Setelah susah payah mendaftar buat ikutan tes IELTS, akhirnya hari yang dinanti-nantikan itu tiba juga. Harusnya, gue banyak belajar buat tes ini. Tapi gara-gara jadwal tes yang jadi maju 2 minggu dari rencana, ditambah pekerjaan yang makin hari semakin menggila itu, gue baru sempet belajar 1 malam menjelang tes. Untunglah di minggu-minggu sebelumnya, gue udah sempet latihan 1 set soal dan udah mempelajari pula tips dan trik saat menghadapi tes writing dan speaking-nya IELTS. Seenggaknya, buku latihan yang harganya mahal banget itu enggak terbuang sia-sia lah ya, hehehehe.
Hari Sabtu 16 Juni 2011, seperti yang gue tulis di blog sebelum ini, tanggal tes gue bertepatan sama tanggal wisudanya adik gue si Yantri. Untunglah adek gue itu mau mengerti dan dia bersedia memindahkan lokasi foto studio ke PIM 2 (PIM 2 apa PIM 1 ya? Lupa, hehehehe). Kalo gue lihat di peta, lokasi tesnya emang deket banget sama mall ini.
Untunglah timing sepanjang hari itu pas banget. Gue tes tertulis (listening, reading, dan writing) dari jam 8 sampai jam 12, abis itu gue mampir ke PIM buat makan siang, kemudian jam 2 siang balik lagi ke lokasi tes buat nunggu giliran speaking test. Jam 3 lewat dikit, tiba giliran gue speaking test dan jam 4 sore gue udah sampe lagi di PIM buat makan-makan bareng keluarga gue. Abis itu, kita langsung cabut beramai-ramai ke studio foto.
Singkat cerita, sampai lah gue di lokasi tes di daerah Pondok Indah… Di sana gue sempet ngobrol-ngobrol dengan sesama peserta tes. Yang paling berkesan itu waktu ngobrol sama bapak-bapak yang lagi nganter anaknya ikut tes buat ngelanjutin sekolah ke Kanada (well, I envy that kid), dan seorang cewek, PNS, yang ikutan tes IELTS itu hanya karena diperintah bosnya. Jadi beasiswa yang sedang gue apply ini emang memberikan prioritas lebih buat para PNS. Dan menurut cewek ini, ada 15 orang yang terpilih untuk mewakili departemennya ambil bagian dalam program beasiswa ini! Wow, those PNS are so lucky!
Jadi kalo gue amati, ada 3 jenis orang dalam tes IELTS hari itu:
- Para PNS yang diutus kantornya buat ambil bagian dalam beasiswa yang juga lagi gue kejar itu. Ciri-cirinya: duduk bergerombol, penampilan relatif sederhana tapi umumnya terlihat lebih ramah sama peserta-peserta tes lainnya;
- Rich boys and girls yang berencana melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Ciri-cirinya: kelihatan lebih kinclong, and they speak English to each other even outside the test room! Denger betapa fasihnya mereka ngomong in English berhasil bikin gue ngerasa minder…
- Tipe peserta lainnya: applicants beasiswa dari sektor swasta dan anak-anak kuliahan yang entah untuk keperluan apa, diharuskan sama kampus masing-masing untuk ngambil tes IELTS. Ciri-cirinya: penampilan bervariasi, tapi kesamaannya, orang-orang di golongan ini hampir semuanya kelihatan serius mempersiapkan diri. Ada beberapa yang sudah ikut preparation class, ada yang sibuk berlatih bareng temen-temennya, dan ada pula yang bawa-bawa buku latihan soal yang sama persis kayak buku gue.
Ada bencana kecil terjadi sama gue waktu listening test (jenis tes yang pertama) akan segera dimulai. Gara-gara bertopang pipi, softlens gue yang sebelah kiri tiba-tiba copot dengan sendirinya. Karena panik, gue jadi nggak fokus dan sempat beberapa kali ketinggalan kaset! Tes-tes selanjutnya (reading dan writing) juga terpaksa gue lakukan dalam keadaan mata burem sebelah. Kurangnya latihan soal juga bikin gue hampir aja running out of time. Gue nggak punya cukup waktu untuk mengoreksi ulang jawaban gue.
Copotnya softlens, dan tidak cukupnya waktu untuk mengecek ulang answer sheets bikin gue jadi ngerasa pesimis. Gue sih ngerasa cukup bisa yah, menjawab soal-soal di tes itu. Tapi masalahnya dulu-dulu, setiap kali gue koreksi ulang, jawaban gue itu tuh masih suka ada aja yang missed. Jadi rasanya gue enggak pede dengan hasil tes itu kalo belum gue koreksi sampai 2 kali cek. Saking pesimisnya, gue sampe berpikiran, “Gue bakal sedih nggak yah, kalo ternyata skor gue enggak memenuhi syarat beasiswa? Ah, sudahlah… Abis ini masih ada beasiswa Endeavour, masih ada juga beasiswa Chevening dari US… Toh masih ada tahun-tahun depan juga.”
Yang paling mendebarkan itu waktu nunggu giliran buat speaking test. Jantung gue asli berdebar lebih keras dari biasanya, perut gue juga terasa agak-agak mules… jarum jam itu rasanya bergerak lebih lambat dari biasanya pula! Rasanya jauh lebih nervous ketimbang mau presentasi, meeting sama big boss atau klien penting, atau waktu jaman-jamannya lagi sibuk interview kerja. Tapi herannya, begitu gue memasuki ruangan tes, si bule yang jadi penguji malah bilang begini sama gue, “Wow, you look relax.”
Dan ternyata bener aja katanya si bule… selama speaking test, gue bener-bener ngerasa rileks! Debar jantung gue udah kembali normal, dan rasa mules itu juga udah hilang dengan sendirinya. Gue bisa ngobrol lancar, pake bahasa gaul, sama si bule tanpa ada hambatan berarti. Satu-satunya kelemahan di speaking test itu adalah waktu gue dikasih waktu 2 menit buat bercerita tentang tetangga gue. Masalahnya gue ini bukan tipe orang yang berteman sama tetangga. Gue bahkan enggak tau dan enggak hapal nama-nama dan muka-muka cewek yang tinggal satu lantai sama gue di rumah kos!
Ngelihat gue bingung waktu disuruh cerita soal tetangga, bule bernama Steven ini nanya sama gue, “Don’t you have a lot of neighbors?”
“I do… but I’m not friends with them.”
“Why?”
“Because they gossip all the time. It happens so many times here in Indonesia.” jawab gue santai.
Si bule ini masih penasaran seberapa buruk aktivitas ngegosip yang gue maksud. Dia sempet nanya udah sejak kapan ada budaya ngegosip di Indonesia sini. Saking ngototnya, si bule nanya lagi, “Do you have a Facebook account?”
“Yes, I do. It’s one of my favorites.”
“Don’t people also gossip on Facebook?”
“Yes, they do. But it’s not as bad as the neighbors do. Do you want me to give you an example? Well back to the past, if I went home with different guys, they will judge me as a bad girl. You know… it’s a big issue for Indonesians. And such a thing like that never happen in Facebook.”
Akhirnya si Steven ngerti juga. Dia manggut-manggut sambil bilang, “Ah, I see… They keep on making assumptions based on what they see…”
“And without asking me first, that’s what I hate the most.”
Yang kocak adalah, tanpa gue sadari, gue menambahkan, “In fact, if I’m friends with guys doesn’t mean I sleep with them or something!”
Gue suka nyengir sendiri kalo inget kalimat terakhir gue itu… Tapi ya sudalah ya, ngomongnya toh sama cowok bule asli, bukan dengan sesama orang Indo, hehehehehehe.
Hasil tes bisa dilihat via internet dalam 13 hari setelah tanggal tes. Nggak disangka-sangka, gue relatif santai menunggu hasil tesnya keluar. Kalaupun gagal, gue udah pasrah. Gue baru kembali deg-degan tanggal 29 Juli, pagi-pagi di kantor, saat gue mulai ngeklik link untuk melihat hasil tes gue.
Sebenarnya ada 2 pilihan beasiswa dari pemerintah Aussie. Ada ALA dan ADS, yang salah satu perbedaan utamanya adalah, penerima beasiswa ADS masih harus sekolah bahasa selama 8 bulan sebelum berangkat ke Australia. Tapi tentu saja, syarat skor IELTS minimum buat ALA itu jauh lebih besar daripada ADS: 6.5 untuk ALA, dan 5.0 untuk ADS. Sebenernya gue males sekolah bahasa sampe 8 bulan lamanya… tapi waktu itu gue enggak cukup pede skor IELTS gue akan mencapai 6.5 secara gue kan masih belum familiar sama model tes IELTS. Ditambah lagi, gue ini payah banget kalo listening test dan gue termasuk jarang berkomunikasi verbal in English. Jadi ya sudah… gue putuskan buat ambil ADS aja.
Dan tahukah kamu… berapa skor akhir IELTS gue? Persis 6.5, jumlah yang benar-benar cukup buat gue apply ALA Scholarship…
Gue bener-bener girang begitu melihat skor gue di layar laptop.
6.0 untuk listening (no surprise)
6.5 untuk reading (surprise!)
7.0 untuk writing (no surprise, secara gue ini kan emang hobi nulis, hehehehe)
6.5 untuk speaking (no more surprise, seems like in fact I’m good, hehehehe)
Sehingga 6.5 untuk overall score.
Sebenernya, angka 6.5 ini bukan angka yang bagus-bagus banget. Skor 6 itu cuma ‘competent user’, dan 7 itu ‘good user’. Masih ada 8 untuk ‘very good user’ dan 9 untuk ‘expert user’. Jadi kalo niru kalimat favoritnya juri Master Chef Indonesia, “Bisa lebih baik.” Hehehehehe.
Well, perjalanan mengejar beasiswa masih panjang! Formulir pendaftaran belum selesai gue isi, gue bahkan belum tau kepingin kuliah di kampus mana dan mau ambil jurusan apa. Abis itu ada proses interview dan enggak semua orang yang mengirimkan formulir pendaftaran akan dipanggil untuk interview. Lolos interview, masih ada sekolah bahasa dan tes IELTS sekali lagi, diakhiri dengan tes kesehatan dan pengurusan visa pelajar.
Jadi buat semua blog readers gue… tolong doakan gue yaa. Kalo gue bisa berangkat ke Aussie kan asyik tuh, gue jadi bisa nulis banyak hal menarik tentang tinggal dan kuliah di sana, hehehehe. Good luck f0r me then 🙂