Belajar dari Balita

Saya selalu takjub tiap kali melihat ponakan-ponakan saya belajar jalan. Melihat kegigihan anak sekecil itu, melihat jatuh-bangun mereka sampai akhirnya berhasil berjalan sendiri itu betul-betul pengalaman yang mengharukan!

Awalnya, saya hanya merasa amazed melihat anak sekecil itu sudah mulai berdiri, merembet, dan pelan-pelan belajar berjalan. Seperti melihat boneka lucu yang bisa jalan aja gitu. Lalu biasanya di awal, mereka akan sering jatuh-bangun. Kadang karena hilang keseimbangan, kadang karena mereka kelihatan sedang capek dan mau istirahat dulu. Kadang mereka sampai terjatuh, kadang mereka terlihat kesal dengan dirinya sendiri, kadang mereka juga sampai menangis saat jatuh dan kesakitan.

Meski demikian hebatnya, berapa kali pun mereka terjatuh, mereka akan bangkit untuk mencoba lagi dan lagi, sampai akhirnya mereka mulai bisa berjalan dan berlari kencang.

Melihat kegigihan mereka membuat saya berpikir, “Apa jadinya jika mereka kapok lalu menyerah dan enggak mau mencoba lagi?”

Dan saya juga berpikir, “Jika anak usia satu tahun saja bisa punya kegigihan seperti itu, kenapa kita yang sudah dewasa tidak bisa mempunyai kegigihan yang sama?”

Memang benar masalah kita sekarang sudah jauh lebih besar daripada sekedar belajar jalan, tapi kemampuan dan pengalaman yang kita miliki juga sudah jauh lebih banyak daripada anak usia satu tahun. Tidak seharusnya kita yang sudah dewasa ini mudah kapok saat dan mudah menyerah begitu saja baik itu dalam hal pekerjaan maupun kehidupan pribadi.

Jika hari ini kita bisa berjalan dengan lancar, ingat bahwa hal itu adalah buah dari kegigihan kita belajar jalan saat balita dulu.

Jika dulu kita memutuskan untuk terus mencoba lagi, kenapa sekarang kita jadi lembek dengan menyerah begitu saja?

Rasa kesal, sakit, dan trauma akan selalu datang dengan sepaket dalam proses pembelajaran kita. Dari usia kanak-kanak sampai lanjut usia nanti akan tetap sama jalan ceritanya, yang berbeda hanya tingkat kesulitannya saja. Itulah sebabnya penting untuk kita bertambah kuat seiring bertambahnya usia. Kita harus bisa menjadi manusia yang lebih besar supaya kita juga sanggup menghadapi masalah yang lebih besar. Pastikan kita akan selalu cukup kuat untuk lulus dari tiap tahap ujian kehidupan.

Bagaimana jika kita pernah menyerah atas sesuatu di saat usia kita masih lebih muda dulunya? Jika kegagalan itu masih menghantui, maka selesaikan dulu unfinished business kita itu. Akan lebih sulit berjalan maju ke depan jika masih ada masa lalu yang menarik kita ke belakang.

Berapapun usia kita saat ini, ingat selalu bahwa segala hal yang terbaik dalam hidup ini memang tidak pernah mudah untuk menjalankannya. Jangan manja dan jangan mudah putus asa! Jika kita jatuh 100 kali, bangkit lagi 100 kali, lagi dan lagi dan lagi.

My Appreciation to Sephora Pondok Indah

Persis hari ini dua minggu yang lalu, saya pergi ke Pondok Indah Mall. Ada keperluan photoshoot yang ingin saya beli di Uniqlo untuk klien saya selanjutnya. Sebelum pergi ke Uniqlo, saya mampir ke Sephora untuk beli BB cushion refill yang sudah hampir habis di rumah. Saya juga berkeliling toko untuk mencari eyeshadow palette untuk menggantikan palette yang lama.

Selesai belanja, saya langsung antri di kasir. Saat itulah perut saya tiba-tiba saja terasa panas. Badan lemas. Rasa capeknya melebihi rasa capek setelah lari kelilinng lapangan basket. Selesai bayar, saya langsung mencari tempat duduk. Saya betul-betul sudah enggak kuat berdiri. Saya memilih duduk di bangku milik Benefit.

SPG Benefit menghampiri saya dan bertanya, “Mau didandani, Mbak?”

Saya masih bisa menjawab, “Nggak, Mbak. Saya cuma mau istirahat. Perut saya mual.”

Rasa panas di perut saya terus merambat naik sampai ke atas. Pandangan mulai buram, saya mulai semakin tidak kuat menopang badan meski dalam keadaan duduk. Saya masih ingat saat itu saya merebahkan kepala di atas meja riasnya Benefit, dan waktu itu saya benar-benar takut.

Pikir saya itu, “What’s happening with me? No, I don’t want to be this sick.”

Tidak lama saya mendengar pegawai perempuan di Sephora bertanya pada saya, “Mau istirahat dulu di kantor, Mbak? Ada di samping kasir.”

Saya mengangguk. Saya berdiri, mulai berjalan, tapi kemudian rasa panas di perut saya itu malah semakin menjadi-jadi. Pandangan semakin buram. Kaki saya semakin lemas. Akhirnya saya letakan tas dan kantong belanja di atas lantai, dan saya lalu merebahkan diri di atas lantai… menutup mata, berharap bisa istirahat meski hanya untuk sejenak.

Sejak titik itu ingatan saya mulai agak kabur. Tidak lama saya mulai bisa mendengar beberapa orang yang mengerumuni saya. Mereka bilang saya pingsan.

Salah satunya bertanya, “Mbak masih kuat jalan?”

Saya tidak ingat saya jawab apa. Saya coba berdiri, dipapah dua orang di kanan dan kiri saya. Saya betul-betul tidak ingat siapa mereka, sesama pengunjung atau pegawai toko, yang jelas akhirnya saya berhasil jalan sampai ke kantornya Sephora. Saya kembali duduk dan diberikan segelas air putih hangat.

Entah kenapa saat itu, badan saya masih terasa lemas. Saya lalu bertanya ke SPG yang menemani, “Di sini ada sofa nggak, mbak? Saya ingin tiduran.”

Karena tidak ada sofa, akhirnya mereka menggelar kardus. Mereka menggunakan sesuatu sebagai bantal, dan entah dari mana datangnya, mereka juga memberikan saya selimut bersih. Saya berbaring dan baru saat itulah saya mulai merasa membaik. Saya hubungi orang rumah minta segera dijemput ke Sephora PIM.

Tidak lama kemudian, SPG Sephora juga membuatkan saya secangkir teh manis dan camilan untuk mengisi perut. Saya langsung minum dan teh manis itu betul-betul mengembalikan energi saya. It worked like a charm, somehow. Saya mulai bisa duduk agak lama sambil menjawab WhatsApp dari keluarga saya.

Kira-kira satu jam kemudian, keluarga saya datang. Saya pamit pulang pada orang-orang yang memberikan saya bantuan. Isi tas saya masih utuh, kantong belanja juga tidak berkurang satu kantong pun. Saya telah ditolong oleh orang-orang yang bukan hanya baik hati, tapi juga jujur dan berintegritas.

Saat tiba di rumah sakit, salah satu dokter saya bilang jika tidak ditangani secara benar, saya akan mulai langganan pingsan. Dia juga bilang, “Kalau kemarin itu kamu pingsan di tempat lain, belum tentu kamu semujur itu.”

Saya pun kembali mengucap syukur bahwa setidaknya, saya pingsan di tempat yang tepat.

Terima kasih banyak, Sephora Pondok Indah! Saya akan selalu ingat jasa baik karyawan di sana, semoga siapapun yang saat itu menolong saya dibalas kebaikannya berkali-kali lipat. Amiin.

Take Care of Your Heart (Literally)

Ceritanya seminggu ini saya dirawat di rumah sakit. Awalnya gara-gara pingsan di mall dan saat tiba di rumah sakit, pemeriksaannya melebar sampai ke jantung dan juga syaraf. Saya yakin banget cuma bermasalah di lambung, tapi ya sudahlah… toh biaya pemeriksaannya ditanggung asuransi.

Salah satu pemeriksaan yang harus saya lakukan adalah USG jantung. Rasa haru saat melihat jantung yang berdetak itu mungkin mirip-mirip dengan rasa haru saat seorang ibu pertama kali melihat janinnya via USG, hehehehe.

Saat melihat jantung saya di layar monitor, tiba-tiba saja saya teringat slogan berikut ini, “Sayangi jantung anda.”

Tiba-tiba saja, saya merasa kasihan dengan jatung saya sendiri. Kurang istirahat, enggak pernah olahraga, ditambah lagi saya bahkan enggak pernah repot-repot mengecek apakah saya sudah cukup memgkonsumsi makanan yang baik untuk jantung saya ini. Belum lagi stres dan tekanan ekstra dari asam lambung yang pasti juga sudah jadi beban tambahan untuk jantung saya ini.

Saat itu saya juga berpikir betapa saya seharusnya lebih mensyukuri jantung saya yang masih berdetak ini. Kalau bukan karena jantung yang masih berdetak, saya nggak akan punya cukup waktu untuk mewujudkan cita-cita saya, nggak punya cukup tenaga untuk pergi melihat dunia, dan juga nggak punya kesempatan untuk mengenal orang-orang hebat dalam hidup saya. Dan kalau bukan karena jantung yang masih berdetak, saya juga tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta.

Sejak detik itu juga saya bertekad… saya harus lebih peduli pada diri saya sendiri. Masih banyak impian yang belum saya capai, masih banyak tempat yang belum saya datangi, dan saya juga masih belum puas dengan kontribusi yang saya berikan untuk society. Rasanya masih banyak hal yang bisa saya lakukan dalam hidup saya ini. Saya harus tetap hidup… saya masih ingin jantung saya berdetak lebih lama lagi.

Alhamdulillah hari ini saya sudah boleh pulang. But you know what? Tidak lama setelah saya diperbolehkan pulang, saya mendengar kabar pasien di kamar sebelah baru saja meninggal dunia… karena penyakit jantung (dia meninggal di ICCU).

I’m discharged, well and healthy, but that man I never knew… he died on the very same day.

Mendengar keluarganya yang menangisi kepergian almarhum, tekad saya jadi semakin kuat; saya harus lebih menyayangi diri saya sendiri.

Hari Senin nanti, hasil tes jantung saya akan dibacakan oleh dokter di rumah sakit yang sama. Doakan hasilnya tidak menunjukan sesuatu yang serius yaa!

Have a nice weekend!

Don’t Hurt People Who Doesn’t Make You Bleed

Sudah sejak beberapa tahun belakangan, saya menyadari bahwa ada saja orang yang saat tersakiti, mereka malah meninggalkan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka itu. Ujung-ujungnya, mereka malah menyakiti orang-orang yang tidak bersalah.

Awalnya saya pikir, mungkin itu cuma perasaan saya saja. Mungkin, memang ada kesalahan yang pernah saya lakukan sehingga mereka pergi dari hidup saya begitu saja.

Kemudian tadi malam, saya membaca kutipan dari Jay Shetty; salah satu motivator yang tengah naik daun di US. Dia bilang…

When you’re hurt, you end up cutting people that didn’t make you bleed.

Itu jadi seperti validasi dari observasi saya selama ini. Tetap bukan hal yang pernah saya lakukan sih, tapi saya pernah beberapa kali ditinggalkan begitu saja oleh teman-teman tersekat saya saat mereka tengah terkena masalah dalam hidupnya. Saya sampai bingung, “What did I do wrong?”

Masih menurut pengamatan saya pribadi, penyebabnya bisa macam-macam. Ada yang hanya sedang ingin sendiri saja (entah sampai kapan… mereka sendiri mungkin tidak tahu jawabannya). Ada yang tidak ingin menyeret orang lain dalam permasalahan hidupnya. Dan ada pula yang sengaja melakukannya karena tidak tahan melihat kebahagiaan dalam hidup orang lain di sekitat mereka (menurut saya, ini yang paling jahat).

Padahal menurut saya pribadi, mengusir orang lain saat tengah tertimpa musibah itu hanya akan memperburuk keadaan saja sih. Sudah kena masalah, eh, kehilangan teman bicara pula! Niat mereka sudah baik, jadi buat apa menyakiti mereka dengan malah menyuruh mereka pergi? Saya malah bersyukur jika ada orang yang bersedia tetap tinggal saat hidup saya sedang susah-susahnya.

Hidup akan terasa lebih mudah jika kita tidak menciptakan drama kita sendiri. Tidak ada untungnya membuat masalah menjadi lebih rumit dari yang seharusnya. Saat tertimpa musibah atau ujian hidup lainnya, cukup fokus pada masalah yang sebenarnya. Kalaupun ada orang yang harus dijauhi, jauhi mereka yang memberi pengaruh buruk dalam hidup kita, dan bukan sebaliknya!

No drama anymore, okay? Have a great weekend! 💕

Jakarta, The City Where I Fall in Love

Tiap kali Jakarta merayakan ulang tahunnya, bawaan saya selalu mellow. Sebal sama macet dan polusinya, tapi selalu cinta dengan kenangan dan orang-orang di dalamnya.

Salah satu alasan terbesar kenapa saya cinta kota Jakarta adalah karena di sini lah, tempat saya pernah jatuh cinta.

Ada cinta monyet, ada cinta lokasi, ada pula cinta betulan. Semuanya terjadi di kota Jakarta tercinta ini.

Saya ingat di gedung mana saja saya pertama kali bertemu dengan mereka (baca: cowok-cowok yang pernah saya cintai). Pernah nge-date dengan mereka (saya bahkan masih ingat makan di mana dan duduk di meja sebelah mana!). Saya bahkan masih mengingat, di mana persisnya, saya terakhir kali bertemu dengan mereka.

Kota tempat saya belajar mencintai juga sudah menjadi kota tempat saya belajar patah hati. Belajar berbesar hati. Belajar melepaskan. Dan belajar untuk bangkit dan jatuh cinta lagi. Bagaimana saya bisa move on dari kota yang menyimpan beribu kenangan seperti ini?

Saya tidak tahu ke mana hidup akan membawa saya suatu saat nanti. Tapi saya tahu sejauh apapun nanti saya melangkah, Jakarta akan tetap selalu menjadi tempat saya untuk pulang. Jakarta akan tetap menjadi kota yang menyimpan sejuta kenangan, kota yang menjadi saksi betapa saya bertumbuh, saksi jatuh dan bangun saya saat belajar mencintai, lagi, dan lagi, dan lagi.

Tahu apa yang paling hebat dari semua ini? Jakarta juga sudah menjadi saksi jatuh dan bangun saya saat belajar mencintai diri saya sendiri. Lagi, dan lagi, dan lagi. Seolah tidak pernah ada habisnya, dan tidak akan pernah ada habisnya.

Selamat ulang tahun, kota Jakata! I’ll be forever in love, with you ❤️

Tentang Halte BEJ

Ceritanya malam ini saya nonton film terbarunya X-Men. Saya pergi nonton, sendirian, dalam keadaan galau atas masalah pribadi yang sangat mengganggu saya beberapa bulan belakangan ini. Bolak-balik saya ingin menyelesaikan masalah itu, tapi saya selalu saja mundur di menit-menit terakhir. Saya menyimpan rasa takut bahwa usaha saya untuk menyelesaikan masalah itu malah hanya akan membuat saya semakin menderita. Sampai lama-kelamaan, saya mulai merasa terlalu capek menanggung beban perasaan saya sendiri. Saya merasa unfinished business saya itu sungguh sudah harus diselesaikan secepatnya.

Selesai nonton di Pacific Place, saya menyeberang jalan ke Halte BEJ. Ada sederet taksi berjejer di depan PP, tapi saya malah menyeberang jalan. Saya kangen duduk sendiri di Halte BEJ; halte yang menyimpan begitu banyak kenangan selama 3 tahun saya bekerja di gedung itu.

Saya lalu duduk, sendirian, sambil menikmati angin malam yang terasa cukup sejuk di malam ini. Begitu banyak memori di halte BEJ bergantian melintas di benak saya. Kejadian demi kejadian lebih dari 7 tahun yang lalu terasa seperti baru terjadi kemarin sore.

Saya ingat pernah menunggu taksi berdua dengan cowok yang dulu pernah saya cintai. Kami sama-sama baru pulang lembur. Senior saya itu sebetulnya bawa mobil sendiri, dia enggak perlu ikut jalan sampai ke halte. Dia hanya ingin menemani sampai saya mendapatkan taksi untuk pulang. Persis kebaikan dia yang seperti itu yang dulu membuat saya jatuh hati. Dia enggak pernah sempat menjadi pacar saya, tapi dia akan tetap selalu menjadi seorang teman untuk saya, dan mungkin, kami bisa berteman untuk selama-lamanya.

Kemudian saya juga masih ingat jelas saat EY mengadakan year end party yang mengharuskan karyawannya datang dengan kostum bertema. Saya ingat kami beramai-ramai berfoto di halte BEJ sebelum gantian menyeberang jalan ke lokasi pesta yang berada persis di seberang gedung kantor kami itu.

Saya bahkan masih ingat hari di mana saya mendengar soal penyakit yang diderita teman baik saya sambil berjalan menuju halte BEJ. Saya masih ingat betapa sedih saat mendengar teman saya itu harus hidup dengan penyakitnya untuk selama-lamanya.

Yang paling pahit, saya pernah berjalan meninggalkan halte BEJ di saat sedang turun hujan rintik-rintik. Senior yang saya sayangi itu memutuskan untuk resign, dan saya merasa ditinggalkan. Emang dramatis banget sih ya waktu itu, tapi saya jadi mengerti kenapa selalu ada saja adegan orang menangis di bawah hujan baik itu di sinetron atau film layar lebar. Alasannya sederhana: karena air hujan akan menyamarkan air mata yang turun dari pelupuk mata.

Kenangan terakhir saya soal halte BEJ adalah saat saya duduk di sana memikirkan masa depan karier saya. Ada keputusan besar yang harus saya pertimbangkan, dan saya baru mantap mengambil keputusan itu setelah duduk merenung di halte BEJ, tengah malam, sendirian.

Kembali ke malam ini, saya kembali menyadari ada keputusan besar yang harus saya ambil. Hanya bedanya malam ini, saya masih tidak tahu bagaimana hasil akhirnya. Kenapa bisa demikian? Karena untuk masalah ini, bukan saya yang harus mengambil keputusan. Saya hanya perlu memberanikan diri untuk meminta seseorang mengambil keputusan itu bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk diri dia sendiri.

Saya menghela napas setelah duduk agak lama. Saya harus segera pergi. Sudah terlalu malam untuk duduk di halte yang sudah sepi. Akhirnya saya pulang, dengan kemantapan hati.

Saya sudah melewati begitu banyak naik-turun dalam kehidupan ini… satu lagi rintangan tidak akan membuat saya mati menderita. Saya punya banyak sifat, tetapi penakut bukan salah satunya. Saya hanya perlu memberanikan diri untuk membereskan masalah saya sendiri, dan apapun hasilnya, insyaallah, saya akan baik-baik saja.

This too will pass, will not it?

Is It a Shame if We Go Back to God When this Life Knocks Us Down?

Pernah jadi orang yang baru taat beribadah setelah terlanjur terkena musibah? Musibah, masalah berat, patah hati, atau apapun itu yang menyebabkan hati terasa hancur berkeping-keping.

Saya pernah. Dan pertanyaannya: is it okay to do that?

Dulu saya pernah nonton satu episode salah satu American TV show (Desperate Housewives kalau nggak salah) yang menceritakan salah satu tokoh wanita yang tengah tertimpa musibah. Dia ingin kembali beribadah ke gereja, tetapi dia malu pada Tuhan karena sebelumnya dia seperti sudah melupakan keberadaan Tuhan-nya itu.

Kemudian sahabat wanita itu menasehati, “Ketika anak-anakmu sedang terkena masalah, bukankah kamu ingin mereka mengadu pada kamu; ibu mereka, dan bukan pada orang lain di luar sana?”

Episode yang cukup berkesan buat saya. Pengingat yang baik bahwa Tuhan akan selalu menerima kita kembali kepada-Nya, meskipun kita sempat melupakan keberadaan-Nya. Ia akan lebih ingin kita datang mengadu kepada-Nya daripada mencari pelampiasan lain yang belum tentu baik untuk diri kita ini.

It’s the beauty of believing in God, isn’t it? You will always have Him to come home to, even when you are all alone. And that makes me never feel alone. Never again.

Jangan Jadi Orang yang Serba Salah

Sebisa mungkin, jangan pernah menjelma jadi orang yang serba salah.

Gaji segitu-gitu aja, complain… iri sama teman-teman seumuran yang sudah punya ini-itu. Tapi lalu dikasih kenaikan jabatan, juga complain… capek, stres, dan nggak tahan sama politik kantornya.

Masih jomblo, complain… bete ditanya “kapan married” terus-terusan. Akhirnya punya pacar lalu menikah, juga complain… banyak drama rumah tangga dan sifat asli suami ternyata enggak banget.

Belum dikaruniai anak, complain lagi. Akhirnya punya anak, masih saja complain juga… capek fisik, capek mental dan emosional karena anak rewel… kurang tidur dan tidak lagi punya cukup waktu untuk merawat atau menyenangkan diri sendiri.

Jika saya jadi Tuhan, saya akan bingung. Dikabulkan doanya salah, tidak dikabulkan juga salah. Maunya apa toh?

Yang paling berbahaya di sini bukan hanya sekedar complain-nya, tapi lebih kepada hilangnya rasa syukur atas anugerah yang kita dapatkan. Kita sibuk mengeluh sampai lupa berbahagia. Hal-hal yang dulu kita sebut berulang-ulang di dalam doa kini malah terasa biasa-biasa saja (bahkan, lebih sering terasa sebagai beban yang luar biasa beratnya).

Hidup sendiri dengan gaji yang tidak seberapa memang terasa lebih ringan. Lebih sedikit masalah, lebih sedikit tekanan, dan lebih sedikit konflik. Tapi, hidup yang serba biasa-biasa saja juga hidup yang paling tidak membahagiakan. Lama kelamaan hidup akan terasa kosong, tidak punya tujuan, tidak ada motivasi untuk hidup lebih lama.

Saya juga sering curhat soal pekerjaan saya. Soal bos-bos saya. Tapi saya tidak pernah mengeluh sampai berharap hidup saya kembali persis seperti dulu saja. Bagaimanapun, pekerjaan yang bikin stres luar biasa itu pekerjaan yang sudah mewujudkan begitu banyak impian saya, dan impian orang tua saya juga. Saya stres, tidak mudah menjalaninya, tapi saya bahagia kini telah bisa mencapai taraf hidup yang dulu saya impikan.

Buktikan pada diri sendiri bahwa kita pantas menerima segala yang kini telah kita miliki. Jangan banyak maunya tapi sedikit pengorbanannya…

Great things in life do not come easy, remember?

Boleh curhat, buat melepaskan beban… tapi jangan jadi rewel apalagi sampai menyulitkan orang lain dengan tingkah kita yang mulai taking things for granted.

Tetap kerja maksimal walaupun pekerjaan baru itu nyaris membuat kita going nuts.

Tetap cintai pasangan kamu lengkap dengan segala kekurangannya (ingat nggak, dulu seberapa gigih kamu menyebut nama dia dalam doa-doa kamu itu?).

Dan jangan pernah menyerah menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kamu itu!

Ingat bahwa anugerah yang kini kita miliki masih menjadi mimpi bagi begitu banyak orang di luar sana. Embrace it!

So please… less complaining and more efforts to get yourself back to the right track, okay?

A Reminder Before Lebaran: Don’t Let Messaging Technology Let You Lose The Human’s Touch

Semakin canggih teknologi, semakin berkurang pula sentuhan manusia (human’s touch) dalam halal bi halal yang seharusnya menjadi the real essence dari lebaran itu sendiri.

Berawal dari fungsi copy-paste pesan yang dikirim berulang-ulang melalui SMS, kemudian muncul broadcast satu pesan ke multiple contacts di BBM, dan yang paling mutakhir; WhatsApp Group atau messenger’s groups yang lain-lainnya.

Tidak ada salah dan benar dalam hal ini, tapi begini… apa yang membuat kita berpikir orang yang pernah kita sakiti perasaannya akan memaafkan perbuatan kita hanya dengan membaca satu pesan yang kita kirim ke semua orang?

Boleh saja menuliskan satu pesan yang kita copy-paste dari satu grup ke grup lain… ini toh memang sudah jadi bagian dari tradisi lebaran. Tapi jika ada orang-orang yang istimewa, atau orang-orang yang pernah kita sakiti perasaannya, jangan lah menganggap satu pesan massal itu cukup untuk halal bi halal dengan mereka.

Jika datang dan bertatap muka tidak memungkinkan, masih ada telepon. Jika telepon dirasa berat biayanya, masih ada direct message. Tuliskan secara personal, dengan tulus, dan sunggguh-sungguh.

Have the real talks instead of robotic messages. They are your friends/families, not your Company’s clients after all.

Mulai tahun ini, mari kita saling meminta maaf dengan cara yang layak dengan tujuan benar-benar mencari pemaafan dan bukan hanya sekedar basa-basi demi memenuhi tradisi Lebaran. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi diri kita sendiri, dan demi mereka yang pernah kita lukai perasaannya sepanjang tahun ini.

Selamat Idul Fitri bagi semua pembaca riffasancati.com! Mohon maaf jika ada tulisan saya yang kurang berkenan, semoga sempurna ibadah puasanya, dan selamat berkumpul dengan keluarga dan kerabat tercinta.

Wish you all a blessed Eid!

Am I Scared of Ending Up All Alone?

Baru saja ada teman yang bertanya, “Elo pernah takut end up hidup sendiri nggak, Peh?”

Gue langsung menjawab, “Enggak pernah. Gue enggak masalah sendiri, asalkan gue bahagia.”

And I meant it, every single word of it.

Gue emang udah kepengen settle down. Gue ingin punya kesempatan mencintai dan dicintai satu orang yang akan berbagi hidup dengan gue. Gue juga ingin mulai mengurus orang lain selain diri gue sendiri. Gue ingin memulai hidup baru, pembelajaran baru, lika-liku baru dan kebahagiaan yang juga baru.

Tapi, jika pernikahan hanya akan membuat gue lebih banyak menderita daripada bahagianya, lebih baik gue sendiri. Jika menikah sekarang dengan pasangan seadanya hanya akan mendatangkan penyesalan, lebih baik gue menunggu lebih lama sampai gue menemukan orang yang tepat. Dan jika saat itu nyatanya tidak akan pernah kunjung tiba, gue tetap ikhlas… gue akan coba berpikiran positif bahwa memang kesendirian itulah yang terbaik buat hidup gue ini. Nggak papa sendirian, asalkan enggak kesepian.

It’s okay to be alone, but it’s not okay to be lonely.

Lalu bagaimana caranya agar tidak hidup kesepian? Banyak orang mencari kesibukan tapi tetap saja merasa kesepian dalam kesendiriannya.

Caranya gampang saja: nikmati setiap hari dalam hidup ini, hal kecil, hal besar, nikmati dan berbahagia sebanyak yang kita bisa.

Gue menikmati hari-hari sibuk di kantor sama seperti gue menikmati bisa bangun siang di akhir pekan.

Gue menikmati dikelilingi teman-teman dan keluarga sama sepeti gue menikmati me time seharian di mall (bisa nonton, belanja, mani-pedi!).

Gue menikmati membuat analisis keuangan yang complicated sama seperti gue menikmati waktu yang gue habiskan untuk menulis blog ini.

Dan gue menikmati detik demi detik yang gue habiskan dengan si gebetan kesayangan sama seperti gue menikmati waktu bermain dengan ponakan-ponakan cilik gue.

Gue masih menanti hari pernikahan gue, tapi gue tidak perlu menunggu hari besar itu tiba hanya untuk bisa bahagia. Gue akan mulai berbahagia di masa-masa penantian karena buat gue, tidak ada yang namanya timeline hanya untuk bisa merasakan kebahagiaan. Kenapa harus demikian? Supaya kalaupun hari besar itu tidak pernah datang, hidup gue tetap tidak terbuang sia-sia. Gue sudah mencicil kebahagiaan gue sehingga akumulasi kebahagiaan gue itu akan cukup besar untuk menutupi kekecewaan yang mungkin nanti gue rasakan.

Jika kalian tanya gue sekarang, pastilah gue menjawab gue akan sangat bahagia jika gue bisa berakhir sampai pernikahan sama cowok yang sekarang gue sukai, tapi itu kan cuma sekedar keinginan gue. Apa yang gue inginkan belum tentu selaras dengan apa yang gue butuhkan. Dan sekali lagi, jika memang bukan relationship itu yang gue butuhkan untuk saat ini, maka gue lebih memilih untuk ikhlas.

I’ve tried my best, I’ll let God to do the rest.