You Have Your Dreams I Have Mine

Gue punya teman di kantor, cowok, yang terkenal pintar, yang pastinya dia ini senior favoritnya manajer-manajer di tim kita. Banyak orang menilai dia itu tipe pekerja yang ambisius, tipe auditor yang pengen terus kerja di EY sampe level partner.

 

Beberapa bulan belakangan ini, gue dapat kesempatan buat kerja satu tim sama cowok ini. Dia seniornya, gue stafnya bareng satu cewek lain yang satu level sama gue di EY. Kurang lebih gue kerja bareng sama si senior ini di kantor klien selama dua bulan. Selama dua bulan itu, I found out so many things that I never knew about him before.

 

Actually, he doesn’t really into his job as auditor. Kalopun masih bertahan ya karena dia juga nggak ada kepikiran buat kerja jadi staf accounting di perusahaan lain. Lagipula ternyata, dia punya keinginan buat mendirikan bisnisnya sendiri. Tapi dia juga bilang, running a business is risky and it’s not his moment yet.

 

Pada akhirnya gue sempat menyimpulkan, dia bukan tipe orang yang neko-neko. Sama sekali bukan tipikal ambisius seperti yang orang kira. Bahkan, sekitar sebulan yg lalu gue sempet ngomong gini sama dia, “Kayaknya elo emang bukan tipe orang yang ngejar bola yah. Padahal apa enaknya sih, hidup tanpa ambisi?”

 

Yeah, gue akui gue emang tipe orang yang ambisius. Gue banyak banget pengennya. Gue pengen nerbitin novel, terus nanti duitnya mau gue pake buat kuliah S2. Setelah lulus S2, gue mau coba apply ke perusahaan konsultan bisnis kelas kakap. Setelah cukup lama kerja jadi konsultan, gue mau resign terus mendirikan konsultan ala gue sendiri.

 

Apa yang membuat gue jadi sebegitu ambisiusnya? Karena gue ngerasa, hidup gue jadi jauh lebih indah setelah gue berubah menjadi orang yang ambisius. Lalu apa yang gue lakukan untuk mengejar ambisi itu? Enggak ada sama sekali.

 

Sampe pertengahan tahun lalu, gue masih rajin ngetik novel gue secara konsisten. Gue juga masih rajin searching beasiswa S2 di luar negeri. Tapi, mendekati akhir tahun 2009, gue mulai sibuk lagi sama kerjaan, sering lembur termasuk di akhir pekan, ditambah beban pekerjaan yang mulai lebih berat daripada tahun sebelumnya. Singkat cerita, novel gue terabaikan, nyari-nyari beasiswa dan pekerjaan baru pun sudah terlupakan.

 

Setelah melewati masa-masa sibuk dari akhir tahun 2009 sampai awal tahun 2010, tiba-tiba gue ngerasa betah kerja di EY. Gue mulai mikir, I am good at this job, so why should I look for another one? Buat apa gue ambil resiko dengan banting setir ke bidang lain yang jauh berbeda?

 

Lalu tiba-tiba, saat gue lagi ngerasa betah dan nyaman sama profesi gue sebagai auditor, senior yang tadi gue ceirtakan tiba-tiba menyampaikan kabar yang sangat menggemparkan… dia mau resign. Bukan cuma sekedar statement, dia udah bikin surat resign dan udah ditandatangani sama salah satu manajer di tim kita (fyi, di tim gue ada 3 orang manajer).

 

Malam harinya, entah kenapa gue nggak bisa tidur. Sempet tidur tiga jam, tapi kemudian kebangun lagi jam 2 pagi. Akhirnya gue nonton bola di RCTI, dengan harapan, bosen nonton bola bisa bikin gue tertidur lagi (sorry to say, football match is boring to me).

 

Ternyata, sampe pertandingan itu selesai, mata gue masih terjaga. Gue coba tidur, tapi yang ada gue malah terus-terusan kepikiran sama si senior yang tiba-tiba resign itu. Waktu itu gue pikir, jangan-jangan dia ada masalah berat yang bikin dia terpaksa resign dan pulang ke Bandung. Atau jangan-jangan… dia sangat-sangat tertekan sama kerjaan di kantor sampe akhirnya memutuskan buat resign. Dan terus terang, sebagai orang yang paling sering ngobrol sama dia selama 2 bulan di kantor klien, gue ngerasa syok. Kenapa gue nggak bisa nebak rencana resign dia sama sekali? I am usually good at guessing something.

 

Gue pun mutusin buat mulai menginterogasi temen gue ini. Berbagai dugaan, mulai dari yang masuk akal sampai yang paling konyol gue lontarkan langsung ke orangnya. Tapi ternyata, alasan dia simpel aja: dia cuma ngerasa ini udah waktunya buat dia berhenti dan memulai bisnisnya sendiri.

 

Gue emang syok dia mau resign. Dan… yah, gue juga sedih karena bakal kehilangan satu orang teman. Tapi seperti yang gue bilang ke dia, “Yah… look at the bright side, akhirnya elo mulai ngejar bola.”

 

Sekarang gue tau, dia bukannya enggak punya cita-cita. Dia sendiri bilang dia punya banyak keinginan, tapi dia butuh waktu lama supaya punya keberanian untuk mengambil resikonya. Then there he goes… he is now about taking his own risk.

 

Gue lihat teman gue ini jadi lebih happy setelah menyatakan resign. And I am happy if my friend is happy. Tapi di balik itu, gue jadi teringat sama cita-cita gue sendiri. What the hell am I still doing here? Apa kabar novel gue? Apa kabar cita-cita gue yang setinggi langit itu?

 

Terus terang, seambisius apapun gue, dalam hati gue masih menyimpan rasa takut. Gimana kalo novel yang sedang gue tulis itu ditolak sama penerbit seperti yang pernah terjadi sama novel gue sebelumnya? Gimana kalo setelah capek-capek kuliah S2, gue tetep enggak berhasil dapet kerja di perusahaan konsultan kelas kakap? Atau katakanlah akhirnya gue berhasil kerja di konsultan bergengsi, apa nantinya gue bisa memenangkan persaingan di sana? Karena harus gue akui, ilmu manajemen dan analisa keuangan gue enggak secanggih ilmu akuntansi dan audit gue… So I’m not trully sure that I’m gonna survive in my dream job in business consulting firm.

 

Di saat yang sama, gue jadi teringat sama nasehat salah satu teman cowok gue yang lainnya. Dia pernah bilang, jangan suka kebanyakan mikir. Worry too much only makes me scare to move. Dan gue rasa, si senior gue itu juga sempat ngerasain apa yang saat ini gue rasakan. Cuma bedanya, he finally makes a move toward his dreams.

 

Tiga minggu lagi, senior gue ini efektif resign. Selama waktu yang tersisa itu, gue harus banyak belajar sama dia supaya nantinya bisa ngambil alih semua kerjaan dia di klien kita. Gue pengennya, tiga minggu cukup untuk gue memahami semua kerjaannya dia. Gue nggak mau nantinya masih ngerepotin dia dengan telepon, YM, atau SMS cuma buat buat nanyain soal kerjaan yang dia tinggalkan. Prinsip gue, if my colleagues wants to go, I’ll set them free.

 

Kata Oprah Winfrey, everyone comes to our life for a reason. Begitu pula sama teman yang sekaligus senior gue ini… Meskipun gue kenal dia cuma 1 tahun 10 bulan, dan meskipun cuma sempat dekat selama dua bulan saja, at least I finally know that reminding me to my dreams is the reason why there is him in my life even only for a very short time.

 

Jadi ya sudahlah, gue nggak mau mendramatisir keadaan. Bisa-bisa pihak yang bersangkutan jadi cekikikan gara-gara geli baca tulisan gue ini. Cukup sekian aja tulisan pertama dan terakhir gue tentang dia, dan abis ini, gue mau nerusin lagi novel gue yang sempat setahun tertunda itu:) 

 

PS: You have your dreams I have mine… Good luck.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s