MOS SMA, 7 Tahun Yang Lalu…

Hari ini, Ilham, adik sepupu gue, lagi sibuk bikin name tag buat kegiatan MOS besok pagi. Jadi ceritanya, adik sepupu gue ini baru saja masuk SMA. Dan… aktivitasnya menggunting dan menempelkan karton itu mengingatkan gue sama masa SMA gue sendiri.

Tujuh tahun yang lalu, gue juga pastinya pernah mengikuti kegiatan MOS. Waktu itu, gue dan Cicing, teman pertama gue di SMA 5, sibuk nyiapin berbagai keperluan mulai dari pita merah putih, karton, tali rapia, spidol dan lain sebagainya.

Selain atribut MOS yang identik dengan culun dan aneh itu, ada dua hal yang tidak pernah gue lupakan dari acara MOS SMA: surat cinta untuk salah satu kakak kelas, dan pertemuan pertama gue dengan cowok yang kemudian bolak-balik gue taksir selama tiga tahun di SMA.

Yang pertama, kita bahas dulu soal surat cinta. Please let me hide his name, gue juga kan enggak mau dituduh melakukan pencemaran nama baik;) Gue inget banget di surat cinta yang wajib dibuat oleh semua anak baru itu, gue menulis…

“Saya suka sama kakak soalnya penampilan kakak itu unik. Terutama… sepatu kakak yang mengkilap itu. Saya baru tahu ada orang yang pakai sepatu pantofel ke sekolah. Maksud saya… udah kayak bapak saya kalo mau pergi ke kantor setiap hari.”

Menurut gue saat itu, surat itu lucu dan pasti lain dari yang lain. Baru di kemudian hari gue mengetahui bahwa… sepatu pantofel dipakai ke sekolah itu sesuatu yang sangat wajar. Bahkan, sepatu pantofel jadi atribut wajib buat anggota Pramuka dan Paskibra… Yeah, begitulah dodolnya seorang anak baru SMA yang selama 3 tahun di SMP diwajibkan memakai sepatu warrior berwarna hitam-putih. Tahu kan, sepatu warrior… yang sekarang sering disebut-sebut sepatu Converse itu?

Lupakan soal si kakak kelas bersepatu pantofel, karena setelah itu benar-benar tidak ada kelanjutan apa-apa. Yang ada malah teman baiknya si Sepatu Pantofel yang entah kenapa suka ngelihatin dan sesekali bermanis-manis sama gue, adik kelasnya. Entah gimana asal mulanya, Intan – salah satu teman gue yang paling gila di SMA, menjuluki temannya Sepatu Pantofel itu dengan sebutan si Kelapa Sawit.

Yang masih gue ingat dari Kelapa Sawit adalah pertanyaan dia waktu gue ikut LDKS di Asrama Haji Pondok Gede. Waktu itu gue baru selesai antri mengambil makan siang. Di ujung meja prasmanan, si Kelapa Sawit melempar senyum sama gue, terus bertanya, “Riffa kok makannya sedikit banget? Nanti pingsan lho…”

Waktu itu gue cuma senyum-senyum tanpa menjawab apa-apa, lalu malam harinya, enggak ada angin nggak ada hujan, si Kelapa Sawit sok-sok galak sama gue pas acara jurit malam sedang berlangsung. Waktu dia lagi ngomel, gue membayangkan sebuah pohon kelapa (yang bentuknya mirip dengan pohon kelapa yang biasa gue lihat di pinggir pantai) sedang ngomel-ngomel sambil bertolak pinggang. Waktu itu gue pikir, mungkin Intan kasih dia nama Kelapa Sawit karena tubuhnya yang jangkung dan kurus itu.

Tujuh tahun kemudian alias beberapa bulan yang lalu, saat sedang dalam perjalanan menuju pedalaman Riau, barulah untuk pertama kalinya gue melihat bentuk pohon kelapa sawit itu seperti apa… pohonnya kuntet dengan daun yang menjulur sampai ke tanah. Oh oh… berarti tidak seharusnya gue menjuluki cowok itu dengan sebutan Kelapa Sawit, iya kan?

Well, balik lagi ke topik MOS SMA. Hal ke dua yang tidak akan pernah gue lupakan dari MOS SMA adalah pertemuan pertama gue dengan cowok yang di kemudian hari gue beri julukan si Bolong – lagi-lagi, nama si Bolong ini hasil pemberian Intan dan gue juga enggak pernah tanya kenapa gue dan teman-teman se-gank terus menjulukinya si Bolong, sampai sekarang.

Awalnya, gue benar-benar enggak tahu ada si Bolong di dalam gugus gue. Well, gugus itu semacam kelas sementara selama MOS berlangsung. Gue masih ingat, waktu itu gue dan Bolong tergabung di Gugus 6. Jadi siang itu, sedang dilakukan pemilihan Ketua Gugus 6, dan Bolong adalah salah satu calon yang diajukan oleh teman-teman SMP-nya. Lalu, dengan malu-malu, si Bolong berjalan pelan ke depan kelas. Saat itulah, dari meja gue yang terletak di pojok kanan paling depan, gue pertama kali melihat dan mengenal Bolong.

Waktu itu, saat melihat wajahnya yang masih bersih dan bersinar cerah, dengan polosnya gue berpikir begini di dalam hati, “He is gonna be someone for me, during this high school.”

Dan memang benar, nama Bolong selalu datang dan pergi di diary SMA gue selama tiga tahun lamanya. Beberapa kali gue sempat naksir bahkan cukup dekat dengan cowok lain, tapi tetap saja, selalu ada Bolong di hati gue, sampai akhirnya kelulusan memisahkan gue dan dia.

Jangan juga kamu menanyakan kelanjutan cerita gue dengan si Bolong setelah lulus SMA. Setelah lulus, tidak disangka-sangka akan sangat mudah melupakan dia. Gue mulai asyik sama cowok-cowok Chinese yang gue anggap imut di kampus, yang tentu saja, perbedaan mencolok antara gue dan cowok-cowok imut itu bikin rasa suka gue sama mereka juga tidak pernah terwujud menjadi kenyataan.

Entah kenapa, teman-teman SMA gue enggak pernah ada yang percaya kalo gue bilang gue udah lupa sama si Bolong. Salah gue juga yang terlalu hobi curhat sehingga jangan-jangan, hampir semua orang yang pernah sekelas sama gue juga tahu kalo gue pernah naksir berat sama si Bolong. Tapi bener deh, setelah lulus, segalanya menjadi benar-benar mudah. Malah, gue lupa apa alasannya, gue pernah nulis begini sama si Bolong via SMS beberapa bulan setelah kelulusan, “Tolong ya, elo jadi cowok jangan suka kegeeran!” Selain itu, sejak beberapa tahun yang lalu, gue tidak lagi tertarik dengan ide reuni SMA hanya gara-gara Bolong pernah bilang begini sama gue, “Udahlah Fa, reuninya nanti aja lagi, kalo kita udah pada kangen.”

Hah, emangnya dia pikir gue bikin reuni karena kangen sama dia gitu? Jadi ya sudah, gue enggak perlu lagi repot-repot mengabulkan permintaan reuni dari teman-teman sekelas. Gue toh sekali-dua kali dalam setahun masih suka ketemuan sama teman-teman dekat gue di SMA dulu.

Bagi gue, si Sepatu Pantofel, Kelapa Sawit, Bolong, serta cowok-cowok lainnya itu hanya bagian dari masa lalu yang menyenangkan. Menceritakan mereka di dalam blog, menanyakan kabar mereka sekarang, tidak sama dengan masih suka atau cinta lama bersemi kembali. Malah percaya deh, ketika kamu sudah bisa menulis dan menertawakannya, berarti kamu benar-benar sudah melupakan orang ybs. Dan bagi gue, menertawakan masa lalu adalah hal sangat menyenangkan untuk dilakukan.

So… let us look back and smile! Cheers!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s