The Hunger Games Trilogy: My Book Review

Satu hal yang selalu bikin gue salut dari penulis-penulis bule adalah daya imajinasi mereka yang sangat all out. Mereka seolah menciptakan dunia baru yang jauh berbeda dengan kehidupan saat ini. New governmental rules, new society, advanced technology, and many details in such a new world. Misalnya, novel Harry Potter dengan sekolah sihir Hogwarts-nya, The Selection dengan negara Illea, dan The Hunger Games dengan negara Panem.

The Hunger Games yang diikuti oleh 2 sekuelnya: Catching Fire dan Mockingjay mengambil tema dystopia a.k.a gambaran kehidupan masa depan yang justru lebih suram daripada masa sekarang. Sang penulis, Suzanne Collins, menggambarkan cukup detail sistem pemerintahan dan kondisi masyarakat di negara Panem. Nice try, hanya saja sayangnya, kalau kita mau berpikir logis sejak awal, sebetulnya yang namanya pertandingan mematikan ala Hunger Games ini jelas tidak mungkin bisa terjadi di muka bumi ini. Apa kabar PBB dan badan-badan HAM di negara tetangga? Hal ini yang terlewat oleh Suzanne: dia tidak menggambarkan apakah Panem itu tinggal satu-satunya negara yang tersisa di masa depan atau bagaimana?

Kelemahan detail lainnya adalah sulitnya buat gue mendapatkan greget dari panasnya situasi politik di Panem. Gue ngerti banget kenapa penduduk 13 distrik sampe sebegitu bencinya sama The Capitol, tapi gue enggak gitu nangkep adanya benang merah yang nyata antara sikap Katniss dan Peeta sepanjang Hunger Games dengan tersulutnya pemberontakan melawan pemerintah Capitol. Rasanya enggak ada sesuatu yang luar biasa berkesan yang bisa bikin Katniss dijadikan simbol pemberontakan. Penulis udah usaha banget buat jelasin, tapi kalo menurut gue, ujung-ujungnya justru too much details yang enggak banyak manfaatnya.

Selain soal detail yang kurang menggigit, gue juga menemukan satu klise yang umum terjadi dalam penulisan novel: banyaknya orang yang dengan sukarela mendukung sang tokoh utama tanpa alasan yang cukup kuat. Harusnya kan dibutuhkan alasan yang luar biasa besar untuk bisa membuat orang lain sampai rela mengorbankan nyawa demi si tokoh utama misalnya. Terlalu sering menemukan hal ini di trilogi Hunger Games malah bikin gue enggak lagi ngerasa tersentuh.

Satu kekurangan lain yang ingin gue tulis di sini adalah terjemahan yang tidak sempurna. Gue agak sulit membayangkan manuver yang ingin digambarkan si penulis, dan suka agak sulit juga memahami isi dari kalimat yang diterjemahkan itu. Udah gitu ada cukup banyak paragraf yang harusnya terpisah malah digabung menjadi 1 paragraf yang sama. Hal ini lumayan bikin bingung… jadinya ini siapa yang lagi ngomong sama siapa? Mungkin emang sengaja digabung untuk menghemat kertas kali yaa.

Well… terlepas dari segala kekurangannya, kenyataannya, I could declare that I’m a big fan of Hunger Games. Rasanya tuh ada ikatan khusus yang bikin gue suka banget sama trilogi ini. Jalan ceritanya bikin novel ini bikin gue enggak sabar pengen cepet baca sampai selesai. Rasanya penasaran banget untuk baca bab selanjutnya, bener-bener tipe buku yang bisa bikin lupa makan dan lupa mandi, hehehehe. Saking sukanya, tiga buku yang masing-masing setebal kurang-lebih 400 halaman ini gue habiskan tidak sampai 3 hari saja. Andai gue nggak perlu tidur, makan, minum, mandi, dan silaturahmi ke luar rumah dalam rangka lebaran, gue yakin bisa nyelesain baca buku ini dalam 24 jam.

Lalu apa yang bikin gue jatuh cinta setengah mati sama buku ini? It’s simply the romance. Terharu banget rasanya melihat betapa besar cinta Peeta buat Katniss. Peeta is not perfect, but he loves Katniss perfectly. Aww… 😉 Selain itu… ya itu tadi: jalan ceritanya bikin penasaran!

Menurut pengamatan gue, seringkali tidak dibutuhkan detail yang luar biasa rapih, karakter yang luar biasa kuat, dan jalan cerita yang luar biasa seru untuk membuat sebuah buku mendapatkan gelar best seller. Cukup taruh saja beberapa adegan romantis yang berkesan di hati pembaca, maka dijamin… buku itu bakal jadi favorit kaum hawa. Oh ya, jangan lupa… resep utamanya adalah, harus si cowok yang lebih cinta sama ceweknya. Bikinlah cerita yang bisa bikin para pembaca jadi berkhayal, atau jadi kepingin, mempunyai kisah asmara dan juga punya pacar yang sehebat itu. Resep cerita seperti ini selalu berhasil bikin cewek jadi tergila-gila.

Kita ambil contoh serial Twilight. Gue bisa bilang semua kelemahan The Hunger Games yang gue sebut di atas ada semua di bukunya Stephenie Meyer sangat booming ini. Tapi tetap saja Twilight jadi favorit cewek-cewek di berbagai belahan dunia… Karena apa? Ya karena romatisnya, dan lagi-lagi, karena besarnya cinta si tokoh utama cowok untuk ceweknya.

Untuk buku lokal, gue ingin ambil Lukisan Hujan-nya Sitta Karina sebagai contoh. Tulisan Sitta di buku itu masih belum sebaik tulisan dia di buku-buku terbarunya. Di Lukisan Hujan, gaya penulisan Sitta masih agak sulit dipahami. Konfliknya juga kurang kuat dan kurang menggigit. Meski begitu, buku ini tetap melejit sebagai best seller hanya karena 1 alasan utama: romantisme yang sungguh menyentuh hati pembaca.

Seperti review yang pernah gue tulis via Goodreads, kisah dalam trilogi ini udah berhasil mengubah sudut pandang gue soal kriteria pacar idaman. Kenyataannya memang benar, cewek-cewek tidak selalu mencari cowok yang paling hebat, mereka jauh lebih membutuhkan cowok yang bisa mencintai mereka dengan hebat. Gue sampe dengan polosnya berpikir, “Peeta emang kelihatannya cupu, tapi pengen deh, punya pacar kayak Peeta.”

Finally, selain bikin gue jadi ngefans sama tokoh Peeta, trilogi The Hunger Games bikin gue kembali tergugah, “Oh my God… kapan ya, gue bisa nyelesain novel gue sendiri? Gue pengen bikin novel yang nggak kalah hebat!”

Well, gue janji, setelah gue posting review ini di blog, gue akan langsung terusin ngetik novel perdana gue. Doakan yaa!

Cinta Sejati ala The Hunger Games

Berawal dari nonton filmnya, gue langsung tertarik buat ngeborong 3 novelnya sekaligus. Novel yang cukup tebal, masing-masing buku berisi sekitar 400 halaman. Terdapat beberapa perbedaan detail cerita antara The Hunger Games versi film dengan novelnya. Tapi dalam kesempatan ini, gue lebih memilih untuk menulis berdasarkan sudut pandang buku. Gue enggak akan membocorkan soal akhir dari pemerintahan kejam ala Capitol, di sini gue lebih tertarik untuk membahas akhir dari kisah asmaranya. Jadi buat kamu yang yang tidak mau melihat bocoran ending kisah cinta dari trilogi ini, silahkan stop baca tulisan gue sampai di sini saja.

Mengambil setting di masa depan, The Hunger Games bercerita tentang permainan mematikan yang diadakan satu tahun sekali oleh Capitol, semacam ibu kota dari negara Panem (ceritanya, Panem ini dulunya adalah Amerika Utara). Peserta Hunger Games bukan penduduk Capitol, melainkan dua orang remaja perwakilan dari setiap distrik yang mengelilingi kota tersebut.  In total ada 12 distrik yang masih eksis, sehingga setiap tahunnya, terdapat 24 peserta Hunger Games yang biasa disebut dengan the tributes. Dalam Hunger Games ini, the tributes diharuskan untuk saling membunuh hingga tinggal tersisa satu tribute yang akan meraih gelar The Victor.

Hunger Games diselenggarakan oleh Capitol sebagai hukuman atas pemberontakan 12 distrik tersebut 74 tahun yang lalu. Hal ini dianggap efektif untuk menakut-nakuti penduduk distrik agar tidak berani mengulangi pemberontakan melawan Capitol.

Pada Hunger Games ke 74, Distrik 12 diwakili oleh gadis bernama Katniss, dan remaja pria bernama Peeta. Kemudian diketahui, ternyata Peeta sudah memendam cinta kepada Katniss sejak belasan tahun lamanya. Jadi bagaimana mungkin Peeta tega menghabisi nyawa Katniss? Karena itulah sejak awal, Peeta cenderung mengalah, dan selalu mencari cara untuk menjaga agar Katniss bisa tetap hidup di arena Hunger Games. Dalam Hunger Games, hanya ada satu pemenang… Dan Peeta ingin, satu orang pemenang itu adalah Katniss, meskipun itu berarti, Katniss harus tega membunuh Peeta.

Katniss sendiri sebetulnya sudah beberapa tahun dekat dengan laki-laki lain bernama Gale yang juga berasal dari Distrik 12. Jadi bisa ditebak… ada konflik cinta segitiga yang menjadi bumbu dalam trilogi Hunger Games. Di sini ada Katniss, gadis tangguh yang sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak usia dini. Ada Peeta, anak dari keluarga penjual roti yang termasuk berkecukupan, yang cenderung penakut dan sejak awal Hunger Games dimulai, dia sudah bertekad tidak akan pernah mau membunuh siapapun di arena itu. Makanya selama latihan, daripada mempelajari cara untuk membunuh, Peeta lebih tertarik mempelajari cara untuk melindungi diri. Kemudian ada Gale, anak penambang batu bara yang cenderung nekad dan sangat mudah tersulut amarahnya.

Logikanya, gadis manapun akan lebih memilih Gale daripada Peeta. Gale digambarkan memiliki bentuk tubuh atletis dan wajah yang sangat tampan. Kemudian Gale itu pemberani. Dia dan Katniss sama-sama berani melanggar peraturan pemerintah keluar dari pagar pembatas distrik hanya untuk berburu di dalam hutan. Berbeda dengan Peeta yang di awal permainan tampak manis dan tampak lemah. Jadi tentunya, secara kemampuan fisik, Gale jauh lebih unggul daripada Peeta yang hanya pandai membuat dan melukis roti.

However, believe it or not, gue… tipe cewek yang menggemari cowok yang ‘laki banget’, berkali-kali merasa jatuh cinta dengan sosok Peeta.

Peeta yang masih ingat warna baju dan kepang rambut Katniss di hari pertama mereka sekolah saat masih kanak-kanak.

Peeta yang hapal gerak-gerik dan kebiasaan Katniss.

Peeta yang pernah rela dipukuli orang tuanya hanya demi bisa memberikan sepotong roti kepada Katniss yang sedang kelaparan.

Peeta yang berusaha menjadikan Katniss favorit penonton hanya supaya gadis itu mendapat banyak bantuan dari penonton untuk terus bertahan hidup di arena Hunger Games.

Peeta yang setengah mati melawan Cato, tribute paling jago di arena Hunger Games, sampai mendapat luka tusukan di kakinya hanya supaya Katniss bisa melarikan diri dari kejaran Cato yang sangat bernafsu untuk membunuh Katniss.

Peeta yang jauh lebih peduli pada keselamatan Katniss daripada keselamatan dirinya sendiri… Bahkan saat sedang menjadi tawanan pemerintah pun, Peeta tetap nekad membocorkan rencana serangan pemerintah supaya Katniss dan sekutunya dapat bersikap waspada… Dan tentunya setelah itu, Peeta harus rela disika habis-habisan atas ulahnya tersebut.

Atau hal-hal kecil… seperti saat Peeta memberikan jaketnya dan mengancingkan jaket itu untuk Katniss, atau sekedar memeluk dan membelai rambut Katniss yang sedang ketakutan saat dihantui mimpi buruk dalam tidurnya.

Kedengarannya Peeta emang jagoan banget. Tapi sebetulnya, Peeta itu enggak jago bertarung. Dia cuma rela menjadikan dirinya tameng untuk melindungi Katniss. Dia rela dijadikan sasaran pukulan bertubi-tubi, asalkan Katniss tetap selamat.  Berbeda dengan Gale yang selalu melindungi dengan cara melawan sekuat tenaga, yang mana Gale memang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Kelemahan Peeta membuat Katniss juga harus melakukan hal yang sebaliknya: berjuang sekuat tenaga agar Peeta tetap hidup. Pada akhirnya, Katniss sendiri juga selalu berecana untuk mengorbankan dirinya, asalkan Peeta selamat sampai akhir. Di buku terakhir, Katniss berkata pada Peeta, “Kita memang selalu saling melindungi.”

Dalam kehidupan nyata, gambaran kehidupan ala Hunger Games jelas sangat-sangat terlalu berlebihan. Jadi mari kita sederhanakan… Ambil contoh adegan saat Katniss mengajari Peeta berenang di arena Hunger Games. Dalam kehidupan nyata, mana yang kamu pilih… Cowok yang jago berenang seperti Gale, atau cowok yang kamu ajari cara untuk bisa berenang seperti Peeta?

Jika hanya satu itu saja pertanyaannya, jelas mudah menjawabnya: perempuan cenderung tidak memilih laki-laki yang tidak lebih hebat dari mereka. Gue malah kenal seorang teman yang bakal langsung ilfil saat tahu cowok yang dia suka ternyata enggak bisa nyetir mobil, sedangkan teman gue ini termasuk jago nyetir buat ukuran cewek.

Gue sendiri juga begitu… Sejak kuliah, a.k.a sejak nilai-nilai gue mulai melesat jauh di atas rata-rata, gue mulai berubah jadi pemilih. Gue enggak pernah naksir sama cowok-cowok yang pernah belajar akuntansi sama gue (jadi dulu itu, selain kerja jadi guru privat akuntansi, gue juga suka ngajarin temen-temen secara gratisan). Gue gampang ilfil sama cowok yang menurut gue shallow, dan tentunya… gue cenderung mudah mengagumi cowok-cowok yang gue anggap pintar.

Selain itu, gue mengenal sangat banyak teman perempuan yang punya prinsip, pasangan mereka harus memiliki penghasilan yang melebihi penghasilan mereka. Bukan karena matre, tapi hal itu seperti sudah jadi sesuatu yang melekat dalam daya tarik seorang cowok. Banyak cewek yang merasa, cowok dengan penghasilan di bawah mereka kelihatan kurang menarik perhatian mereka.

Intinya adalah, secara naluriah, cewek cenderung menginginkan cowok yang serba lebih daripada mereka. Well, itu kan hanya keinginan, impian, mimpi, harapan, atau yang sejenisnya. Tapi mari kita lihat kenyataannya…

Gue kenal seorang suami yang penghasilannya cukup jauh di bawah istrinya. Dan istrinya bilang, dia ngerasa beruntung punya suami sebaik suaminya itu.

Gue juga kenal sama istri yang sedang sambil kuliah S3, sedangkan suaminya, hanya seorang lulusan S1. Might sounds strange, tapi mereka adalah salah satu pasangan yang paling bahagia yang pernah gue kenal.

Ada temen gue yang orangnya berani banget. Semua wahana permainan paling mengerikan di Dufan, dia berani coba. Sedangkan suaminya… sangat takut sama ketinggian.

Gue kenal cowok yang penakut banget… Takut sama hal-hal seperti hantu maksud gue. Dan kalo ketakutan… dia suka minta temenin ke mana-mana sama ceweknya.

Gue sering lihat banyak cewek cantik yang malah married sama cowok-cowok yang biasa banget, dan cenderung kurang gaul. Bahasa kasarnya… cupu dan kuper. Padahal, cewek-cewek itu dulunya punya sederet mantan pacar yang ganteng dan keren banget.

Kembali lagi ke Hunger Games, Katniss sangat sulit menentukan kepada siapa cintanya berlabuh… Peeta… atau Gale? Katniss sangat takut kehilangan dua orang tersebut, dia menyayangi keduanya dengan sepenuh hati. Akan tetapi sebetulnya, kita sebagai pembaca semakin lama akan semakin yakin dengan sendirinya tentang siapa yang sesungguhnya dicintai oleh Katniss.

Di buku ke tiga, dikisahkan Peeta menjadi korban cuci otak pemerintahan Capitol. Otak Peeta ditanamkan ingatan-ingatan palsu yang membuat dia jadi membenci Katniss setengah mati. Saat sudah kembali ke tangan sekutu Katniss, ingatan Peeta berangsur membaik. Akan tetapi, Peeta tetap suka sulit membedakan… antara yang nyata dengan tidak nyata. Untuk mengatasinya, orang-orang memainkan sesi tanya-jawab. Si penanya akan menceritakan suatu hal, dan Peeta diminta menebak… apakah hal itu nyata atau tidak nyata? Peeta juga akan mengungkapkan isi pikirannya dan bertanya kepada orang lain, nyata atau tidak nyata? Strategi ini pula yang akhirnya berhasil menyembuhkan Peeta.

Saat Peeta baru saja pulih dari masalah ingatannya, Peeta bilang kepada Katniss bahwa dia ingat pernah rela dipukuli orang tuanya hanya demi memberikan sepotong roti untuk Katniss yang sedang kepalaran. Setelah mengingat hal tersebut, Peeta berkata, “Aku pasti sangat mencintaimu.”

“Memang,” jawab Katniss.

“Dan apakah kau mencintaiku?”

“Semua orang bilang aku mencintaimu. Semua orang bilang itu sebabnya Presiden Snow menyiksamu. Untuk menghancurkanku.”

“Itu bukan jawaban,” kata Peeta.

Ya, meskipun pembaca tahu, dan semua orang dalam kisah itu tahu tentang perasaan Katniss kepada Peeta, tetap saja Katniss tidak pernah mau mengakui perasaannya itu. Dari buku pertama hingga ke tiga dipenuhi keraguan Katniss akan hal itu. Sampai akhirnya, pada paragraf penutup di buku ke tiga, Katniss mengakui perasaannya itu. Berikut cuplikan pargraf yang gue maksud, satu paragraf yang paling gue sukai dari buku ini. (P.s.: beberapa kata gue edit supaya mudah dipahami oleh kalian yang tidak pernah mengikuti jalan cerita Hunger Games).

“Aku dan Peeta kembali bersama. Ada saat-saat ketika dia memegangi sandaran kursi sampai kilasan-kilasan ingatan palsu yang ada dalam benaknya lenyap. Aku masih bangun sambil menjerit-jerit karena mimpi buruk dengan mahluk mutan dan anak-anak yang hilang. Tapi lengan Peeta selalu ada untuk menghiburku. Hingga akhirnya bibirnya juga. Pada malam ketika aku merasakannya lagi – rasa lapar untuk terus menciumnya yang pernah menguasaiku di pantai arena Hunger Games – aku tahu memang ini yang akan terjadi. Bahwa yang kubutuhkan untuk bertahan hidup bukanlah api Gale, yang dikobarkan oleh kemarahan dan kebencian. Aku sendiri sudah punya banyak api dalam diriku. Yang kubutuhkan adalah bunga dandelion pada musim semi. Warna kuning cerah yang berarti kelahiran kembali, dan bukannya kehancuran. Janji bahwa hidup bisa berlanjut, tak peduli seburuk apa pun kami kehilangan. Bahwa hidup bisa menjadi baik lagi. Dan hanya Peeta yang bisa memberiku semua itu.”

Setelah paragraf itu, Peeta berbisik kepada Katniss, “Kau mencintaiku. Nyata atau tidak?”

Akhirnya, Katniss menjawab, “Nyata.”

Gale memang lebih kuat… dan lebih tampan. Tapi Peeta, hanya Peeta, yang bisa memberi Katniss rasa aman, serta hanya Peeta… yang bisa melengkapi kekurangan dalam diri Katniss.

Dalam kehidupan nyata, pada akhirnya, hanya itulah yang akan dicari oleh wanita dewasa dari laki-laki pilihannya: rasa aman untuk terus hidup bersama dengan dia. Laki-laki itu bisa jadi tidak lebih kaya, tidak lebih pintar, tidak lebih rupawan… tetapi, laki-laki itulah yang paling mampu memberikan rasa aman. Buat apa kita cari cowok pintar dan kaya… kalau dia tidak pernah mau berusaha untuk memperjuangkan keberadaan kita dalam hidupnya? Buat apa pula pintar dan kaya… kalau kita tidak yakin, dia akan selamanya mencintai kita dengan tulus dan apa adanya…

Gue tidak bilang the most wanted bachelor yang ganteng, pintar, dan kaya itu tidak layak jadi pendamping hidup. Itu kan tergantung orangnya… But the thing is… in fact, it’s not the most important consideration. Sekedar keren dan kaya raya saja tidak cukup. Make her feel safe, comfort, and feel like being sincerely loved, then she’s gonna be truly yours.

Bermaafan Via Broadcast BBM… Cukupkah?

Awal Ramadhan tahun ini, Lisa, sahabat gue sejak jaman masih ABG sampai dengan sekarang, memberi tahu gue tentang broadcast message via BB (gue emang masih awam soal BB… baru mulai pake beberapa bulan belakangan ini soalnya). Katanya, jika teks yang kita terima berwara ungu, maka itu berarti, pesan itu dikirimkan secara massal melalui fitur broadcast message. Saat itu, Lisa juga mengungkapkan opininya bahwa mengirimkan broadcast message yang isinya memohon maaf, entah itu dalam rangka menyambut Ramadhan maupun Idul Fitri, sifatnya tidaklah sopan.

Hal ini mengingatkan gue terhadap prinsip yang sudah gue pegang sejak pertama kali menggenggam hp gue sendiri belasan tahun yang lalu. Sejak awal, gue tidak pernah mengirimkan template SMS lebaran yang sudah jadi kepada teman-teman dekat gue. Maksudnya, gue tidak pernah tinggal copy-paste atau tinggal forward pesan yang sudah pernah gue kirimkan untuk orang lain kepada mereka. Gue akan ketik satu per satu, case by case, sebelum mengirimkan pesan tersebut.

Kenapa begitu?

Alasannya sederhana…  Coba ingat kembali… Apa sih, tujuan kita mengirimkan SMS lebaran? Untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat bukan? Dan apakah kamu yakin… dengan mengirimkan template pesan standar yang kamu kirimkan ke SEMUA orang bisa menghapus luka atas kesalahan yang pernah kamu perbuat kepada orang ybs?

Misalkan gue pernah memarahi rekan kerja saat sedang stres dengan pekerjaan, gue akan dengan spesifik menyebutkan mohon dimaafkan segala kesalahan yang pernah gue perbuat selama gue bekerja dengan dia. Gue ingin dia tahu bahwa gue menyesali ketidakmampuan gue dalam menahan emosi, dan gue ingin memperbaikinya.

Misalkan gue pernah bertindak ekstrim dengan meninggalkan begitu saja seseorang yang pernah dekat dengan gue, tanpa memberi penjelasan apa-apa, saat lebaran, gue akan menyatakan secara eksplisit penyesalan gue atas tindakan gue saat itu. Gue ingin dia tahu bahwa gue hanya butuh waktu untuk menenangkan diri sehingga bersikap acuh tak acuh seperti itu.

Nah… pertanyaan gue… Apakah sekedar kalimat standar saja mampu menjelaskan semua penyesalan gue itu? Akankah terketuk pintu hati orang-orang itu untuk memaafkan gue setelah membaca beberapa baris kalimat yang isinya lebih mendekati formalitas atau bahkan, hanya sekedar basa-basi belaka?

Jadi sudah jelas… Jika gue tidak menyetujui penggunaan template standar untuk semua orang, maka terlebih lagi, gue sangat-sangat tidak menyetujui pengiriman SMS lebaran melalui fitur broadcast.

Pengiriman pesan lebaran melalui broadcast BBM mengingatkan gue sama e-mail yang banyak gue terima dari berbagai perusahaan dagang, atau beberapa kantor klien dan mantan klien. Gue tahu bahwa e-mail itu mereka kirimkan secara otomatis… kepada semua alamat e-mail yang tersimpan dalam database mereka. Dan gue tidak merasa perlu tersinggung… because it’s just a business matter. It’s a part of business relationship strategy.  Tapi apakah pantas, jika cara yang sama persis, kita gunakan dalam kehidupan pertemanan? Dalam hubungan antar tetangga? Bahkan… dalam hubungan antar rekan kerja? Apakah begitu cara kita memperlakukan mereka… seolah ini semua hanya demi kepentingan bisnis belaka?

Sistem broadcast ini membuat gue berpikiran… setidaknya sistem copy-paste atau forward template masih jauh lebih baik. Setidaknya, mereka menyisihkan lebih banyak waktu untuk mengirimkannya satu per satu… Tapi tetap saja, gue masih teguh berpikiran, diperlukan usaha yang jauh lebih bernilai, untuk memohon maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat. Tidak apa menggunakan sistem template, selama orang yang kita tuju, bukanlah orang yang jelas-jelas pernah kita sakiti perasaannya. Dan pastikan pula, bahwa orang itu bukanlah orang-orang terdekat yang sesungguhnya berhak mendapat lebih dari sekedar basa-basi belaka.

Selain soal text message lebaran, izinkan gue menyentil sedikit tentang ucapan selamat ulang tahun. Template text lucu-lucu dari BB sudah menjadi favorit semua orang. Tidak ada salahnya kok, karena kadang template itu isinya sangat kreatif dan cukup menghibur. Tapi… bisakah bertaburannya icon smiley dan gambar lucu itu menyampaikan tulusnya doa kita KHUSUS hanya untuk mereka yang sedang berulang tahun di hari itu? Template lucu bisa menghibur, tetapi, hal itu tidak akan pernah bisa menyentuh hati mereka yang sedang merayakan hari lahirnya.

Mengetik dua atau tiga kalimat tidaklah sulit. Kecuali kamu ini selebritis yang dihujani ribuan ucapan dalam sehari, maka membalas satu per satu tidak akan memakan waktu seharian penuh. Mengirimkannya satu per satu, tidak akan membuat jari-jari kamu menjadi kram. Jadi, kirimkanlah secara layak, secara yang seharusnya kamu lakukan. Pahamilah makna bermaafan di hari raya. Dan pahamilah, bukan bermaafan via broadcast message yang selama ini Tuhan inginkan.

Gue tahu tulisan gue kali ini akan menyentil begitu banyak pihak… Sama sekali bukan untuk memancing permusuhan… Gue hanya ingin mencari cara untuk mengingatkan pentingnya makna Idul Fitri yang sesungguhnya. Jangan pernah kita biarkan kecanggihan teknologi merusak makna silaturahmi. Dan gue hanya merasa, hari ini, satu malam menjelang Idul Fitri 2012, sebagai waktu yang tepat untuk menyampaikan isi hati gue terkait hal ini.

Akhir kata, gue ingin mengucapkan minal aidzin walfaidzin kepada semua pembaca blog yang tentunya, sebagian besar tidak gue kenal secara personal. Mohon maaf jika ada tulisan di blog ini yang tidak berkenan di hati teman-teman semua. Apapun agama teman-teman yang sedang membaca tulisan ini, gue tetap ingin memohon maaf yang sama. Selamat berlebaran buat teman-teman yang merayakan, dan pastinya, selamat berlibur untuk kita semua 🙂

A Pretty Cat Named Woochie

Enam tahun yang lalu, Mitha, sahabat gue dari bangku kuliah, menunjukkan sebuah foto di layar hp-nya. Foto sebuah kardus sepatu yang berisi lima ekor bayi kucing lucu. Sekali lihat, gue langsung jatuh hati sama satu ekor kucing yang menatap lurus ke arah kamera. Warnanya abu-abu, matanya cantik, terlihat sehat, gue pun langsung setuju buat adopsi kucing lucu itu dari Mitha. Dalam hati gue langsung tau, kucing itu akan gue kasih nama Woochie.

Sore itu, gue ditemani Yantri, datang ke rumah Mitha untuk menjemput Woochie. Kucingnya memang benar lucu, menggemaskan, dengan buntut panjang yang meruncing sampai ke ujung. Sepanjang perjalanan, di dalam mobil, Woochie enggak bisa berhenti mengeong. Untunglah begitu sampai di rumah, Woochie langsung terlihat nyaman, dan tertidur pulas di kursi ruang tamu.

Woochie kecil lincahnya bukan main. Berlarian ke sana-sini, mencakar semua yang terlihat menarik perhatiannya, tapi kalo udah capek, Woochie suka datang menghampiri hanya untuk minta dipangku. Selain itu entah kenapa, Woochie sedari kecil kecil udah suka banget tidur di dalam kardus kecil, kantong plastik, atau benda penyimpanan apapun yang berbentuk kotak kecil. Di pagi hari, saat gue keliling rumah mencari Woochie, dia suka dengan lucunya menampakkan diri dari balik kardus tempat dia tidur. Kepala mungilnya yang menyembul dari balik kardus itu bikin gemes! Udah enggak kehitung ada berapa banyak foto Woochie yang pernah gue abadikan.

Sifat Woochie mulai berubah setelah melahirkan anak-anak generasi pertama. Anak-anak kucing yang enggak kalah lucu sama maminya. Hanya saja entah kenapa, tidak pernah ada satupun anak Woochie yang sama persis seperti dia. Setiap dia baru melahirkan, gue selalu aja berharap setidaknya ada satu ekor kitten yang menyerupai muka lucu induknya.

Woochie was sleeping.

Woochie sudah melahirkan belasan anak, tapi sejak dulu sampai sekarang, anak-anak Woochie tidak pernah bertahan sampai tahunan lamanya. Ada yang mati saat masih bayi, ada yang hilang secara tiba-tiba, atau, berangsur pergi dari rumah dan migrasi ke kawasan lain yang tidak jauh dari rumah setelah mereka mulai dewasa. All of those other cats always come and go, all of them, except Woochie.

Woochie itu selalu setia sama gue. Dia nggak pernah nggak pulang ke rumah gue. Di saat lagi bad mood dan nggak mau dipegang-pegang (biasanya saat sedang hamil besar), Woochie bakal marah banget kalo disentuh dikiiit aja. Dia bakal marah sama semua orang, semua… kecuali sama gue. Dia juga tau banget di mana letak pintu kamar gue. Dia suka ngotot minta masuk dengan cara mencakar-cakar pojokan daun pintu kamar gue. Dan kalo gue lagi pergi dalam waktu yang lama, dia suka berdiri depan pintu kamar, mengeong, tanpa tahu kalau sebenarnya, kamar gue itu sedang dalam keadaan kosong.

Hal yang selalu bikin gue sedih dari kucing kesayangan adalah… mereka tidak pernah mati di depan gue. Mereka semua selalu aja tiba-tiba menghilang… dan tidak pernah lagi kembali untuk pulang. Kadang suka ada feeling dengan sendirinya bahwa saat itu, kucing kesayangan sudah tiada…

Berkali-kali, gue ngomong gini sama si Woochie (yeaah… gue emang aneh, suka ngomong sama kucing), “Woochie, kamu kalo mati jangan kayak Dippy, enggak jelas matinya di mana… Stay here, so that I could see you for the last time.”

Gue sadar usia Woochie sudah bertambah tua. Tapi Woochie masih kelihatan cantik, masih pintar, masih punya banyak akal untuk menjebol tempat gue menyimpan biksuit kesukaannya. Woochie ini juga pinter banget akting… Mukanya bisa berubah-ubah dari muka pengen, muka judes, sampe muka lempeng ala kucing kebanyakan. Gue ingat dia pernah pura-pura terkulai di atas lantai… ngambek, karena seharian itu dia belum gue kasih makan. Gimanapun Woochie kucing yang kuat. Gue enggak pernah lihat dia sakit dalam waktu yang lama. Bahkan, saat wabah misterius mengambil tujuh ekor nyawa kucing di rumah gue, Woochie tetep aja sehat walafiat. Makanya gue selalu ngerasa… Woochie adalah kucing yang paling setia, yang akan menemani gue dalam waktu yang lama.

Hari ini, gue pulang ke rumah, sepulang kerja, seperti biasa. Yang tidak biasa, tiba-tiba aja bokap gue bilang gini, “Si Woochie mati…”

Setelah mobil terparkir sempurna, gue buka pintu mobil, dan menemukan Woochie terkulai di pinggiran garasi. Posenya sama persis seperti saat dulu dia ngambek karena belum makan, hanya saja kali ini, Woochie benar-benar sudah pergi… Tubuhnya kaku, matanya sedikit terbuka, dan napasnya sudah tidak berhembus. Woochie sudah pergi… tapi setidaknya, dia menepati janji… untuk membiarkan gue melihat dia yang terakhir kali…

Jujur belakangan ini, perhatian gue untuk Woochie udah banyak berkurang. Karena dia suka nakal, dia jadi makin sering dilarang masuk rumah. But Woochie never gave up, she never walked away just because of that. She never walked away, until today… she passed away, still in my house, still in the place where she grew up.

Setelah Woochie dikuburkan, pandangan gue tertuju kepada seekor anak kucing yang baru dilahirkan Woochie tiga bulan yang lalu. Anak kucing itu bersembunyi takut-takut di balik pot… mengingatkan gue sama Woochie kecil yang bersembunyi di balik kardus. Gue baru menyadari… akhirnya, ada juga anak Woochie yang terlihat sangat mirip dengan induknya.

Menurut adek bungsu gue, Woochie emang terlihat kurang sehat belakangan ini. Dan kalau gue pikir lagi… well… kalo gue boleh lebay sedikit, Woochie seperti pergi di saat yang menurut dia lebih tepat. Woochie pergi, meninggalkan seekor anak yang mirip banget sama dia. Gue langsung bilang begini sama kitten yang belum sempat gue beri nama itu, “Nama kamu Woochie juga… sama kayak si Mami.”

Gue masih nggak nyangka Woochie mati hari ini. Mata gue masih berkaca-kaca, nulis blog sambil netesin air mata… Tanpa berpikir lama, meskipun sebenarnya gue belum selesai bikin materi training untuk besok pagi, gue langsung buka laptop… untuk menulis blog ini. Gue ingin menulis untuk Woochie, kucing yang telah setia menemani, enam tahun lamanya…

Bye bye Woochie. Hope that you have reached a better place. Thanks for being so cute all the time, thanks for just sitting there and listening to my stupid stories. Rest in peace, Woochie… I will miss you.