Five Qualities of People I Most Enjoy to Work With

Berawal dari tulisan ini, gue jadi terinspirasi untuk menulis artikel yang sejenis: lima kualitas yang paling gue sukai di dunia kerja. Check this out!

  1. Always get things done. Gue paling malas kerja bareng orang yang banyak ide tanpa ada realisasi. Atau, ada realisasi, tapi tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya dengan baik. Tipikal rekan kerja yang hanya akan buang-buang jam kerja tim gue saja! Sebaliknya, gue paling senang kerja bareng orang yang betulan mampu get things done, bahkan dalam situasi tersulit sekalipun! Paling lega rasanya saat kerja bareng kolega yang seperti ini! They have really made my life at work become easier!
  2. Always do the extra miles (including always think of everything one step ahead!). Gue paling kagum saat tahu bahwa ada rekan kerja yang ternyata sudah punya solusi untuk mengantisipasi masalah yang baru gue sadari bisa saja terjadi di masa depan nanti. Tipe orang yang bersedia meluangkan lebih banyak waktu untuk memikirkan pekerjaannya baik-baik dan juga bersedia untuk bekerja lebih keras untuk memberikan lebih banyak nilai tambah dalam pekerjaannya itu;
  3. Tidak suka hitung-hitungan. Apa definisi hitung-hitungan menurut gue? Pulang kerja mesti banget selalu tenggo. Sedikit-sedikit menolak sesuatu hanya dengan dalih, “Itu bukan kerjaan gue.”  
  4. Knows what they do, understands the business, inside out. Gue sangat menikmati kerja bareng atau sekedar ngobrol dengan orang yang bisa membuat gue jadi lebih knowledgable. Bidang gue atau bukan, gue tetap suka mempelajari hal baru dari mereka! Menurut gue, tipe pekerja seperti ini adalah aset untuk perusahaan tempat mereka bekerja; dan
  5. Supportive and help each other. Banyak orang yang sangat egois saat sudah berurusan dengan pekerjaan. Hanya peduli dengan KPI dan kepentingan mereka sendiri saja, atau kalau perlu, menjadikan orang lain sebagai kambing hitam hanya untuk menyelamatkan karier mereka sendiri! Itu sebabnya, saat menemukan rekan kerja yang tulus bersikap suportif (terutama di saat-saat sulit), rasanya seperti menemukan barang langka!

Six Years After EY

Kemarin sore, mantan senior gue di EY dulu ceritanya upload gambar yang di-tag ke gue via Path. Tertulis di dalam gambar: “Whenever you join, however long you stay, the exceptional experience of EY will last a lifetime.” 

Posting itu mengingatkan gue bahwa bulan Apil tahun ini, sudah genap 6 tahun sejak gue memutuskan untuk resign dari EY. Dan memang benar, pernah bekerja untuk EY, meski hanya 2 tahun 8 bulan, sudah jadi pengalaman tersendiri  yang tidak terlupakan buat gue. Andai saja gue ngerasa cocok dengan profesi sebagai auditor, maka kemungkinan besar, gue masih tetap bekerja di EY hingga hari ini.

Apa yang membuat EY begitu berkesan buat gue?

Beda orang tentu bisa beda juga jawabannya, tapi buat gue, working environment di EY tetap yang terbaik yang pernah gue rasakan. Nyaris tidak ada office politic, hubungan yang erat dengan hampir semua orang di dalam tim, belajar bareng-bareng, lembur bareng-bareng, curhat, joking, dan ngobrol dari satu topik acak ke topik lainnya. 

Tidak pernah selama gue kerja di EY terpikir untuk resign karena tekanannya, stresnya, atau capeknya. Ada pressure, tapi terasa lebih manageable. Segala hal buruk yang pernah gue alami di sana terasa lebih mudah untuk dilewati, dan waktu itu, gue punya keyakinan yang sangat kuat bahwa apapun yang terjadi, gue tidak akan harus melewatinya sendirian. Keyakinan seperti itu, kenyataannya, tidak selalu mudah ditemukan di lingkungan kerja lain pada umumnya.

Tidak pernah pula selama di EY gue membenci rekan kerja sampai terasa ke ubun-ubun. Ada konflik, ada drama, tapi tidak seberapa. Tidak pernah ada cerita rekan kerja bermuka dua, tidak pernah pula gue merasa ada rekan kerja yang diam-diam berusaha menjatuhkan karier gue. Membangun pertemanan di dunia kerja tidak pernah terasa sulit selama hampir tiga tahun bekerja di EY.

Satu hal lagi yang paling gue sukai dari EY adalah people development-nya. Gue tidak pernah harus pusing memikirkan training untuk gue dan tim gue karena semuanya sudah disiapkan oleh EY. Benar-benar terima beres saja! Enggak perlu cari-cari sendiri, daftar sendiri, dan enggak perlu pusing dengan budget-nya segala, hehehehe.

Jika akhirnya gue tetap memutuskan untuk resign dari EY, hal itu murni karena gue merasa bosan. Tidak ada yang salah dari pekerjaan gue di sana, hanya saja sayangnya, profesi auditor memang tidak terasa tepat buat gue. Bukan profesi yang tercipta buat gue. Gue tidak menyesal resign dari EY, tapi gue juga tidak menyesal pernah jadi bagian dari EY.

Finally, the greatest part of EY is that I am not who I am today without my tenure in that one great company. Every chance I got, every achievement I earned, all of that was begun with all the things I learned at Ernst & Young.

If you ask me how much I would recommend EY, the answer is definitely 5 out of 5. 

Ada Apa dengan Generasi Y?

Beberapa hari yang lalu, ada satu topik di CFO Innovation Forum yang lumayan bikin gue kepikiran sampai beberapa hari lamanya. Saat tengah berlangsung diskusi tentang tips dan trik mempertahankan top talents; ada dua peserta yang mengajukan pertanyaan soal bagaimana caranya mempertahankan generasi Y alias generasi yang lahir tahun 80 sampai dengan 90-an. Ternyata menurut generasi sebelumnya, generasi Y itu identik dengan kreatif, ambisius, tetapi sangat mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

Sebagai satu dari sedikit peserta forum yang lahir di tahun 80-an, gue hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan diskusi saat itu. Dalam diam gue berpikir…

“Is it a good or bad thing? And WHY? Why do we; the Y generation, tend to do that?”

Kalau menurut pendapat gue, kasus gue sendiri tidak sebegitu parahnya. Gue cuma pernah satu kali kerja di satu perusahaan kurang dari satu tahun, itu pun hanya pekerjaan freelance yang memang hanya ideal untuk mahasiswa yang masih harus menyelesaikan studinya. Segera setelah lulus sidang S1, gue langsung pindah ke pekerjaan yang dapat memberikan status karyawan permanen ketimbang hanya freelancer saja. Setelah itu, masa kerja gue kurang lebih selalu kisaran tiga tahun untuk masing-masing tiga perusahaan berikutnya. 

It’s not that bad, is it?

Meski menurut gue masa kerja gue masih wajar-wajar saja, kenyataannya memang, di mata generasi yang lebih tua pada umumnya, gue tetap termasuk golongan “kutu loncat”. Masih ok menurut teman-teman gue pada umumnya, tapi tetap dianggap terlalu cepat berpindah-pindah setidaknya di mata para orang tua di keluarga besar gue. Itu sebabnya gue jadi tergelitik untuk bertanya pada diri gue sendiri… kenapa? Kenapa generasi gue ini bisa sampai lebih dikenal sebagai kutu loncat yang bahkan bisa berganti pekerjaan dalam satu atau dua tahun sekali?

Berikut ini hasil observasi terbatas gue beberapa hari belakangan ini. Gue tidak bilang isi tulisan gue ini secara mutlak menggambarkan SEMUA orang yang termasuk dalam generasi Y, tapi setidaknya, poin-poin di bawah ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pengalaman orang-orang terdekat yang juga masuk ke dalam generasi Y. Semoga isi tulisan gue ini bisa jadi bahan instropeksi buat kita semua!

Generasi Y menyukai sesuatu yang instan

Gue cukup sering melihat generasi Y yang memutuskan untuk pindah kerja hanya demi mendapatkan kenaikan pangkat atau minimal kenaikan gaji melebihi pekerjaan mereka sebelumnya. Pola pikir mereka, “Jika ada yang lebih cepat, kenapa tidak?” 

Generasi Y, disadari atau tidak, punya jiwa berkompetisi yang lebih tinggi

Selain faktor ingin serba instan, generasi Y cenderung lebih tidak mau kalah dengan teman-temannya sendiri. Ada rasa terpacu yang menggebu saat melihat teman-teman lain yang sudah duduk di level manajerial (atau bahkan level direksi!) di usia yang masih terbilang muda. Gue juga sering melihat generasi Y memutuskan resign hanya karena faktor kompetisi yang gue sebutkan di sini. Semacam pembuktian, “Kalau dia bisa, gue juga bisa!”

Generasi Y lebih mudah merasa jenuh

Kenapa semakin ke sini semakin banyak perusahaan yang memperbolehkan karyawannya berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya? Karena generasi masa kini terkenal sangat mudah jenuh dengan pekerjaanya. Gue sendiri pun, satu dari sekian banyak generasi Y yang pernah meninggalkan pekerjaan yang katanya impian sejuta umat hanya karena merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja.

Generasi Y lebih menjunjung tinggi hidup bahagia

Gue dan cukup banyak generasi Y lainnya punya prinsip mendasar bahwa hidup itu yang penting bahagia. Toleransi kita terhadap hal-hal yang dapat mengurangi kebahagiaan jadi terbilang sangat rendah. Jika pekerjaan kita saat ini tidak berhasil (atau tidak lagi) mendatangkan kebahagiaan yang kita inginkan, maka kita akan lebih memilih untuk mencoba peruntungan dengan mencari kebahagiaan itu di tempat lain di luar sana.

Generasi Y lebih suka “mengganti” daripada “memperbaiki”

Handphone sudah mulai sering hang? Ganti baru saja. Bos sudah mulai terasa sangat-sangat menyebalkan? Ganti bosnya saja! Cari perusahaan lain saja…

Generasi Y lebih “idealis”

Semakin ke sini, semakin banyak karyawan muda yang nekad resign meskipun masih belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Gue akui bahwa dulu juga gue pernah melakukan hal yang sama. Padahal, pekerjaan yang gue tinggalkan sama sekali tidak sebegitu buruknya. Malah sebetulnya, gue sudah mendapatkan gaji dan tunjangan di atas rata-rata. Kenapa tetap resign juga? Karena idealisme. Karena ada satu atau dua hal dalam pekerjaan tersebut yang tidak sejalan dengan definisi pekerjaan ideal menurut versi gue ini.

Generasi Y lebih impulsif dan di saat yang bersamaan, bersifat lebih naif

Entah bagaimana, generasi Y cenderung lebih meyakini bahwa di luar sana, PASTI ada pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan kita saat ini. Kita seolah lupa bahwa tidak ada pekerjaan yang sempurna. Saking impulsifnya, tidak terpikir di benak kita bahwa kenyataannya, mau bekerja di manapun (bahkan jika kita berbisnis sendiri pun) tetap akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasa tidak tahan dan ingin “menyerah” saja.

Kesimpulannya? Generasi Y lebih mudah untuk menyerah!

Gue sering mendengar para generasi Y (termasuk gue sendiri) bilang begini, “Gue ngerasa pekerjaan gue ini udah jadi semacam comfort zone.”

Meski katanya penting untuk kita merasa nyaman dalam menjalani sesuatu, kenyataannya, istilah comfort zone justru identik dengan konotasi negatif. Terjebak dalam comfort zone seringkali dianggap mimpi buruk di mata generasi Y. Padahal bisa jadi sebetulnya, kita hanya sedang mencari-cari alasan untuk menyerah saja.

So? Is it good or is it bad?

Meski kedengarannya memang tidak enak (kesannya kok ya, generasi Y ini generasi yang lembek banget), menurut pendapat gue, tidak ada “benar dan salah” dari semua perilaku generasi Y yang gue sebutkan di atas. Gue akui bahwa kadang-kadang, menyerah kalah (bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga dalam hal-hal lainnya) bisa jadi pilihan terbaik yang gue miliki saat itu. Toh kenyataannya, gue tidak pernah menyesali keputusan gue untuk resign dari perusahaan-perusahaan gue sebelumnya. Gue bersyukur dengan semua pekerjaan yang pernah gue miliki, tapi gue juga mensyukuri keputusan gue untuk pindah ke pekerjaan selanjutnya.

Misalnya, gue bangga banget pernah kerja di EY. Mencantumkan EY di CV gue telah memberikan gue peluang untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan gue selanjutnya. Tapi, gue juga bersyukur gue tidak berlama-lama kerja di sana, karena ternyata, gue jauh lebih menyukai pekerjaan sebagai corporate finance daripada pekerjaan sebagai financial auditor.

Meskipun demikian, bukan berarti gue mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari menjadi kutu loncat. Sekali lagi, tidak ada “benar” dan “salah” yang sifatnya mutlak dalam topik yang satu ini. Semuanya harus kembali pada diri kita sendiri. Beda orang bisa beda kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Lagipula sebetulnya, selama kami (para generasi Y) masih melompat-lompat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, itu artinya, kami masih belum menyerah untuk mengejar mimpi.

Pada akhirnya, gue hanya bisa berusaha menanamkan pola pikir ini pada diri gue sendiri tiap kali gue dihadapi pada dilema ingin resign atau tetap di sini, “If I do this, will I be proud of myself for doing this?”

Ask that question, repeteadly, before making any decision.

A Good Boss Always Sees The Very Best of You

Dulu, gue suka heran sendiri tiap kali bos-bos di kantor memuji gue sampai sebegitunya. Dalam diam gue berpikiran, “Am I really that good? Gue kan cuma melakukan apa yang bos gue perintahin aja.”

Malah sejujurnya, sampai sekarang pun, tetap ada kalanya gue masih berpikiran seperti itu. Hanya saja bedanya, sekarang gue sudah tahu alasan kenapa seringkali, bos-bos gue bisa memberikan pujian lebih dari yang gue bayangkan. Alasannya sederhana saja: mereka bisa melihat potensi gue melebihi gue melihat potensi dalam diri gue sendiri. Alasan yang gue pahami dengan sendirinya setelah gue juga mulai duduk di kursi manajerial.

Bagaimana caranya seorang manajer bisa melihat potensi dalam diri bawahannya?

Seorang atasan umumnya sudah bekerja dengan lebih banyak orang. Mereka bisa dengan mudah membedakan hal-hal yang mudah atau yang sulit dilakukan pekerja lain pada umumnya. Bisa jadi kita tidak menyadari, hal yang kita anggap biasa-biasa saja sebetulnya sesuatu yang jarang dikuasai oleh orang lain pada umumnya.

Selain itu, tidak ada yang lebih menyentuh hati atasan melebihi dedikasi kepada pekerjaan yang kita lakukan. Atasan yang cukup cerdas tidak akan termakan hanya dengan sweet talking belaka, mereka akan lebih menghargai upaya dan kerja keras kita untuk get things done. Dan percaya tidak percaya, tidak banyak orang yang memiliki dedikasi seperti itu (satu hal yang lagi-lagi belum tentu kita sadari sebagai karyawan). When we, as boss, find someone like that, it truly feels like we just found a buried treasure! 

Yang terakhir, atasan yang baik pandai membaca “rasa lapar” di balik sorot mata best player mereka. Mereka tahu ada orang-orang tertentu yang sangat ingin berkembang dalam karier-nya. Bagaimana cara mereka bisa tahu? Dengan cara berkaca pada diri mereka sendiri! Saat seorang atasan melihat behavior yang sama seperti mereka dalam diri bawahannya, saat itulah mereka merasa tertarik untuk mengembangkan karier orang tersebut.

Banyak yang bilang, penting untuk punya atasan yang memiliki kepercayaan pada kemampuan kita, dan menurut gue, hal itu sangat benar adanya. When they believe in you, they invest in you.

But did you know? Diberi kepercayaan itu tidak selamanya terasa menyenangkan! Tumpukan proyek baru yang tiada henti. Deadline yang seolah tidak ada habisnya. Dorongan untuk mempelajari hal-hal baru yang sepenuhnya asing buat kita. Dan kritik yang tajam saat kita belum berhasil  standar yang ditargetkan oleh atasan (baca: standar yang mereka yakini bisa kita capai).

Selama hampir 8 tahun bekerja, alhamdulillah gue dipertemukan atasan-atasan yang selalu mempercayai kemampuan gue. Diberi banyak kesempatan tanpa pernah gue minta; kesempatan yang membuat gue mempelajari begitu banyak hal baru yang tidak gue temui di bangku sekolah dulu. Capek memang, kadang sampe fisik gue rasanya ingin menyerah saja, tapi entah kenapa, gue tidak ingin mengeluh. Tidak ingin menolak hal-hal yang sebetulnya baik buat gue. Kalau sudah terlalu capek, gue tinggal tulis e-mail minta satu hari untuk istirahat di rumah. Dan hebatnya, semua bos gue selalu mengerti!

Makanya gue selalu menyarankan teman-teman gue… Saat pergi interview, jangan hanya dilihat perusahaan dan gajinya saja, lihat juga calon bosnya nanti! Bukan cuma calon atasan saja yang boleh melakukan “background check” atas calon karyawannya, tapi juga bisa sebaliknya! Hal ini mungkin tidak sebegitu pentingnya buat semua orang, tapi, jika kamu tipe orang yang ingin going far with your career, maka mencari atasan yang tepat bisa jadi langkah pertama untuk memulai.

Yang terakhir, meskipun di atas gue menekankan pentingnya punya a good boss, ujung-ujungnya akan tetap kembali pada diri kita sendiri. Bersediakah kita menerima peluang yang dia sodorkan pada kita itu? Salahkah mereka jika mereka menaruh kepercayaan yang sangat besar dalam diri kita ini? Ini pula yang nantinya pasti akan membedakan top performers dengan rekan kerja mereka pada umumnya: mereka tipe orang yang berhasil membuktikan bahwa kepercayaan atasan mereka tidak akan pernah terbuang sia-sia.

Find a good boss who believes in you and don’t fail them! If you manage to get it right, then a bright future is most likely just one step away.

2016 with Lazada

2016 at Lazada was literally a lot of things to me. The ups and downs were just unbelievable. Things changed so fast it felt like it was too much for just a year.

It was the year when I was the closest to my team, but it was also the year I had to rebuild my team (nearly) from the scratch again.

It was the year when I told myself that I had found my dream job, but it was also the year when I realized some things had changed and might never ever be the same again.

It was the year when I felt fulfilled, but it was also the year I got swamped and it felt like I hadn’t given my very best to the Company.

It was the year when I met a few incredible colleagues (including a new boss who had been one of the best mentors during my career), but it was also the year I had to deal with a few horrible persons who hurt me so badly.

And finally, it was the year when I was both of the happiest and the saddest in my entire career path. It was the year I claimed some victories, but it was also the year I lost some battles.

Given the crazy downfall, I am still unsure if 2016 at Lazada was a better year than the one I used to have back in 2014, but one thing for sure; I am so grateful that I stayed long enough with this Company. If only I decided to leave, then I might never have all these exciting roles, and I might never meet that one boss who really made me feel appreciated in his own way. And the most important thing, staying one more year at Lazada has taught me this one great lesson in life on how to be a better, bigger, and happier person.

Thanks to Lazada for this one crazy year and I’m still hoping to grow with you at least in a couple of years to come! Happy new year for all Lazadians!

 

Everything I Always Wished for in My Career

Last night, a friend from Ernst & Young (EY); my first full time employer, got married. Unlike any other wedding party, I was a little bit nervous on my way to the wedding venue. I was going to meet the people in my first professional job. Even though I only worked for EY less than three years, my short tenures with this Company was still a major contributor in my career achievements.

Working for EY has taught me how to be tough. You may be tired and lack of sleep, but deadline is deadline anyway.

I learned how to be confident and went talking to the clients even though I was just a fresh graduate (read: a newbie).

I also learned how to build a decent working paper, how to solve accounting problem efficiently, and some other survival kits you need to fight on finance and accounting battlefield.

I even still remember some of my seniors’ advice:

  1. Not documented, not done;
  2. Do not let anything pending on you. It has to be pending on someone else, always; and
  3. Fake it until you make it.

And did you know? I would never get my jobs at the two companies after EY if I didn’t have working experience at EY written in my CV.

Resigning from EY was another milestone of my life. I loved the Company, I loved my team, but I just couldn’t stand working as an auditor. I used to tell my teammates this and that about my dream job and then I truly left. I knew, I just knew, auditing was not made for me.

It’s been more than five years since I left EY and almost everyone in my former audit team have left EY as well. And then last night, I met them again. I only stayed in touch with a few of them and it was really nice to meet many familiar faces from the past again!

Most of my friends came to the party with their spouses and kids, of course. Intimidating? Apparently not! None of them asked me when I would get married, and nearly all of them asked me about my career instead. We talked about how I liked my current job, my bosses who really trust me to run the Company, and the most discussed topic was about my business trips (they know how much I love traveling). Last night, the more I realized… I’ve got everything I always wished for in my career.

Finding in a dream job is pretty much the same in finding myself. I’ve got to try everything the Company can offer to me, the ups and downs, learn from the mistakes and restart from the scratch again. And then when I find “the one”, it does really make my life feel complete. I know what I want, what I’d love to do more, I know where to keep up and where to improve myself.

People says that I’m already good at my job, but the truth is, I’m still learning. I still have a lot of flaws that I’ve got to work on. Having said that, it’s still nice to know that I’m already on the very right track. It’s nice to know that I left EY for something better; for a brighter future, for a path toward my dream job. Insyaallah! 🙂

Staying or leaving your current job, either way is okay, as long as you know that you would do awesome in whichever decision you make.

My Current Life, in a Nutshell

Waktu jaman duluuu banget, gue pernah punya masalah bertubi-tubi yang akhirnya bikin gue jatuh sakit, sampe hampir dirawat di rumah sakit. Gue baru sembuh total setelah beberapa minggu lamanya, setelah tiga kali ganti-ganti dokter spesialis. Saat itu gue tahu, masalahnya bukan kecapekan, bukan kebanyakan lembur, tapi stres, tertekan, kekecewaan, sedih, patah hati, yang semuanya seolah melebur jadi satu. Waktu itu rasa-rasanya benar-benar titik terendah sepanjang hidup gue.

Daaan… tepat di saat gue berpikir tidak ada yang mungkin lebih buruk dari kejadian bertahun-tahun yang lalu itu, rentetan konflik yang baru kembali menimpa gue. Kali ini, saking tertekannya, gue sampe dateng ke tempat praktek psikolog klinis. Bukan berarti gue punya masalah kejiwaan lho yaa, hanya saja entah kenapa, saat itu gue ngerasa butuh sudut pandang orang asing yang bisa gue percaya dan bisa memberikan penilaian secara objektif. Kalau bukan psikolog, siapa lagi?

Bukannya beres sampai di situ, keadaan justru memburuk beberapa saat setelah kunjungan gue ke psikolog itu. Tapi justru di situ itu lah perfect timing menurut gue. Saat keadaan memburuk, saran si mbak psikolog itu sudah mulai gue terapkan, dan percaya tidak percaya, gue ngerasa bisa melewati ujian kali ini jauh lebih baik daripada kejadian bertahun-tahun yang lalu itu.

Berawal dari saran untuk kembali menghubungi sahabat-sahabat lama, untuk mengubah tabiat gue, untuk memberanikan diri mencari penyelesaian dari masalah gue, lama kelamaan, gue jadi ketagihan ingin mengubah cara hidup gue sendiri.

Gue mulai menyempatkan diri untuk kembali terhubung dengan sahabat-sahabat lama. Mulai kembali curhat sama mereka, mulai ketemuan, atau curi-curi waktu untuk makan siang bareng… Gue seperti kembali teringat alasan kenapa dulu gue bisa berteman sebegitu erat dengan mereka semua.

Gue yang tadinya hanya makan siang, makan malam, pergi nonton dan karoke dengan orang-orang yang itu-itu saja, mulai melebarkan sayap dengan ngobrol panjang lebar dengan lebih banyak orang. Gue berusaha lebih mengenal orang-orang yang sebelumnya hanya gue kenal sepintas saja. Wajah-wajah di socmed homepage gue jadi lebih bervariasi daripada sebelumnya!

Gue juga mulai menantang diri gue sendiri untuk bisa belajar sabar. Bukan berarti gue tidak akan pernah marah lagi, jika memang harus marah, ya gue tetap marah. Tapi setidaknya, gue lebih mengendalikan kata-kata yang gue ucapkan. Dan setidaknya, sekarang gue udah bisa marah-marah dengan suara sepelan-pelannya, hehehehe.

Lalu malam ini, untuk pertama kalinya, gue memberanikan datang ke wedding reception seorang diri! Biasanya, gue mesti banget janjian dengan minimal satu orang teman yang gue kenal dengan baik. Tapi hari ini, gue langsung datang dan sesampainya di sana, langsung cari-cari orang yang bisa gue ajak ngobrol-ngobrol. Awalnya sempat boring, tapi lama-lama, malah ada beberapa percakapan yang lumayan interesting. Tanpa terasa, dua jam di sana sudah terlewat dengan sendirinya.

Kembali ke tadi siang, setelah resepsi pernikahan pertama yang gue hadiri di hari ini, gue menyempatkan makan sore (iya, makan sore-sore, hehehehe) bareng sahabat dari kantor gue sebelumnya. Dia bilang, dia membelikan sesuatu yang menurut dia tuh bener-bener gue banget. Dia belikan barang-barang itu sebagai kado ultah gue yang jatuhnya masih sebulan lagi! Tahu apa isi kadonya? Buku berjudul The Alpha Girl’s Guide, dilengkapi dengan satu batang cokelat yang katanya bisa bikin enteng jodoh (dan nama produknya beneran Cokelat Enteng Jodoh!). Rasanya udah lama banget sejak terakhir kali gue tertawa bahagia saat menerima pemberian orang lain. This gift is very thoughtful!

Hari ini, gue juga sempat ngobrol panjang lebar dengan sahabat baik gue di bangku kuliah dulu. Gue sempat mengenalkan sahabat kuliah dengan sahabat di kantor lama sambil makan-makan sore itu. Melihat mereka bisa akur dan saling bercanda satu sama lainnya, hati gue jadi tersentuh! Gue jadi menyadari betapa beruntungnya diri gue ini. Gue jadi sadar bahwa ternyata, seumur hidup gue, gue tidak pernah benar-benar sendiri.

Ternyata, gue memiliki hal-hal yang belum tentu dimiliki orang lain pada umumnya: sahabat dan keluarga yang tulus mengasihi, orang-orang luar biasa yang selalu bisa menerima gue dengan segala kekurangan dalam diri gue ini. Menghabiskan waktu bersama mereka membuat gue menyadadari bahwa seburuk apapun situasi gue saat ini, setidaknya, gue tidak pernah seorang diri.

Gue selalu punya orang-orang yang ikut marah saat gue sedih dan tersakiti.

Gue selalu punya orang-orang yang tidak putus menyemangati untuk gue bangkit lagi.

Gue selalu punya orang-orang yang menyempatkan waktu, bahkan di tengah malam sekalipun, untuk mendengar keluh kesah gue.

Gue selalu punya orang-orang yang betulan serius memutar otak bagaimana caranya untuk menghibur dan membuat gue kembali tertawa.

Gue selalu punya orang-orang yang menemani tiap langkah gue, dalam suka-duka, dalam titik terbaik dan juga titik terburuk sepanjang hidup gue.

Banyak orang yang bilang, karier gue adalah anugerah terbaik dalam hidup gue. Tanpa mengurangi rasa syukur gue untuk kemudahan karier gue, kali ini gue mau bilang… Kenyataannya, sahabat dan keluarga gue adalah anugerah terbesar dalam hidup gue ini. Tanpa mereka, gue pastilah bukan siapa-siapa.

Thanks for the love, the patience, the never ending support, and on top of all that, thanks for always being there for me. You guys are the best! And I just cannot ask for more.

I’m Beyond Blessed!

Setelah menghabiskan 6 malam di kota Hangzhou (I’ll write more about that later), akhirnya gue kesampaian menginjakan kaki di kota Guilin, China. Rencananya, besok gue akan mengunjungi Li river yang terkenal indah itu!

Sesampainya di Guilin, seperti biasa, gue langsung norak foto-foto ruangan kamar gue. Gue udah bayar sedikit lebih mahal buat dapetin kamar dengan balcony dan juga kamar mandi menghadap ke sungai, rugi banget kalo enggak didokumentasikan. Sesuai prinsip auditor pada umumnya; not documented not done, hehehehe.

Selesai foto-foto, gue langsung retouch dan naik ke sky garden buat early dinner. Udah hampir jam 6 sore tapi gue baru sempat makan besar! Tadi pagi gue sibuk hunting foto di Hangzhou, lanjut meeting sebentar di kantor Alibaba (plus sempat-sempatnya belanja oleh-oleh di office complex-nya Alibaba), lalu setelah itu terjebak macet 2 jam di perjalanan menuju airport. Untunglah pesawat gue delay, jadi sempat makan cheesecake dulu di restaurant kecil di dalam bandara.

Begitu naik ke sky garden hotel gue di Guilin ini, gue langsung terpukau! View-nya malah lebih bagus daripada teras kamar gue itu. Sungainya, pepohonannya, ditambah suara jangkriknya!

Setelah puas ambil banyak foto pemandangan, gue pesan makan. Ini agak tricky secara sangat susah cari makanan halal di Cina ini, jadi sudahlah, gue pesan cream soup dan garlic bread saja. Sambil menunggu, gue sempat-sempatnya minta tolong mbak penjaga restoran buat ambilin foto gue! 😀 Dan si mbak ini niat banget lho bantuin fotonya. Dia foto gue dari berbagai angle yang dia anggap bagus. I like it!

Saat makanan datang, tentu makanannya gue foto dulu. Setelah itu langsung gue makan, dan nggak disangka-sangka, rasa supnya enak banget! Garlic bread-nya juga gurih dan terasa pas menyatu dengan cream soup-nya. Sambil makan, pandangan mata gue tidak bisa lepas dari pemandangan di depan sana. Hembusan angin, suara alam sekitar, dan rakit bambu yang melintas di sungai di bawah sana membuat acara makan malam gue jadi terasa sangat berbeda. Saat itulah, dalam hati gue berpikiran, “I am beyond blessed! This is exactly the life I’ve been dreaming of.”

7I’ve been spending a lovely week this week. Mengunjungi tempat baru, ketemu orang-orang baru, tinggal di dua hotel yang sangat fotogenik! Memang capek karena jadwal kerja di sini padat banget, tapi toh, gue masih sempat menghabiskan akhir pekan untuk acara jalan-jalan. What can be better than such a job like this? 😉

Emang sih, hidup gue ini banyak banget rintangannya. Tanggung jawab besar, tekanan besar, stres dan deadline yang tidak pernah ada habisnya… Belum lagi permasalahan pribadi yang terkadang membuat gue bertanya-tanya sama diri gue sendiri, “Did I do something wrong?” Memang tidak mudah menjalani keseharian gue, tapi, rasanya betul-betul menyenangkan! Ibaratnya prinsip investasi, higher risk, higher return, hehehehe 😉

Di saat hati gue sedang terasa luar biasa damainya, eeh, tiba-tiba di depan gue ada orang asyik pacaran! Si cowok sibuk mengambil gambar pasangannya, pakai kamera SLR, dan si cewek sibuk berpose secantik-cantiknya. Mereka kelihatan serasi, dan gue betulan ngerasa iri! Duh duh duh, manusia emang nggak pernah ada puasnya :p Sambil senyum-senyum sendiri melihat sepasang muda-mudi itu, dalam diam gue berbisik sama diri gue sendiri, “Someday, I’ll have my turn too.”

Sometimes, all that you really need is simply a break. Away from your own everyday life. Meet the strangers, get lost in some new places, have some times alone just to figure out the next big thing in life. When you finally find your peace in your getaway, you’ll eventually realize how grateful you are with the life you’ve been living in. At least, that’s exactly what I feel right in this moment.

Thank God for this decent life! Again, I’m beyond blessed! 🙂

10 Karakter Orang-orang Sukses

Iseng-iseng, gue mengumpulkan profil 10 orang sukses yang gue kenal dengan cukup baik untuk menyusun tulisan ini. Kenapa? Karena konon katanya, ada kesamaan karakteristik yang melekat dalam diri orang-orang sukses. Percaya tidak percaya, seseorang bisa sukses meskipun tidak pintar, tidak mudah bergaul, bahkan meskipun pendidikannya tidak cukup tinggi. Karena kenyataannya, bukan hal-hal itu yang menjadi faktor utama dalam kesuksesan mereka!

Kesepuluh orang ini gue jadikan samples berdasarkan 3 kriteria:

  1. Perkembangan karier mereka tergolong sangat cepat jika dibandingkan dengan orang-orang seusia mereka pada umumnya;
  2. Bukan sukses karena faktor warisan, faktor anak seseorang, atau pernah menang undian;
  3. Orang-orang yang sukses karena pintar menjilat, licik, suka bluffing, atau sukses nyaris murni karena faktor ‘hoki’ tidak masuk ke dalam hitungan.

Berikut ini 10 kesamaan karakter di antara 10 orang yang gue jadikan objek observasi:

Ambitious

Kesepuluh orang ini sama sekali bukan tipe orang yang prinsip hidupnya hanya sekedar mengikuti air mengalir. Mereka punya target untuk hidup mereka sendiri, dan saat baru saja berhasil menaklukan satu target, mereka langsung bertanya pada diri mereka sendiri, “What’s next?”

They’re all a dreamer

Ambisi yang mereka punya pada dasarnya terlahir dari keinginan untuk mampu memenuhi mimpi-mimpi dalam benak mereka. Ada yang ingin punya rumah mewah, mobil mewah, ingin bisa pergi liburan keliling dunia, ingin jadi pengusaha atau peneliti terkenal, ingin menemukan teknologi baru, dan masih banyak jenis mimpi lainnya. Mereka selalu punya mimpi dan mereka berusaha keras untuk bisa mewujudkannya!

High standards

Mereka menetapkan standar yang lebih tinggi daripada rata-rata orang lain pada umumnya. Mereka menjadikan standar-standar itu sebagai tolak ukur kesuksesan mereka sendiri plus tolak ukur keberhasilan orang-orang yang bekerja dengan mereka. Dan, mereka cenderung sangat suka membanggakan betapa mereka berhasil menaklukan standar yang setinggi langit itu!

High self-esteem

Jika kita mengenal kesepuluh orang ini dengan baik, sebetulnya selalu saja ada rasa tidak aman dalam diri mereka sendiri, TAPI, mereka semua bukan tipe orang yang membiarkan rasa tidak aman (atau bahkan rasa tidak pede) itu menghentikan langkah mereka! They respect themselves, they know what they’re worth and what they’re capable of in life!

They focus on what they’re really good at

Orang sukses itu kenyataannya bukanlah orang yang serba bisa. Kenapa? Karena orang yang serba bisa identik dengan setengah-setengah dalam setiap kemampuan yang mereka miliki. Orang yang sukses menyadari keterbatasan mereka sendiri dan mereka akan lebih memilih untuk fokus dengan kelebihan yang mereka punya itu. They can always hire other people to do the things that they can’t do themselves anyway.

Hard worker

Selalu ada saja orang yang punya prinsip, “Work smart, don’t work hard”, padahal kenyataannya, semua orang sukses yang gue kenal memang tipikal pekerja keras. Tipe pekerja yang selalu all out, selalu mencari cara untuk doing the extra miles, tidak suka bersantai di sela jam kerja, dan mempunyai jam kerja lebih tinggi daripada rekan kerja mereka pada umumnya.

They don’t give up easily

Mereka bukan tipe orang yang langsung mundur saat menghadapi suatu masalah. Mereka punya keyakinan tinggi segala sesuatu itu pasti ada jalan keluarnya. Ada kalanya mereka akhirnya tetap menyerah juga, itupun hanya mereka lakukan setelah mereka coba lakukan berbagai macam cara dan tetap gagal juga. Having said that, they hate giving up because that kind of failure most likely will haunt them for the rest of their lives.

They learn from their mistakes

Percaya deh, tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. Hanya saja bedanya, orang yang sukses dengan karier-nya adalah orang yang mampu belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalunya. Mereka tidak kenal kata kapok, mereka selalu melihat sisi positif dari setiap kegagalan yang pernah mereka alami.

Impatient

Shocking? I know. Tapi memang benar, kesepuluh orang dalam pengamatan gue ini semuanya tipe orang yang tidak sabaran, dalam artian, mereka selalu ingin bergerak cepat. Mereka sangat dinamis dan selalu mencari cara untuk get their things done. Mereka tipe orang yang mendorong orang lain untuk mengikuti kecepatan mereka. They just can’t wait to see the results of their own works!

Cynical

This one is shocking too, I know. Tapi entah kenapa, kesepuluh orang ini memang punya kecenderungan sifat sinis. Mereka tidak mudah mempercayai sesuatu yang tampak ganjil dalam pandangan mereka. Mereka tidak suka mendengar excusesDan mereka bisa bersikap sangat-sangat sinis kepada orang-orang malas!

I Changed My Mind, and That’s Okay!

Saat tahu Alibaba akan segera mengakuisi Lazada (tempat gue bekerja saat ini), sejujurnya gue tidak terlalu excited. Bukan tipe perusahaan yang akan gue pilih untuk tempat bekerja. Gue bahkan sampai bilang ke bos gue bahwa gue jadi mulai terpikir untuk mempertimbangkan tawaran kerja dari beberapa head hunters.

Tapi nyatanya, takdir berkata lain. Sampai hari ini, gue masih di sini. Dan bisa-bisanya pula, gue justru jadi orang pertama di Lazada Indonesia yang diundang untuk langsung datang ke kantor pusat Alibaba di Hangzhou, RRC. Ceritanya gue ikut dilibatkan oleh Lazada regional team untuk terjun ke dalam Lazada-Alibaba system integration. Dan siapa sangka, ternyata hal ini benar-benar membuat gue merasa excited!

Minggu lalu gue juga sempat ikut diundang meeting dengan Jack Ma di Lazada’s regional office di Singapura. Baru kali ini gue mendapati satu ruangan (isinya lebih dari 100 orang) terbius diam memperhatikan speech yang Jack Ma berikan. Tidak ada yang sibuk dengan hp-nya, tidak ada yang sibuk bisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Jack Ma is  really really a charismatic leader.

Saat itulah gue menyadari… Bukankah gue selalu bilang ingin terus mendalami industri e-commerce? Jika memang demikian, bukankah Alibaba merupakan perusahaan yang paling tepat buat gue? Alibaba is the biggest e-commerce company in the world! Saat itu pula gue menyadari… hidup sudah membawa gue ke tempat di mana memang seharusnya gue berada 🙂

Dua hari yang lalu, sambil tertawa, atasan gue sampai bilang begini, “Padahal dulu Riffa yang paling nggak tertarik sama Alibaba, eh sekarang malah kamu yang jadi the last man standing.”

Gue hanya ikut tertawa… Dalam hati gue menjawab, “Well, I just changed my mind. And that’s okay!”

Bagaimanapun, gue hanya manusia biasa dengan keterbatasan pengetahuan. Gue hanya manusia biasa yang bisa saja berubah pikiran. Apa yang gue anggap baik untuk gue di hari ini belum tentu baik di masa depan, begitu pula sebaliknya. Akan selalu ada serangkaian kejadian, lagi dan lagi, yang membentuk opini dan keputusan-keputusan gue. I’m just trying to get all the best things in life for myself, and there’s nothing wrong with that!

Tahu apa lagi yang gue pelajari dari kejadian ini? Bahwa kita harus selalu memberikan kesempatan untuk sesuatu apapun itu sebelum menilai dan mengambil keputusan. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan hanya berdasarkan pengetahuan yang kita miliki hari ini. Pengetahuan yang kita dapat dengan hanya melihat dari luarnya saja. Coba dulu, jalani dulu, baru putuskan nanti di kemudian hari.

I have a strong feeling that my career will only get more and more exciting after this! I’ll write more after I’m back from China next week. Ciao!