Beramal, dengan Cara yang Baik dan Benar

Akhir-akhir ini sedang populer tulisan yang dibagikan via Facebook tentang pentingnya memberikan barang yang layak pakai dan bukan hanya sekedar barang murah meriah yang akhirnya tidak terpakai sama sekali. Kue kelewat murah yang rasanya tidak karuan, pakaian murah yang terasa panas dan tipis menerawang, serta pemberian-pemberian lain yang akhirnya tidak terpakai karena memang kualitasnya sangat tidak layak pakai.

Saat membaca tulisan itu, gue bertanya-tanya… kenapa ya, banyak orang yang melakukan amal menggunakan barang yang tidak layak pakai? Meminjam kalimat penulis yang gue sebutkan di atas, banyak orang yang sering bilang begini saat sedang membeli barang untuk amalnya, “Beli yang murah saja lah, buat dibagiin ini.”

Kembali lagi ke pertanyaan gue, “Kenapa?”

Jawaban gue berikut ini sifatnya hanya hasil observasi gue yang belum tentu bisa digeneralisasi, tapi tidak ada salahnya, dibaca untuk dijadikan dasar instropeksi diri.

Ada orang yang beli barang seadanya, lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, untuk kemudian aktivitas amalnya dibagikan berkali-kali di social media. Tidak penting kualitas barangnya, yang penting ada dokumentasinya.

Alasan lainnya, ada orang yang senang memberi karena dia senang melihat orang lain yang tampak senang saat menerima pemberiannya. Mereka lupa untuk berpikir lebih lanjut, “Akan tetap senangkah orang-orang itu saat membuka dan mengkonsumsi pemberian mereka itu?”

Ada pula orang yang asal-asalan memberikan barang asalkan dia tampak keren saat membagikan pemberiannya itu. Tipe orang yang senang menjadi pusat perhatian sehingga saat memberi, fokusnya malah diri dia sendiri dan bukan fokus kepada kebutuhan orang yang dia beri.

Atau bisa juga, ada orang yang hanya tidak menyisihkan lebih banyak waktu untuk mencicipi makanan atau mencoba barang-barang yang diberikannya itu. Fokusnya hanya budget, tanpa memikirkan kualitas pemberiannya.

Jika memang kita memiliki keterbatasan budget untuk amal kita itu, maka menurut gue, kita bisa mengurangi kuantitas untuk meningkatkan kualitasnya. Memberi 10 barang yang bermanfaat akan jauh lebih berarti dari 100 barang yang tidak layak pakai.

Kembali mengutip isi tulisan yang menginspirasi tulisan gue ini, “Jangan memberikan barang yang tidak sudi kita konsumsi sendiri.”

Coba bayangkan kesenangan orang yang kita beri yang langsung sirna dalam sekejap saat mereka mencicipi pemberian kita itu… Dari yang tadinya sangat senang akan berubah menjadi kecewa…. Tidak menutup kemungkinan, mereka bisa berkecil hati, merasa tidak cukup layak untuk menerima pemberian yang layak.

Mari kita belajar memberi di bulan yang baik ini, dengan cara yang juga baik, dengan tujuan yang tidak kalah baik.

Selamat berpuasa!

After You Let Her Go

Notes to men; here’s what’s going to happen after you let a girl go.

She will spend some times mourning, feeling sorry for herself, and she will spend more times wondering if there is still hope, even if it’s just a little hope. She will also be wondering what she did so wrong and if there is anything she can do to make it up to you. She may be crying over you, knowing that things will just never be the same again.

But then she’ll move on. She’ll start to see the light at the end of the tunnel. She’ll eventually have a new hope of a better future, even without you in it anymore.

She will miss you, sometimes. There will be times she checks your feed just to see your face again, or just to hear your life stories through your captions and tweets. She may also reopen her old chat with you and smile alone; a bitter smile, knowing that what’s gone is gone.

Life goes on and so does she. She’ll start a new life, meet new people, get herself busy with all the things that make her want to wake up and jump off the bed every morning in her life. Until someday, sooner or later, she starts to fall in love again.

Someday, you won’t matter to her anymore. She will forget the last time she checks your feed. She will tell her friends her love stories with you and she will laugh over it. She’ll cherish her memory about you and she let it go. She keeps you and all stories about you as a part of her past, she moves forward, and she’ll never look back.

She’ll learn that what doesn’t kill her makes her stronger is true… Losing you will make her stronger than she was before. She’ll embrace the one who stays for her, and she’ll be thankful for every smile and laughter she has on her face after all the tears she shed for you.

She won’t be there waiting for you for the rest of her life. She loves herself enough to let someone who doesn’t love her enough go out of her life. She knows she deserves better, and she believes in finding her right man, someday, somewhere in her future. She may still remember you, but it will never ever be the same again.

Orang yang Kalian Sakiti Hatinya di Dunia Maya Adalah Orang yang Punya Perasaan di Dunia Nyata

Semakin ke sini, netizen di dunia maya semakin liar dan tidak terkendali. Semakin anonymous, semakin tidak terkendali. Mentang-mentang tidak saling kenal, mentang-mentang tidak mesti berhadapan langsung, banyak sekali netizen yang jadi lebih berani berkoar yang menyakiti perasaan.

Apa saja contoh kekejaman netizen yang bikin gue geleng-geleng kepala? Ada banyak!

Nggak usah lah ya, sebut-sebut soal SARA, di sini cukup gue sebutkan contoh kenyinyiran netizen dalam topik lain yang sampai bikin gue berpikiran, “Mesti banget ya, mereka komentar kayak gitu?”

Gue pernah lihat salah satu selebgram nekad posting foto selfie dia saat hendak snorkeling: polos tanpa make-up sama sekali. Kenapa gue bilang nekad? Karena posting seperti ini sering sekali mengundang cibiran dari netizen! Dan benar saja… selebgram yang menurut gue tetap cantik apa adanya itu habis dihujat para netizen di comment box-nya… Dibilang ternyata aslinya jelek lah, alisnya botak lah, hitam dan lain sebagainya. Gue sampe berpikir, “Ya ampun, udah kayak mereka (si tukang bully) aslinya lebih cantik daripada si selebgram ini!”

Kemudian pernah juga beredar foto yang diduga Syahrini di halaman IG Lambe Turah. Caption Lambe Turah sih cuma soal mempertanyakan siapa cowok yang jalan bareng sama Syahrini di foto itu, tapi isi comment netizen yang sampai bawa-bawa soal fisiknya Syahrini. Kurang lebih mereka bilang begini, “Iya itu emang Syahrini… kalau difoto candid baru kelihatan aslinya dia itu b*****.” Pikir gue, “Ini ada supermodel yang tinggi langsing ngomentarin tinggi badan orang lain.” Gosh.

Gue sendiri juga pernah jadi korban nyinyirnya netizen btw. Ada satu yang sampe bikin research soal gue lalu menyerang gue via LINE… Intinya dia tidak terima soal artikel gue yang membahas soal “kutu loncat”. Dia jabarkan di LINE work history gue yang saat kerja freelance jaman kuliah dulu cuma stay 8 bulan saja. Dia juga sebutkan soal gue kerja di EY nggak sampe 3 tahun. Kalo gue mau membela diri, wajar kerja freelance cuma sebentar, cuma sampingan sambil menyelesaikan skripsi saja kok. Kalau setelah lulus gue bisa dapat pekerjaan tetap, kenapa gue harus tetap jadi freelancer? Setelah itu, masa bakti gue sekitar 2.5-3.5 tahun untuk satu perusahaan. Masuk hitungan kutu loncat kah? Kalaupun iya, kenapa juga mesti sebegitu niatnya bikin fake LINE account hanya untuk caci maki gue? Malas meladeni, gue block orang itu tanpa pernah gue balas. Nasehat guru agama gue dulu: orang yang meninggalkan debat kusir dijanjikan rumah di dasar surga, hehehehe.

Selain itu pernah juga ada orang komentar negatif di blog gue. Di situ gue menulis soal rasa minder gue yang masih juga single di usia hampir 30. Lalu ceritanya salah satu sahabat cowok menasehati gue soal cowok-cowok minder mendekati gue yang menurut mereka “cantik dan pintar”. Gue bercerita di tulisan itu soal nasehat si sahabat yang bikin gue ngerasa lebih baik. Nggak lama setelah gue post, muncul satu comment yang sangat pedas. Intinya dia bilang kenapa gue mesti ngaku-ngaku cantik padahal di blog ini ada foto gue dan semua orang bisa menilai kalau gue enggak ada cantik-cantiknya. My God. Ini juga malas balasnya. Gue mau ngotot memang betulan ada orang bilang kalau gue ini cantik juga dia nggak akan yang percaya. Nggak ada untungnya juga gue berdebat dalam hal yang sifatnya sangat subjektif seperti itu. Akhirnya gue nonaktifkan tulisan gue yang satu itu. Gue ingin blog gue jadi wadah diskusi dan bertukar informasi, bukan wadah kenyinyiran netizen!

Dari semua kisah nyata itu, gue bisa menarik beberapa kesimpulan:

  1. Orang yang sudah happy dengan dirinya sendiri tidak akan usil mengusik orang lain dengan komentar pedas yang tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya buat si netizen, terlebih lagi buat orang yang dia hina-hina;
  2. Orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi memang sering jadi sasaran kemarahan netizen yang belum cukup happy dengan diri dan hidupnya sendiri. Mereka tidak senang melihat orang lain senang, as simple as that; dan
  3. Akankah netizen nyinyir itu secara terbuka menghina orang yang dia benci itu saat mereka sedang bertatap muka? I don’t think so.

Budaya internet ini cukup bikin gue sebagai orang Indonesia kaget. Orang Indonesia terkenal lebih tertutup, lebih banyak sungkannya, lebih banyak tidak berani bicara terus terang. Meski demikian, saat sudah masuk ranah internet, isi ocehannya bisa lebih parah dari orang bule yang aslinya sudah blak-blakan. Sudah sampai tahap di mana ciri khas keramahtamahan orang Indonesia sudah tidak lagi tampak. Sudah tidak ada lagi perilaku berhati-hati untuk menjaga perasaan orang lain. Mereka seolah lupa bahwa orang yang mereka hina di dunia maya adalah orang yang juga punya perasaan di dunia nyata.

Jika sudah begitu, menurut gue, orang Indonesia tidak lagi tampak sopan dan santunnya. Aslinya mereka bukan sungkan, mereka hanya tidak punya keberanian untuk bisa bicara langsung alias beraninya cuma di internet saja. Teman gue malah pernah bilang begini, “Ah, di IG aja si artis dimaki-maki… kalo ketemu langsung juga diajak foto bareng!”

Gue nulis begini juga termasuk nekad sebenarnya… tidak menutup kemungkinan akan ada lagi angry netizen yang tidak suka dengan tulisan gue ini. Tapi, jika benar tulisan ini bikin kalian tersinggung, coba kalian tanya sama diri kalian sendiri, “Are you really that low?”

Ingat, ada orang bijak yang bilang energi mengalir ke tempat di mana fokus kita berada. Kalau fokus kalian malah mencari kejelekan orang lain, maka energi kalian juga akan habis untuk hinaan yang tidak membuat kalian jadi lebih baik. Boleh bebas berpendapat, tapi ada aturan mainnya. Kalau kalian tidak suka dihina, jangan menghina. It’s simple, isn’t it?

Mencabut Duri dalam Daging

Ada salah satu teman lama yang rutin bertanya via WhatsApp, “Elo udah married belum, Fa?” Padahal dia tahu jawabannya, tapi tetap saja, dia rajin WA gue hanya untuk mengulang pertanyaan yang sama. Dan tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah gue menjawab, teman yang satu ini akan selalu menimpali dengan komentar-komentar yang luar biasa tajamnya. Contoh, “Elo kan udah tua, Nek, masa’ masih jomblo aja?”

Tipe teman yang bikin gue menghela napas… sungguh sulit jadi perempuan single di usia 30-an di Indonesia ini.

Saat mendengar cerita itu, salah satu sahabat gue berkomentar, “Kenapa juga elo mesti bales semua WA dia? Cuekin aja! Nggak ada gunanya balas-balas WA dia.”

Gue menghelas napas lagi… Kalau gue cuekin, image gue akan terlihat semakin jelek. Bisa-bisa teman lama gue itu akan semakin nyinyir dengan bilang begini, “Sensitif banget ih… pasti deh dia sensi gitu karena belum married.”

Karena benar deh… Kenyinyiran sesama perempuan Indonesia untuk topik ini memang bisa sebegitu kejamnya. Contohnya, opini publik soal cewek yang suka marah-marah. Kalau cewek tersebut sudah married, komentar publik biasanya hanya begini saja, “Dasar emak-emak bawel!” Tapi kalau cewek tersebut belum married, komentar publik, “Tuh kan… dia galak sih, makanya nggak ada cowok yang mau sama dia.” Atau seperti yang gue sebutkan di atas, “Dia jadi judes dan sensi gitu karena stres belum married kali ya.”

Karena malas mendengar komentar seperti itu makanya gue lebih memilih untuk pura-pura manis depan si tukang nyinyir. Capek, tapi mau gimana lagi?

Gue tetap sok-sok sabar sampai suatu kejadian yang tidak bisa gue ceritakan mengubah jalan pikiran gue. Kejadian yang menyadarkan gue bahwa “telat” menikah bukanlah satu-satunya keputusan gue yang bisa jadi sasaran empuk untuk dikomentari secara negatif. Menikah bukan berarti segelintir tukang nyinyir itu akan berhenti mengomentari jalan hidup gue. Ada banyak pilihan hidup gue nantinya yang sifatnya tidak lazim di mata orang Indonesia pada umumnya. Pilihan-pilihan yang jika gue tulis di sini pasti hanya akan disambut oleh komentar-komentar yang tidak menyenangkan.

Setelah gue pikir-pikir lagi, memang benar tidak ada gunanya gue meladeni si tukang nyinyir. Membiarkan mereka tetap ada dalam hidup gue sama saja memelihara duri dalam daging gue sendiri: mereka akan terus dan terus menyakiti gue dari dalam.

Minggu lalu, si teman lama yang suka nyinyir itu kembali WA gue. Tidak langsung gue buka pesannya. Gue berpikir dulu. Dan akhirnya gue putuskan; gue tidak akan lagi membalas pesan-pesan dia. Memang sih, tidak baik memutus tali silaturahmi. Tapi kalau dipikir lagi, apakah masih silaturahmi namanya jika tujuannya hanya untuk menyakiti perasaan gue saja? Gue malah berpikiran, dengan tidak gue balas, gue justru menghindarkan dia dari dosa karena terus-terusan menyakiti perasaan gue, hehehehe.

Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang pernah melewati segala hal yang pernah gue lewati sehingga tidak ada satu orangpun yang bisa sepenuhnya memahami alasan-alasan yang kemudian membentuk pilihan-pilihan gue. Tidak ada satupun yang akan pernah benar-benar mengerti, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang memiliki hak untuk menghakimi keputusan-keputusan gue itu.

Only God who can judge me and my decisions, and that’s that.