Debat capres dua malam yang lalu mengingatkan gue pada aturan beberapa organisasi yang menerapkan kuota minimal untuk pemimpin perempuan dalam organisasi mereka. Misalnya, 10% dari anggota BOD harus perempuan. Apa pendapat gue soal aturan macam itu? Menurut gue, aturan itu justru melemahkan posisi perempuan.
Kenapa demikian?
Karena peraturan itu memunculkan kemungkinan bahwa perempuan yang terpilih sebagai pemimpin adalah perempuan yang dipilih untuk sekedar memenuhi kuota. Padahal bisa saja sebetulnya, ada kandidat lain yang jauh lebih capable, tetapi tidak terpilih hanya karena dia laki-laki sedangkan organisasi ybs mau tidak mau harus punya pemimpin perempuan dalam susunan manajemennya.
Saat gue terpilih sebagai pemimpin, gue ingin dipilih karena gue memang dianggap mampu dan bukan hanya untuk sekedar memenuhi kuota. Begitu pula saat gue harus memilih pemimpin baru dalam organisasi yang gue pimpin; yang gue lihat bukan gender-nya, tapi kemampuannya untuk menjalankan tugas dan amanah tersebut.
Tidak dibenarkan mencekal perempuan dari suatu jabatan hanya karena gender-nya, tapi tidak juga dibenarkan memberikan suatu jabatan kepada seorang perempuan hanya karena gender-nya.
Gue senang Indonesia mulai makin terbuka menerima perempuan sebagai pemimpin, tapi bukan berarti hal itu harus banget dijadikan kuota. Dan yang harus dibanggakan itu bukan soal kita punya pemimpin perempuan, tapi soal kita punya pemimpin yang capable menjalalankan tugasnya, apapun jenis kelaminnya.