One Year After Leaving EY

4 April  2011, gue efektif mengundurkan diri setelah 3 tahun bekerja untuk EY. Waktu itu, dalam hati gue cukup sering bertanya-tanya… akan jadi seperti apa hidup gue setelah resign dari EY? Gue bukan tipe orang yang akan langsung resign hanya karena satu alasan tertentu saja. Gue punya banyak pertimbangan, plus dan minus, dari setiap pilihan yang gue punya. Ada banyak sisi positif yang gue harap akan gue dapatkan dengan resign dari EY, tapi… ada juga beberapa sisi positif EY yang gue takut akan sulit gue temukan di perusahaan lainnya. Intinya gue takut, resign dari EY bukannya bikin hidup jadi lebih baik, yang ada malah bikin hidup gue jadi mengalami kemunduran.

Lalu bagaimana realisasinya? Bagaimana hidup gue setelah satu tahun resign dari EY? Berikut summary-nya…

  1. Resign dalam keadaan belum punya pekerjaan pengganti bikin gue sempat merasakan yang namanya pusing mencari kerja. Ternyata memang benar… mencari pekerjaan dengan benefit yang sesuai keinginan itu bukan perkara mudah. Perusahaan besar tidak jaminan gajinya juga besar. Untunglah tidak lama kemudian, salah satu mantan klien di EY nelepon hp gue untuk menawarkan pekerjaan. Seminggu setelah itu, gue datang ke sana untuk interview dengan sang big boss, dan voilaa, keesokan harinya, 27 April 2011, gue sudah resmi jadi bagian dari NCSI, subsidiary company yang perusahaan induknya pernah gue audit itu;
  2. Hal paling sulit setelah memulai pekerjaan baru adalah menyesuaikan jam biologis gue. Udah terbiasa lembur bikin gue tetap baru bisa tidur paling cepat jam 11, tetapi bedanya, mau enggak mau, keesokan paginya gue tetep harus udah sampe kantor jam 8 pagi. Padahal waktu di EY, gue bisa dateng ke kantor jam berapa saja! Sulitnya adaptasi itu berhasil bikin gue mendapatkan rangking 3 di NCSI untuk urusan keterlambatan. Sigh…
  3. Banyak yang bilang, kerja jadi company accountant itu justru lebih membosankan daripada kerja jadi auditor. Padahal alasan utama gue resign dari EY itu justru karena bosan! Saking bosannya, dulu itu gue sering banget ngerasa ngantuk sepanjang hari. Awalnya gue masih ragu… gue sering ngantuk itu karena kurang tidur atau memang karena bosan? Empat bulan belakangan ini, gue kembali sering lembur gila-gilaan (yang mana lembur kali ini jadi semakin berat karena besoknya harus tetep bangun pagi), tapi ternyata… penyakit ngantuk sepanjang hari gue itu jarang banget kumat lagi! Dari situ gue tau… gue ngerasa lebih cocok kerja jadi company accountant daripada jadi auditor. Lebih stressful,  tapi yang penting tidak bosan gila-gilaan;
  4. Gue bukan tipe orang yang mudah beradaptasi. Perbedaan budaya kerja antara EY dengan NCSI sempat bikin gue ngerasa enggak nyaman. Gue sampe sempet pesimis bisa punya teman baik seperti teman-teman yang gue punya di EY. Tapi nggak disangka-sangka… semakin lama gue justru semakin dekat dengan beberapa teman di NCSI. Bulan lalu, gue pergi menginap satu malam ke Bandung dengan beberapa teman cewek di kantor; satu hal sederhana yang selalu gagal gue realisasikan dengan teman-teman di EY;
  5. Enaknya kerja di EY adalah sistem training yang memadai, yang bikin para auditornya jadi tidak pernah ketinggalan ilmu-ilmu accounting terbaru. Cuma training in house, tapi tidak pernah ada habisnya. Makanya gue sempet worry ilmu gue bakal out of date setelah resign dari EY. Tapi ternyata tidak juga… Meskipun kantor gue tidak punya in house training untuk bidang akuntansi, bos selalu mendorong gue buat ikutan training di luar kantor. Gue juga didaftarkan kantor untuk jadi member IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Kantor gue sendiri suka bikin in house training yang sifatnya mengasah soft-skill; satu jenis training yang tidak pernah gue dapatkan selama kerja di EY. Dan sekarang ini gue menyadari… mengasah soft-skill itu justru jauh lebih sulit daripada sekedar mengasah technical-skill;
  6. Gue juga sempat takut ‘tingkat kepintaran’ gue akan menurun drastis setelah resign dari EY. Bervariasinya jenis klien udah banyak mengasah ilmu pengetahuan gue selama kerja di sana. Beda sama company accountant yang cuma berkecimpung di satu industri yang itu-itu saja… Tapi ternyata bukan itu pula yang gue dapatkan. Gue justru merasa udah banyak berkembang dari segi technical skill selama satu tahun belakangan ini. Tanggung jawab yang besar bikin gue jadi semakin terpacu untuk mengembangkan diri. Selain itu nggak disangka-sangka, gue juga menemukan beberapa peluang untuk mempelajari dan menangani hal-hal baru yang tidak pernah gue temui sebelumnya. Thank God that I’m still smart like I used to be, hehehehehe;
  7. Satu hal yang bikin gue sempat ragu untuk resign dari EY adalah soal jenjang karier. Di EY, tiap tahunnya pasti ada promosi, dan juga ada kenaikan gaji yang terkadang, jumlahnya bisa sangat-sangat signifikan. Dan sejak awal gue tahu bahwa hal seperti itu jarang sekali bisa kita temukan di perusahaan-perusahaan lain. Tapi alhamdulillah buat gue, setidaknya untuk tahun pertama, kekhawatiran gue itu tidak terbukti benar.  Per akhir November 2011, gue dipastikan mendapatkan promosi ke SRG (induknya NCSI), untuk posisi yang sudah pasti tidak akan bisa gue dapatkan tahun ini seandainya gue masih kerja di EY.

Jadi kesimpulannya, nyaris semua rasa takut yang dulu gue rasakan itu tidak terbukti kebenarannya. Sehingga pada akhirnya gue belajar bahwa sebenarnya, bagaimana hidup kita (gue dan ex-auditor atau soon-to-be-ex auditor lainnya) setelah resign dari EY, pada akhirnya semua itu kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Hidup kita setelah resign dari EY akan sangat tergantung dari pikiran dan sikap yang kita tentukan setelah itu.

Jika tidak ingin bosan selepas kerja jadi auditor, maka jangan mencari pekerjaan yang banyak menuntut clerical things to do. Jika ingin tetap menjadi expert di bidang akuntansi, maka carilah pekerjaan yang job description-nya dapat mengasah accounting skill yang sudah kita punya. Jika ingin terus mengembangkan knowledge and skill, maka carilah perusahaan yang bersedia men-support kita untuk jadi lebih pintar. Dan jika tidak ingin karier jalan di tempat, maka carilah perusahaan yang masih punya peluang untuk berkembang.

Gue nulis blog ini sama sekali bukan berniat untuk bilang bahwa EY itu jelek. Gimanapun berkat EY, gue jadi dapat banyak pengalaman baru yang telah berkontribusi besar untuk perjalanan karier gue selanjutnya.  I used to have a good life at EY, but thank God that I have a better life afterward. So yes… one year ago, I have made a right decision to leave EY for my better life. For me, it was simply a right choice in the right time.