I Finally Found My Life Calling

Seperti yang pernah gue tulis akhir tahun lalu di blog ini, ceritanya gue sedang bingung hidup gue ini mau dibawa ke mana lagi? Gue udah sangat happy dengan karier gue, sudah puas dengan hidup gue secara keseluruhan juga. Masih jomblo dan udah kepengen settle down sih, tapi toh gue enggak pernah jadi orang yang harus menunggu suatu momen tertentu terwujud hanya untuk bisa bahagia.

Seringkali gue bertanya pada diri gue sendiri. “What’s next?”

Kemudian suatu hari, salah satu teman terdekat gue akhir-akhir ini bilang begini, “Elo cocok jadi motivator.”

Teman yang beberapa kali pernah bilang betapa dia merasa terbantu dengan dorongan-dorongan yang gue berikan, yang kemudian membuat dia berhasil melakukan hal-hal yang sebelumnya dia pikir “impossible”.

Sejak dia bilang begitu, mulai teringat kembali begitu banyak kejadian yang menguatkan pendapat teman gue itu.

Mulai dari puluhan (atau mungkin sudah sampai ratusan?) pembaca blog gue yang bilang betapa tulisan gue sudah membantu mereka untuk melewati masa-masa sulit dalam hidup mereka. Itu belum termasuk pembaca blog yang menyampaikan ucapan terima kasihnya melalui orang-orang yang gue kenal.

Dan bukan cuma itu! Ada beberapa orang teman dan keluarga yang pernah bilang, “Ada nasehat elo yang masih jadi motivasi gue dari dulu sampai sekarang.”

Pelan-pelan gue mulai berpikiran, “Is this it? My next big thing in life?

Kemudian puncaknya kemarin lusa, iseng-iseng gue buka profil gue di LinkedIn dan gue mendapati ada lebih dari dua ribu orang mengunjungi profil gue 2 minggu belakangan ini! Padahal bisanya, jumlah profile viewers gue hanya sekitar dua ratusan selama 90 hari.

Bagaimana bisa? Ini pasti karena tulisan terakhir gue soal Pak Dosen yang ternyata sudah tembus lebih dari 18,000 views! Wow! It’s breaking my record on LinkedIn!

Dari situ gue jadi mantap memutuskan, “This is it! I want to help people to achieve a better quality of life!”

Apa yang membuat gue begitu yakin gue ingin merintis jalan sebagai motivator?

Ya, gue emang nggak punya masa lalu yang cukup traumatis yang biasanya efektif menarik minat audiences. Gue juga bukan milayrder yang sudah berhiaskan Hermes dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan yang lebih buruk lagi, gue ini masih jauh banget dari sifat mulia. Kalau kalian kenal gue in person, kalian pasti tahu betapa impatient dan nyebelinnya diri gue ini, hehehe.

Gue cuma manusia yang biasa-biasa aja, tapi, gue manusia yang tahu bagaimana caranya hidup bahagia. Tahu bagaimana caranya menjadi versi terbaik dari diri gue sendiri. Tahu bagaimana caranya mengenal dan mencintai diri sendiri, cara melindungi diri sendiri, dan bagaimana cara menikmati hidup, dengan cara gue sendiri. Dan menurut gue, akan ada lebih banyak orang di luar sana yang lebih bisa relate dengan gue yang cuma orang biasa ini.

Oh ya, tahu apa lagi yang memotivasi gue untuk memulai “profesi” baru ini?

Orang-orang yang pernah memotivasi gue adalah jawabannya.

Pak Dosen yang percaya gue akan bisa sukses saat gue bahkan masih ragu-ragu dengan diri gue sendiri. Bos yang percaya pada gue melebihi kepercayaan gue pada diri sendiri. Serta keluarga dan sahabat yang enggak pernah capek memotivasi di saat-saat tersulit dalam hidup gue.

I’m lucky enough to all of them in my life, and I want to be a person like “them” for many people out there.

Lalu bagaimana cara gue akan memulai?

Menulis langkah pertamanya. Gue akan mulai lebih sering menulis di blog ini plus tulisan pendek melalui LinkedIn. Setelah itu, gue juga akan mulai rekaman untuk masuk ke podcast, Youtube, dan social media lainnya. Kemudian gue juga sudah tidak sabar untuk mewujudkan mimpi gue sedari dulu: menulis dan menerbitkan buku gue sendiri!

I have hopes, don’t I? Doakan yaa!

Kenapa Gue Masih Memilih Untuk Mempercayai Keberadaan Tuhan dan Agama-Nya?

Ada obrolan menarik malam ini. Antara gue dan salah satu teman baik yang menganut atheism sejak 2 tahun belakangan ini.

Surprisingly, dia berani bilang begini, “Menurut gue, lebih besar kemungkinan elo yang jadi atheis ketimbang gue yang masuk Islam. Soalnya elo itu orangnya logis banget. You’re half way there.”

Gue enggak terlalu kaget mendengarnya. Ortu gue sering mengungkapkan kekhawatiran mereka soal gue yang cenderung lebih sekuler ketimbang anggota keluarga gue yang lainnya. Bokap sampe pernah bilang, “Jangan terlalu banyak pakai logika. Semua yang berlebihan itu enggak baik.”

Salah satu sahabat baik gue yang lainnya juga pernah bilang, “Semakin pintar dan semakin logis seseorang, semakin tinggi kemungkinan enggak lagi percaya dengan konsep ketuhanan. Elo ada kecenderungan kayak gitu.”

Pertanyaannya sekarang: is that true? Apakah benar gue punya kecenderungan untuk menjadi atheis?

Jawabannya: very big no.

Gue memang tipe orang yang sangat mengandalkan logika. Beberapa teori keagamaan memang pernah gue mentahkan hanya karena menurut gue enggak masuk akal. Tapi pertanyaan selanjutnya: jika demikian, kenapa gue masih percaya dengan keberadaan Tuhan dan memilih satu agama untuk gue yakini?

Jawabannya sederhana: karena gue memerlukan keberadaan Tuhan dan pilar-pilar agama-Nya untuk mengendalikan diri gue sendiri.

Gue pasti sudah menjadi orang yang sangat-sangat jahat, dan/atau sangat-sangat nakal, jika gue enggak punya rasa takut atas Tuhan dan jika gue enggak punya ajaran agama yang menjadi acuan gue untuk menentukan batas antara benar dan salah dalam keseharian gue.

Gue tipe orang yang sangat emosional. Tipe orang yang marahnya meledak-ledak. Gawatnya lagi gue bukan tipe orang yang takut dengan orang lain, bukan pula tipe orang yang takut berurusan dengan konflik. Berantem ya berantem aja gitu. Meski demikian, gue bukan tipe orang yang suka membalas dendam. Bukan orang yang senang mati-matian balas menyakiti orang lain yang menyakiti perasaan gue. Ada kalanya orang terdekat gue sampai berkomentar, “Elo terlalu baik sama mereka. They don’t deserve it.”

Kenapa bisa begitu? Karena ajaran agama gue. Gue masih jauh banget dari akhlak yang sempurna menurut Islam, tapi setidaknya, gue cukup bisa menahan diri gue sendiri. Gue memang galak, tapi gue enggak jahat.

Kemampuan menahan diri dari perbuatan jahat itu menjadi semakin penting dengan bertambahnya kekuasaan yang gue miliki (contohnya di lingkungan kantor). Ditambah lagi gue tipe orang yang sangat analitis sehingga sangat mudah untuk gue menemukan “kartu AS” yang dapat gue gunakan untuk menjatuhkan orang lain yang gue benci. Gue punya pilihan, dan agama gue mendorong gue untuk selalu memilih menahan diri. Ada rasa takut hidup gue akan berubah menjadi tidak tenang jika gue melanggar ajaran yang sangat gue yakini kebenarannya itu. Rasa takut itu juga yang pada akhirnya menekan amarah yang panas membara dalam diri gue ini.

Mungkin sebagian dari kalian, pada titik ini akan bertanya-tanya, “Kenapa harus banget ajaran agama yang jadi acuan? Bukankah sudah ada peraturan-peraturan lain yang bisa gue jadikan acuan untuk mengendalikan diri? Undang-undang misalnya?

Well, enggak semua perbuatan jahat yang menyakiti perasaan orang lain itu melanggar Undang-undang. Gue bisa saja menyakiti perasaan orang lain dan tetap terbebas dari jerat hukum. Sebaik-baiknya peraturan kenegaraan, tetap tidak ada yang mengatur ways of living lebih baik dari ajaran suatu agama.

Kemudian selain soal sifat gue yang emosional, agama juga membantu gue untuk tidak menjadi anak nakal meskipun sebetulnya, ada pikiran-pikiran nakal yang tersimpan di dalam benak gue. Ditambah lagi gue tipe orang yang sangat mudah merasa penasaran, hidup di lingkungan yang cenderung bebas, ditunjang dengan kemampuan ekonomi untuk membiayai kenakalan-kenakalan itu. Gue bisa melakukannya jika gue mau, tapi gue lebih memilih untuk menahan diri. Sekali lagi, karena ajaran agama gue jelas-jelas mengatakan, jika lebih banyak mudharat-nya (sisi negatifnya), lebih baik tidak usah dilakukan sama sekali. Dan tidak pernah sekalipun gue menyesali keputusan ini. Gue mungkin memang kurang pergaulan, tapi gue tidak pernah kurang kebahagiaan. Dan itu yang lebih penting.

God doesn’t need me to believe in Him, but I definitely need to believe in Him to keep me sane and to help me getting through my own life. I need Him in my prayers, in my decisions, and in every single time of my life; both the good ones, and the hard ones. When I lose my belief, I lose most of the part that makes me a decent human being. I am not who I am without my belief, and that’s not going to change. Never.

P.s.: Tulisan ini tidak berarti gue tidak menghargai atheis apalagi pemeluk agama lainnya… Teman atheis yang gue ceritakan di sini teman baik gue, orang yang sangat baik dan sangat gue hargai, dan gue tidak memandang rendah keputusannya. Toh di Islam ada ayat mengatakan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat yang buat gue, berlaku juga dalam interaksi gue dengan atheis atau agnostik di sekitar gue.

Whatever your belief is, let’s live in peace, shall we?

Emansipasi Bukan Berarti Tidak Menghargai Laki-laki, Bukan Pula Mengurangi Kewajiban Kami Sebagai Perempuan

Emansipasi buat gue artinya kesetaraan hak. Hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, promosi, dan lain sebagainya. Perempuan harus punya hak yang sama untuk mengejar cita-citanya, dan kami para perempuan harus dinilai berdasarkan kompetensi, dan bukan berdasarkan jenis kelamin.

Jadi sebetulnya, emansipasi tidak ada hubungannya dengan tidak lagi menghargai laki-laki. Membuat kami jadi bersaing dengan mereka, bisa jadi memang iya, tapi sekali lagi, dinilai berdasarkan kompetensi dan bukan berdasarkan jenis kelamin. Itu pula sebabnya gue menilai tidak adil jika suatu organisasi mempunyai kuota minimal pemimpin perempuan dalam organisasinya. Jika kandidat yang dinilai capable untuk duduk sebagai pemimpin secara kebetulan laki-laki semuanya, justru tidak adil jika perempuan dimenangkan hanya atas nama emansipasi.

Kemudian menurut gue, emansipasi juga tidak mengurangi tanggung jawab kami sebagai wanita. Tidak mengurangi tanggung jawab sebagai seorang isteri dan ibu dari anak-anak kami. Memang ada yang berbeda dari cara perempuan bekerja membesarkan anak-anaknya, tapi selama hal itu tidak mengurangi tanggung jawab atas suami dan anak-anak di rumah, menurut gue tidak ada salahnya. Ibu rumah tangga belum tentu ibu dan istri yang lebih baik daripada ibu yang bekerja di luar rumah, begitu pula sebaliknya. Tanggung jawab tetap sama, hanya cara dan metodenya saja yang berbeda-beda.

Gue juga tipikal perempuan yang masih meyakini emansipasi bukan berarti kedudukan istri harus setara dengan suaminya. Menurut gue bagaimanapun, kepala rumah tangga tetap harus suaminya. Suami harus tetap memimpin istrinya, dan istri tetap harus menerima suaminya itu sebagai pemimpinnya. Itulah sebabnya, penting buat gue mempunyai pasangan yang memiliki keberanian untuk memimpin gue. Orang yang berani mengatakan kesalahan apa yang baru saja gue lakukan, dan juga orang yang berani mengajarkan gue untuk bisa jadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Selamat hari Kartini buat para perempuan Indonesia! Apapun pilihan hidup kita masing-masing, mari kita jaga kemuliaannya! Mari kita buat Kartini bangga dengan menjadi versi terbaik dari diri kita ini. Bring it on, ladies!

Hal-hal yang Gue Lakukan Saat Susah Tidur

Pernah ingin tidur tapi nggak bisa tidur? Sudah lewat tengah malam tapi masih belum ngantuk juga. Bisa dicoba cara-cara ajaib yang pernah gue lakukan berikut ini, siapa tahu mempan!

  1. Baca buku matematika… Saking bencinya sama matematika, tiap baca buku ini, gue malah jadi ngantuk, hehehehe;
  2. Nonton film yang membosankan… Gue punya beberapa judul yang efektif bikin gue tidur saat nonton film itu. Salah satunya? A Star is Born;
  3. Makan sampai kenyang. Ini bukan kebiasaan yang menyehatkan sih. Selain bikin lambung jadi capek, ini juga bisa bikin perut jadi buncit;
  4. Buka aplikasi online shopping. Melihat isi online catalog entah kenapa bisa bikin gue pelan-pelan merasa ngantuk lalu tertidur;
  5. Dengar suara hujan, aliran sungai, atau jangkrik. Ini sebabnya, gue masih sesekali berlibur ke pedesaaan. Tapi suara seperti ini bisa didengar via aplikasi hp juga sih, cuma kurang natural saja kedengarannya;
  6. Cari teman ngobrol. Meskipun topiknya menarik, texting atau teleponan di atas tempat tidur itu efektif bikin gue ngantuk. Dan entah kenapa, percakapan yang menyenangkan sebelum tidur itu bikin tidur gue juga jadi lebih nyenyak;
  7. Baca berita. Ini juga efektif bikin gue ngantuk jika isi beritanya membosankan semua. Tapi ini bisa juga terjadi sebaliknya: isi berita sangat menarik sehingga gue malah terus-menerus baca berita sampai lupa untuk segera pergi tidur; dan
  8. Memejamkan mata dan membayangkan orang yang gue sukai, hehehehehe. It soothes me, somehow.

Punya cara-cara lain yang efektif buat kalian? Please share in comment box!

Kenapa Gue Tidak Mau Jadi Golput?

Jujur awalnya, gue hampir golput di Pemilu tahun 2019 nanti. Gue enggak happy dengan pemerintahan Jokowi, tapi gue juga pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan Prabowo (cuma insiden kecil, tapi terasa menyebalkan). Gue juga tidak terkesan tiap kali melihat mereka berpidato di ranah publik. Beda banget dengan saat gue melihat pidatonya Obama, misalnya.

Beberapa bulan berlalu, akhirnya hari ini gue menjatuhkan pilihan. Apa pilihan gue? Pilihan untuk setidaknya, gue tidak golput.

Kenapa tidak jadi golput?

Karena kejadian yang gue alami belasan tahun yang lalu.

Saat itu gue masih duduk di bangku SMA. Ceritanya sedang ada pemilihan Ketua KIR; ekstrakurikuler yang gue ikuti. Waktu itu gue kecewa karena senior-senior di sana tidak memilih gue untuk menjadi salah satu calon ketua KIR yang baru, sehingga akhirnya pada saat pemilihan, gue memilih untuk abstain.

Saat hasil pemilihan selesai dibacakan, Ketua KIR yang lama, mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota, “Hari ini ada satu suara yang abstain. Boleh tahu siapa orangnya?”

Semua orang diam. Gue hanya diam.

Dia melanjutkan, “Tidak akan ada konsekuensi… kami hanya ingin dapat masukan… apa alasannya? Apa yang bisa kami perbaiki untuk pemilihan berikutnya?”

Dan gue tetap diam. Tidak berani mengakui bahwa pada saat itu, gue memilih untuk abstain.

Si kakak kelas gue itu mulai kelihatan kecewa. Dan dia mengakhiri pertemuan dengan pertanyaan yang tidak terjawab.

Saat itu, gue jadi malu dengan diri gue sendiri. Gue yang tidak mengakui perbuatan gue itu betul-betul bukan diri gue yang biasanya. Walau sebetulnya, ada alasan kenapa gue tidak mau mengakuinya. Alasan yang kemudian menjadi alasan untuk gue tidak pernah lagi memutuskan untuk abstain di pemilihan-pemilihan lain yang harus gue lakukan sepanjang hidup gue.

Alasan apa?

Alasan bahwa sebetulnya, gue malu mengakui bahwa gue baru saja melakukan hal yang tidak ada gunanya. Golput itu tidak akan pernah mengubah apa-apa. Tidak ada manfaatnya. Jadi daripada bikin malu diri sendiri, gue akhirnya lebih memilih untuk bungkam. Dalam hati gue bertekad… tidak akan pernah lagi, gue menempatkan diri gue dalam rasa malu atas keputusan gue sendiri. Gue berjanji, gue tidak akan pernah golput lagi.

Lalu kenapa gue bilang golput itu tidak ada gunanya?

Karena saat kita memilih untuk golput pun, di pemilihan manapun, pasti akan tetap ada kandidat yang keluar sebagai pemenangnya. Dengan memilih abstain, kita kehilangan kontribusi untuk menentukan siapa pemenangnya. Dan bagi gue, tidak ada kontribusi itu artinya sama saja dengan tidak ada kegunaannya.

Selain soal tidak memberikan kontribusi apa-apa, golput bisa jadi pertanda pola pikir yang terlalu pesimis. Atau bisa juga, pola pikir yang terlalu sombong… merasa diri jauh lebih baik daripada para kandidat yang namanya tertera di kertas suara. Kembali lagi apapun alasannya, dengan tidak memilih, kita memilih untuk menjadi seseorang yang tidak memberikan kontribusi.

Masih ada waktu 4 hari lagi untuk menentukan pilihan. Pelajari masing-masing paslon, plus-minusnya, track record-nya, rencana kerja dan janji-janjinya… Gue juga masih tidak sepenuhnya sreg dengan pilihan gue nanti, tapi setidaknya, gue memberikan kontribusi. Setidaknya, gue tidak membiarkan satu suara gue terbuang sia-sia.

Selamat menentukan pilihan dan selamat menikmati pesta demokrasi!

Kadang, Melakukan Hal Baik itu Harus Dipaksa

Dulu, bokap seringkali menasehati…

“Zakat itu mesti dipaksa. Nggak apa-apa merasa terpaksa. Nggak usah nunggu ikhlas. Rajin shalat juga mesti dipaksa. Nggak usah nunggu dapat hidayah.”

Dan dalam begitu banyak hal lainnya, nasehat bokap itu ada benarnya!

Rajin belajar itu mesti dipaksa. Entah dipaksa orang tua, atau dipaksa oleh diri sendiri. Gue sering merasa terpaksa harus belajar saat kuliah dulu, tapi hasilnya sekarang betul-betul bikin bangga!

Rajin olahraga juga mesti dipaksa. Paksa diri bangun pagi, paksa diri melakukan aktivitas fisik yang hanya bikin diri kita merasa capek dan penuh keringat. Jika tidak dipaksa, bisa jadi kita tidak akan pernah memulai!

Menyisihkan waktu luang untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita juga lama kelamaan harus dipaksa. Harus disempatkan. Nggak usah nunggu ada waktu luang karena bisa jadi, akan selalu ada alasan untuk selalu sibuk kerja.

Memaafkan orang lain, memaklumi kekurangan mereka, dan berdamai dengan mereka juga seringkali harus dipaksa. Enggak ada manusia yang sempurna membuat enggak ada hubungan antara 2 manusia yang akan pernah bisa sempurna. Suka nggak suka, paksa diri untuk bisa menerima orang lain apa adanya.

Memperbaiki diri sendiri juga harus dipaksa. Memang enggak enak, capek, dan menjengkelkan. Tapi tetap harus diusahakan! Paksa siri sendiri untuk berubah, untuk keluar dari zona nyaman yang sebetulnya tidak terasa betulan bikin nyaman itu!

Orang yang tidak pernah memaksa dirinya untuk melakukan hal-hal baik dalam hidupnya hanyalah orang-orang malas! Orang-orang yang malas berubah dan sangat senang mencari excuse.

Gue bersyukur sepanjang hidup gue, selalu ada hal-hal yang mengingatkan gue untuk memaksa diri agar berusaha lebih keras dari sebelumnya. Hal-hal yang seringkali pahit, yang mengingatkan gue untuk melakukan hal-hal yang sudah seharusnya gue lakukan.

Great things in life require great efforts… and sometimes, we only need to push ourselves more, and harder than we already did.

Merasa terpaksa? Biarkan saja! Lama-lama, kita akan mulai merasa terbiasa.

Start pushing yourself, start from now!

Kekerasan Pada Anak… Salah Siapa?

Sudah lihat video seorang ibu yang mendorong anaknya keluar dari dalam mobil? Bukan cuma diusir, tapi juga didorong sampai jatuh. Di depan umum, jadi tontotan orang-orang asing, yang kemudian viral di dunia maya. Berawal dari Lambe Turah, berakhir di kepolisian.

Pertanyaannya… salah siapa?

Salah orang yang merekam dan menyebarkan videonya? Ini jelas opini ngawur! Gue enggak ngerti kenapa ada pihak kepolisian yang sempat-sempatnya mengancam hukuman pidana kepada penyebar video itu! Menurut gue, video ini justru sudah berkontribusi dalam upaya perlindungan anak dan bukan sebaliknya!

Salah anaknya? Ya, mungkin memang benar ada kesalahan si anak yang membuat ibunya menjadi marah dan gelap mata. Tapi bukankah kita semua tahu bahwa yang namanya manusia (apalagi masih anak-anak) sudah pasti pernah berbuat salah?

Beberapa hari yang lalu, gue baca komentar dari salah satu netizen yang bilang kurang-lebih begini, “Kalau ortu sampai marah dan memukul, itu pasti salah saya. Saya pantas dipukul dan saya harus instropeksi.”

Gue setuju harus kita harus instropeksi… tapi membenarkan pemukulan pada anak?

Rupa-rupanya, di Indonesia ini masih ada saja orang yang:

  1. Membenarkan kekerasan pada anak atas nama parenting (alasannya; demi kebaikan si anak); dan/atau
  2. Merasa punya hak milik dan hak penuh untuk memperlakukan anak mereka seenak jidat mereka saja.

Kenapa perlu ada undang-undang perlindungan anak? Untuk melindungi anak dari 2 tipe orang tua yang gue sebutkan di atas. Salah besar jika ada netizen yang bilang urusan rumah tangga bukan urusan pemerintah. Gue bahkan tidak menyalahkan netizen lain yang ikut keras (keras, bukan kasar) menyuarakan ketidaksetujuan mereka atas perbuatan si ibu meskipun sebetulnya hal itu bukan urusan pribadi mereka.

Gue betul-betul enggak paham dengan pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Katanya cinta, sayang, tapi kok dipukul dan disakiti? Jangankan memukul, melihat orang yang gue sayang sedang jatuh sakit saja rasanya sudah enggak tega!

Meski demikian anehnya, selalu ada saja anak yang dibesarkan oleh orang tua yang kasar yang mengaku berterima kasih atas didikan keras dari orang tuanya. Anak yang kemungkinan besar, akan mendidik anaknya dengan cara yang sama. Tapi masalahnya, tidak semua anak yang didik keras oleh orang tuanya bisa mengatasi trauma masa kecilnya. Tidak semuanya bisa move on dan benar-benar memaafkan orang tuanya. Coba pelajari dulu efek psikis dari kekerasan dalam rumah tangga dan tanyakan kembali pada diri sendiri… is that really what you want to happen to your loved ones?

Lagipula toh… anak yang tidak dibesarkan dengan kekerasan juga bisa survive dan sukses sebagai orang dewasa. Jika bisa dibesarkan dengan cara yang baik, kenapa harus dilakukan dengan cara yang buruk?

Jangan pernah membenarkan kekerasan, apapun alasannya. Bedakan batas antara parenting dengan domestic violence. Jangan pula menyalahkan diri sendiri saat ada orang lain yang berbuat kasar saat kita berbuat salah! Bahkan binatang pun tidak boleh diperlakukan dengan kasar! Please… always put that in your mind! You deserve to be treated much better.

Jadi kesimpulannya, siapa yang salah? Ibunya atau anaknya?

Anaknya mungkin saja salah, tapi ibunya jelas lebih salah.

Ingat bapak-ibu, tidak ada anak yang minta dilahirkan ke dunia. Anda sendiri yang memutuskan ingin punya keturunan. Punya anak adalah pilihan anda sendiri, maka bertanggung jawablah atas pilihan anda sendiri.

Setiap orang hanya punya masa kecil satu kali saja… dan kebahagiaan anak masih sepenuhnya bergantung kepada orang tuanya. Jangan terlalu dalam melukai anak-anak sendiri… anda tidak akan pernah tahu betapa kekerasan itu (baik verbal maupun physical) akan meninggalkan luka hati yang sangat dalam perasaan anak anda.

Confession of a Workaholic

Hari ini, gue cerita ke salah satu teammate di kantor soal obrolan gue dengan dokter internis tadi malam.

Dokter: Sering telat makan?

Gue: Sering.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja.

Dokter: Sering stres?

Gue: Sering.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja.

Dokter: Istirahat cukup?

Gue: Enggak. Tidur sehari kira-kira cuma 5 jam aja.

Dokter: Kenapa?

Gue: Kerja juga.

Mendengar cerita itu, teman gue tertawa kecil. Dia lalu bilang, “Ini persis yang waktu itu elo ceritain, Mbak. Problem elo besar, tapi happiness lo juga besar.”

Gue mengerutkan dahi. “Oh? Gue pernah bilang begitu ke elo ya?”

Teman gue mengangguk. “Iya. Waktu itu elo bilang, problem score elo 9 dari 10, tapi happiness score elo juga 9 dari 10.”

Gue tersenyum dalam hati. Memang persis itu yang gue bilang ke dia beberapa bulan yang lalu. Dan persis seperti itu pula yang gue rasakan selama 10 tahun belakangan ini. Selama 10 tahun; sejak gue mulai meniti karier gue.

Banyak orang yang mengasihani workaholic seperti gue. Nggak punya kehidupan di luar dinding kantor, katanya. Sering lembur, kerja sampai sakit-sakitan, masih jomblo pula! Tapi sejujurnya, gue enggak merasa perlu dikasihani. Karier gue telah memberikan gue begitu banyak hal yang tidak pernah gue dapatkan sebelumnya.

Apa saja?

Yang pertama, teman-teman terbaik sepanjang masa. Teman yang datang menjenguk ke kosan saat gue tengah sakit sambil membawakan DVD kesukaan, teman yang mengirimkan hadiah ke kantor baru gue untuk merayakan pertemanan kita yang sudah menginjak 7 tahun lamanya, dan teman-teman yang ikut sedih saat gue sedih, ikut bahagia saat gue bahagia. Tidak pernah ada teman-teman yang begitu menginginkan happy ending buat gue melebihi teman-teman yang gue temui di dunia kerja.

Masih ada juga bos-bos yang luar biasa. Bos yang percaya pada kemampuan gue di saat gue berpikir gue bukan siapa-siapa. Bos yang memberikan lebih dari yang kiranya berhak gue dapatkan. Bos yang memperhatikan wellbeing gue sampai ke hal yang paling kecil sekecil-kecilnya. Bos yang membuat gue merasa sudah menjadi pribadi yang utuh, yang membuat gue pelan-pelan mulai menyadari value dalam diri gue sendiri. Bos luar biasa yang tanpa mereka, gue mungkin bukan siapa-siapa.

Kemudian ilmu dan pengalaman yang membuat gue merasa “kaya raya”. Gue seringkali merasa telah belajar lebih banyak di dunia kerja ketimbang belajar di bangku sekolah sampai kuliah dulu. Senang banget rasanya jika gue bisa membagi ilmu gue ini kepada orang lain (seperti yang tadi gue bilang; gue jadi merasa kaya raya!). Dan pengalaman seperti itu tuh rasanya sangat menyenangkan! Gue enggak akan pernah merasakan betapa fulfilling-nya perasaan bahwa gue ini bisa berguna buat orang lain jika bukan karena pekerjaan gue 10 tahun belakangan ini.

Dan yang terakhir, karier gue ini juga yang kemudian mewujudkan mimpi-mimpi gue yang lainnya. Mulai dari lihat bunga sakura di Jepang, menginap di cave house di Santorini, sampai masuk ke dalam ice cave dan melihat aurora di Iceland. Jangankan itu semua deh. Sekedar tempat tinggal yang nyaman saja gue sudah sangat bersyukur! Gue juga masih bisa beli baju, tas, sepatu, dan apapun yang dulu cuma bisa gue lihat di halaman majalah saja.

Di balik segala hal yang menyenangkan dari karier gue ini, perjuangannya memang tidak mudah. Makin ke sini, pekerjaan gue terasa makin sulit dan banyak rintangannya. Semakin susah untuk sekedar bisa tidur nyenyak dan makan tepat waktu. Bukan sesuatu yang gue banggakan, tapi juga bukan sesuatu yang gue sesali.

My life is hard, my job is hard, but I’ve been having a lot of fun along my way.

Kalaupun gue bisa memutar balik waktu, gue tidak akan mengubah pilihan karier gue. Gue akan tetap memulai karier di Accurate walaupun itu bikin skripsi gue hanya bisa selesai “ala kadarnya”. Gue akan tetap memilih EY yang terkenal dengan jam lemburnya (pekerjaan yang kemudian memberikan gue penyakit lambung). Gue akan tetap memilih Niro, Lazada, dan Go-jek Group lengkap dengan segala suka-dukanya. Memang sulit dan terkadang menguras air mata, tapi gue sangat mensyukurinya! Entah apa jadinya jalan hidup gue tanpa rentetan pekerjaan gue itu…

I am not who I am without my long nights at work… and I have nothing to regret. And that my friend… a confession of a workaholic.

If You Were Born Poor…

Gue baru aja bercucuran air mata setelah nonton video (dengan unsur iklan sebetulnya) yang dibuat oleh OLX. Ceritanya tentang seorang anak yang menjadi korban bully teman-teman sekolahnya hanya karena terlahir di keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya supir bajai dan tidak mampu memberikan kemewahan yang diinginkan oleh putrinya.

Anak perempuan dalam video itu diceritakan malu atas jati dirinya. Dia juga sangat marah kepada sang ayah yang dianggap tidak mampu memberikan dia hidup yang layak. Sang ayah merasa tertekan sehingga akhirnya dia menjual semua benda berharga yang dimilikinya hanya untuk membelikan barang-barang yang diinginkan oleh putrinya itu.

Di akhir video, OLX menulis pesan yang cukup menyentuh soal kebahagiaan, tetapi di luar itu, gue punya key takeaways gue sendiri.

Nonton video itu mengingatkan gue dengan masa lalu gue sendiri. Gue memang bukan anak supir bajai, tapi gue juga bukan anak orang kaya. Bokap kerja jadi pengusaha dan bisnis beliau selalu saja ada naik-turunnya. Selama 22 tahun dalam hidup gue, gue sudah terbiasa hidup sederhana.

Waktu SMA dulu, pernah ada teman sekelas yang dengan tega menghina gue. Tapi gue tidak peduli.

Kemudian waktu kuliah dulu, pakaian gue jauh lebih sederhana daripada teman-teman gue. Pakai baju hanya yang itu-itu saja karena memang cuma itu yang gue punya. Uang jajan gue hanya cukup untuk beli bedak murah meriah, tanpa lipstik tanpa eye shadow dan lain sebagainya. Starbucks yang waktu itu digemari teman-teman sekampus masih tampak seperti kemewahan untuk gue. Pernah minum sekali, itupun diberikan secara gratis oleh salah satu murid les privat gue.

Dan ya, gue sampai harus mencari uang tambahan untuk menutupi kekurangan uang saku. Daripada marah-marah sama orang tua, gue lebih memilih untuk mencari uang tambahan untuk diri gue sendiri. Lumayan untuk beli handbag yang tidak mewah, tapi setidaknya cukup layak untuk gue bawa ke kampus sehari-harinya. Dan asal tahu saja, gue sudah mulai cari tambahan uang jajan sendiri sejak saat masih duduk di bangku SD!

Saat kuliah itu gue juga terpaksa tinggal di rumah kontrakan yang banyak tikus dan kecoanya. Kasur beralaskan lantai dengan kamar tanpa ventilasi yang luar biasa panasnya. Malu kah gue dengan kondisi gue saat itu? Sama sekali tidak. Gue bahkan dengan santai mengundang teman-teman sekampus untuk main ke kontrakan. Lokasinya strategis, sangat dekat ke kampus, sehingga sering menjadi tempat berkumpul teman-teman gue saat itu.

Apa yang sebetulnya ingin gue sampaikan di sini? Jangan pernah malu terhadap diri kita sendiri! Dan daripada marah-marah menyalahkan nasib, lebih baik berusaha dan bekerja keras untuk mengubah nasib kita itu sendiri.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d:11)

Banyak orang yang mengira kepercayaan diri gue saat ini datang dari segala hal yang sudah gue miliki. Mereka mengira, gue percaya diri karena gue sudah memiliki banyak hal untuk bisa gue banggakan dari diri gue ini. Tapi kenyataannya sama sekali tidak demikian.

Kalaupun gue sudah dianggap sukses, maka gue percaya diri bukan karena gue sudah sukses, tetapi sebaliknya: gue bisa sukses karena gue selalu merasa percaya diri. Ada kalanya gue minder dan ragu-ragu, tapi gue tetep lebih memilih untuk yakin dan percaya pada kemampuan gue sendiri. Bahkan di saat gue gagal pun, gue yakin gue bisa bangkit dan belajar dari kegagalan gue itu.

Saat orang lain bilang mimpi gue ketinggian, gue hanya diam. Saat orang lain bilang gue bodoh, gue juga hanya diam. Gue tidak membalas, tapi gue juga tidak menerima apa yang mereka katakan.

Even when I was still small, I knew, I always knew… someday I was going to be bigger than I was at that time.

Kita tidak bisa mengontrol segala sesuatu yang dikatakan oleh orang lain, tapi kita sebetulnya bjsa mengontrol segala sesuatu yang kita dengar. Gadis dalam video OLX itu tidak perlu sebegitu marah pada sang ayah yang sangat mengasihinya jika dia tidak repot-repot mendengarkan perkataan teman-temannya. Nggak worth it mengorbankan orang tua yang sudah susat payah membesarkan kita hanya demi teman-teman yang bahkan tidak peduli dengan wellbeing kita ini.

Love yourself, dream big, and make it happen. And one more thing… don’t forget to stay happy along the way! Make every moment count and be happy, be grateful, with the little things.

Ramai-ramai Soal Piknik di Stasiun MRT

Berawal dari salah satu foto yang diunggah oleh Jakarta Info via Instagram, gue jadi terdorong untuk membuat tulisan ini.

Foto itu menampilkan sekumpulan orang yang sedang asyik makan nasi bungkus di stasiun MRT Jakarta. Ada ibu, bapak, dan anak-anaknya. Gue lumayan kaget melihat fotonya, tapi lebih kaget lagi saat membaca kolom komentarnya.

Pertama, gue juga sudah pernah mencoba naik MRT Jakarta, dan gue tidak melihat ada larangan untuk makan.

Ke dua, gue tetap bisa mengerti bahwa piknik dalam stasiun memang beresiko dianggap norak oleh kalangan tertentu. Piknik di stasiun juga bukan sesuatu yang akan pernah gue lakukan.

Ke tiga, kalaupun piknik di stasiun MRT itu salah, memberikan komentar yang merendahkan pelakunya juga sama salahnya. Boleh berkomentar, asalkan santun dan tidak merendahkan orang lain.

Baca komentar-komentar itu bikin gue sedih. Sedih karena gue bisa merasakan kebahagiaan mereka yang piknik di stasiun MRT. Mereka yang bisa jadi, hanya punya dana sekadarnya untuk bisa berekreasi. Kalaupun gue ada di sana, di stasiun itu, melihat mereka sedang piknik di dalam stasiun, gue tetap tidak akan menegur. Selama mereka tidak meninggalkan sampah, tidak mengganggu ketertiban, dan bahkan tidak melanggar aturan (secara memang tidak ada larangan untuk makan di stasiun), gue akan biarkan.

Kenapa gue biarkan?

Karena alasan kemanusiaan. Piknik itu bagaimanapun juga salah satu cara mereka untuk berbahagia. Gue enggak akan tega merusak kebahagiaan mereka itu. Terbayang dalam benak gue si ibu yang antusias menyiapkan makanan untuk keluarganya. Si ayah yang mengurus tiket dan rencana perjalanannya. Dan anak-anak yang antusias menaiki kereta (sama seperti ponakan-ponakan gue yang sangat gembira naik kereta MRT).

Piknik di stasiun itu cuma fase yang akan berlalu dengan sendirinya. Nanti toh pasti akan ada aturan yang jelas, dan akan ada juga petugas yang mendisiplinkan. Jika petugasnya saja masih membiarkan, maka bukan tempat gue untuk menegur orang-orang yang tidak sepenuhnya salah itu.

Beberapa orang menulis di Instagram Jakarta Info soal “keterbelakangan mental”, tapi yang gue lihat justru “kemunduran dalam tata krama”. Jangan karena merasa tidak kenal, atau jangan karena merasa hanya menulis di dunia maya, kita jadi merasa boleh berkomentar seenaknya.

Ingat juga bahwa merendahkan orang lain tidak menjadikan posisi kita sendiri jadi lebih tinggi dari mereka.

Boleh marah, tapi jangan merendahkan, termasuk di dunia maya, apalagi di dunia nyata.

Let’s live in peace, shall we?