Beberapa hari yang lalu, gue baca berita soal kakek pedagang tebu keliling di Kamboja yang menangis tersedu-sedu karena meski telah lelah berkeliling seharian, tidak ada satu orang pun yang berkenan membeli dagangannya. Foto si kakek yang sedang menangis itu entah bagaimana lalu beredar di social media, dan barulah setelah itu, para penduduk sekitar beramai-ramai membeli tebu dari si kakek dalam foto.
Kisah nyata si kakek penjual tebu mengingatkan gue dengan cerita nenek dari pihak Mami bertahun-tahun yang lalu. Sejak dahulu, Nenek selalu lebih memilih berbelanja pada pedagang yang tampak sepi. Menurut Nenek, dagangan mereka bisa jadi sama bagusnya dengan pedagang yang ramai dikunjungi pembeli, soal harga pun tidak jauh berbeda, hanya saja tempat berjualan mereka di pasar dinilai kurang strategis atau kurangnya variasi produk membuat dagangan mereka jadi cenderung sepi pembeli.
Saat itu, Nenek gue sama sekali bukan orang kaya. Nenek harus bisa menghidupi tujuh orang anaknya hanya berbekal gaji Kakek yang tidak seberapa. Meski demikian, Nenek bukan tipe orang yang suka menawar dengan sadis. Bahkan, Nenek juga suka merelakan sedikit uang kembaliannya kepada si penjual barang. Dari situlah pertama kali gue belajar, kita tidak perlu menjadi orang yang kaya raya hanya untuk bisa memberi kepada sesama.
Semakin ke sini, semakin sering gue mendengar begitu banyak alasan untuk tidak mengamalkan harta kekayaan, di antaranya:
- “Salah mereka sendiri yang malas bekerja sehingga hidupnya jadi serba susah,”
- “Kalo mereka kreatif dikit, atau jualan barang yang bagus dikit, enggak mungkin dagangannya sepi pembeli,”
- “Beramal itu tidak wajib hukumnya, coba lihat ayat bla bla bla…”
- Dan masih banyak lagi…
Beruntunglah, gue pribadi tidak pernah terpengaruh pola pikir seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, gue sempat mengenal seorang teman yang justru menggenapkan hati gue untuk tetap memberi kepada sesama. Dia tipe orang yang rela membeli satu tandan pisang dari pedagang yang tampak putus asa meskipun sebetulnya, dia sama sekali tidak membutuhkan pisang sampai sebanyak itu. Satu dari sedikit orang yang bisa bikin gue berpikiran, “Gue kepingin jadi orang yang sama baiknya dengan dia.”
Teman gue itu terkadang justru kelewat baik hati kalo menurut gue. Dia tipikal orang yang masih suka memberi kepada tukang minta-minta. Suatu hari, gue pernah menegur dia… “Kenapa elo kasih? Gue rasa dia ngaku-ngaku belum makan dua hari hanya supaya dikasihani.”
Teman gue itu dengan tenang menjawab, “Ya itu sih urusan dia sama Tuhan… Tapi gimana kalo ternyata dia bener belum makan? Gimana kalo dia mati kelaparan?”
Teman gue itu, tanpa pernah dia sadari, sudah mengajari gue banyak hal tentang kebaikan hati. Kebaikan hatinya membuat dia disayangi oleh begitu banyak orang di sekitarnya. Dari situ pula gue menyadari… kebaikan hati, serta keikhlaskan untuk memberi kepada sesama, justru bisa mendatangkan banyak manfaat untuk diri kita sendiri.
Memberi telah membuat hati nurani gue tetap hidup. Mengajarkan gue tentang rasa ikhlas, rasa syukur, bahkan rasa damai dan bahagia saat tahu gue telah melakukan sesuatu yang berarti untuk hidup orang lain. Memberi tidak pernah membuat gue menjadi miskin dan kehabisan uang, justru sebaliknya, gue malah jadi mendapatkan begitu banyak kemudahan di kemudian harinya.
Mulailah belajar memberi, karena sesungguhnya, saat kita memberi kepada orang lain, kita juga sedang memberi begitu banyak berkah untuk hidup dan masa depan kita sendiri.