Jadi ceritanya, hari Jum’at jam sebelas malam ini, gue masih di kantor. Gara-gara auditor, minta sesuatu yang mengharuskan gue melakukan v-lookup sebanyak 6 kali. Dan masalahnya, untuk satu kali v-look-up, bisa makan waktu sampai lebih dari setengah jam! Jadilah gue pinjam komputer teman sekantor buat nge-blog sementara laptop tercinta gue itu sibuk v-lookup selama berjam-jam lamanya…
Sambil nunggu v-lookup, gue jelas bosan setengah mati. Ngantuk. Udah tiga bulan gue sering lembur. Kurang tidur. Capek. Bawaannya pengen marah-marah melulu. Jadi kurang punya waktu buat bersenang-senang…
Gue lalu jadi ingat… Beberapa bulan yang lalu, kondisi seperti ini, persis seperti ini, pernah jadi salah satu pemicu gue untuk resign dari perusahaan sebelumnya. Lalu… apa itu berarti gue juga akan resign dari kantor gue yang sekarang?
Baru kemarin malam, gue sibuk menasehati salah satu teman bule gue soal mau kerja di manapun, situasinya akan sama saja. Contoh:
- Di manapun kita kerja, pasti akan selalu ada orang yang nyebelin setengah mati;
- Selalu aja banyak tekanannya. Malah kenyataannya, semakin bagus performance kita, semakin tinggi pula tekanan yang harus kita terima;
- Stres dan bikin capek;
- Kadang-kadang pasti ada aja rasa bosannya, dsb dsb…
Ada banyak kejadian akhir-akhir ini, yang bikin gue jadi berpikiran, orang yang gampang banget bilang pengen resign itu sama saja dengan anak manja. Padahal, sampai beberapa bulan yang lalu, gue sendiri masih jadi orang yang seperti itu. Kesal dikit sama si bos, sampe rumah langsung sibuk buka Jobstreet, hehehehe.
Kemarin malam, gue bilang begini sama si temen sekantor itu, “I have worked for four different companies. Now after the fourth company, I give up trying to find a perfect one.”
Ya, gue mulai bisa menerima kenyataan bahwa di manapun gue kerja, pasti ada saja rasa tidak enaknya. Akan selalu ada those very bad days. Akan selalu mengalami hal-hal yang bikin gue mempertanyakan, “What the hell am I doing here?”
Tapi anehnya, bukan berarti gue menjalani pekerjaan gue dengan setengah hati. Bukan karena terpaksa. Bukan pula karena udah pasrah. Kenyataannya malah sederhana saja: gue mulai bisa ngerasa ikhlas. Tiap kali ada hari yang menyebalkan, gue mulai bisa mengendalikan perasaan dengan bilang sama diri gue sendiri, “This is only a bad day, not a bad life. Not either a bad job. It’s just one bad day.”
Ya, gue masih suka ngomel-ngomel. Suka curhat soal bla bla bla. Masih sering bangun pagi dan mengeluh betapa capeknya gue dan rasanya kok ya kayak belum tidur sama sekali. Dan tentunya, masih sering juga pasang muka cemberut di kantor. Tapi anehnya, pikiran untuk resign, seperti sudah perlahan menghilang dari benak gue.
Suatu saat, gue pasti resign dari perusahaan ini. Gue enggak mungkin kerja di sini selamanya. Tapi gue pengen, saat gue resign nanti, gue resign dengan alasan yang tepat. Bukan semata-mata karena kesal sama atasan. Bukan karena capek lembur melulu. Bukan karena stres dengan tuntutan kerja. Bukan karena apapun yang pasti akan tetap terjadi di manapun gue pergi bekerja.
Gimanapun, gue tetap tipikal orang yang percaya bahwa segala sesuatu itu terjadi karena satu alasan. Gue nulis begini bukan karena gue mendadak nyesel udah keburu resign dari kantor gue yang dulu-dulu. Malah sebaliknya, berkat pengalaman di 3 perusahaan sebelumnya itulah yang bikin gue jadi menemukan ‘kunci’ untuk stay happy di dunia kerja: ikhlas, ikhlas, dan ikhlas.
Ikhlas menerima kenyataan bahwa atasan juga cuma manusia yang bisa bikin salah.
Ikhlas menerima kenyataan bahwa perusahaan kita bukan Raja Midas yang bisa mengubah segala sesuatu menjadi emas sehingga bisa menggaji kita sampai ratusan juta.
Ikhlas menerima kenyataan dunia kerja memang tidak selalu ramah dan menyenangkan.
Dan tentunya, ikhlas untuk menerima segala kewajiban dan tanggung jawab kita.
Intinya kalo menurut gue, sebelum dikit-dikit bilang resign, cobalah untuk terlebih dulu belajar ikhlas. Try to see things from the bright sides first and do those things sincerely. Jangan sampai kita resign lalu nanti menyesali keputusan kita itu. Jangan resign karena common things yang pasti bisa terjadi di manapun kita bekerja, resign yang seperti itu hanya akan jadi resign yang sia-sia. Harus adaptasi lagi, mulai dari awal lagi, harus ninggalin sesuatu yang sudah kita bangun dengan penuh perjuangan pula… Our current job maybe extremely tough, but think again… what makes you think the next one will be easy?
Emang sih, pastilah benar ada pekerjaan lain yang sifatnya lebih mudah. Kalo gue mau, gue bisa aja cari pekerjaan lain yang jauh lebih santai. Tapi kalo dilihat dari sisi positifnya, segala kesulitan itu udah bikin gue jadi a better one. Then again… pemikiran bahwa I keep making improvement instead of the tough situations itu bikin gue jadi kepengen nulis begini, sekali lagi, di blog gue ini: “It’s not easy to be me, but it’s fun!” Hehehehe.
It’s almost 12 AM now, let’s go home!