Mulutmu, Harimaumu

First of all, mari kita ingat kembali… Pernahkah kita melakukan 3 hal yang gue sebutkan di bawah ini?

Mulut tidak berhenti mengomentari berbagai detail dari pernikahan seorang teman… Makanan terlalu pedas, makanan sudah hampir habis, AC kurang dingin, kebersihan kurang terjaga, make-up si pengantin terlalu menor, dsb dsb… Setiap kali ketemu satu tamu lain yang kita kenal, mulut kita ini langsung sibuk melontarkan berbagai kekurangan dari pernikahan teman kita itu.

Kantor sedang mengadakan kegiatan rapat kerja tahunan, dan kita tidak henti-hetinya menggosipkan kinerja panitia raker. Pengumuman yang terlambat, instruksi yang kurang jelas, koordinasi yang kacau balau, acara ngaret lima belas menit, dst dst…

Atau saat sedang pergi berlibur dengan beberapa orang teman. Kita terus menerus mengungkapkan kekecewaan kita terhadap furniture hotel yang sudah tua, tour guide yang tidak pandai berbahasa Inggris, makanan yang rasanya aneh, sampai live show yang membosankan dan bikin ngantuk.

Pernahkah kita melakukan ketiga hal tersebut di atas?

To be honest, gue pernah. Bahkan cukup sering. No wonder kalau gue ini terkenal cerewet dan tukang komplain. Pikir gue saat itu, gue kan cuma menyuarakan isi hati. Gue tipe orang yang ngerasa, segala sesuatu itu harus diungkapkan, supaya hati jadi lega. Toh segala yang gue ucapkan itu sifatnya fakta, bukan gosip atau fitnah belaka… Jadi gue yakin betul, tidak ada yang salah dari melakukan hal-hal yang seperti itu.

Gue berpikiran tidak ada yang salah, sampai gue tiba pada suatu waktu di mana tiba-tiba saja, gantian gue sendiri yang sering menjadi objek gosip favoritnya orang-orang di sekitar gue.

Gue kenal seorang cewek yang senaaang sekali mengumbar kejelekan orang lain. Give her fifteen minutes to talk, then she will badmouth at least 3 other names. Dan sialnya lagi, gue tahu bahwa di belakang gue, dia juga suka sekali menjelek-jelekan gue tanpa bukti atau tanpa alasan yang kuat.

Kemudian ada lagi seorang cowok yang setiap kali ada event kantor, mulutnya tidak bisa berhenti ngoceh tentang berbagai kekurangan dari event tersebut. Gue sampai berpikir, kalo gue yang jadi panitia, gue pasti bakal kesal banget sama cowok itu. Lagipula memangnya apa dia yakin, dia bisa melakukan persiapan yang lebih baik jika gantian dia yang jadi panitia?

Dari situ, cara pandang gue langsung berubah total.

Mari kita bahas lagi 3 kondisi yang gue sebutkan di atas.

Yang pertama soal melontarkan banyak kritik atas pernikahan orang lain. Pertanyaan gue, jika kita sendiri yang menikah, relakah kita bila segala upaya untuk mewujudkan pesta pernikahan yang sempurna malah dikritik tiada henti oleh teman-teman kita sendiri?

Setiap orang, khususnya perempuan, selalu berusaha keras untuk mewujudkan pesta pernikahan impian mereka. Segala makanan yang disajikan itupun, mereka siapkan untuk menyenangkan tamu-tamunya, bukan untuk mengenyangkan perut mereka sendiri. Jadi apa susahnya sih, menahan mulut untuk tidak berkomentar negatif? Hargailah upaya keras sang pengantin, dan jangan rusak kesenangan mereka, atau kesenangan keluarga besarnya, dengan terus menerus menyampaikan kritik yang bukan tidak mungkin akan sampai ke telinga mereka. Senang merusak kebahagiaan orang lain adalah pertanda ketidakbahagiaan dalam hidup kita sendiri.

Kemudian soal mengkritik kinerja orang lain di kantor. Pertanyaan gue, beranikah kita menyampaikan kritik itu langsung kepada orang ybs? Langsung kepada atasan kita sendiri, misalnya? Dan senangkah diri kita ini jika mengetahui ada orang lain yang suka menikam punggung kita dari belakang?

Terkadang, mulut kita cenderung suka membesarkan sesuatu. Hal yang sebetulnya kecil, sengaja kita buat menjadi besar. Misalnya saat kita bilang, “Ih, di kantor ini emang banyak yang sebel sama dia tau. Kerjanya nggak becus sih.” Padahal kenyataannya, yang sebal sama orang tersebut cuma dua atau tiga orang saja. Pada dasarnya kita sendiri pun tahu, keadaan tidak sampai sebegitu buruknya, hanya kita saja yang membesar-besarkan. Atau bisa jadi kita tidak punya bukti, melainkan hanya sekedar iri, makanya kita hanya berani ngomongin mereka di belakangnya saja. Dan coba dengar suara hati kita sendiri… pantaskah kita disebut orang baik hati jika mulut ini seringkali mengucapkan fitnah?

Jika kita punya kritik, sampaikan langsung kepada orang ybs, disertai bukti, dan saran perbaikan untuk diri mereka. Jika tidak punya bukti, tidak pula punya saran yang lebih baik, maka jangan bicara. As simple as that.

Yang terakhir soal traveling. Yang namanya group traveling, sudah pasti ada PIC untuk setiap kebutuhan liburan. Misalnya, si A khusus cari dan booking hotel, sedangkan si B mengurus tiket pesawat. Sebagai PIC, teman kita juga pastinya menginginkan hal yang terbaik untuk liburan kita itu. Tapi jika ternyata kenyataannya di luar ekspektasi, ya sudahlah, mau apa lagi? Ngoceh tidak akan memperbaiki keadaan, yang ada malah bikin teman yang sudah susah payah menyiapkan jadi merasa bersalah, atau bisa juga, jadi sakit hati gara-gara mendengar ocehan kita itu. Jangan gara-gara ketidakpuasan kita jadi merusak holiday mood semua orang.

Besides, believe it or not, segala sesuatu dalam liburan itu sebetulnya tergantung sudut pandang kita. Di liburan terakhir, gue kaget saat melihat boat yang akan gue tumpangi untuk island hoping. Bentuknya mirip perahu nelayan bo, beda banget sama boat gue waktu di Phuket. Actually I was shock, but I prefer to stay silent and enjoy the ride. Then you know what? Perjalanan menggunakan ‘perahu nelayan’ itu akhirnya malah jadi perjalanan yang paling seru sepanjang hidup gue. Untuk detailnya, baca di sini.

Intinya sekarang ini, gue sedang banyak melihat bukti bahwa memang benar, mulut itu bisa lebih tajam daripada pedang. Dan jangan kita lupa… kalau kata pribahasa, mulutmu, harimaumu. Bisa jadi segala ocehan yang keluar dari mulut kita itu kelak akan balik menyerang diri kita sendiri.

Balik lagi ke contoh di atas…

Saat kelak gue married, gue akan pikir dua kali sebelum ngundang teman yang gue tahu suka mengkritik pernikahan orang lain.

Kemudian di kantor, gue paling malas melibatkan staf yang suka ngeluh. Kerja bareng mereka cuma bikin kuping panas dan bikin capek hati secara apapun yang gue lakukan akan selalu dianggap salah. Kemudian jangan lupa… sering mengeluhkan hasil pekerjaan orang lain sama saja menghadiahkan diri kita sendiri sebuah resiko untuk balik dikeluhkan oleh orang lain.

Kalau soal traveling, gue nggak akan mau lagi pergi bareng sama temen jalan yang mulutnya rese-rese selama perjalanan, hehehehehe.

Mulut ada cerminan kualitas hati. Orang yang selalu mengumbar kejelekan orang lain menandakan kedengkian, dan orang yang selalu meneriakan kata-kata kotor menandakan ketidakbahagiaan. Kendalikanlah mulut saat bicara. Jika ingin curhat, lakukan secara terbatas dan bukan terus menerus curhat sama semua orang! Bahagiakan diri kita sendiri, dengan mengendalikan kata-kata kita sendiri.