Unconditional Happiness

Pernah dengar istilah unconditional love a.k.a cinta tanpa syarat? Kita harus bisa mencintai orang lain dengan tulus tanpa banyak syarat dia harus begini dan dia harus begitu. Nah, gue juga punya istilah ala gue sendiri: unconditional happiness a.k.a kebahagiaan tanpa syarat. Nggak perlu tunggu ini dan tunggu itu hanya untuk bisa ngerasa bahagia.

Dan hari ini, gue kembali membuktikan kalo gue benar bisa tetap hidup bahagia tanpa banyak syarat ini dan itu. Today, I could stay happy even though I didn’t get what I really want to have in this particular day: a Valentine date.

Sebelum gue teruskan, maaf banget ya, buat teman-teman yang tidak merayakan Valentine… I really really respect your point of view. Tapi menurut gue, kalaupun ada yang salah dari perayaan Valentine, yang salah itu prilaku orangnya, bukan event-nya. It’s debatable, I know… but please let us just agree to disagree, okay? 😉

Back to the blog… what makes me feel happy apart from just staying at home all alone all day long? It’s just those simple things in life!

Dimulai dengan nyobain restoran dim sum baru yang rasanya enak banget! Pesan antar pakai Klikeat!

Lalu nonton film dan serial TV kesukaan sambil duduk bersandar di atas tempat tidur, berselimut hangat diiringi suara rintik hujan…

Nulis satu lagi judul blog yang bikin gue bangga banget sama diri gue sendiri, hehehehe… Please pardon my narcissism, ok! 😉

Dapat satu lagi comment di blog yang bikin gue ngerasa senang dan puas dengan blog gue yang hanya ala kadarnya ini…

Dapat kiriman video lucu dari salah satu sahabat yang disertai caption, “Maybe this is the reason why your crush didn’t ask you out today, hahahaha.” And it really made me laugh outloud 😀

Kemudian bertukar comment agak-agak flirty di Path sama sahabat gue yang lainnya… Comment yang bikin gue berpikir, “It looks like I’m a flirting expert! Tapi giliran ngomong sama gebetan, gue speechless berat!”

Dan diakhiri dengan bikin tulisan tentang unconditional happiness ini yang udah bikin gue jadi senyum-senyum sendiri! 😉

See? I’m home alone today, but I’m not lonely at all. I would be very happy if I had a candle light dinner tonight or maybe just a casual lunch would do, but even without it all, I’m okay too. I want to be able to stay happy in all conditions in life, that’s why I mentioned this as an ‘unconditional happiness’, get it now? 🙂

At the end of the day, love is not only about your crush, boyfriend, fiance, or husband. I love my families, my friends, my career, my comfort home, my hobbies, my life! And I think, that’s Valentine is all about: a reminder on how grateful I am for being able to love this much!

So guys… merayakan atau tidak merayakan Valentine, gue sungguh berharap semoga hidup kita selalu dilingkupi kasih sayang dan kebahagiaan, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun.

Have a lovely life, everyone! And please, be happy unconditionally! 🙂

No, I’m Not in a Rush

Ada salah satu teman lama yang senang sekali menanyakan kapan gue married. Beberapa bulan sekali, dia akan Whatsapp gue benar-benar hanya untuk menanyakan soal getting married. Awalnya tanya kabar, setelah itu, dia akan bilang begini, “Elo udah tua, udah mau kepala 3, kapan married?”

Well, agak tajam memang. Gue juga enggak ngerti kenapa dia senang sekali mengulang pertanyaan dan pernyataan yang sama sejak dia sendiri mulai berumah tangga beberapa tahun yang lalu. Tipe orang seperti inilah yang menurut gue sering membuat kaum jomblo jadi suka tertekan dan akhirnya memutuskan untuk menikah as soon as possible.

Lalu bagaimana dengan reaksi gue sendiri?

Menurut gue, yang paling rugi adalah diri gue sendiri jika gue sampai married terburu-buru hanya karena termakan omongan orang. Gue yang rugi, dan bukan mereka yang rajin menekan gue dengan pertanyaan kapan married itu.

Ya, memang benar usia gue akhir tahun ini akan menginjak 30 tahun. Konon katanya nanti akan semakin sulit untuk punya anak dan sebagainya. Semakin lama pasti akan semakin stres kedua ortu gue ngelihat gue yang masih belum married juga. Dua adik gue sudah menikah duluan, dan bisa jadi yang paling bungsu pun akan melangkahi gue seperti dua kakaknya itu. Dan memang pasti terjadi, semakin lama akan semakin banyak omongan tajam yang nanti mampir ke telinga gue.

Tapi tetap saja, semua itu bukan alasan untuk bersikap terburu-buru. Memilih pasangan hidup itu keputusan besar. Pilih sepatu dan tas baru saja gue lama mikirnya, apalagi pilih pasangan hidup!

Hampir 30 bukan berarti gue harus mulai menurunkan standar. Laki-laki yang baik, yang bisa jadi pemimpin untuk gue, yang gue yakini rasa cintanya untuk gue, yang gue yakini potensi dan masa depannya, tetap akan selalu jadi syarat utama. I will never ever settle less than I deserve.

Hampir 30 bukan berarti gue harus cepat-cepat menerima cowok mana saja yang datang mendekat. Jika nanti sudah jadian pun, bukan berarti harus langsung married satu tahun kemudian. Bahkan bisa jadi, belum tentu gue nanti akan married dengan cowok yang jadi pacar gue tahun ini! We both may need some times to be convinced.

Dan hampir 30 bukan berarti gue harus mengorbankan segala-galanya hanya demi menikah tahun ini juga. Tidak semua pasangan dimudahkan persiapannya. Mudah mendapatkan restunya. Dan lain sebagainya. If it takes a while to get there, then be it.

Setiap orang boleh saja punya pendapat yang berbeda-beda, dan gue hargai semua pilihan hidup yang dibuat oleh perempuan-perempuan lainnya. Jadi gue harap, orang lain juga bisa menghargai pilihan gue.

Yes, I’m almost 30, but no, I’m not in rush to get married anytime soon. Good things take times, and I will take my times.