One More Reason to Leave What’s Best on God’s Hands

Salah satu teman di kantor baru berangkat Umrah, dan seperti orang lain yang hendak berangkat Umrah pada umumnya, dia tanya ke gue, “Mau titip doa apa?”

Gue dengan cepat menjawab, “Semoga Allah tetap selalu memberikan segala yang terbaik buat gue.”

Hal ini mengingatkan gue dengan perjalanan Umrah gue sendiri beberapa tahun yang lalu. Waktu itu kebetulan gue sedang dihadapkan pada 2 pilihan: 2 cowok yang keduanya terlihat berusaha mendekati gue. Saat Umrah, gue berdoa minta dipilihkan yang terbaik oleh Allah. Lalu apa yang terjadi antara gue dengan 2 cowok ini? Gue tidak jadian dengan satupun dari mereka.

Setelah susah payah move on dari salah satu cowok yang gue sebutkan di atas, akhirnya, gue sempat kembali dekat dengan satu cowok baru yang tipe gue banget. Naksir pada pandangan pertama banget deh pokoknya. Ganteng, tinggi, pintar, rajin beribadah pula! Pikir gue saat itu, “He has everything I always wanted.” Gue sempat dengan sok tahunya berpikiran dia itu memang jodoh yang Allah inginkan buat gue (honestly, gue jarang banget dekat sama cowok alim kayak dia).

Cowok yang satu itu juga tidak sungkan menunjukan ketertarikan dia dengan gue. Dia juga cerita ke beberapa orang temannya soal perasaan dia ke gue. Sounds perfect and on track, no?

Waktu itu rasanya gue ngotot banget pengen cepat jadian sama dia. Harusnya mudah saja, tapi fakta malah menunjukan yang sebaliknya. Makin ke sini, hubungan gue dengan dia justru semakin rumit dan penuh drama. Banyak hal yang kemudian membuat gue dengan sangat sadar memutuskan untuk mulai jaga jarak dengan cowok yang satu itu.

Kalau ditanya sekarang, gue bersyukur banget saat itu gue tidak lantas jadian dengan cowok-cowok itu. Bukan soal mereka tidak baik buat gue, tapi lebih soal gue dan mereka memang tidak tepat untuk satu sama lainnya.

Mereka bukan tipe cowok yang akan bisa mengatasi gue dalam saat-saat terburuk gue. Begitu pula sebaliknya.

Mereka bukan juga tipe cowok yang bisa dengan tulus berbahagia atas setiap kemajuan dalam perjalanan karier gue. Tipe cowok yang menganggap pencapaian gue itu sebagai suatu “kekurangan” dalam diri gue ini.

Atau bisa juga terjadi, gue dan mereka punya prioritas yang berbeda. Salah satu sahabat gue sampai menasehati, “Jangan aja elo sampe kayak Luna Maya… Nunggu 5 tahun tapi akhirnya putus juga. Si Reino-nya nggak pernah niat nikahin dia ternyata. Luna Maya berharap itu bisa berubah, tapi nyatanya enggak kan.” Enggak ada benar-salah dalam hal ini karena bagaimanapun, tiap orang berhak punya prioritas untuk hidupnya masing-masing.

Don’t you see? We were just not meant to be! Padahal suka sama suka, tapi saat itu seperti tidak ada jalannya. Hal yang harusnya sederhana jadi luar biasa rumit dan bikin pusing kepala. Kalau dipikir sekarang, bisa jadi, itulah cara Allah menjawab doa gue: mereka bukan cowok yang terbaik untuk hidup dan masa depan gue. Mereka bukan cowok yang Allah pilihkan buat gue.

Sejak itu, moving on dari siapapun jadi terasa lebih mudah buat gue. Jika usaha terbaik gue tidak cukup baik untuk mereka, maka masalahnya hanya satu: bukan mereka orangnya. Allah hanya ingin gue menunggu lebih lama lagi. Dan hebatnya dari semua ini, keikhlasan gue itu malah membawakan lebih banyak kebahagiaan buat gue! Kenapa demikian? Karena hidup sendiri tanpa mereka di dalamnya ternyata jauh lebih baik daripada hidup dengan terus-terusan berusaha mempertahankan sesuatu yang secara konstan membuat gue merasa sedih dan patah hati.

Baru kemarin, sahabat gue yang mencetuskan teori soal Luna Maya itu juga bilang ke gue, “You are stronger than you were 3-5 years ago, you know.”

Yes, I’m much stronger than I was long time ago, and it’s only because I know, I truly know, what might seem like a loss to me is actually a redirection to the person that I belong.

Don’t lose faith, don’t be afraid to take care of the people we care about, be brave enough to love them, and let God do the rest.

Apa Hubungannya Traveling dengan Pencarian Jati Diri?

Satu minggu sebelum keberangkatan gue ke Norway-Iceland yang baru saja berakhir kemarin siang, bos gue di kantor cerita dulu dia pernah berhenti kerja, jual mobil, dan pergi keliling South America. Dia bilang pada saat itulah dia merasa menemukan jati dirinya.

Cerita dia itu mengingatkan gue dengan popular quote dari David Mitchell yang satu ini, “Travel far enough, you meet yourself.”

Nah, pertanyaannya: memang apa hubungannya sih antara traveling dengan pencarian jati diri?

Beda orang bisa jadi beda jawabannya, tapi berikut ini jawaban pribadi yang gue tulis berdasarkan pengalaman gue pribadi juga.

Traveling membantu kita berpikir lebih jernih

Melepaskan diri dari kegiatan rutin sehari-hari memberikan diri gue ruang untuk berpikir lebih jernih. Fokus gue tidak lagi soal deadlines, konflik dengan keluarga, dan lain sebagainya. Saat traveling, isi pikiran gue menjadi lebih jernih, lebih fokus pada diri gue sendiri, dan lebih terbebas dari opini-opini orang lain di sekitar gue yang secara tidak disadari bisa membuat gue berusaha untuk menjadi orang yang diinginkan oleh orang lain dan bukan orang yang gue inginkan untuk diri gue sendiri.

Traveling menguji batas toleransi kita

Traveling ke tempat yang luar biasa asingnya buat kita itu akan sangat menguji kesabaran. Nyasar di jalan, ketinggalan kereta, hampir kehabisan uang dan lain sebagainya. Belum lagi konflik-konflik sepele yang bisa terjadi antara kita dengan teman-teman seperjalanan. Semua itu sudah membantu gue untuk mengenali batas toleransi gue; apa yang masih bisa gue maklumi serta apa yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa gue terima. Jika sudah demikian, pengambilan keputusan penting di masa yang akan datang akan jadi terasa lebih mudah untuk gue lakukan.

Traveling mengajarkan kita cara-cara ajaib untuk bisa survive sepanjang perjalanan

Contohnya? Gue belajar cara menghemat energi yang paling cocok buat gue dari serangkaian trip yang pernah gue lakukan. Dari situ gue jadi tahu batasan aktivitas fisik yang boleh dan tidak boleh gue lakukan. Gue juga jadi belajar bagaimana cara yang paling efektif untuk meredakan emosi gue (kebanyakan marah-marah bikin trip jadi tidak menyenangkan dan buat gue itu sama saja dengan buang-buang uang, hehe). Pelajaran yang sama lalu gue terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan seringkali mendatangkan manfaat untuk diri gue ini!

Traveling membantu kita untuk menemukan apa yang kita suka dan apa yang kita tidak suka

Hidup ini menawarkan banyak banget pilihan dan traveling udah membantu gue untuk mengenali hal-hal apa yang kemungkinan besar akan gue suka atau tidak akan pernah gue sukai. Kenapa bisa begitu? Karena ada banyak banget keputusan yang harus gue ambil sebelum dan saat pergi jalan-jalan. Harus memilih tempat yang akan didatangi, harus memilih akomodasi dan alat transportasi, belum lagi pilihan yang harus gue buat di tempat saat terjadi hal-hal yang tidak gue perkirakan sebelumnya. Berkat semua itu, mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari juga jadi terasa jauh lebih mudah! Buat apa gue buang-buang waktu mencoba sesuatu yang gue tahu tidak akan pernah gue sukai? Ada kalanya gue tetap mencoba hal baru, tapi tetap ada batasannya. Membuat pilihan yang tepat itu rasanya benar-benar menyenangkan! It feels like my time has been very well spent!

Traveling membuat wawasan gue jadi jauh lebih luas

Saat jalan-jalan, gue banyak melihat, merasakan, dan mempelajari hal-hal menarik yang tidak pernah gue ketahui sebelumnya. Hal ini pada akhirnya bukan cuma memberikan wawasan baru buat gue, tapi juga perspektif atau sudut pandang baru atas berbagai hal yang sedang terjadi dalam hidup gue ini. Hal ini juga yang kemudian membantu gue untuk mendefinisikan diri gue sendiri (misalnya, siapa gue, seperti apa sifat gue, dsb…).

Jadi benar deh, traveling itu pada akhirnya memang bukan cuma sekedar pulang dengan cerita dan foto-foto bagus saja, tapi juga tambahan keyakinan soal siapa diri kita ini. Sudah beberapa kali traveling tapi masih belum pernah merasakan apa yang gue rasakan? Mungkin, traveling-nya masih kurang sering, masih kurang jauh, atau, jumlah travelmate-nya terlalu banyak. Coba deh sesekali traveling sendirian ke tempat yang agak jauh; itu trip pertama gue yang akhirnya membantu gue menemukan jati diri gue ini.

Enjoy your vacation and hope you’ll come home with a new real you inside!