Uang Bukan Segalanya? Think Twice!

Kantor gue baru aja menggelar HRD training buat para pendatang baru, termasuk buat gue yang baru kerja satu bulan di perusahaan ini. Ada beberapa hal yang cukup menarik dari training ini. Salah satunya, saat trainer menanyakan kepada para peserta training, “Dari skala 1 sampai 10, seberapa setuju kamu terhadap statement bahwa uang adalah segala-galanya?”

Mayoritas peserta menyebut angka 7 sampai 9. Gue sendiri, menyebut angka 8. Enggak ada satupun di antara peserta training yang memberi nilai 10.

Jawaban teman-teman training ini cukup mengejutkan gue. Karena setahu gue, pada umumnya, orang Indonesia itu tipe orang yang sering menyatakan pendapat bahwa uang bukanlah segala-galanya. Range jawaban 7 sampai 9 menunjukkan bahwa di mata kami, uang hampir mendekati segala-galanya.

Yang lebih mengejutkan gue adalah statement trainer yang menyatakan bahwa yang benar itu, uang memang segala-galanya. Dengan kata lain, dia sendiri menyebut angka 10 untuk menjawab pertanyaannya sendiri.

Wow, matre banget nggak sih kedengarannya?

Well, coba deh, kita simak alasan dari orang-orang yang kontra dengan pendapat bahwa uang bukan segala-galanya:

  1. Percuma banyak uang kalo hidup enggak bahagia;
  2. Percuma banyak uang kalo sakit-sakitan; dan
  3. Percuma banyak uang kalo hidup kesepian.

Pembelaan dari trainer gue itu…

  1. Untuk hidup bahagia, dibutuhkan uang. Sebut deh, hal-hal apa saja yang bisa bikin kita jadi happy. Kalo buat gue: traveling, nonton film, shopping, hangout bareng temen-temen, main sama si mpus, dan ngeblog. Untuk traveling, shopping, dan hanging out, gue jelas butuh uang. Untuk bisa main si mpus pun, gue harus keluar uang. Gue harus beliin makanan, vitamin, dan obat-obatan. Kalo si mpusnya mati karena nggak terurus, gimana gue bisa main sama dia? Untuk ngeblog pun, gue harus bayar biaya tahunan, dan pastinya, ada biaya listrik buat menghidupkan laptop atau buat nge-charge batre hp supaya bisa gue pake buat ngeblog;
  2. Supaya enggak sakit, kita juga perlu uang. Harus makan sehari tiga kali, kalo perlu menerapkan 4 sehat 5 sempurna. Kalo sampe sakit pun, untuk sembuh kita pasti perlu uang buat beli obatnya. Dan bener kata si trainer, masih mending pengidap HIV yang kaya raya daripada yang hidupnya pas-pasan. Kalo si kaya bisa menikmati sisa hidupnya dengan keliling dunia misalnya. Atau nggak usah selebay itu deh… Enaknya jadi orang kaya, kalo sakit bisa cari pengobatan sampai ke ujung dunia kan?
  3. Supaya kita nggak kesepian, kita nggak bisa selamanya hidup sendirian alias harus punya pasangan hidup. Nah, jangan sebut gue matre kalo gue bilang, untuk berumah tangga, sekedar cinta saja tidak akan pernah cukup. Untuk bisa melangsungkan pernikahan pun, kita membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi kalo nanti sudah lahir anak. Kita perlu beli susu, bayar segala jenis imunisasi, trus mesti mikirin biaya pendidikan si anak juga… Dan lagi-lagi, enaknya jadi orang kaya, mereka bisa memilih pendidikan terbaik – tanpa peduli berapapun biayanya – untuk anak-anaknya.

Uang, memang tidak bisa menjadi single factor untuk membahagiakan hidup kita. Tapi masalahnya, untuk bisa hidup bahagia, segala-galanya pasti akan membutuhkan uang.

Jadi gue setuju, bahwa bagaimanapun, uang adalah segala-galanya.

Akan tetapi tetap saja… gue tidak mau meralat nilai 8 menjadi 10. Saat gue menjawab 8, gue punya pertimbangan tersendiri. 10 itu angka sempurna… dan bagaimanapun, uang – sebanyak apapun jumlahnya, tidak akan pernah bisa membuat hidup gue jadi sempurna. Kenapa?

  1. Untuk dapat banyak uang, diperlukan extra effort yang tidak mudah. Harus rela kerja lembur yang ujung-ujungnya, mengancam kesehatan gue sendiri;
  2. Semakin tinggi pohon, semakin tinggi anginnya. Yang udah gue alami, semakin tinggi jabatan, semakin banyak pula rintangan yang harus gue hadapi. Jadi kalo kamu melihat ada orang-orang yang sangat kaya raya, trust me, there must be so many prices they have to pay to be rich, and it’s not easy at all; dan
  3. Cowok dengan banyak uang jauh lebih beruntung daripada cewek dengan banyak uang. Cewek yang ingin menuai sukses dengan karier-nya sendiri harus ikhlas saat kelak, ada cowok yang ninggalin dia cuma karena gaji atau jabatan si cewek lebih tinggi, karena si cewek kerjaannya lembur melulu, atau karena si cowok enggak merestui pasangannya untuk terus bekerja.

See? Dengan tiga permasalahan di atas, gimana caranya uang bisa bikin hidup gue jadi sempurna? Jadi kalo versi gue… uang memang segala-galanya, karena segala-galanya dalam hidup gue, sudah pasti memerlukan uang. Tapi tetap saja, uang tidak memiliki segala yang gue butuhkan untuk bisa hidup bahagia.

 

7 Hal Yang Bisa Dilakukan Seseorang Saat Merasa Insecure

Menurut definisi ala gue, insecure, atau rasa tidak aman, bisa diartikan sebagai rasa takut akan sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas diri sendiri. Rasa insecure inilah yang pada akhirnya, memicu kita untuk menciptakan ‘topeng’ agar sisi lain yang ingin kita sembunyikan itu tidak terlihat oleh orang lain. Dengan kata lain, kita berusaha menutupi sisi lain itu dengan melakukan sesuatu yang menurut kita, bisa membuat kita tampak hebat di mata orang lain. Intinya, insecurity pushes us to find some recognition from our environment.

Dalam suatu relationship, insecurity juga bisa menyerang salah satu atau kedua belah pihak sekaligus. Rasa tidak yakin atas dalamnya perasaan pasangan bisa membuat kita merasa tidak aman, merasa tidak dibutuhkan atau tidak dijadikan prioritas, takut ditinggalkan, atau bisa juga, membuat kita merasa kurang layak untuk pasangan kita itu. Dan jangan salah, dalam hubungan kerja, keluarga, dan persahabatan pun, perasaan yang sejenis bisa saja muncul dan menjadi batu sandungan dalam hubungan tersebut.

Dalam kesempatan ini, gue ingin berbagi hasil pengamatan gue tentang hal-hal yang biasa orang-orang lakukan saat mereka merasa insecure.

Mempersenjatai diri dengan berbagai macam gadget canggih terbaru

Gue pernah baca di Cosmopolitan, kita – para cewek – jangan langsung terkesima dengan cowok yang punya mobil mengkilat (dengan berbagai modifikasi di sana-sini), hp yang selalu mengikuti keluaran terbaru, laptop canggih, nggak ketinggalan Ipad, Ipod dsb dsb… Karena menurut Cosmo, hal ini bisa saja sengaja dia lakukan untuk menutupi rasa tidak percaya diri atau bisa juga, untuk menutupi satu atau beberapa kekurangan dalam dirinya. Dan gue setuju sama Cosmopolitan… Kalau dia udah mendapat pengakuan yang cukup dari lingkungannya, maka dia tidak akan lagi merasa perlu terlihat kaya raya dengan menghabiskan begitu banyak uang untuk berbagai jenis gadget tersebut kan? Tapiii, kalo boleh gue tambahkan, hal ini enggak berlaku buat orang-orang yang emang hobi sama hal-hal seperti ini yaa. Kan emang ada tuh, orang yang hobi banget ngotak-ngatik mobilnya, atau hobi nyobain berbagai jenis teknologi yang baru eksis.

Berusaha menjadi player

Kalo mengutip isi novel Beauty Case, pasangan itu sering dijadikan ibarat trophy. Semakin banyak trophy, semakin bikin bangga! Rasa bangga dan ingin dikagumi oleh lingkungannya lah yang bisa memicu seseorang menjadi player. Mereka ingin menciptakan image kalo mereka itu diinginkan oleh semua lawan jenis tanpa peduli konsekuensi dari perbuatan mereka. Dan menurut pengamatan gue, hal ini mereka lakukan karena mereka merasa tidak punya hal lain yang bisa mereka banggakan. Atau bisa juga, mereka lakukan hal itu untuk menutupi kekurangan dalam diri mereka. Mereka ingin melakukan pembuktian seperti, “Jelek-jelek gini juga, tetap banyak yang mau sama gue!” Tapi gue enggak bisa pukul rata juga sih, kalo semua player menjadi player untuk menutupi insecurity mereka… Soalnya ada pula orang yang jadi player karena malas berkomitmen (biasanya cowok), money oriented (biasanya cewek), dan… errr, sex addicted (kebanyakan sih cowok).

Punya pacar harus cantik atau ganteng

Menurut gue, dalam hal ini, memilih pacar bisa diibaratkan dengan memilih baju. Mana yang lebih kita pilih… baju yang keren tapi enggak enak dipakai, atau baju sederhana yang nyaman untuk dipakai? Balik lagi ke teori ala novel Beauty Case: pasangan itu ibarat trophy yang bisa bikin bangga. Padahal sebenarnya, kalau kita sudah cukup puas dan merasa bangga dengan diri kita sendiri, maka buat apa lagi kira mencari kebanggaan melalui pasangan kita?

Mempersenjatai diri dengan make-up dan fashion items terkini

Supaya adil, gue juga membocorkan fakta bahwa kadang-kadang, make-up dan fashion items adalah senjata cewek untuk menutupi rasa insecure. Cewek itu sangat ingin terlihat cantik dan menarik di mata lawan jenis. Kita suka takut, kalo kita kurang cantik, nanti nggak ada cowok yang tertarik sama kita. Itulah kenapa aktivitas diet lebih banyak dilakukan oleh cewek daripada cowok. Belum lagi rasa nggak pede karena mata sipit (sehingga ke mana-mana harus pake eyeliner dan mascara), nggak pede sama bentuk kaki yang kurang jenjang (jadi terpaksa pake high heels meskipun bikin lecet dan pegel-pegel), sit-up tiap hari, rajin maskeran, pake lotion pemutih, dan masih banyak keribetan lainnya lagi. And I blame it to the boys! Mata kalian yang suka terang-terangan ngelirik cewek lain, atau omongan kalian yang suka memuja-muja cewek cantik itulah yang suka bikin kita ngerasa kurang cantik. Makanya menurut gue, every girl should learn how to dress to make her happy, not to impress anyone else.

Sering memuji diri sendiri

Ada orang yang menjadikan narsis sebagai lelucon favorit mereka, tapi ada juga, yang memang sengaja memuji dirinya sendiri untuk memancing kekaguman dari orang lain yang mendengarnya. Menurut pengamatan gue, orang yang udah biasa dipuji dalam satu hal, tidak akan lagi sesumbar soal kelebihan yang dimilikinya itu. Dia yakin tanpa perlu dibilang pun, orang lain akan tahu dengan sendirinya. Beda banget sama orang yang haus akan pujian. Karena ngerasa kurang sering dipuji makanya dia suka berusaha pamer dan memuji dirinya sendiri dengan harapan, orang lain akan terkesan dengan kehebatannya itu.

Berusaha menyamai alias copy cat

Pernah punya teman yang terlihat nggak mau kalah sama kita? Kita ganti hp baru, dia juga ganti. Kita beli ini dan itu, dia juga ikut beli. Kita pergi ke sana dan ke sini, eeeh, dia juga ikut pergi ke sana dan ke sini! Kalo terjadinya cuma sekali dua kali, itu masih wajar. Bisa aja apa yang kita punya menginspirasi dia untuk menikmati hal yang sama. Tapi kalo hal ini terus berulang dari waktu ke waktu… kita patut curiga. Meskipun kelihatannya sepele, hal ini bisa berdampak buruk juga lho. Misalnya, dia jadi dikejar tagihan kartu kredit hanya gara-gara kepengen sama kayak kita. Selain itu, hal ini juga bisa menimbulkan rasa tidak nyaman di pihak yang ditiru itu. Bisa muncul pikiran jelek seperti, “Dia ini nganggep gue temen atau saingannya sih?” Balik lagi ke topik insecurity… hal seperti ini bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang terbiasa menjadikan orang lain sebagai parameter, di mana mereka takut belum cukup keren kalau belum bisa menyamai parameternya itu.

Meninggalkan, sebelum ditinggalkan…

Dalam suatu perpisahan, pihak yang ditinggalkan biasanya akan lebih sedih daripada yang meninggalkan. Meninggalkan itu by choice, tapi kalo ditinggalkan… what else can we do? Belum lagi ada rasa terluka, kecewa, merasa tidak berharga, dan sakit hati yang mungkin muncul saat ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi. Rasa takut ditinggalkan itulah yang kemudian bisa membuat kita bertindak panik dengan cara meninggalkan sebelum ditinggalkan terlebih dahulu… Makanya pesan gue, kalo kelak ada orang-orang terdekat kita (bisa pacar, gebetan, atau teman dan sahabat) yang tiba-tiba berusaha mengambil jarak, jangan dulu berburuk sangka. Bisa jadi, ada sesuatu di dalam diri kita yang membuat dia merasa tidak aman. Biasanya, sikap kita yang seolah nothing to lose yang bikin mereka jadi tidak yakin sama masa depannya dengan kita. Be wise, dan ketahuilah bahwa berada dalam posisi seperti ini rasanya benar-benar tidak menyenangkan.