Dulu, pernah ada salah satu kenalan saya yang sangat vokal menyuarakan ketidaksukaan dia atas segala sesuatu di lingkungan kerja dia.
Dia sering bilang, “Bos gue sering marah-marah.” Atau, “Banyak yang nggak betah kerja di sini.”
Kemudian saya tanya, “Memangnya seberapa sering dia marah-marah?”
Setelah berpikir sejenak, dia bilang, “Nggak tiap hari marah-marah sih, tapi bla bla bla.” Dia lanjutkan dengan pernyataan-pernyataan lain yang sifatnya sangat subjektif.
Pernah juga saya tanya, “Memang seberapa banyak orang yang nggak betah kerja di sana?”
Dia bilang, “Dua dari tiga, termasuk gue. Tim under bos gue kan emang cuma kita-kita aja, jadi ya 2 dari 3 itu banyak namanya.”
Jika merujuk pada penggunaan bahasa yang baik dan benar, sering itu artinya “most of the times“. Kemudian, banyak itu setidaknya “hampir mayoritas”. Kebetulan mengenal satu atau dua orang lain yang berpendapat sama tidak bisa langsung kita nyatakan sebagai “banyak”.
Lalu bagaimana jika jumlahnya 2 dari 3?
Well, tahukan kamu bahwa ahli statistik yang sudah sering melakukan research tidak akan berani mengambil kesimpulan hanya berdasarkan sedikit data? Sebelum memulai analisa, mereka akan pastikan dulu bahwa jumlah data yang mereka kumpulkan sudah cukup banyak sehingga mampu merepresentasikan suatu kesimpulan.
Jika ahli statistik saja sangat berhati-hati dalam mengambil kesimpulan, kenapa kita yang cuma punya sedikit coincidences bisa-bisanya langsung menghakimi dan menyebarluaskan judgement yang belum tentu benar keadaannya?
Saya akui saya juga pernah gegabah melakukan kesalahan yang sama. Dulu, saya pernah merasa banyak orang di lingkungan baru saya yang sangat suka berbohong. Kemudian saya iseng-iseng menghitung jumlah orang yang suka berbohong di tempat itu. Hasilnya? Tidak sampai 30%. Memang tidak sedikit, tapi tidak juga seburuk yang saya rasa sebelumnya. Hanya dengan perhitungan sederhana itu saja kepercayaan saya pada mereka langsung berangsur membaik. Tidak adil rasanya jika saya menyamaratakan semua orang hanya karena perkara segelintir orang saja.
Sejak itu, saya tidak lagi sembarangan melipatgandakan segala sesuatu hanya berdasarkan “kira-kira” atau berdasarkan luapan emosi yang tanpa saya sadari membuat saya menjadi hiperbolis. Jika saya bilang banyak, berarti memang betulan banyak. Jika saya punya angka pasti, atau setidaknya kisaran angka, maka saya akan lebih memilih menyebut angka tersebut ketimbang penggunaan kata “sedikit” dan “banyak” atau “jarang” dan “sering”. Itu pula alasan yang sama yang membuat saya sering bertanya kepada lawan bicara saya, “How much is it exactly?” Atau “How often does it happen?”
Ini yang gue maksud dengan pentingnya data driven decision in daily life. Sembarangan mengambil kesimpulan bisa jadi keputusan yang merugikan orang lain, dan tidak mustahil, merugikan diri kita sendiri juga. Penilaian yang sembarangan akan membuat tingkat kepercayaan orang lain atas pendapat kita menjadi perlahan menurun, bisa merusak image pribadi kita juga dengan anggapan kita ini cenderung lebay dalam menafsirkan sesuatu. Belum lagi resiko kita menyakiti orang lain dengan menyebar fitnah yang hanya berdasarkan data kira-kira.
Kita boleh saja curhat dengan teman, lebih boleh lagi menyampaikan kritik langsung kepada orang ybs, TAPI, pastikan kita sudah quantify pernyataan kita sebelum kita tuduhkan kepada orang lain. Jangan dilebih-lebihkan, jangan pula dikurang-kurangi. Ada tanggung jawab moril atas judgment yang kita sebar luaskan, jadi jangan sembarangan!
Ingat kata pepatah: mulutmu, harimaumu.