Kenapa Traveling Saat Remaja Justru Terasa Lebih Mudah?

Hari ini gue dan Nitya, teman baik gue di bangku SMA, flash back tentang beberapa perjalanan yang dulu pernah kita lakukan bersama-sama.

Selintas gue bertanya sama Nitya, “Kenapa ya… traveling di usia yang sekarang ini rasanya jadi lebih ribet? Sekarang ini gue jadi ngerasa harus selektif banget pilih teman seperjalanan, dan jadi punya prinsip untuk enggak pergi dengan jumlah orang terlalu banyak. Padahal dulu waktu SMA, pergi sama siapapun asyik-asyik aja, dan waktu pergi belasan orang pun, rasanya tetap asyik-asyik aja.”

Adik ipar gue menimpali, “Mungkin karena waktu jaman dulu itu kalo liburan tinggal terima beres… Jadi semuanya udah lancar.”

Nitya langsung bereaksi, “Enggak juga… liburan kita dulu nggak begitu.”

Dan cerita-cerita itu pun kembali meluncur dari mulut gue…

Tentang liburan naik bis umum dari Kampung Rambutan.

Naik bis antar kota yang penuh sesak sampai tidak semua orang kebagian tempat duduk.

Numpang duduk di kantor polisi, selama berjam-jam, sambil nunggu teman yang akan datang menjemput.

Sewa kopaja untuk sampai ke Anyer, dan di tengah jalan tol, eeeh… si Kopaja malah mogok!

Kemudian begitu tiba di Anyer, cuaca super panaaas… Kita pun terpaksa tidur dengan semua jendela dan pintu terbuka lebar demi mendapatkan hawa segar.

Terdengar seperti bencana? But it was fun! Kita malah asyik foto-foto di pinggir jalan tol sambil menunggu Kopaja diperbaiki dan bukannya sibuk ngedumel karena kepanasan.

Coba lihat hal-hal tidak menyenangkan yang pernah gue alami saat traveling di usia dewasa…

Teman yang wajahnya cemberut setiap kali nyasar di jalan.

Teman yang wajahnya cemberut saat mengunjungi tempat yang tidak dia sukai.

Masih mending kalau cuma cemberut, ada pula yang tidak mau menemani gue ke tempat yang sangat-sangat ingin gue datangi tapi tidak mereka sukai.

Teman yang terus mengeluh tentang buruknya fasilitas ini-itu padahal sebetulnya, mereka sendiri yang tidak mau keluar banyak uang untuk biaya liburan.

Teman yang enggak mau ikutan sibuk mempersiapkan ini-itu, tetapi giliran sepanjang liburan kerjaannya merintah ini-itu seenak udel.

Teman yang sangat perhitungan, tidak mau dia sampai rugi, tapi tidak keberatan bikin temannya jadi rugi.

Atau yang paling mengherankan, gue pernah dua kali mengalami ‘nightmare’ saat mengunjungi amusement park. Datang beramai-ramai, tapi semua orang tidak mau beli tiket terusan (entah dengan alasan bad mood atau harga tiket yang lebih mahal) dan dengan baik hatinya bilang mereka akan tunggu di luar selagi gue naik wahana-wahana itu SENDIRIAN. Padahal ya… mana enak sih, ngantri mainan sendirian? Dan buat apa gue datang ke sana bawa teman kalau gue hanya asyik bermain sendirian?

Insiden amusement park itu terjadi sama gue dua kali, dengan dua rombongan yang berbeda… sehingga sampai sekarang gue masih heran… kenapa? Kenapa selalu kesannya, mengunjungi amusement park itu adalah ide pribadi gue dan bukan atas kesepakatan bersama? Malah pada salah satu kejadian tersebut, sebenarnya saat itu gue sendiri tidak begitu kepingin datang ke sana. Bukannya gue enggak suka amusement park, tapi masalahnya pada saat itu ada 2 amusement park yang akan kita datangi sedangkan menurut gue, cukup pilih satu yang terbaik saja. Akhirnya gue tetap ikut ke kedua amusement park itu karena ada salah satu teman yang bilang dia suka amusement park dan ingin mencoba keduanya. Tapi saat sudah tiba, orang yang dulu memberi statement ingin main di sana malah bersikap seolah-olah datang ke sana adalah idenya gue!

Saat usia kanak-kanak sampai remaja dulu, amusement park yang gue datangi dengan teman-teman tidak pernah jauh-jauh dari Dufan. Hanya Dufan, tapi selalu menyenangkan. Kenangan rasa gembira yang selalu gue rasakan saat mengunjungi Dufan adalah hal yang membuat gue selalu menyukai amusement park. Tapi kenapa sekarang bisa lain ceritanya?

Anyer, 11 tahun yang lalu… Salah satu perjalanan yang paling menyenangkan semasa gue SMA.

Gue akui sekarang ini, gue sendiri bukan orang yang selalu bersikap menyenangkan sepanjang liburan… Gue suka ngerasa capek kalo nyasar melulu. Apalagi gue ini emang tipe orang yang malu bertanya sehingga sesat di jalan. Gue juga suka kesal kalau teman seperjalanan gue tidak disiplin dan serba ngaret, atau terlalu sering ceroboh sehingga mengganggu rencana perjalanan. Makanya gue heran… dulu, gue tidak begini. Atau setidaknya, gue tidak pernah merasa jengkel hanya karena hal-hal tidak berjalan sesuai rencana.

Jadi kenapa? Kenapa sekarang ini, gue sampai mengalami perjalanan yang malah bikin gue pengen pulang, mendapatkan teman perjalanan yang menyebalkan, atau bahkan, kenapa gue sendiri bisa bersikap sebagai teman perjalanan yang tidak menyenangkan?

Traveling nightmare seperti ini bukan hanya pernah terjadi sama gue… Sebelum gue mengalaminya sendiri, gue sudah pernah beberapa kali mendengar keluhan sejenis dari teman-teman atau dari beberapa travel writers. Dan kalau gue ingat-ingat kembali… semua keluhan orang lain pun, terjadi saat usia mereka sudah masuk kepala 2.

Jadi kenapa? Apa yang membuat perjalanan ala remaja terasa lebih mudah?

Sampai saat tulisan ini gue post, gue masih belum menemukan jawabannya. Tapi daripada repot-repot mencari jawabannya, gue lebih memilih untuk tetap bersikap selektif. Teman seperjalanan yang gue anggap menyenangkan akan gue pertahankan, untuk diajak pergi lagi di kemudian hari. Kemudian gue juga sedang berpikir… gimana kalo gue coba bepergian dengan travel mate semasa remaja dulu? Gue kepingin tahu apakah bepergian dengan mereka setelah dewasa masih sama menyenangkannya seperti dulu?

Jika ternyata jawabannya adalah YA (bebepergian dengan mereka tetap menyenangkan meski sudah sama-sama berusia dewasa), berarti kemungkinan besar, I was simply a lucky teenager: I had a lot of friends who were fun to travel with. Tapi jika jawabannya adalah TIDAK… well, mungkin gue harus kembali menganalisis, atau mungkin, justru gue yang harus instropeksi.

Traveling is supposed to be fun, and it supposed to make you closer to your friends, not breaking up with them as the journey end. Back to the past, traveling was always an unforgettable memory between me and my old friends.

Intinya gue cuma ingin punya cerita perjalanan yang menyenangkan, yang bisa kembali gue ceritakan kepada anak-cucu gue nanti, atau… untuk sekedar kembali dikenang saat gue berkumpul dengan teman-teman seperjalanan. I did it very well when I was a teenager, and I shall do it better after I’m a grown up. Otherwise, my traveling activity is just a waste of time, money, and energy. That’s it.

2 thoughts on “Kenapa Traveling Saat Remaja Justru Terasa Lebih Mudah?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s