Kemarin malam, dalam perjalanan menuju farewell party manajer gue waktu di EY, gue banyak ngobrol sama si supir taksi.
Supir taksi itu cerita, setiap siang, dia suka menyempatkan diri untuk mampir pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, anak-anaknya akan langsung datang menghampiri si supir taksi, menagih bungkusan makanan yang dibawa pulang olehnya.
Cerita si supir taksi mengingatkan gue sama masa kecil gue sendiri. Dulu, setiap kali bokap gue pulang kerja, gue akan langsung menghampiri bokap untuk melihat apakah ada oleh-oleh dibawain bokap buat anak-anaknya. Pada tanggal-tanggal terbitnya majalah Bobo dan Donal Bebek, gue pasti akan memeriksa isi tas kerja bokap untuk mencari majalah favorit gue waktu itu. Kalo bokap baru pulang kerja setelah gue tertidur pulas, hal pertama yang akan gue lakukan setelah bangun tidur adalah berlari menghampiri tas kerja bokap yang biasanya terletak di ruang tamu.
Seiring berjalannya waktu, gue udah enggak lagi berlangganan Bobo dan Donal Bebek. Dan sejak SMP, gue mulai membeli sendiri majalah yang gue inginkan. Entah itu hasil menyisihkan uang jajan, atau hasil bisnis jualan kecil-kecilan. Kemudian setelah SMA dan kuliah, gue juga mulai bisa membeli majalah, novel, dan kosmetik gue sendiri menggunakan uang hasil mengajar privat. Lalu sekarang setelah kerja, alhamdulillah gue udah sanggup membiayai semua kebutuhan gue dengan uang hasil jerih payah gue sendiri.
Jujur gue akui… Serba bisa melakukan segala hal dengan hasil kerja gue sendiri seringkali membuat gue jadi seperti kacang yang lupa dengan kulitnya. Gue lupa bahwa dulu, gue hanya seorang gadis kecil yang bisa terpekik kegirangan hanya dengan menemukan majalah Bobo terbaru di dalam tas kerja milik bokap gue.
Gue juga jadi teringat cerita seorang teman tentang ibunya yang suka sekali ngeberesin rumahnya dia setiap kali sang ibu mampir ke tempat tinggalnya itu. Waktu itu, kurang lebih temen gue itu bilang begini, “Sebenernya gue juga enggak enak ngelihat nyokap beres-beres rumah gue. Tapi dia emang seneng banget ngelakuin itu buat gue. Dia pengen masih bisa jadi berguna buat gue karena sekarang kan, secara finansial gue udah nggak bergantung lagi sama mereka.”
Bokap dan nyokap gue juga suka begitu. Ngupasin mangga buat gue, beresin kamar tidur gue, masakkin semua menu kesukaan gue setiap kali gue pulang ke rumah… Mengingat semua itu, membuat gue jadi menyadari betapa besarnya perhatian kedua orang tua gue selama ini.
Sama seperti orang tua lainnya, orang tua gue bukanlah orang tua yang sempurna. Begitu pula dengan gue… Gue juga masih jauh banget dari kata sempurna. Makanya enggak heran kalo ada banyak banget konflik yang merintangi hubungan gue sama mereka.
Meski begitu, bagaimanapun dan sampai kapanpun, gue nggak akan bisa membayar lunas hutang-hutang gue kepada Papi dan Mami. Karena setelah gue hidup mapan dengan karier gue sendiri pun, Papi dan Mami tidak pernah berhenti melimpahkan kasih sayangnya meskipun bentuknya tidak lagi berupa materi.
Jadi lain kali… Kalo gue lagi bete sama bokap dan nyokap, mengingat masa kecil bisa jadi senjata yang ampuh untuk menahan diri dalam menghadapi orang tua gue sendiri. Gue nggak boleh sombong karena gimanapun, waktu kecil dulu, gue hanya seorang anak yang menggantungkan hidup dari pemberian kedua orang tua gue.
I’m not that loveable kid who ever tell my parent that I love them back. It feels so awkward for me to express such a feeling like that. Tapi lewat tulisan ini, gue pengen ortu gue tau bahwa of course, I love them too 🙂