Tadi malam, setelah rencana nontop Step Up 3D terpaksa ditunda sampe malam ini (padahal gue udah sempet-sempetin restock softlense supaya pas nonton 3D gak perlu nge-double kacamatanya, hehe), akhirnya gue putusin buat nonton Life As We Know It di FX yang terletak persis di seberang kantor klien gue. It felt like I need an entertainment as soon as possible aja gitu, hehe…
Tadinya gue berniat nonton film ini sendirian secara temen-temen sekantor yang juga berminat sama film ini not available for a movie tonight. Untunglah di last minutes, Arlene, salah satu temen sekantor gue berubah pikiran. Dan jadilah kita nyebrang ke FX berdua buat nonton film yang dibintangi Katherine Heighl ini.
Life As We Know It bercerita tentang Messer dan Holly yang dicomblangin sama sahabat mereka masing-masing. Sayangnya, kencan pertama mereka gagal total karena perbedaan karakter yang sangat mencolok di antara mereka. Messer orangnya santai dan urakan, sedangkan Holly cenderung disiplin dan terencana.
As time goes by, sepasang sahabat Messer dan Holly itu menikah dan punya anak bernama Sophie. Dalam berbagai kesempatan, Messer dan Holly beberapa kali ketemu lagi tapi tetap nggak pernah sekalipun ada kecocokan di antara mereka.
Lalu suatu hari, saat usia Sophie baru menginjak satu tahun, kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dan ternyata, kedua ortu Sophie sudah membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa jika mereka berdua meninggal, maka mereka akan mewariskan seluruh kekayaan mereka kepada Messer dan Holly, sekaligus menitipkan Sophie kepada kedua sahabat mereka itu!
Bisa ketebak, sisi lucu film ini apalagi kalo bukan kocaknya kerepotan Messer dan Holly dalam mengurus si kecil Sophie… Nggak usahlah ya gue ceritain betapa lucunya film ini. Besides actually, I am not a good movie reviewer. Yang pengen gue share di sini justru moral of the story dalam film ini.
Di awal-awal, sambil ketawa-tawa nonton filmnya, gue sambil mikir, “Gila yah, punya bayi itu repotnya setengah mati! Kerjaannya nangis melulu, suka muntah sembarangan, susah dikasih makan, gampang sakit, belum lagi saat harus berurusan sama pampers-nya si bayi!”
Sempet-sempetnya loh ya, pas nonton gue ngerasa kalo gue emang bener-bener belum siap punya bayi, hehehehe.
Dari situ, soal cerita sih gampang ketebak lah ya. Dari yang tadinya cuma merawat setengah hati, akhirnya Messer dan Holly jadi beneran sayang dan peduli sama si kecil Sophie. And of course, two of them are finally falling in love!
At this point, yang gue pelajari adalah bahwa pada akhirnya, kerepotan ngerawat bayi itu sifatnya worth it. Gue jadi bisa memahami keinginan salah satu temen gue yang berniat resign setelah punya anak hanya untuk melihat anaknya itu tumbuh besar.
Bukan berarti gue juga jadi kepengen resign after having a baby loh ya. Seenggaknya gue jadi paham apa yang dimaksud teman gue itu sebagai melihat anaknya tumbuh besar. Gue baru tahu dari film ini bahwa adalah penting buat setiap ortu untuk melihat langkah kaki pertama anak-anak mereka. Dan adalah suatu unforgettable moment for every woman to hear her baby calls her mommy for the first time. Dan… yeah, setelah dipikir-pikir, kayaknya gue juga nggak mau melewatkan moment-moment istimewa seperti itu sih, hehe…
Bukannya mau mendramatisir loh ya, tapi sejak dulu gue emang terkenal sebagai not a big fan of a baby. Dalam bayangan gue, pasti bakalan stres abis ngurusin bayi bertahun-tahun lamanya. Gue malah pernah bilang sama temen gue, pasti enak kalo tiba-tiba anak kita udah langsung masuk SD^^ Dan gue juga lega banget waktu tante gue bilang dia bersedia dititipin anak gue nanti (soalnya kalo nyokap udah warning dari sekarang nggak bakal mau dititipin cucu, hehehehe).
Tapi dari film ini gue jadi berpikir… Probably having a baby is not as bad as I think this way. Buktinya, ada banyak banget pasangan yang secara sadar menginginkan anak ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Terus ya itu tadi, ada beberapa parental moment yang cuma bisa dirasakan oleh orang-orang yang merawat bayi mereka.
However, I still think that I’m not ready for such a big responsibility like that yet. Punya anak itu kan nggak sama kayak pelihara kucing yang kalo kita udah capek ngerawatnya bisa kita kasih ke orang lain… Nggak sama pula kayak dititipin keponakan yang cuma sehari dua hari aja, dan jelas enggak sama dengan sekedar nyubitin pipi tembem anak tetangga sebelah…
Gue maunya, saat punya anak nanti gue udah siap secara mental. Siap dibangunin suara tangis bayi setiap malam, siap terpaksa menelantarkan pekerjaan gara-gara anak gue sakit, dan yeah… siap berurusan sama poop, pee, and vomit (euw…). Selain itu pastinya, gue harus mapan secara finansial dulu lah ya. I want to buy everything the best for my kids, send them to the best school in town, and afford their expensive medical treatments.
Finally, gue cuma bisa bilang… gue salut banget sama temen-temen gue yang siap jadi ortu dalam usia muda. Because I think it’s true that a kid will make our life is no longer the same with the life as we know it.