Tentang Halte BEJ

Ceritanya malam ini saya nonton film terbarunya X-Men. Saya pergi nonton, sendirian, dalam keadaan galau atas masalah pribadi yang sangat mengganggu saya beberapa bulan belakangan ini. Bolak-balik saya ingin menyelesaikan masalah itu, tapi saya selalu saja mundur di menit-menit terakhir. Saya menyimpan rasa takut bahwa usaha saya untuk menyelesaikan masalah itu malah hanya akan membuat saya semakin menderita. Sampai lama-kelamaan, saya mulai merasa terlalu capek menanggung beban perasaan saya sendiri. Saya merasa unfinished business saya itu sungguh sudah harus diselesaikan secepatnya.

Selesai nonton di Pacific Place, saya menyeberang jalan ke Halte BEJ. Ada sederet taksi berjejer di depan PP, tapi saya malah menyeberang jalan. Saya kangen duduk sendiri di Halte BEJ; halte yang menyimpan begitu banyak kenangan selama 3 tahun saya bekerja di gedung itu.

Saya lalu duduk, sendirian, sambil menikmati angin malam yang terasa cukup sejuk di malam ini. Begitu banyak memori di halte BEJ bergantian melintas di benak saya. Kejadian demi kejadian lebih dari 7 tahun yang lalu terasa seperti baru terjadi kemarin sore.

Saya ingat pernah menunggu taksi berdua dengan cowok yang dulu pernah saya cintai. Kami sama-sama baru pulang lembur. Senior saya itu sebetulnya bawa mobil sendiri, dia enggak perlu ikut jalan sampai ke halte. Dia hanya ingin menemani sampai saya mendapatkan taksi untuk pulang. Persis kebaikan dia yang seperti itu yang dulu membuat saya jatuh hati. Dia enggak pernah sempat menjadi pacar saya, tapi dia akan tetap selalu menjadi seorang teman untuk saya, dan mungkin, kami bisa berteman untuk selama-lamanya.

Kemudian saya juga masih ingat jelas saat EY mengadakan year end party yang mengharuskan karyawannya datang dengan kostum bertema. Saya ingat kami beramai-ramai berfoto di halte BEJ sebelum gantian menyeberang jalan ke lokasi pesta yang berada persis di seberang gedung kantor kami itu.

Saya bahkan masih ingat hari di mana saya mendengar soal penyakit yang diderita teman baik saya sambil berjalan menuju halte BEJ. Saya masih ingat betapa sedih saat mendengar teman saya itu harus hidup dengan penyakitnya untuk selama-lamanya.

Yang paling pahit, saya pernah berjalan meninggalkan halte BEJ di saat sedang turun hujan rintik-rintik. Senior yang saya sayangi itu memutuskan untuk resign, dan saya merasa ditinggalkan. Emang dramatis banget sih ya waktu itu, tapi saya jadi mengerti kenapa selalu ada saja adegan orang menangis di bawah hujan baik itu di sinetron atau film layar lebar. Alasannya sederhana: karena air hujan akan menyamarkan air mata yang turun dari pelupuk mata.

Kenangan terakhir saya soal halte BEJ adalah saat saya duduk di sana memikirkan masa depan karier saya. Ada keputusan besar yang harus saya pertimbangkan, dan saya baru mantap mengambil keputusan itu setelah duduk merenung di halte BEJ, tengah malam, sendirian.

Kembali ke malam ini, saya kembali menyadari ada keputusan besar yang harus saya ambil. Hanya bedanya malam ini, saya masih tidak tahu bagaimana hasil akhirnya. Kenapa bisa demikian? Karena untuk masalah ini, bukan saya yang harus mengambil keputusan. Saya hanya perlu memberanikan diri untuk meminta seseorang mengambil keputusan itu bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk diri dia sendiri.

Saya menghela napas setelah duduk agak lama. Saya harus segera pergi. Sudah terlalu malam untuk duduk di halte yang sudah sepi. Akhirnya saya pulang, dengan kemantapan hati.

Saya sudah melewati begitu banyak naik-turun dalam kehidupan ini… satu lagi rintangan tidak akan membuat saya mati menderita. Saya punya banyak sifat, tetapi penakut bukan salah satunya. Saya hanya perlu memberanikan diri untuk membereskan masalah saya sendiri, dan apapun hasilnya, insyaallah, saya akan baik-baik saja.

This too will pass, will not it?

Is It a Shame if We Go Back to God When this Life Knocks Us Down?

Pernah jadi orang yang baru taat beribadah setelah terlanjur terkena musibah? Musibah, masalah berat, patah hati, atau apapun itu yang menyebabkan hati terasa hancur berkeping-keping.

Saya pernah. Dan pertanyaannya: is it okay to do that?

Dulu saya pernah nonton satu episode salah satu American TV show (Desperate Housewives kalau nggak salah) yang menceritakan salah satu tokoh wanita yang tengah tertimpa musibah. Dia ingin kembali beribadah ke gereja, tetapi dia malu pada Tuhan karena sebelumnya dia seperti sudah melupakan keberadaan Tuhan-nya itu.

Kemudian sahabat wanita itu menasehati, “Ketika anak-anakmu sedang terkena masalah, bukankah kamu ingin mereka mengadu pada kamu; ibu mereka, dan bukan pada orang lain di luar sana?”

Episode yang cukup berkesan buat saya. Pengingat yang baik bahwa Tuhan akan selalu menerima kita kembali kepada-Nya, meskipun kita sempat melupakan keberadaan-Nya. Ia akan lebih ingin kita datang mengadu kepada-Nya daripada mencari pelampiasan lain yang belum tentu baik untuk diri kita ini.

It’s the beauty of believing in God, isn’t it? You will always have Him to come home to, even when you are all alone. And that makes me never feel alone. Never again.