I Didn’t Change, I Evolved

Ceritanya tadi pagi, Arfa keponakan gue iseng bongkar-bongkar isi rak buku gue. Dia menarik keluar buku tahunan SMA gue dulu. Arfa tanya sama gue, “Foto Aunty yang mana?”

Gue lalu membuka buku itu sampai ke halaman yang menampilkan biodata gue. Dan gue terdiam sejenak. Lalu gue ketawa cekikikan, sendirian… menertawakan foto dan tulisan gue di buku itu.

Foto gue di buku itu tampak pucat. Boro-boro pakai lipstik dan eyeliner, pakai bedak juga tidak! Dan yang paling lucu adalah kutipan yang gue tulis di biodata itu, “Cinta akan abadi selama ada di hati. Love you, guys!”

Oh my God… did I really write that? It was unbelievably cheesy! 😀

Dalam hati gue membatin… jika gaya penulisan gue persis seperti itu, pasti sudah enggak ada lagi orang yang mau baca blog gue ini, hehehehe.

Dari situ gue jadi teringat betapa berbedanya diri gue yang sekarang ini. Dalam hal apa saja? Berikut ini perbandingannya!

Sekarang: pakai jilbab mesti rapih… harus simetris kanan dan diri. Dulu: jilbab acak-acakan, miring sebelah juga gue tidak peduli.

Sekarang: rajin pakai make-up, rajin perawatan supaya wajah tidak jerawatan. Dulu: jerawat besar di sana-sini, wajah tiga kali lebih berminyak dibanding sekarang ini.

Sekarang: peduli dengan fashion, feminim, penggemar high heels. Dulu: pakai baju seadanya, cukup kaos longgar, jins kebesaran, dan sandal gunung.

Sekarang: pekerja keras, perfeksionis, idealis. Dulu: malas, asal-asalan, tukang nyontek.

Sekarang: percaya diri, optimis, I will fake it until I make it. Dulu: pemalu, minder, pesimis.

Sekarang: a go getter. Dulu: cukup ikut air mengalir… kalau dapat ya alhamdulillah, tidak dapat juga tidak apa-apa.

Dan yang paling penting, sekarang: alhamdulillah, hidup lebih bahagia dan lebih mudah merasakan syukur. Dulu: hidup seadanya, tidak neko-neko, tapi tidak sering merasa bahagia.

Itulah sebabnya gue tidak percaya bahwa seseorang tidak akan pernah bisa berubah. Kalau gue boleh menilai diri gue sendiri, yang gue lakukan bukan cuma sekedar merubah penampilan, tapi juga merubah kebiasaan, prinsip, dan pola pikir. Buat gue, itu sudah seperti berevolusi! Memang tidak mudah, tapi gue meyakini di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Make an effort to evolve, start from the little things. If I can do it, you can do it!

It’s Okay to Fail, but It’s NOT Okay to Feel Like a Failure

Pernah baca cerita sukses Jack Ma yang tersohor itu? Atau Oprah Winfrey, JK Rowling, Walt Disney, atau Colonel Sanders dari Kentucky Fried Chicken? Jika belum, coba Google dulu kisah sukses lima tokoh ini, baru kemudian kembali lagi ke blog saya ini.

Apa kesamaan lima tokoh besar tersebut? Mereka sama-sama pernah gagal, dan mereka sama-sama pantang menyerah, bangkit, bekerja keras, sehingga akhirnya sukses besar seperti mereka yang sekarang ini.

Tidak usah melihat jauh-jauh ke lima nama besar yang sangat jauh dari kehidupan kita, cukup lihat saja orang paling sukses yang kita kenal dalam hidup kita sendiri. Bisa jadi rekan kerja, klien, teman sepermainan, atau mungkin, anggota keluarga kita sendiri. Percayakah kalian jika saya bilang, mereka semua juga pernah mengalami kegagalan saat merintis karier mereka masing-masing?

Meski saya tidak mengenal semua orang sukses di dunia ini, saya tetap berani bilang bahwa semua orang sukses pasti pernah mengalami kegagalan. Bahkan orang yang sudah sukses pun tidak selalu menang dalam setiap ‘kompetisi’ yang mereka jalani.

Semua orang pasti pernah mengalami kegagalan.

Pasti pernah dipertemukan dengan orang lain yang memandang mereka sebelah mata.

Pasti pernah berhadapan dengan orang-orang yang berusaha menjatuhkan mereka.

Pasti pernah harus menghibur diri saat ada orang lain yang berusaha membuat mereka berkecil hati.

Pasti pernah mengalami keraguan. Frustasi. Putus asa. Dan lain sebagainya.

Pasti pernah mengalami penolakan yang membuat mereka nyaris merasa tidak cukup bagus untuk mimpinya sendiri.

Pasti pernah merasa takut gagal. Dan pasti pernah benar-benar gagal.

Hanya saja bedanya, orang yang sukses tidak lantas menyerah begitu saja.

Mereka berjibaku melawan rasa takutnya, mindernya, ragunya, frustasinya, stresnya, dan depresinya.

Mereka tidak pernah bosan untuk terus coba dan coba lagi. Bangkit dan bangkit lagi. Terus demikian, sampai akhirnya mereka menemukan pintu sukses mereka.

Mereka tidak mengharapkan keajaiban. Mereka tidak mengandalkan siapa-siapa. Mereka tidak menyalahkan keadaan. Mereka kuat dengan sendirinya, mereka berjuang, dan mereka tidak pernah berhenti hingga mereka benar-benar sampai di suatu tujuan.

Semua orang sukses pasti pernah gagal, tapi, mereka menolak untuk menyerah dan menganggap diri dan hidup mereka sebagai suatu kegagalan. Konon katanya, kita hanya gagal jika kita sudah berhenti mencoba!

Pemikiran itulah yang membantu saya untuk bangkit tiap kali saya merasa kalah. Tiap kali saya ragu untuk memulai terobosan baru dalam hidup saya sendiri. Mungkin saya tidak akan langsung sukses di perjalanan karier saya selanjutnya, tapi pelajaran yang saya dapatkan dari kegagalan itu akan membantu saya untuk kembali berusaha mencapai kesuksesan yang selanjutnya. Insyaaallah, selama saya terus mencoba, cepat atau lambat, saya akan sampai di tempat tujuan.

Mohon doanya, dan mari kita sama-sama mencoba!

The Art of Forgiveness

I’ve learned that not all people who looks forgiving are actually holding no grudge. And not all people who speaks the ugly truth having the hard times to forgive the others’ flaws. Forgiveness is not how it seems, it’s how it really feels inside our heart.

Sometimes, forgiving is easy. Sometimes, it’s hard and it takes times. And sometimes, we’re not even sure if we can come back from the pain they put us through.

On the other hands, asking for forgiveness is easy. Sometimes, it’s terrifying. But then sometimes, we don’t even think we have something to apologize.

Forgiveness is getting more complicated as we grow older. We don’t always want to, but we have to. It’s not always asked for, but we still have to. And I believe, that’s Eid is all about: to forgive and to seek for forgiveness.

I know that it’s always easier being said than being done. Some pain is just too much to take. Not everything requires apology to make things right, but in the same time, not everything can be solved and fixed by an apology.

With that being said, somehow I found my way to forgive the people whom I never thought I’d ever forgive. They never ask for forgiveness, I never say they are forgiven either, and it’s not like I’m willing to live a life with them in it like it used to be. But still, I forgive them, in my own way.

I hope, they forgive themselves for everything they did. Or if they still believe they didn’t do anything wrong, I hope that someday they will wake up and learn from it. And on top of all that, I sincerey hope that God will forgive them for all the wrong said and done. I hope, God will help them to be a better person, and help them with a light at the end of the tunnels. Apart from all the nightmare they put me through, they used to be the people who meant a lot and whom I cherished the most.

Forgive people even when they don’t ask for forgiveness. Or even when they don’t deserve any of it. Forgive them not for them, forgive them for you, for your soul and your peace of mind.

Finally, if I ever hurt you with anything I said or did, please do forgive me with a chance to restart all over again. I’m no pure angel, but I’m no pure evil either.

Please forgive me for being a straight-talking.

Forgive me for fighting for what I believed was right until it hurt you along the process.

Forgive me when I’m not always capable of controlling my own anger.

And for the people I care about, please forgive me for the tough love and for not always being nice all the times. When it comes to you, I’m not being mean, I’m being myself who wants nothing but the best for you and your life. Maybe, I just don’t know how to do it right.

As usual for all my blog readers, please forgive me if I ever wrote something offended to you. Wish you all a blessed Eid and a new beginning for you and the loved ones. Happy Eid mubarak and happy holiday!

My Whole Life is a Lesson to Love the Others

Recently I realize… I’ve been learning how to love others since the day I was born thirty years ago. I’ve learned how to love as a daughter, a sister, a friend, a colleague, or as a girl who falls in love.

I’ve learned how to tell people how I feel, knowing that silence is in fact not always golden.

I’ve learned to accept that I’m not perfect, and neither is anyone else.

I’ve learned to fight for the people I love, I even fight myself just to keep that feeling alive inside my heart.

I’ve learned to never give up easily on the people I care about.

I’ve learned to not forget someone’s else good deed just because one mistake they did.

I’ve learned that to love is to take and to give, equally, and to love is to be less selfish than I once was.

I’ve learned to give people their second chances. 

I’ve also learned how far I should go knowing that I should also love myself enough to walk away everytime I realize I deserve better.

I’ve learned to forgive, to let go, and be okay with it.

I’ve learned to heal myself from a heartbreak and to love again. To believe in humanity, again.

I’ve learned how blessed and loved that I really am. And I cannot ask for more.

Somehow I Know, I Have the Greatest Friends on Earth

Ceritanya hari ini gue sakit (lagi). Berawal dari flu, pagi ini kepala gue rasanya sakit banget. Gue sahur hanya seadanya, kembali tidur, dan saat bangun, kepala gue malah terasa lebih sakit dibanding sebelumnya. Mau minum paracetamol tapi sudah lewat waktu sahur. Jadilah gue ijin sakit untuk hari ini dan hanya berbaring lemas di atas tempat tidur.

Sekitar jam 3 sore, gue mulai bosan. Iseng-iseng gue Whatsapp sahabat gue di kantor sebelumnya. Gue bilang gue bosan karena hanya istirahat seharian di kosan saja. Teman gue ini lalu bilang begini, “Gue ke kosanlo deh. Gue bawain dokter sekalian, hehe.”

Awalnya gue kira dia cuma bercanda, tapi benar saja, sore menjelang buka puasa, teman gue ini muncul di depan kosan. Dia lalu menyodorkan sesuatu dari dalam ras ranselnya, “Ini gue bawain dokter kesukaanlo.”

Tahu apa yang dia bawa? DVD Grey’s Anatomy season 13! Teman gue ini emang tahu banget kalo gue penggemar berat Grey’s Anatomy sejak serial ini baru mulai tayang bertahun-tahun yang lalu. Senang rasanya punya teman yang sangat thoughtful seperti dia!


Hal ini mengingatkan gue dengan acara bukber dengan sahabat-sahabat dari bangku SMA hari Minggu yang lalu. We’ve been friends for sixteen years! It’s amazing, isn’t it?

Gue dan gank gue saat SMA itu punya kepribadian yang sangat bertolak belakang. Satu orang yang sangat humoris, satu orang yang sangat tomboy, satu orang yang sangat pendiam, satu orang yang sangat cerewet, ditambah dengan gue, si judes yang gila kerja, hehehehe. 

Gue dan keempat orang itu udah melewati banyak hal selama enam belas tahun belakangan. Ada up and down, ada jarak dan kesibukan yang memisahkan, tapi gue bersyukur, sangat-sangat bersyukur, gue dan mereka masih saling meluangkan waktu untuk sekedar bertukar kabar. I really can’t wait for our next trip to Bali September this year!

Selain mereka berlima, masih ada lagi sahabat yang sudah gue kenal dari bangku SMP. Dari bangku kuliah. Dan dari kantor pertama gue juga. Gue senang di mana pun gue berada, selalu ada sahabat baik yang menemani perjalanan hidup gue. 

I don’t have a thousand friends, but I do have a couple of the GREATEST friends on earth. And I cannot ask for more.

Pasar Malam Pinggir Jalan

Beberapa kali dalam sebulan, ruas jalan di depan kosan gue langganan dipakai untuk menggelar semacam pasar kaget. Pedagang pakaian, aksesoris, mainan, jajanan pasar, dan bahkan ada juga wahana sederhana untuk anak-anak kecil. Pasar malam di tengah kota Jakarta yang sangat sederhana tapi tidak pernah sekalipun tampak kekurangan pengunjung.

Suatu malam, gue melewati pasar dadakan itu di perjalanan pulang menuju kosan. Dari dalam taksi, gue melihat keluarga kecil berjalan bergandengan. Si anak terlihat gembira dengan balon merah di tangan kanannya. Begitu pula raut wajah ayah dan ibunya. Mereka bertiga tampak sangat bersemangat melihat-lihat barang dagangan yang digelar di sepanjang jalan.

Hanya begitu saja, hari gue saat itu menjadi lebih baik dengan sendirinya. Gue masih saja sering lupa… bahagia itu sederhana. Sesederhana menikmati malam bersama keluarga. Atau sesederhana berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.

Sejak malam itu, perjalanan melewati pasar malam yang awalnya terasa menjengkelkan saking ramainya, berubah menjadi terasa menyenangkan. Gue seperti menemukan satu lagi alasan kecil untuk bisa berbahagia.

Find your happiness, start from the little things.

Why do I Want to be an Entrepreneur? 

Beberapa bulan belakangan ini, gue mulai terpikir untuk menjalankan bisnis gue sendiri. Di satu sisi, gue jelas merasa sangat bersemangat, tapi di sisi lain, gue masih saja bertanya-tanya pada diri gue sendiri.

Do I really want to do this? And why would I want to do it?

Membangun perusahaan sendiri jelas jauh berbeda dengan sekedar pindah kerja ke perusahaan lain milik orang lain. Ada modal kerja yang jadi taruhan, yang kali ini dalam kasus gue, jumlahnya tidak sedikit. Dan kenapa gue sampai harus senekad itu?

Ada satu kekhawatiran yang sebetulnya gue simpan diam-diam… Bagaimana jika ternyata bisnis gue ini hanya pelarian gue saja? Masalahnya, gue punya kebiasaan over excited terhadap hal-hal baru sebelum akhirnya gue merasa bosan dengan sendirinya. Pernah ada yang bilang, yang paling sulit itu bukan saat harus menentukan pilihan, tetapi lebih pada saat harus bertahan pada satu pilihan. Teori yang sangat mengena buat diri gue ini.

Kemudian beberapa hari yang lalu, gue menemukan artikel keren ini via Linkedin. Dari semua gambar yang ditampilkan, ada satu gambar yang paling menarik perhatian gue. Berikut ini gambar yang gue maksud!


Sambil membaca tulisan di dalam gambar, sambil gue menilai diri gue sendiri. Masih belum cukup sampai di situ, gue juga mengirimkan gambar ini ke adik dan beberapa teman terdekat gue. Gue tanya sama mereka, “Menurutlo, gue yang mana?”

Lalu apa hasilnya?

Pendapat gue:

  1. Easily bored. Seperti yang gue tulis di atas: gue tipe orang yang pembosan. Di mana pun gue bekerja, gue selalu aja mulai merasa jenuh tiap kali sudah memasuki tahun ke tiga. Pernah satu kali bisnis kecil-kecilan, tapi hanya bertahan sebentar saja hanya karena gue cepat merasa bosan;
  2. Too impatient. Tiap kali gue punya ide yang gue anggap brilian, gue akan mulai tidak sabaran ingin cepat-cepat mewujudkannya. Hanya saja sayangnya, mewujudkan ide akan jadi lebih sulit saat harus berhadapan dengan begitu banyak kepentingan yang berbeda-beda. Benar-benar bikin gemas!
  3. Wants freedom above all. Entah kenapa, gue seringkali merasa “terbelenggu” sepanjang perjalanan karier gue selama 9 tahun belakangan ini. Meskipun banyak yang bilang bahwa gue ini an agent of change, tapi tetap saja… gue belum pernah menemukan freedom sampai pada tingkat yang gue inginkan dalam dunia kerja;
  4. Too ambitious. Bukan cuma gue ingin ini dan ingin itu, gue juga tipe orang yang senang membuktikan bahwa gue masih bisa menjadi lebih baik daripada diri gue di hari sebelumnya. Gue betulan bisa merasa kecewa jika gue sampai melewati satu tahun tanpa prestasi apa-apa; dan
  5. Been through school of hard knocks. Meski terdengar aneh, tapi pengalaman jatuh-bangun di dunia kerja malah membuat gue semakin yakin untuk memulai bisnis sendiri. Seringkali gue berpikir, “Is there anything that is even worse than what I’ve already been through?” Pernah melewati hal-hal sulit membuat gue lebih optimis bahwa insyaallah, gue juga akan bisa melewati rintangan-rintangan lainnya di masa depan nanti.

Bagaimana dengan jawaban adik dan teman-teman gue?

  1. Can’t have a boss. Mungkin karena gue sering banget curhat soal bos, siapapun bosnya, hehehehe;
  2. Too educated. Wow, this is flattering, hehehehe;
  3. Can sell ice to eskimos. This is flattering too. Entah kenapa ada saja orang yang menilai gue punya bakat sales;
  4. Addicted to risk. Ah, really?
  5. Wants freedom above all (akhirnya ada jawaban yang sama persis kayak jawaban gue sendiri, hehehehe).

Setelah mengevaluasi diri dengan cara seperti ini, gue mulai merasa lebih baik. Maybe, this is just meant to be, isn’t it?

Semoga bisnis ini bisa memberikan hal-hal yang belum pernah bisa diberikan oleh pekerjaan-pekerjaan gue sebelumnya, membuka jalan untuk hal-hal luar biasa lainnya, dan juga mempertemukan gue dengan orang-orang baru yang akan menemani petualangan gue selanjutnya. 🙂

The People I Need in My Life

One of the greatest lessons I learned from getting  older is to learn the things I like, want, and need for my own life. I’ve come to learn quality over quantities, and it includes the people that I need to have around.

I don’t need a thousand friends on my social media, I only need a smaller circle of people who truly care.

I don’t need dozens of social event invitations, I only need unforgettable moments with the loved ones.

And I don’t need a bunch of bride maids on my wedding day, I only need a couple of best friends who are always there in my ups and downs.

Why can’t I have all of that with more of people in my life? Because it takes a great amount of effort just to have a few of them in a longer run and that makes all of them very hard to find!

And why did I say they were hard to find? What precisely do I need from the people that count to me?

Here’s the short list!

  1. I need the people who is genuinely happy for me when my life is up on the sky (and not the ones who let their envy consumes themselves);
  2. The people who is genuinely upset when my life knocks me down (and not the ones who are secretly happy to see me fail);
  3. The people who think of my problems as if it were theirs;
  4. The people who can keep my secrets carefully;
  5. The people who never get bored with the stories and problems I share with them repeatedly;
  6. The people who always reply my text, even the not so important ones (and just because they understand it’s really important for me);
  7. The people who are always willing to forgive my flaws;
  8. The people who still believe in me and capable to see my lights even in my darkest times;
  9. The people who are always in my corner (even when I’m doing all the wrong things in public); and
  10. The people who make time for me, no matter how busy they are.

What makes it even more difficult? Because when I know how hard they try to do all that for me, I will also put my very best effort to do all that for them back. That’s why I said; quality over quantities. I would rather to spend my times and energy to the ones that really matter.

It would be great if you can have dozens of people like that in your life, but to me, I’m beyond grateful just to have a couple of them. I don’t know what I ever did in my past that makes me deserve every single one of them. Not only they are the people I need, they’re also the people I want and I love to have to be a part of my life. I hope, I really hope, we’re going to have each other for the rest of our life.

What If?

So I’ve been on something big, like really really big, in the past couple of months… and I’ve started to doubt myself.

Am I really going to do this?

Do I really know how to do it all?

Do I really have what it takes to make it happen?

Tried to treat myself a movie to distract me from all that crazy thoughts, but here I am… sitting on a wooden bench in Starbucks, wandering and still wondering all the things I’ve done to pursue this one big dream.

I know that I’m not a coward, I’ve never been one in my entire life, but still… doing what I’m doing at this age is beyond brave! What made me think I could survive this one too? It’s gonna change my life, but what if, it’s not gonna change my life in a good way?

I’m actually a believer that if I believe I will, then I will. But what if I’m wrong this one time? What if I’m wrong and I miserably fail? 

I really want to tell you that I go back home 100% sure that I will be just fine. But the truth is, I’m still doubting myself. Yes, I doubt myself, but make no mistake, it doesn’t mean I no longer believe in me. 

Yes, I might be wrong, BUT… what if I’m right? What if I’m right and I can make it all happen?

I don’t know, and neither does anyone else. I’ll never know, unless I try. Hence at least for now, if I believe I will, I will. Insyaallah.

Harus Dibedakan: Saran VS Hinaan

Entah kenapa, banyak dari kita yang lebih “mendengarkan” hinaan daripada saran yang membangun. Saat dihina: langsung dimasukkan ke dalam hati. Tapi saat diberi saran: masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Padahal seharusnya, kita hanya boleh mendengar saran, dan tidak perlu menerima hinaan apapun dan dari siapapun.

Bagaimana cara membedakan saran, masukan, dan nasehat dengan hinaan?

Saran diucapkan dengan tenang, secara konstruktif, dan atas niat membawa kebaikan untuk orang yang bersangkutan.

Sedangkan hinaan diucapkan berbarengan dengan amarah, secara menggebu-gebu, atas niat menyudutkan objek yang sedang dibencinya.

Saran yang konstruktif bisa jadi memang benar cerminan dari diri kita sebagai penerima saran, lain halnya dengan hinaan yang bisa jadi hanya luapan emosi dari orang yang mengucapkannya.

And don’t you know? Hurt people will tend to hurt another people.

Orang yang sedang sakit hati, atau sedang bermasalah dengan diri dan hidupnya sendiri, disadari atau tidak, cenderung berpotensi melukai orang-orang di sekitar mereka. Malah dalam kasus-kasus tertentu, hinaan mereka itu bukan hanya sekedar luapan emosi mereka saja, tapi juga cerminan atas kekecewaan mereka terhadap diri dan hidup mereka sendiri. Itulah sebabnya, saat mereka sedang marah, tidak selamanya kita punya andil dalam kemarahan mereka itu. Dan kalaupun ada, biasanya mereka hanya membesar-besarkan masalah kecil saja.

So maybe… it’s not you, it’s just them.

Kenapa gue bisa sangat yakin dengan teori gue ini? Karena gue juga pernah melakukan keduanya: memberi saran dengan niat untuk menolong, pernah pula mengucap hal buruk hanya karena terlarut dengan emosi yang sedang meluap. Saat gue memberi nasehat, tidak ada salahnya untuk didengar, tapi saat gue menyindir atau bersikap sinis, tolong tegur dan ingatkan. Dan jangan dimasukkan ke dalam hati! Gue tidak bermaksud demikian, jangan dengarkan isi kalimat yang bahkan langsung gue sesali segera setelah gue ucapkan. Jangan dengarkan sindiran yang pernah keluar dari mulut gue di saat gue sedang berada dalam titik terburuk gue. Orang yang tengah meluap emosinya bukan orang yang berada dalam posisi terbaik untuk memberikan meski hanya sepotong nasehat.

Bedakan saran dengan hinaan. Belajar menerima saran sama pentingnya dengan belajar untuk tidak menggubris hinaan. Jangan merugikan diri sendiri dengan terus menolak saran dari orang yang peduli, serta jangan pula merugikan diri sendiri dengan membiarkan hinaan orang lain mengkonsumsi pikiran dan energi dalam diri kita ini.

Be smart enough, and you’ll be more than just fine.