Semakin ke sini, netizen di dunia maya semakin liar dan tidak terkendali. Semakin anonymous, semakin tidak terkendali. Mentang-mentang tidak saling kenal, mentang-mentang tidak mesti berhadapan langsung, banyak sekali netizen yang jadi lebih berani berkoar yang menyakiti perasaan.
Apa saja contoh kekejaman netizen yang bikin gue geleng-geleng kepala? Ada banyak!
Nggak usah lah ya, sebut-sebut soal SARA, di sini cukup gue sebutkan contoh kenyinyiran netizen dalam topik lain yang sampai bikin gue berpikiran, “Mesti banget ya, mereka komentar kayak gitu?”
Gue pernah lihat salah satu selebgram nekad posting foto selfie dia saat hendak snorkeling: polos tanpa make-up sama sekali. Kenapa gue bilang nekad? Karena posting seperti ini sering sekali mengundang cibiran dari netizen! Dan benar saja… selebgram yang menurut gue tetap cantik apa adanya itu habis dihujat para netizen di comment box-nya… Dibilang ternyata aslinya jelek lah, alisnya botak lah, hitam dan lain sebagainya. Gue sampe berpikir, “Ya ampun, udah kayak mereka (si tukang bully) aslinya lebih cantik daripada si selebgram ini!”
Kemudian pernah juga beredar foto yang diduga Syahrini di halaman IG Lambe Turah. Caption Lambe Turah sih cuma soal mempertanyakan siapa cowok yang jalan bareng sama Syahrini di foto itu, tapi isi comment netizen yang sampai bawa-bawa soal fisiknya Syahrini. Kurang lebih mereka bilang begini, “Iya itu emang Syahrini… kalau difoto candid baru kelihatan aslinya dia itu b*****.” Pikir gue, “Ini ada supermodel yang tinggi langsing ngomentarin tinggi badan orang lain.” Gosh.
Gue sendiri juga pernah jadi korban nyinyirnya netizen btw. Ada satu yang sampe bikin research soal gue lalu menyerang gue via LINE… Intinya dia tidak terima soal artikel gue yang membahas soal “kutu loncat”. Dia jabarkan di LINE work history gue yang saat kerja freelance jaman kuliah dulu cuma stay 8 bulan saja. Dia juga sebutkan soal gue kerja di EY nggak sampe 3 tahun. Kalo gue mau membela diri, wajar kerja freelance cuma sebentar, cuma sampingan sambil menyelesaikan skripsi saja kok. Kalau setelah lulus gue bisa dapat pekerjaan tetap, kenapa gue harus tetap jadi freelancer? Setelah itu, masa bakti gue sekitar 2.5-3.5 tahun untuk satu perusahaan. Masuk hitungan kutu loncat kah? Kalaupun iya, kenapa juga mesti sebegitu niatnya bikin fake LINE account hanya untuk caci maki gue? Malas meladeni, gue block orang itu tanpa pernah gue balas. Nasehat guru agama gue dulu: orang yang meninggalkan debat kusir dijanjikan rumah di dasar surga, hehehehe.
Selain itu pernah juga ada orang komentar negatif di blog gue. Di situ gue menulis soal rasa minder gue yang masih juga single di usia hampir 30. Lalu ceritanya salah satu sahabat cowok menasehati gue soal cowok-cowok minder mendekati gue yang menurut mereka “cantik dan pintar”. Gue bercerita di tulisan itu soal nasehat si sahabat yang bikin gue ngerasa lebih baik. Nggak lama setelah gue post, muncul satu comment yang sangat pedas. Intinya dia bilang kenapa gue mesti ngaku-ngaku cantik padahal di blog ini ada foto gue dan semua orang bisa menilai kalau gue enggak ada cantik-cantiknya. My God. Ini juga malas balasnya. Gue mau ngotot memang betulan ada orang bilang kalau gue ini cantik juga dia nggak akan yang percaya. Nggak ada untungnya juga gue berdebat dalam hal yang sifatnya sangat subjektif seperti itu. Akhirnya gue nonaktifkan tulisan gue yang satu itu. Gue ingin blog gue jadi wadah diskusi dan bertukar informasi, bukan wadah kenyinyiran netizen!
Dari semua kisah nyata itu, gue bisa menarik beberapa kesimpulan:
- Orang yang sudah happy dengan dirinya sendiri tidak akan usil mengusik orang lain dengan komentar pedas yang tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya buat si netizen, terlebih lagi buat orang yang dia hina-hina;
- Orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi memang sering jadi sasaran kemarahan netizen yang belum cukup happy dengan diri dan hidupnya sendiri. Mereka tidak senang melihat orang lain senang, as simple as that; dan
- Akankah netizen nyinyir itu secara terbuka menghina orang yang dia benci itu saat mereka sedang bertatap muka? I don’t think so.
Budaya internet ini cukup bikin gue sebagai orang Indonesia kaget. Orang Indonesia terkenal lebih tertutup, lebih banyak sungkannya, lebih banyak tidak berani bicara terus terang. Meski demikian, saat sudah masuk ranah internet, isi ocehannya bisa lebih parah dari orang bule yang aslinya sudah blak-blakan. Sudah sampai tahap di mana ciri khas keramahtamahan orang Indonesia sudah tidak lagi tampak. Sudah tidak ada lagi perilaku berhati-hati untuk menjaga perasaan orang lain. Mereka seolah lupa bahwa orang yang mereka hina di dunia maya adalah orang yang juga punya perasaan di dunia nyata.
Jika sudah begitu, menurut gue, orang Indonesia tidak lagi tampak sopan dan santunnya. Aslinya mereka bukan sungkan, mereka hanya tidak punya keberanian untuk bisa bicara langsung alias beraninya cuma di internet saja. Teman gue malah pernah bilang begini, “Ah, di IG aja si artis dimaki-maki… kalo ketemu langsung juga diajak foto bareng!”
Gue nulis begini juga termasuk nekad sebenarnya… tidak menutup kemungkinan akan ada lagi angry netizen yang tidak suka dengan tulisan gue ini. Tapi, jika benar tulisan ini bikin kalian tersinggung, coba kalian tanya sama diri kalian sendiri, “Are you really that low?”
Ingat, ada orang bijak yang bilang energi mengalir ke tempat di mana fokus kita berada. Kalau fokus kalian malah mencari kejelekan orang lain, maka energi kalian juga akan habis untuk hinaan yang tidak membuat kalian jadi lebih baik. Boleh bebas berpendapat, tapi ada aturan mainnya. Kalau kalian tidak suka dihina, jangan menghina. It’s simple, isn’t it?