Nasehat Keren dari Seorang Teman

Semalam, salah satu teman sekantor menyampaikan ceramah yang dia dengar dari salah satu Ustadz ternama. Ceritanya semalam itu dia sedang menasehati saya soal cara memilih pasangan.

Kurang lebih, Ustadz ini bilang begini, “Saya sering banget mendengar keluhan istri yang kesal karena suaminya suka judi dan mabuk-mabukan. Saat saya tanya, “Sebelum nikah kamu tahu dia suka judi dan mabuk-mabukan atau belum?” Eh ternyata dia bilang dia sudah tahu. Kalau begitu ya kenapa kaget dan masih mengeluh?”

Ustadz ini kemudian menyampaikan, “Saat menikah, jangan memilih pasangan yang jelas-jelas masih membawa beban. Jangan diterima lalu berharap nanti akan berubah dengan sendirinya. Lain cerita kalau dia sudah tobat dengan sendirinya.”

Menurut saya, Ustadz ini ada benarnya. Merubah kebiasaan buruk orang lain itu tidak mudah. Apa yang membuat kita berpikir pernikahan akan merubah dia? Perubahan itu harus datang dari diri sendiri, bukan dari pernikahan, bukan pula datang dari keajaiban.

Katakan lah dia sudah tobat sebelum menikah. Itu saja masih ada resiko “kambuh”. Manusia pada umumnya, termasuk saya sendiri, cenderung kambuh kebiasaan buruknya saat hidup sedang banyak cobaan. Jika suatu saat pasangan kita kembali pada kebiasaan buruknya itu, kita bisa terima atau tidak? Bisa bersabar untuk membimbing dia atau tidak? Jika kiranya tidak bisa, jika kiranya hal itu bukan hal yang bisa kita toleransi, maka ada baiknya kita berpikir ulang untuk menikah dengan dia.

Masih single di usia 32 membuat saya banyak belajar mengenal diri saya sendiri. Apa yang saya sukai dan tidak sukai, apa yang bisa membuat saya bahagia, dan yang tidak kalah penting, hal-hal apa saja yang bisa dan tidak bisa saya toleransi dari orang lain, termasuk dari pria yang akan menjadi suami saya nantinya.

Apa saja batas toleransi saya? Saya tidak akan bisa menerima jika dia tidak lagi seiman dengan saya, jika dia melakukan kekerasan fisik pada saya, dan jika ada perempuan lain di antara saya dan dia.

Apa yang harus saya lakukan untuk mencegah hal itu? Jika sejak awal dia kasar dengan saya, dan jika sejak belum menikah saja dia suka lari ke perempuan lain alias mata keranjang, ya buat apa saya pilih dia sebagai suami saya?

Memang benar orang yang sekarang tidak kasar dan tidak suka selingkuh belum tentu kelak tidak akan pernah melakukannya, tapi probabilitasnya lebih rendah (ada banyak sekali riset dan literatur yang membuktikan hal ini). Terlepas dari probabilitas itu, sebagai perempuan, saya ingin jadi perempuan cerdas yang membuat pilihan cerdas. Saya tahu tidak akan ada orang yang sempurna, saya juga tahu siapapun orang yang menjadi pasangan saya nantinya pasti akan melakukan banyak kesalahan, tapi, saya punya hak untuk menentukan batas toleransi saya sendiri. Pernikahan memang tidak akan mudah untuk dijalani, tapi setidaknya, saya ingin bisa bahagia untuk menjalaninya.

Selama 32 tahun hidup saya, meski banyak sekali naik turunnya, saya selalu kembali bisa bangkit dari keterpurukan dan kembali pada kebahagiaan yang telah susah-payah saya perjuangkan untuk diri saya sendiri, dan… saya tidak ingin pernikahan memutar balik dan memporakporandakan kebahagiaan saya itu.

Jika suatu saat nanti saya memutuskan untu menikah, pernikahan itu harus membuat saya minimal sama bahagianya dengan saya yang sekarang, dan bukan sebaliknya.

Minder: Akar Dari Berbagai Pikiran Buruk

Dulu banget, salah satu teman saya pernah cerita bahwa sejak berat badannya mulai naik, dia jadi mulai merasa tersinggung tiap kali ditawari brosur gym membership.

Dia bilang ke saya, “Gue udah gendut banget kali ya, sampai gue ditawari brosur fitness.”

Saya hanya tersenyum sambil bilang, “Elo emang gemukan, tapi enggak gendut kok.”

Dia tetap merengut dan tetap merasa dirinya sudah masuk kategori kelebihan berat badan.

Tidak lama kemudian, saat saya melintasi salah satu pusat kebugaran di sebuah mall di Jakarta, tidak diduga-duga, pegawai yang bekerja di gym tersebut menghampiri dan memberikan saya brosur untuk ikut menjadi anggota mereka. Saya menerima brosur itu, tersenyum simpul, dan langsung lanjut jalan menuju toko yang saya ingin datangi.

Brosur yang diberikan pada saya itu membuat saya semakin meyakini bahwa teman saya itu hanya minder saja. Saya termasuk kurus, tapi toh tetap ditawari brosur yang sama. Pada dasarnya teman saya itu hanya panik karena berat badannya naik beberapa kilogram, dan itu membuat dia minder. Rasa minder itu pula yang kemudian membuat dia jadi mudah berpikiran buruk soal bentuk tubuhnya sendiri.

Teori seseorang jadi lebih sensitif karena minder (biasa disebut juga insecurity) ini menurut saya berlaku untuk banyak hal dalam hidup kita ini.

Contoh lainnya saat ada SPG yang tidak sopan saat melayani.

Orang yang percaya dirinya tinggi, akan berpikiran, “Pemilik toko ini salah pilih karyawan.”

Orang yang percaya dirinya rendah, akan berpikiran, “SPG itu judes karena gue enggak kelihatan mampu untuk beli barang yang mereka jual kali ya?”

Rasa minder ini pula yang bisa membuat seseorang mudah marah pada lelucon yang sebetulnya belum tentu bersifat harmful. Mereka tersinggung karena lelucon itu tepat sasaran langsung ke “titik minder” mereka. Bisa jadi soal kekayaan, bentuk tubuh, tingkat kecerdasan, sifat atau kebiasaan buruk, dan lain sebagainya…

Perasaan minder sebetulnya perasaan yang sangat manusiawi dan bisa terjadi pada siapa saja. Semua orang punya kekurangan yang tidak mereka sukai dan persis kekurangan itu pula yang kemudian berpotensi membuat mereka merasa minder. TAPI, hal itu tetap bukan alasan untuk membiarkan diri kita tenggelam dalam rasa minder itu!

Ingat bahwa rasa minder yang tidak terkendali bukan hanya akan merugikan diri kita sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar kita.

Rasa minder yang berlebihan akan menciptakan konflik yang tidak perlu. Saat rasa minder tidak terkendali, orang-orang yang berniat baik pun akan tetap terlihat salah menurut kita. Kita akan selalu punya alasan untuk merasa tersinggung, untuk membenci dan menjauhi orang-orang yang membuat kita merasa tidak nyaman.

Lalu bagaimana cara mengatasi perasaan minder itu? Tip sederhana dari saya:

  1. Cari akar permasalahan yang membuat kita minder berlebihan, kemudian cari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut; dan
  2. Lakukan lebih banyak hal positif dalam hidup kita sehari-harinya.

Rasa minder sayangnya bukan perasaan yang bisa hilang dengan sendirinya. Jika tidak ditangani dengan baik, rasa minder itu cuma akan makin parah dan hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah. Dua solusi yang saya sebutkan di atas pada dasarnya bermuara pada satu hal saja: berusahalah untuk memperbaiki diri kita sendiri.

Do better, be better, and only after that, we can feel better about ourselves.

Penting untuk kita merasa nyaman dengan diri sendiri, termasuk merasa nyaman dengan kekurangan yang kita miliki. Minder yang berlebihan bisa membuat kita pelan-pelan benci dengan diri sendiri. Lebih buruknya lagi, semakin sering insecurity kita “memakan korban”, semakin besar pula peluang kita untuk semakin benci dengan diri sendiri.

Kita tidak akan pernah bisa jadi sempurna, tapi kita selalu bisa jadi lebih baik dari sebelumnya. Sekedar melakukan itu saja, insyaallah pelan-pelan, rasa minder akan berkurang dengan sendirinya. Mungkin tidak akan sepenuhnya hilang, tapi akan selalu bisa dikendalikan. Coba dulu dan rasakan perbedaannya!

Have a nice weekend!