Key of Happiness: Set Zero Expectation on Anyone Else

Ada serentetan kejadian dua tahun belakangan ini yang membuat gue memutuskan untuk berhenti menaruh harapan kepada orang lain. Siapapun orangnya, sebaik apapun kelihatannya, gue lebih memilih untuk tidak menyimpan ekspektasi apa-apa. Dan bukan cuma itu, jika dulu gue selalu memulai perkenalan dengan orang lain dengan modal kepercayaan 100% di awal, sekarang justru sebaliknya. Gue lebih memilih untuk bersikap skeptis dan membiarkan orang lain “menentukan” sendiri seberapa jauh gue bisa percaya dengan perkataan dan perbuatan mereka.

And did you know? My life becomes happier and happier ever since the day I decided reduce my expectations on other people down to zero.

Gue jadi tidak lagi sakit hati saat ada orang yang gue anggap teman baik tiba-tiba datang “menyerang” gue dengan pertanyaan atau pernyataan yang menyakitkan hati (gue juga heran kenapa selalu ada saja orang iseng dan nyinyir seperti ini).

Gue tidak lagi kaget saat orang-orang yang gue kira memihak gue malah bermanis-manis dengan orang yang jelas-jelas berusaha memusuhi atau menyakiti gue.

Gue tidak lagi ambil hati apalagi sampai berkecil hati saat ada orang lain yang berbohong dan mengingkari janji-janjinya. Saat ada orang lain berjanji, gue akan lupakan saja dan tidak pernah lagi berharap mereka akan ingat untuk menepatinya.

Gue tidak pernah lagi menyesali diri gue sendiri saat orang-orang yang dulu dekat dengan gue perlahan menarik diri tanpa ada penjelasan apa-apa. Seorang teman pernah menasehati, “Not everyone is your cup of tea.”

Gue juga tidak pernah lagi ambil pusing saat ada orang-orang yang hanya baik sama gue saat mereka ada maunya atau perlunya saja.

Gue bahkan tidak pernah lagi berharap orang yang gue berikan pertolongan, atau orang-orang yang pernah gue perjuangkan kelak akan ingat untuk membalas budi. Prinsip gue sekarang; berikan… lalu lupakan.

Dulu, tiap kali ada orang lain let me down, reaksi gue, “Kok bisa ya? Emangnya gue salah apa?” Tapi sekarang, reaksi gue sudah sangat jauh berbeda. Gue cuma menghela napas sambil bilang sama diri gue sendiri, “Oh well, of course they do. And it’s not me, it’s them.”

Saat ada orang yang merasa perlu merusak kebahagiaan gue, saat ada orang yang memilih untuk bermuka dua, saat ada orang berbohong atau tidak menepati janjinya, atau saat ada orang yang hanya ingin memanfaatkan gue saja, maka semua itu bukan salah gue. Makanya gue bilang sebelumnya, “It’s not me, it’s them.”

Ada kalanya gue harus instropeksi diri, tapi menyalahkan diri sendiri atas prilaku orang lain yang masih bermasalah dengan dirinya sendiri jelas bukan pilihan yang bijak.

Mungkin sampai sini, tulisan gue terlihat suram. Tapi sebetulnya tidak juga. Seperti yang gue tulis di atas; berhenti menaruh harapan pada orang lain justru membuat gue lebih bahagia. Kenapa bisa begitu?

  1. Karena sekarang, sudah nyaris tidak ada lagi hal-hal yang bisa melukai perasaan gue. Banyak hal buruk yang sudah gue duga sejak awal; dan
  2. Rendahnya ekspektasi justru membuat gue jadi lebih mudah terkesan dengan orang-orang yang ternyata lebih baik daripada dugaan gue.

Ironisnya, jumlah orang di kelompok 1 di atas entah kenapa jauh lebih banyak daripada kelompok 2. Dengan standar yang sudah sangat rendah pun, tetap lebih banyak orang yang tidak bisa memberikan kesan baik untuk diri mereka sendiri. Gue awalnya sampai bingung sendiri, “Apa sih susahnya menjadi orang yang punya integrity? Atau kalau memang tidak bisa jadi orang baik, setidaknya jangan jahat.” Tapi sekarang, gue sudah tidak ambil pusing. Hidup ini memang berat, dan orang yang tidak cukup kuat tidak akan punya cukup energi untuk mengendalikan dirinya sendiri. Itu pangkal masalahnya, dan sekali lagi, “It’s not me, it’s them.”

Awal tahun ini gue sempat merasa khawatir dengan diri gue sendiri. Kenapa gue jadi negatif begini ya? Sampai kemudian belum lama ini, gue menemukan tulisan ini, “When one’s expectations are reduced to zero, one really appreciate everything one does have – Stephen Hawking.”

Dari situ gue mulai menyadari bahwa sebetulnya gue sudah mengambil pilihan yang tepat. Gue juga mulai melihat perubahan pola pikir gue dari sudut pandang yang berbeda. Gue bukan negatif, gue hanya memilih untuk bersikap lebih realistis.

Gue sudah berhenti berusaha mengambil hati orang-orang di sekitar gue. Orang yang mendukung gue akan tetap ada di sisi gue tanpa harus gue minta-minta.

Gue sudah berhenti berusaha menjadi pahlawan kesiangan. Gue tidak akan pernah bisa mengubah orang lain. Sekeras apapun gue berusaha untuk menolong, tetap hanya orang itu sendiri yang bisa menolong dan mengubah diri mereka sendiri.

Dan yang paling penting, gue sudah berhenti memberikan banyak ruang untuk orang lain dalam hati dan pikiran gue.

Saat ini, hidup gue terasa lebih tenang, dan ternyata, kedamaian hati dan pikiran itu banyak manfaatnya! Gue jadi lebih fokus mengurus dan menata hidup gue sendiri, gue jadi punya lebih banyak energi untuk memikirkan solusi atas permasalahan yang tengah gue hadapi, dan yang paling menyenangkan, gue jadi lebih mampu membahagiakan diri gue sendiri!

Life is too short to be unhappy, and I’m glad that I’ve found a new way to be happier!