When I Refuse to Say Hello

Semalem, adek gue Yantri cerita soal betapa betenya dia kalo ada teman yang suka menjadikan gebetan/pacar masa lalu sebagai lelucon. Hal ini mengingatkan gue sama beberapa cowok di masa lalu gue, yang karena begitu banyak alasan, hubungan gue sama mereka berakhir kandas di tengah jalan. Atau lebih tepatnya, hubungan itu berakhir sebelum benar-benar sempat untuk dimulai.

Yang paling gue benci dengan pola hubungan seperti itu adalah sulitnya untuk gue benar-benar lepas dari bayang-bayang mereka. Entah kenapa dalam kisah-kisah masa lalu itu, orang-orang di sekitar selalu menganggap gue yang dulu lebih jatuh hati sama cowok-cowok itu, bukan sebaliknya. Dan herannya selalu ada saja orang yang mengira gue masih menyimpan harapan sama cowok-cowok itu! Padahal gue-nya sih udah move on, tapi justru orang-orang di sekitar gue itulah yang seolah belum beranjak dari masa lalu. Mungkin maksudnya cuma bercanda, tapi come on, apa enggak ada jokes lain yang lebih up to date?

Pernah dalam salah satu acara, katakanlah semacam reuni, gue asyik ngobrol sama salah satu cowok di masa lalu itu. Awalnya dia duluan yang memulai, dan gue pun terbawa suasana asyik ngobrol sama dia soal hidup kita masing-masing. Ketika suasana sedang sangat-sangat menyenangkan, ada seorang teman yang menyela… Dengan entengnya orang itu menggoda seolah gue ini masih naksir berat sama si masa lalu!

Kalau si masa lalu menanggapinya dengan santai, gue juga enggak akan sewot. Tapi yang cukup sering terjadi (bukan cuma sama satu masa lalu itu aja, ada juga beberapa yang lainnya), ekspresi wajah si masa lalu langsung berubah jadi tidak enak. Dari yang tadinya dia duluan yang mendekat untuk say hello lantas langsung berganti jaga jarak seolah gue ini virus menular yang mematikan. Ada pula yang sampai enggak mau diambil foto satu take bareng sama gue (padahal fotonya juga berame-rame, bukan foto berdua doang!) cuma gara-gara bete baru aja digodain sama teman-teman soal masa lalu gue dengan dia. Sebelnya lagi, yang ngambil foto belum bilang selesai, eeeh, dia-nya udah ngeloyor pergi duluan. Kan nggak sopan!

Kalau sudah begitu, dari yang tadinya hati senang langsung berubah jadi berang. Dari yang tadinya gue sempat berpikir akhirnya hubungan gue dengan si masa lalu bisa membaik sebagai teman berubah lagi menjadi pemikiran bahwa sampai kapanpun, keadaan tidak akan pernah kembali sama layaknya gue dan dia masih sama-sama murni berteman saja.

Akhirnya sekarang, saat ada acara yang sejenis, gue lebih memutuskan untuk menghindar. I prefer to avoid saying hello. Bukan masih menyimpan dendam atau yang semacamnya, gue cuma menghindari terulangnya rasa sakit hati yang selalu gue rasakan setiap kali ada teman yang usil melihat kedekatan gue dengan si masa lalu. Daripada muncul lagi komentar usil yang malah bikin dia seperti alergi sama gue, ya mendingan gue jaga jarak aja dong?

Gue tau hal ini berpotensi bikin gue kelihatan ketus, judes, tidak ramah dsb dsb. Tapi gue lebih memilih melindungi perasaan gue dengan cara seperti itu. If he doesn’t know how to keep my feeling then it’s me the only one who has to protect my own feeling from getting hurt. Memang sangat disayangkan, dari yang tadinya pernah dekat malah jadi seperti musuh bebuyutan. Tapi apa pula sebetulnya yang patut disayangkan kalau si masa lalu itu sendiri seolah tidak peduli bahwa sikap dingin yang dia tunjukan itu berpotensi bikin gue jadi sakit hati? Padahal sumpah deh… gue juga enggak selalu bisa ngerti apa sebab godaan usil seperti itu masih saja suka terlontar dari mulut teman-teman gue. So please don’t blame me for those jokes!

Ada kalanya gue ngerasa, andai dulu gue tahu akan seperti ini jadinya, maka gue akan lebih memilih untuk menahan perasaan gue saat itu. Enggak akan gue biarkan, atau gue berikan kesempatan untuk hubungan itu berkembang lebih dari sekedar teman. Karena gue akui, saat mereka melangkah pergi, gue bukan hanya kehilangan seseorang yang gue suka, tapi gue juga jadi ngerasa kehilangan seorang teman. Seorang teman yang biasa gue bagi rahasia-rahasia kecil gue, teman ngobrol mulai dari hal penting sampai nggak penting, teman yang selalu mengulurkan tangannya tanpa pernah gue minta…

Tapi ya sudahlah. Yang sudah berlalu biarkan saja berlalu. Untuk yang selanjutnya, gue akan belajar menahan perasaan gue sendiri. Gue nggak akan biarkan gue jatuh hati sama seseorang yang belum jelas apa maunya. Kehilangan teman selalu menjadi kenangan buruk yang sulit untuk dilupakan, dan gue tidak akan membiarkan hal yang sama terulang lagi di masa yang akan datang. Tidak akan pernah.

Hope the Holiday Will Make Me Feel Better

Entah kenapa, sekitar seminggu belakangan ini gue ngerasa apa yang biasa disebut orang lain sebagai galau. Bermula dari suatu sore di mana-mana tiba-tiba gue ngerasa super bad mood, bosan, dan yang paling parah, gue jadi males ngomong. Buat orang seperti gue, kalau masih suka ngomel-ngomel, itu hal biasa. Tapi kalo udah sampe males berdebat, males ngomong, itu yang udah bahaya… Apalagi kalo udah sampe jarang senyum dan jarang ketawa… bener-bener udah masuk kategori bad mood tingkat tinggi.

Dulu gue pernah bilang sama salah satu temen gue di EY. Definisi bahagia buat gue itu simpel aja: asalkan dalam satu hari gue bisa sekali aja tertawa senang, berarti hari itu adalah hari yang bahagia buat gue. Dan ya… belakangan ini, gue jarang punya alasan untuk tertawa. Belakangan ini, entah kenapa, gue jarang sekali memiliki hari yang bahagia.

Udah sebulan lebih, gue menghabiskan belasan jam dalam sehari, dari Senin hingga Minggu, hanya untuk bekerja. Setelah semua kerja keras itupun, nyatanya report gue tetap saja selesai terlambat. Pernah di suatu malam, tiba-tiba gue ngerasa capek… Gue jadi mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang gue kejar dengan jam kerja yang menggila seperti itu? Dan apa sebetulnya yang bisa gue dapatkan terutama kalau pada akhirnya, pekerjaan gue tetap saja selesai terlambat…

Bekerja lembur sebetulnya bukan hal baru buat gue. Tapi kerja lembur yang terasa membebani, kerja lembur yang sebetulnya tidak ikhlas gue jalani, serta kerja lembur yang sering membuat gue ngerasa sendiri… semua itu benar-benar hal yang baru terjadi dalam hidup gue. Sehingga kadang, gue jadi ngerasa kangen sama suasana kerja lembur waktu masih di EY… Kerja lembur yang sesekali diselingi acara curhat atau sekedar ngobrol ngalor ngidul sampe pernah, berjam-jam gue dan teman gue lewati hanya untuk ngobrol ini-itu, sampai tanpa terasa, pagi hari sudah datang menjelang…

Sebetulnya gue juga enggak yakin… apakah semua rasa tidak nyaman ini berasal dari pekerjaan. Dan rasanya agak-agak tidak pantas kalau gue menyalahkan semua ini kepada pekerjaan. Gue punya pekerjaan yang baik, prestasi yang baik terutama untuk ukuran orang yang baru berusia 25, gue juga punya bos yang meskipun tidak sempurna, gue bisa bilang dia itu bos terbaik yang pernah gue punya… Belum lagi teman-teman yang makin lama terasa makin dekat sama gue, yang suka tiba-tiba nraktir gue mulai dari es jeruk, es kelapa muda, Come Buy, sampe makan bimbimbap di Han Gang, serta teman-teman yang sabar menghadapi kejudesan gue dan seorang teman yang kebaikan hatinya suka bikin gue terkejut…

Ada seorang sahabat yang bilang… mungkin gue hanya perlu istirahat. Mungkin gue hanya merasa lelah setelah harus menyelesaikan begitu banyak masalah sejak hari pertama gue mulai bekerja. Atau mungkin, gue hanya butuh ketetapan hati untuk meninggalkan apa yang saat ini sudah gue miliki untuk sesuatu yang lebih baik lagi…

Jadi singkatnya, gue butuh lepas sejenak dari pekerjaan gue. Butuh bersenang-senang, supaya setelah itu, gue bisa berpikir jernih… tentang apa yang terbaik buat gue, serta tentang apa yang sebenarnya saat ini gue ingini…

Kebetulan hari Senin gue dan keluarga akan pergi liburan. Nggak jauh-jauh, cuma ke Singapura 3 hari 2 malam. Tujuan utamanya sudah pasti Universal Studio. Dan seperti biasa, gue selalu menyukai amusement park. Terlepas dari amusement park, gue selalu menyukai aktivitas traveling. Gue suka berada di tempat baru, melihat suasana kota yang jauh berbeda dengan Jakarta, suka berfoto ria di tempat-tempat yang sebelumnya hanya gue lihat di lembar buku atau layar kaca… Dan semua itu, selalu membuat gue ngerasa bahagia.

So yes… I hope that the upcoming holiday, will definitely make me feel better. Happy holiday for me then 🙂

Working As an Auditor Vs Company Accountant

Pernah punya pengalaman sebagai auditor dari level staff sampai senior, serta pengalaman sebagai company accountant di level supervisor sampai manager, rasanya udah bikin gue jadi cukup eligible untuk membuat tulisan ini. Tabel perbandingan di bawah ini gue buat murni berdasarkan pengalaman pribadi. Hal yang sama persis belum tentu pernah terjadi untuk orang lain terutama orang-orang yang bekerja di jenis perusahaan yang berbeda. Tulisan ini gue buat bukan untuk membandingkan mana yang lebih oke, atau lebih menyenangkan, atau lebih menjanjikan… Tulisan ini hanya sekedar input bagi para alumni jurusan akuntansi yang sedang bingung memilih karier, atau mungkin, buat para auditor yang ingin ganti haluan menjadi company accountant. Selamat membaca!

 

Auditor

Company Accountant

Cuma punya satu maha-deadline: rilis audit report. Hampir setiap hari, selalu saja ada deadline baru, dan hampir semuanya deadline penting!
Selama gue kerja di EY, belum pernah satu kalipun gue berhasil rilis report persis atau lebih awal dari tanggal yang sesuai dengan timetable. Hal itu sih udah biasa, dan enggak pernah berdampak negatif sama karier gue. Telat submit report = you’re so dead… bisa berefek negatif ke KPI gue.
Boleh datang terlambat… yang penting dalam satu hari, jam kerja minimal tetap 8 jam. Nggak boleh datang telat… walau malam harinya habis kerja lembur.
Sebagian besar auditor pasti mengalami masa low season setiap tahunnya, biasanya di pertengahan tahun. Tidak pernah ada istilah low season, tapi tetap ada istilah peak season dari bulan Desember sampai bulan Februari tahun berikutnya.
Nggak usah pusing-pusing mikirin training… sudah ada yang mengatur urusan ini. Harus mikir sendiri… butuh training apa dan di mana?
Punya budget cuma dalam bentuk chargeable hours saja. Enggak usah pusing-pusing mikirin strategi untuk menghemat uang perusahaan. Harus pandai mengatur uang perusahaan… serta dituntut untuk berpikir bagaimana caranya agar perusahaan mendapatkan laba sesuai target.
Jarang terima e-mail tentang pekerjaan… Dulu waktu jamannya BB belum populer, inbox e-mail kantor lebih banyak diisi dengan e-mail lucu/unik/mengharukan daripada e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan. Ada banyak e-mail yang harus dibalas! Makin tinggi jabatan, makin banyak e-mail.
Bekerja dalam tim yang relatif kecil. Meskipun kerja di KAP besar, dalam satu tim audit untuk satu perusahaan pasti jumlah auditornya tidak terlalu banyak. Perusahaan gue hitungannya perusahaan menengah atas yang sedang berkembang pesat… Ukuran timnya pun relatif lebih besar. Belum lagi harus kerja bareng orang-orang dari divisi lain juga.
Bekerja berdasarkan peraturan baku… tentang bagaimana praktek yang seharusnya. Harus fleksibel… Kenyataannya, praktek itu jauh lebih sulit daripada sekedar teori.
Kurang memiliki pemahaman tentang operational details. Auditor yang tiba-tiba mau bikin perusahaan sendiri pasti masih harus belajar banyak hal baru. Jadi banyak tahu hal-hal kecil, termasuk tips dan trik, tentang menjalankan sebuah perusahaan.
Pakai accounting system hanya sebagai viewer atas report yang sudah jadi. Pakai accounting system untuk kegiatan operasional sehari-hari. Harus benar-benar paham seluk beluknya supaya saat terjadi masalah, bisa dicari pemecahannya.
Saat akan rilis report, akan ada banyak reviewer, mulai dari senior, manager, sampai partner. I am the only one reviewer. Setelah itu, direksi cuma sebagai user yang terima beres. Pasti ada review dan koreksi dari CFO, tapi tidak mendetail.
Kalau bekerja di KAP besar, terkadang kenaikan gaji bisa jadi kejutan besar. Kenaikan gaji setiap tahunnya tidak terlalu signifikan, kecuali kalau baru dapat promosi. Bisa naik 10% saja sudah termasuk bagus banget lho.
Jam kerja relatif gila… Bisa lewat dari jam 12 malam setiap harinya selama peak season. Lebih jarang kerja lembur, kecuali saat periode reporting.
Agak sulit kerja jadi auditor sambil ambil kursus, kuliah, atau ikutan social community. Lebih fleksibel untuk cari aktivitas lain di luar pekerjaan.

Lately Working Madness

Bulan November 2011 sampai Februari 2012 benar-benar jadi bulan yang super-duper bikin gue capek dan kewalahan. Gimana nggak capek kalo dalam satu waktu gue harus ngurus 2 company sekaligus? Harus handle auditor di 2 company sekaligus, harus ngurus 2 report sekaligus, harus mecahin masalah di 2 company sekaligus… Satu kantor di Gunung Putri Bogor, satu lagi di kawasan CBD Pluit…

Here is the summary of my lately working madness

  1. Untuk pertama kalinya selama 4 tahun gue bekerja, baru sekarang ini gue mengalami dalam satu kali automatic refresh, bisa muncul 3 sampai 10 e-mail baru sekaligus di inbox gue. Dan yang paling menyebalkan, hampir semua e-mail itu sifatnya urgent, harus langsung dibalas!
  2. Saking banyaknya kerjaan (yang disela telepon/YM/e-mail yang bertujuan tanya-tanya soal kerjaan, atau disela orang-orang yang masuk ke dalam ruangan buat tanya-tanya soal kerjaan juga), sampe saat makan siang pun, gue tetep makan sambil menatapi layar laptop. Thank God that woman is multitasking;
  3.  Tiap hari pulang tengah malam itu sih udah biasa lah ya… Tapi yang luar biasa adalah, besokannya gue harus bangun jam setengah 5 pagi supaya bisa sampe kantor on time jam 8 teng! Gila yaa… waktu gue masih kerja di EY, kalo malemnya lembur, besokannya gue boleh dateng siang. Sayangnya di kantor baru, si bos dengan santainya bilang begini, “Ya ini kan bukan EY…” Udah susah payah bangun pagi, nyatanya sepanjang tahun 2011 kemarin, gue dapet rangking 3 buat urusan keterlambatan 😦
  4. Kalo lagi harus ngantor ke Pluit a.k.a harus bangun dan berangkat lebih pagi dari rumah di Bekasi, gue selalu mandi dengan mata masih setengah tertutup. Begitu masuk mobil… zzz, gue tidur lagi di jok tengah sampe keluar tol Jembatan Tiga. Lalu saat dijemput malam harinya, begitu masuk mobil, gue langsung nyari bantal dan zzz… tidur lagi sampe mobil udah diparkir di garasi rumah;
  5. Sebetulnya gue paling pantang tidur di kantor di depan atasan, tapi kali ini, berhubung udah nggak tahan, begitu jam istirahat, gue pernah dengan cueknya tidur dalam posisi duduk. Padahal yaa, kalo di kantor Pluit, gue duduk satu ruangan sama direktur gue lho. Ngelihat gue kecapekan, si bos malah ketawa, “Ya udah, saya udah mau keluar nih, kamu tidur aja cari posisi yang enak, kan saya enggak lihat.” Sambil ngomong begitu, si bos sambil ganti lampu terang ke lampu yang lebih redup… katanya supaya tidur gue lebih nyenyak;
  6. Kalo lagi super capek, kaki gue jadi suka kram di malam hari. Biasanya, kram itu bakal bikin gue meringis dan nggak bisa tidur sampe kramnya hilang. Tapi sekarang, karena capeknya udah melewati batas, ketika kram itu kumat di saat gue lagi tidur, gue malah mikir gini, “Bodo amat deh kram lagi, gue ngantuk!” Dan zzz… gue tidur lagi sampe pagi;
  7. Entah kenapa belakangan ini, kalo lagi capek dan kurang tidur, suhu tubuh gue terasa lebih hangat daripada biasanya… Nggak selalu pusing atau apa, ya cuma terasa hangat aja. Aneh…
  8. Selama kerja di EY, gue berhasil mempertahankan prinsip untuk enggak nyentuh kerjaan di hari Minggu. Begitu resign dari EY, gue bertekad kali ini, hari Sabtu pun gue enggak akan menyentuh pekerjaan. Tapi nyatanya, jangankan hari Sabtu, hari Minggu pun gue masih nongkrong depan laptop sampe tengah malem buat nyelesain kerjaan yang seolah nggak ada habisnya itu 😦
  9. Makin capek, bawaannya makin sensiii. Untunglah gue punya teman-teman kerja yang pengertian. Kalo gue udah mulai ngoceh, mereka malah suka ngisengin gue supaya enggak terlalu tegang. Tapi pernah juga pas gue udah super-duper capek setengah mati, saat marah bukannya ngoceh, gue cuma menghela napas dengan muka cemberut, abis itu buang muka atau balik badan lalu beranjak ke tempat lain. Seems like I’m more dangerous when I’m silent, hehehehe;
  10. Jadi suka emosi sama temen-temen yang suka nggak bales message gue dengan alasan sibuk. Lho, dikiranya cuma mereka doang yang lagi sibuk kerja? Masalahnya ya, justru tipe orang yang begitu itu yang paling suka heboh kalo gantian gue yang telat bales. Kesannya kok kayak orang paling penting sedunia gitu…
  11. Gue kerja sampe nggak sempet gunting kuku, potong rambut, belajar nyetir… tapi kalo buat urusan belanja, herannya tetep selalu ada waktu tiap minggunya, hehehehehe;
  12. Status YM jadi busy melulu, bahkan di hari Sabtu dan Minggu… Kadang kalau lagi benar-benar dikejar deadline, gue sampe enggak punya waktu buat ganti logo available ke logo busy di YM yang automatic sign in setiap kali laptop gue nyala itu…
  13. Berkat super sibuk kayak gini… ortu jadi pengertian. Tiap hari gue pergi kerja masih dianter-jemput dan enggak pernah disuruh buru-buru belajar nyetir sendiri, hohohohoho, menyenangkan 🙂

Dunia Yang Tidak Pernah Bisa Gue Mengerti

Dulu, gue pernah mengenal sepasang suami-isteri yang terlihat sangat serasi, harmonis, dan romantis. Tipe pasangan yang membuat siapapun akan merasa iri hanya dengan melihat kebersamaan mereka. Suami yang sukses dengan perusahaannya sendiri, istri yang cantik dan berpenampilan menarik, anak-anak yang sangat lucu dan menggemaskan… Si suami juga terlihat sangat menyayangi anak-anaknya. Terlepas dari sikapnya yang relatif cool dan cowok banget, saat sudah berhadapan dengan si anak, dia akan langsung menghujani anaknya itu dengan ciuman dan pelukan. Gue hanya pernah mengenal pasangan ini sebentar, tapi gue langsung merasa tersentuh. Benar-benar tipe rumah tangga yang sangat ideal.

Seiring berlalunya waktu, tiba-tiba gue mendengar kabar yang sangat mengejutkan: pasangan ini sudah berada di ambang perceraian! Kemudian ceritanya, saat ini mereka sedang berusaha untuk rujuk meski belum kembali tinggal dalam satu atap yang sama.

Terus terang gue heran… kenapa si istri sampai mengajukan gugatan cerai? Si suami kelihatan cinta banget kok, sama istrinya itu… Dia juga kelihatan seperti ayah yang baik. Dan kalau menurut feeling gue, dia juga bukan tipe suami atau ayah yang suka memukuli anak-istrinya. Apalagi dengan segala kekayaan yang dimiliki sang suami… sangat tidak mungkin kurangnya materi menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Jadi kenapa si istri sampai meminta cerai?

Beberapa bulan kemudian, gue kembali mendengar kabar mengejutkan soal sang suami. Kabarnya, dia baru saja membujuk seorang teman perempuan yang sedang berkujung ke Jakarta untuk minum di klub malam. Sepulang dugem, si cowok dengan baik hatinya mengantar teman gue itu kembali ke hotelnya. Bukan cuma mengantar sampai depan lobi, melainkan terus mengantar sampai depan kamar. Kemudian gilanya, si cowok ini bilang dia kepingin nginep di kamar hotel teman cewek gue itu!

Untunglah temen cewek gue ini masih cukup sadar untuk bilang tidak. Tapi memang dasar buaya darat… Setelah ditolak mentah-mentah, dia malah nekad pesan kamar di sebelah cewek itu! Tidak lama kemudian, dia mulai mengetuk pintu kamar si cewek, berkali-kali, memohon-mohon supaya diperbolehkan masuk oleh teman gue itu.

Semalaman, si cewek jadi merasa ketakutan. Esok paginya, tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung mengambil penerbangan pertama untuk pulang ke daerah asalnya…

Akhirnya gue pun tahu dengan sendirinya, alasan kenapa sang istri menuntut cerai suami yang seolah tampak sempurna itu.

Mendengar semua itu, membuat gue kembali berpikir tentang sebuah dunia yang tidak pernah bisa gue mengerti. Dunia di mana orang-orangnya membiarkan minuman keras, atau bahkan pil-pil ekstasi, mengambil alih alam sadar mereka, di mana one night stand sudah menjadi satu hal yang biasa, yang bahkan di mana membayar perempuan sewaan pun sudah bukan lagi menjadi hal yang luar biasa.

Apa sebetulnya yang membuat mereka, orang-orang dari dunia itu, sulit sekali melepaskan diri dari hal-hal yang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan diri mereka itu?

Misalnya pasangan yang gue ceritakan di atas. Kenapa begitu sulit buat sang suami meninggalkan kebiasaan buruk yang jelas-jelas telah mengancam kelangsungan rumah tangganya? Bagaimana bisa dia rela menukar istrinya yang cantik dan anak-anak yang dicintainya dengan kesenangan satu malam seperti itu? Kalau memang semua itu hanya pelarian atas ketidakbahagiaan dengan rumah tangganya, lalu kenapa dia masih berusaha rujuk dengan istrinya? Dan anehnya lagi, kalau memang ingin rujuk, kenapa masih belum mengubah kebiasaan jeleknya?

Gue di sini tidak ingin bersikap menghakimi… Sekali lagi gue hanya ingin mempertanyakan, siapa tahu lewat blog ini gue mendapatkan jawaban, hal apa yang membuat mereka sangat sulit lepas dari godaan dunia yang nyaris tidak ada gunanya itu? Karena enggak usah lah bawa-bawa soal dosa, agama, dan api neraka segala macam. Asalkan mau berpikir jernih, mestinya semua orang bisa melihat dengan sendirinya bahwa segala kenikmatan itu hanyalah kenikmatan yang menjerumuskan. Hanya kenikmatan sesaat, yang akan menghilang seiring berlalunya malam.

Gue pernah punya seorang teman yang bilang… dia merasa bahagia dengan dunianya yang seperti itu. Kebahagiaan yang tidak bisa gue mengerti, yang juga sangat gue ragukan kebenarannya, terutama karena gue mengenal orang ini dengan sangat baik. Teman gue itu pastilah tidak tahu bahwa di luar sana, masih ada banyak berbagai jenis kebahagiaan yang lebih menentramkan. Di luar sana, ada orang-orang yang berbahagia dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berbahagia dengan pekerjaannya, agamanya, atau dengan persahabatan dan keluarga yang dimilikinya. Dan sebetulnya, kebahagiaan seperti itulah yang sifatnya lebih kekal dan murni. Karena kebahagiaan yang sejati, adalah kebahagiaan yang tidak merugikan diri.

Terkadang kita sulit membedakan antara kesenangan dengan kebahagiaan. Jadi meskipun masih tidak mengerti, bolehlah gue menyimpulkan… orang-orang itu memang bersenang-senang, tetapi soal bahagia, gue yakin itu belum tentu. Jadi marilah kita lihat kembali… apakah yang selama ini kita sebut sebagai kesenangan, merupakan suatu kebahagiaan.