. Trying to do my best has never been this hard before. It feels like if I can survive this, I can survive everything else to come.

Seven years I work, seven years I learn that the dreams will do come true. My very first traveling abroad, my first leather handbag, my dream car and a tiny apartment to look forward to. It’s also a seven years where I learn that I will never stop learning for the rest of my life. I have had so many ‘slap’ on the face that woke me up to become a better one. It was not only a seven years of hardwork and tears, it was also a seven years of laughter and joy.

Career anniversary is always important to me. It’s like a milestone, it’s a celebration of another year of life learning. Because for me, working is not only about earning a living. It’s not only about killing times and meet some new friends either. My career has been my identity, working hard is in my blood, it’s simply something that I can’t live without. It’s where I learn to live, learn to love, learn to let go, it’s where I learn how to be my best.

Hence apart from my complains, my rages, and my very bad mood in the morning, I am very much grateful for my career path. I may be in doubt about doing the same job until I get old, yet I know for sure that I should be thankful that I’ve reached this far. Being a Senior Manager when I was only 27 was indeed beyond my imagination. That’s why again, believe me when I say; it’s not easy to be me, but it’s fun! Hehehehe.

Happy seven years to me!

People Don’t Leave Companies, They Leave Managers… Is that True?

Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, gue pernah membaca quote yang isinya, “People don’t leave companies, they leave the managers.”

Quote yang di-share oleh salah satu teman Facebook gue itu langsung dibanjiri puluhan “Like” plus puluhan comments yang intinya mengamini isi quotes tersebut.

Pada saat itu, gue berpikiran. “Masa’ sih? Gue nggak pernah tuh, mutusin resign cuma gara-gara atasan gue.”

Ketidakpercayaan gue terhadap quote itu bikin gue melupakan hal tersebut dengan mudahnya. Sampai beberapa bulan yang lalu, ceritanya gue mulai bikin account di Linkedin. Dan ternyata… di Linkedin, quote yang sama terus menerus muncul di homepage gue itu!

Banyak colleagues yang klik “Like”, memberi comment, atau ikutan sharing quote yang isinya mirip-mirip. Saking seringnya quote ini muncul di Linkedin, ujung-ujungnya, gue malah berpikiran begini, “Mereka gampang aja bilang begitu karena mereka sendiri korban sakit hati dari bosnya masing-masing. TAPI, jika mereka sendiri yang berada dalam posisi atasan, apa iya mereka rela mengakui bahwa SEMUA bawahan mereka resign hanya karena kesalahan mereka sebagai seorang atasan?”

Awalnya, gue masih keras berpendapat bahwa tidak semua orang resign karena atasannya. Gue juga enggak bisa terima kalo ada yang bilang, semua bawahan gue yang udah resign itu akhirnya resign semata karena faktor kesalahan gue. Apalagi kalo yang resign itu karyawan pembangkang yang susah banget diaturnya…

Gue masih terus berpendapat demikian sampai akhirnya, gue menemukan artikel ini via Linkedin. Ada satu paragraf yang menarik perhatian gue, “But when they talk about ‘morale’, when they say ‘communication is poor’, when they express frustration at the lack of clarity for their career progression – they are telling you that it’s the leaders they are leaving. For it’s obvious, isn’t it? Leaders are responsible for morale, communication and career path.”

Selama tiga tahun duduk di kursi manajerial, gue sudah pernah empat kali kehilangan bawahan gue. Jumlah yang menurut gue cukup banyak secara total bawahan gue tidak pernah lebih dari 15 orang. Dan berangkat dari artikel tersebut, barulah pada akhirnya gue menyadari… mereka resign memang benar-benar karena kesalahan gue sebagai atasannya.

Gue langsung teringat dengan satu karyawan yang pernah bikin gue sangat kaget saat dia bilang kepingin resign. Salah satu karyawan terbaik yang tidak pernah terlihat mengeluh, yang sudah gue rencanakan jenjang karier untuk dia di perusahaan tersebut, yang akhirnya malah resign karena merasa takut stuck jika terus bekerja di perusahaan itu. Awalnya, gue nyalahin dia karena ‘tidak sabaran’, tapi sekarang gue sadar… salah gue juga yang tidak cukup peka. Salah gue yang tidak pernah membagi rencana-renanca development untuk masa depan dia di sana…

Setelah gue ingat satu per satu… barulah gue menyadari kesalahan gue sebagai manajer saat itu.

Mungkin bukan mereka yang tidak bisa menerima kekurangan gue, tapi gue yang kurang keras berusaha untuk memperbaiki kualitas diri sebagai pemimpin. Gue yang kurang keras berusaha untuk lebih sabar dalam mengendalikan emosi gue sendiri.

Mungkin bukan mereka yang pemalas, tapi gue yang kurang menyempatkan lebih banyak waktu untuk membimbing mereka.

Dan mungkin bukan mereka yang banyak maunya, tapi gue yang kurang menyempatkan diri untuk mendengar keluh kesah mereka.

Mungkin, seharusnya gue berusaha lebih keras untuk menjaga keutuhan tim gue sendiri. Karena pada akhirnya, sebagai pemimpin, sudah jadi tanggung jawab gue untuk lebih banyak mendengar, banyak memberikan supervisi, dan lebih banyak berupaya untuk memperbaiki diri.

Jadi sudahlah… meski berat, harus gue akui bahwa kepergian karyawan adalah satu tough reminder untuk memperbaiki kualitas leadership gue. Waktunya untuk instropeksi, waktunya untuk gue berusaha lebih keras untuk membangun ‘the dream team’.

Meski begitu, meski gue sudah mengakui kebenaran dari quote tersebut, di sisi sebaliknya, gue tetap tidak menyalahkan para mantan atasan sebagai penyebab resign-nya gue dari kantor-kantor terdahulu.

Bukan salah atasan jika gue ngerasa bosan setengah mati dengan pekerjaan di perusahaan itu. Bahkan, ketika gue resign dengan alasan merasa karier sudah mulai stuck, gue tidak 100% menyalahkan atasan yang tidak kunjung memberikan promosi yang sudah sepantasnya gue dapatkan itu. Gue malah mengumpulkan bermacam alasan yang mungkin sudah menghambat promosi gue sendiri. Gue bertekad dalam hati, “Di perusahaan selanjutnya, gue harus banyak memperbaiki diri, jangan mengulang kesalahan yang sama.”

Dan benar saja… berbekal dari past experiences itu, tidak lama kemudian, di perusahaan yang baru gue berhasil mendapatkan promosi yang sudah sangat gue inginkan tanpa ada hambatan yang berarti.

Jadi sebetulnya, gue memang bisa saja tetap menyalahkan semua mantan bos sebagai alasan resign-nya gue dulu. Mereka yang nggak peka, nggak kreatif dalam memberikan tugas-tugas ke gue, mereka yang nggak adil dsb dsb… Tapi kalo dipikir lagi, apa sih manfaatnya buat gue? Menyalahkan mereka enggak bikin diri gue jadi lebih baik! Sibuk menyalahkan orang lain akan bikin gue jadi lupa untuk berkaca dan memperbaiki diri gue sendiri.

Ya, gue akan tetap sesekali curhat begini dan begitu soal atasan-atasan gue. Ya, sesekali di masa depan, pastilah gue akan pernah terpikir untuk resign hanya karena atasan-atasan gue nantinya. Tapi satu hal yang gue coba tananmkan pada diri gue sendiri: kalau sampai gue resign hanya karena faktor atasan, berarti gue belum berhasil menjadi pribadi yang gue inginkan untuk diri gue sendiri. Kenapa begitu?

Karena seburuk-buruknya atasan gue, mereka juga yang telah memberikan kepercayaan untuk gue bisa berada di posisi gue sekarang. Dan gue tipikal orang yang percaya, seburuk-buruknya seseorang, pastilah ada sisi baik mereka yang tidak boleh gue lupakan begitu saja.

Menerima pola pikir seperti ini jelas bukan perkara mudah. Butuh kebesaran hati untuk mengakui kesalahan kita sebagai atasan saat ada karyawan yang memutuskan pergi sekaligus menahan diri untuk tidak semerta-merta menyalahkan atasan saat giliran kita sendiri yang memutuskan untuk pergi. Memang berat dan kesannya seperti menyulitkan diri kita sendiri, tapi coba ingat kembali… menjadi pemimpin memang tidak pernah mudah! It’s easier to be a boss, but it’s never easy to be a leader at work.

I’m not saying that we have to be a perfect leader. I’m not saying that we have to please everyone at work. Not either saying that I’ve been a good one myself. I simply say to all of us, including myself, to always see the big picture behind every resignation. Either it’s our employees or ourselves leaving the company, never merely blame that departure to someone else. We should take this opportunity to reflect what we can do to make ourselves a better one. It’s not about our employees, it’s not about our bosses, it’s always about ourselves.

The Rejections

One week ago, while I was lying on my bed with bad cough and high fever, I received an e-mail from a stranger offering a pretty interesting job opportunity. He found me through Linkedin, so I clicked his profile right away, interested to know more about him and his Company.

I was actually and literally very sick. I was too tired of my crazy working hours in the office. However, I was committed to myself. I would never leave something unfinished. I have a responsibility to finish that one big thing I’m doing at work right now. Besides, deep in my heart, I still like my job here, I’m still proud of being a part of this Company, and I still want to give it a try.

Without any further chance to get to know about the opportunity that knocked, I said no, again for a few times in the past ten months.  But this time, I don’t know why, rejecting this one reminds me to a few past opportunities that I pushed away.

Just like rejecting the guys who came close to me, rejecting a job offer is also never easy to me. There’s always that time where I wonder…

What if I was wrong? What if that was actually the best thing that I could ever have?

What if that company could be one big thing that I desire in the future?

What would I learn if took that job?

Who would I meet?

Where would I be?

What would I have?

And would I be happier if I were there?

It’s not that I regret the jobs that I finally ended up with. I know that I have achieved so much and I’m so grateful for it. But you know… no matter how awesome the life that you have, a wonder will always cross your mind once or twice in your lifetime.

So I don’t write this blog as an expression of regret, I write this to remind myself to always think before I make such a big decision in my life. I want to take that one decision that will not make me keep looking back at my past over and over again. I hope that I will never hope to turn back the times. Because sometimes, when we reject something, it’s not always their loss, it can be our own loss instead.

Think before rejecting, and once we make our mind, we have to do our best to make the most of it. Make sure that even if someday we do look back to our past, we can be the one who says, “I used to have that one option, but I’m proud that I chose this path. Otherwise, I wouldn’t have this decent life and I wouldn’t have met these people of my life.”

Make the decisions and grow awesome!

My Kind of Guy

Berawal dari pertanyaan seorang teman beberapa hari yang lalu, gue jadi serius berpikir tentang tipikal cowok yang gue suka. Fisiknya harus tinggi? Naksir yang lebih pendek pun gue udah pernah. Harus cowok pintar dan sukses? Naksir cowok yang termasuk lemot pun, kalo diinget-inget ternyata pernah juga. Lalu harus cowok yang terkenal baik hatinya? Naksir cowok raja tega pun ternyata udah pernah juga!

Kenyataannya, gue enggak pernah benar-benar tahu tipe cowok seperti apa yang selalu gue sukai, sampai akhirnya dua hari yang lalu, ada satu kejadian sederhana yang membuat gue berhasil menemukan jawabannya. Dalam sekejap, gue langsung bisa ‘merumuskan’ kesamaan di antara cowok-cowok yang pernah gue sukai. Dan ternyata, jawabannya sangat sederhana!

Yang paling pertama, gue suka sama cowok yang bisa nyambung ngobrol sama gue. Harus tipe orang yang bisa bikin gue tanpa terasa udah ngobrol berjam-jam sama dia. Tanpa perlu dipikir, percakapan akan terus mengalir dari satu topik ke topik lainnya. Kenyataannya, ini dia hal pertama yang gue lihat dari cowok yang baru gue kenal.

Setelah cocok ngobrol, gue akan dengan sendirinya mencari rasa nyaman. Rasa nyaman untuk menyampaikan isi pikiran gue, rasa nyaman untuk menunjukkan diri gue yang sebenarnya, dan rasa nyaman hanya untuk sekedar menghabiskan waktu dengan dia, lagi dan lagi.

Bersamaan dengan poin ke dua, gue punya ketertarikan yang konsisten dengan cowok yang bisa bikin gue tertawa lepas. Enggak mesti jadi cowok lucu yang dijuluki ‘badut kantor’, asalkan dia bisa mencari celah untuk melempar jokes yang bisa bikin gue tertawa lepas, itu saja sudah cukup. Apalagi kalo leluconnya sudah diselipkan dengan unsur flirting… asalkan jatuhnya terdengar pas di telinga gue, dijamin bikin naksir!

Yang paling akhir, ketika gue udah ngerasa cocok sama dia, nyaman untuk berada di samping dia, dan banyak terhibur hanya dengan keberadaannya, cowok yang akhirnya bisa bikin gue jatuh cinta adalah cowok yang bisa memperlakukan gue dengan baik. Perhatian-perhatian kecilnya, pertolongan tanpa pernah gue minta, atau sekedar menangkap basah dia yang sedang diam-diam memperhatikan gerak-gerik gue… aaah, bener-bener bikin hati luluh!

Hanya saja sayangnya, cinta memang tidak selalu datang pada tempatnya. Tidak semua cowok yang memenuhi kriteria di atas melakukan semua itu karena mereka juga memang beneran jatuh cinta sama gue. Sudah pasti mereka termasuk dekat dengan gue, teman baik atau rekan kerja terbaik yang gue punya, tapi bisa jadi, memang hanya sebatas itu saja.

Jadi kabar baiknya, gue tidak separah itu untuk urusan pilih-pilih cowok. Hanya saja kabar buruknya, itu justru bikin gue bisa saja terjatuh di tempat yang salah. Tapi, seperti yang pernah gue tulis di sini… tidak ada yang perlu gue sesali dari mencintai seseorang dengan tulus. Falling in love has created my own version of fairy tale. And according to that fairy tale, I may need to kiss a ton of frogs before I end up with my final prince.