Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, gue pernah membaca quote yang isinya, “People don’t leave companies, they leave the managers.”
Quote yang di-share oleh salah satu teman Facebook gue itu langsung dibanjiri puluhan “Like” plus puluhan comments yang intinya mengamini isi quotes tersebut.
Pada saat itu, gue berpikiran. “Masa’ sih? Gue nggak pernah tuh, mutusin resign cuma gara-gara atasan gue.”
Ketidakpercayaan gue terhadap quote itu bikin gue melupakan hal tersebut dengan mudahnya. Sampai beberapa bulan yang lalu, ceritanya gue mulai bikin account di Linkedin. Dan ternyata… di Linkedin, quote yang sama terus menerus muncul di homepage gue itu!
Banyak colleagues yang klik “Like”, memberi comment, atau ikutan sharing quote yang isinya mirip-mirip. Saking seringnya quote ini muncul di Linkedin, ujung-ujungnya, gue malah berpikiran begini, “Mereka gampang aja bilang begitu karena mereka sendiri korban sakit hati dari bosnya masing-masing. TAPI, jika mereka sendiri yang berada dalam posisi atasan, apa iya mereka rela mengakui bahwa SEMUA bawahan mereka resign hanya karena kesalahan mereka sebagai seorang atasan?”
Awalnya, gue masih keras berpendapat bahwa tidak semua orang resign karena atasannya. Gue juga enggak bisa terima kalo ada yang bilang, semua bawahan gue yang udah resign itu akhirnya resign semata karena faktor kesalahan gue. Apalagi kalo yang resign itu karyawan pembangkang yang susah banget diaturnya…
Gue masih terus berpendapat demikian sampai akhirnya, gue menemukan artikel ini via Linkedin. Ada satu paragraf yang menarik perhatian gue, “But when they talk about ‘morale’, when they say ‘communication is poor’, when they express frustration at the lack of clarity for their career progression – they are telling you that it’s the leaders they are leaving. For it’s obvious, isn’t it? Leaders are responsible for morale, communication and career path.”
Selama tiga tahun duduk di kursi manajerial, gue sudah pernah empat kali kehilangan bawahan gue. Jumlah yang menurut gue cukup banyak secara total bawahan gue tidak pernah lebih dari 15 orang. Dan berangkat dari artikel tersebut, barulah pada akhirnya gue menyadari… mereka resign memang benar-benar karena kesalahan gue sebagai atasannya.
Gue langsung teringat dengan satu karyawan yang pernah bikin gue sangat kaget saat dia bilang kepingin resign. Salah satu karyawan terbaik yang tidak pernah terlihat mengeluh, yang sudah gue rencanakan jenjang karier untuk dia di perusahaan tersebut, yang akhirnya malah resign karena merasa takut stuck jika terus bekerja di perusahaan itu. Awalnya, gue nyalahin dia karena ‘tidak sabaran’, tapi sekarang gue sadar… salah gue juga yang tidak cukup peka. Salah gue yang tidak pernah membagi rencana-renanca development untuk masa depan dia di sana…
Setelah gue ingat satu per satu… barulah gue menyadari kesalahan gue sebagai manajer saat itu.
Mungkin bukan mereka yang tidak bisa menerima kekurangan gue, tapi gue yang kurang keras berusaha untuk memperbaiki kualitas diri sebagai pemimpin. Gue yang kurang keras berusaha untuk lebih sabar dalam mengendalikan emosi gue sendiri.
Mungkin bukan mereka yang pemalas, tapi gue yang kurang menyempatkan lebih banyak waktu untuk membimbing mereka.
Dan mungkin bukan mereka yang banyak maunya, tapi gue yang kurang menyempatkan diri untuk mendengar keluh kesah mereka.
Mungkin, seharusnya gue berusaha lebih keras untuk menjaga keutuhan tim gue sendiri. Karena pada akhirnya, sebagai pemimpin, sudah jadi tanggung jawab gue untuk lebih banyak mendengar, banyak memberikan supervisi, dan lebih banyak berupaya untuk memperbaiki diri.
Jadi sudahlah… meski berat, harus gue akui bahwa kepergian karyawan adalah satu tough reminder untuk memperbaiki kualitas leadership gue. Waktunya untuk instropeksi, waktunya untuk gue berusaha lebih keras untuk membangun ‘the dream team’.
Meski begitu, meski gue sudah mengakui kebenaran dari quote tersebut, di sisi sebaliknya, gue tetap tidak menyalahkan para mantan atasan sebagai penyebab resign-nya gue dari kantor-kantor terdahulu.
Bukan salah atasan jika gue ngerasa bosan setengah mati dengan pekerjaan di perusahaan itu. Bahkan, ketika gue resign dengan alasan merasa karier sudah mulai stuck, gue tidak 100% menyalahkan atasan yang tidak kunjung memberikan promosi yang sudah sepantasnya gue dapatkan itu. Gue malah mengumpulkan bermacam alasan yang mungkin sudah menghambat promosi gue sendiri. Gue bertekad dalam hati, “Di perusahaan selanjutnya, gue harus banyak memperbaiki diri, jangan mengulang kesalahan yang sama.”
Dan benar saja… berbekal dari past experiences itu, tidak lama kemudian, di perusahaan yang baru gue berhasil mendapatkan promosi yang sudah sangat gue inginkan tanpa ada hambatan yang berarti.
Jadi sebetulnya, gue memang bisa saja tetap menyalahkan semua mantan bos sebagai alasan resign-nya gue dulu. Mereka yang nggak peka, nggak kreatif dalam memberikan tugas-tugas ke gue, mereka yang nggak adil dsb dsb… Tapi kalo dipikir lagi, apa sih manfaatnya buat gue? Menyalahkan mereka enggak bikin diri gue jadi lebih baik! Sibuk menyalahkan orang lain akan bikin gue jadi lupa untuk berkaca dan memperbaiki diri gue sendiri.
Ya, gue akan tetap sesekali curhat begini dan begitu soal atasan-atasan gue. Ya, sesekali di masa depan, pastilah gue akan pernah terpikir untuk resign hanya karena atasan-atasan gue nantinya. Tapi satu hal yang gue coba tananmkan pada diri gue sendiri: kalau sampai gue resign hanya karena faktor atasan, berarti gue belum berhasil menjadi pribadi yang gue inginkan untuk diri gue sendiri. Kenapa begitu?
Karena seburuk-buruknya atasan gue, mereka juga yang telah memberikan kepercayaan untuk gue bisa berada di posisi gue sekarang. Dan gue tipikal orang yang percaya, seburuk-buruknya seseorang, pastilah ada sisi baik mereka yang tidak boleh gue lupakan begitu saja.
Menerima pola pikir seperti ini jelas bukan perkara mudah. Butuh kebesaran hati untuk mengakui kesalahan kita sebagai atasan saat ada karyawan yang memutuskan pergi sekaligus menahan diri untuk tidak semerta-merta menyalahkan atasan saat giliran kita sendiri yang memutuskan untuk pergi. Memang berat dan kesannya seperti menyulitkan diri kita sendiri, tapi coba ingat kembali… menjadi pemimpin memang tidak pernah mudah! It’s easier to be a boss, but it’s never easy to be a leader at work.
I’m not saying that we have to be a perfect leader. I’m not saying that we have to please everyone at work. Not either saying that I’ve been a good one myself. I simply say to all of us, including myself, to always see the big picture behind every resignation. Either it’s our employees or ourselves leaving the company, never merely blame that departure to someone else. We should take this opportunity to reflect what we can do to make ourselves a better one. It’s not about our employees, it’s not about our bosses, it’s always about ourselves.