Movie Review: You Again

 

Kalimat yang paling tepat mendeskripsikan film You Again: filmnya lucu! Ada banyak adegan lucu yang nggak jorok dan bikin jijik. Dan pastinya, ada pula dialog-dialog segar yang mengundang tawa. Hanya saja sayangnya, film ini akan jadi lebih lucu lagi seandainya para pemainnya lebih pintar memainkan ekspresi.

Ceritanya tentang Marni, cewek sukses di usia muda yang harus menerima kenyataan abangnya akan menikahi cewek yang dulu menindas dia selama SMA. Bisa ditebak, konflik dalam film ini adalah kecemburuan Marni sama calon kakak iparnya, serta berbagai usaha dia buat menggagalkan pernikahan itu.

Selain dialog lucu, film ini juga menyelipkan begitu banyak kalimat bijak. Gue udah coba googling movie quote-nya You Again, tapi hasilnya enggak sesuai dengan yang gue inginkan. Mungkin karena filmnya masih baru kali ya… Jadi di sini, gue akan share movie quote yang sifatnya seinget gue aja ok! Here they are…

“You can’t ruin someone else’s life and then pretend like nothing happened.”

“Seeing you beg me to feel sorry for you, is priceless.” (Rasanya gue juga pengen ngomong kayak gini deh, sama musuh bebuyutan gue waktu SMA! Hehehehe).

“I know that I should have asked you for apology since the day you walk through the door. I’m just afraid that people will judge me bad if they knew who I was.”

“Everybody deserves a second chance.”

Terus ada juga kalimat-kalimat motivasi tentang betapa berharganya diri kita sendiri, yang sayangnya gue bener-bener lupa saking panjangnya kalimat itu.

Moral of the story: bersyukurlah kalo waktu SMA dulu, kita nggak mengalami bullying seperti yang dialami Marni. Days by days would feel like hell! Kalopun hal itu pernah terjadi sama kita, don’t ever let them bring us down! Buktikan kalo in the future, kita bisa jadi lebih hebat daripada musuh bebuyutan kita itu.

Well, yeah… film ini jelas ngingetin gue sama musuh bebuyutan gue sendiri. Cewek yang entah kenapa sebel banget sama gue, pernah berusaha ngadu domba gue sama sahabat-sahabat gue, suka banget nusuk gue dari belakang, dan enggak pernah suka kalo ngelihat gue seneng. Beruntunglah gue punya muka judes sehingga dia nggak pernah berani mengusik gue lebih dari sekedar omong kosong… And lucky for me, cewek ini sekarang udah married dan dia enggak married sama salah satu anggota keluarga gue, hehehehe.

 

Life As We Know It

 

Tadi malam, setelah rencana nontop Step Up 3D terpaksa ditunda sampe malam ini (padahal gue udah sempet-sempetin restock softlense supaya pas nonton 3D gak perlu nge-double kacamatanya, hehe), akhirnya gue putusin buat nonton Life As We Know It di FX yang terletak persis di seberang kantor klien gue. It felt like I need an entertainment as soon as possible aja gitu, hehe…

 

Tadinya gue berniat nonton film ini sendirian secara temen-temen sekantor yang juga berminat sama film ini not available for a movie tonight. Untunglah di last minutes, Arlene, salah satu temen sekantor gue berubah pikiran. Dan jadilah kita nyebrang ke FX berdua buat nonton film yang dibintangi Katherine Heighl ini.

 

Life As We Know It bercerita tentang Messer dan Holly yang dicomblangin sama sahabat mereka masing-masing. Sayangnya, kencan pertama mereka gagal total karena perbedaan karakter yang sangat mencolok di antara mereka. Messer orangnya santai dan urakan, sedangkan Holly cenderung disiplin dan terencana.

 

As time goes by, sepasang sahabat Messer dan Holly itu menikah dan punya anak bernama Sophie. Dalam berbagai kesempatan, Messer dan Holly beberapa kali ketemu lagi tapi tetap nggak pernah sekalipun ada kecocokan di antara mereka.

 

Lalu suatu hari, saat usia Sophie baru menginjak satu tahun, kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dan ternyata, kedua ortu Sophie sudah membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa jika mereka berdua meninggal, maka mereka akan mewariskan seluruh kekayaan mereka kepada Messer dan Holly, sekaligus menitipkan Sophie kepada kedua sahabat mereka itu!

 

Bisa ketebak, sisi lucu film ini apalagi kalo bukan kocaknya kerepotan Messer dan Holly dalam mengurus si kecil Sophie… Nggak usahlah ya gue ceritain betapa lucunya film ini. Besides actually, I am not a good movie reviewer. Yang pengen gue share di sini justru moral of the story dalam film ini.

 

Di awal-awal, sambil ketawa-tawa nonton filmnya, gue sambil mikir, “Gila yah, punya bayi itu repotnya setengah mati! Kerjaannya nangis melulu, suka muntah sembarangan, susah dikasih makan, gampang sakit, belum lagi saat harus berurusan sama pampers-nya si bayi!”

 

Sempet-sempetnya loh ya, pas nonton gue ngerasa kalo gue emang bener-bener belum siap punya bayi, hehehehe.

 

Dari situ, soal cerita sih gampang ketebak lah ya. Dari yang tadinya cuma merawat setengah hati, akhirnya Messer dan Holly jadi beneran sayang dan peduli sama si kecil Sophie. And of course, two of them are finally falling in love!

 

At this point, yang gue pelajari adalah bahwa pada akhirnya, kerepotan ngerawat bayi itu sifatnya worth it. Gue jadi bisa memahami keinginan salah satu temen gue yang berniat resign setelah punya anak hanya untuk melihat anaknya itu tumbuh besar.

 

Bukan berarti gue juga jadi kepengen resign after having a baby loh ya. Seenggaknya gue jadi paham apa yang dimaksud teman gue itu sebagai melihat anaknya tumbuh besar. Gue baru tahu dari film ini bahwa adalah penting buat setiap ortu untuk melihat langkah kaki pertama anak-anak mereka. Dan adalah suatu unforgettable moment for every woman to hear her baby calls her mommy for the first time. Dan… yeah, setelah dipikir-pikir, kayaknya gue juga nggak mau melewatkan moment-moment istimewa seperti itu sih, hehe…

 

Bukannya mau mendramatisir loh ya, tapi sejak dulu gue emang terkenal sebagai not a big fan of a baby. Dalam bayangan gue, pasti bakalan stres abis ngurusin bayi bertahun-tahun lamanya. Gue malah pernah bilang sama temen gue, pasti enak kalo tiba-tiba anak kita udah langsung masuk SD^^ Dan gue juga lega banget waktu tante gue bilang dia bersedia dititipin anak gue nanti (soalnya kalo nyokap udah warning dari sekarang nggak bakal mau dititipin cucu, hehehehe).

 

Tapi dari film ini gue jadi berpikir… Probably having a baby is not as bad as I think this way. Buktinya, ada banyak banget pasangan yang secara sadar menginginkan anak ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Terus ya itu tadi, ada beberapa parental moment yang cuma bisa dirasakan oleh orang-orang yang merawat bayi mereka.

 

However, I still think that I’m not ready for such a big responsibility like that yet. Punya anak itu kan nggak sama kayak pelihara kucing yang kalo kita udah capek ngerawatnya bisa kita kasih ke orang lain… Nggak sama pula kayak dititipin keponakan yang cuma sehari dua hari aja, dan jelas enggak sama dengan sekedar nyubitin pipi tembem anak tetangga sebelah…

 

Gue maunya, saat punya anak nanti gue udah siap secara mental. Siap dibangunin suara tangis bayi setiap malam, siap terpaksa menelantarkan pekerjaan gara-gara anak gue sakit, dan yeah… siap berurusan sama poop, pee, and vomit (euw…). Selain itu pastinya, gue harus mapan secara finansial dulu lah ya. I want to buy everything the best for my kids, send them to the best school in town, and afford their expensive medical treatments.  

 

Finally, gue cuma bisa bilang… gue salut banget sama temen-temen gue yang siap jadi ortu dalam usia muda. Because I think it’s true that a kid will make our life is no longer the same with the life as we know it. 

 

10 Movies’ Review

Sekitar dua minggu yang lalu, gue beli sebelas DVD sekaligus (sebenernya beli sepuluh gratis satu, hehe). Nah, gue kan udah selesai nonton semua film itu tuh, makanya sekarang ceritanya gue mau bikin movie review! Please be noted that this review was written based on my personal taste ok!

 

Still

Film horror buatan Thailand ini berisi empat cerita pendek yang enggak saling berhubungan. Buat ukuran film hantu, ini film nggak ada serem-seremnya! Nggak ada tuh, rasa takut, deg-degan, atau terkejut karena setannya tiba-tiba muncul… Yang ada gue malah pengen ketawa ngelihat penampakan salah satu setannya. Beda jauh lah sama Forbia, Shutter, dan Alone yang sama-sama film horror buatan Thailand. Tapi, ada satu adegan di film ini yang bikin gue jadi ikutan sedih. Ceritanya ada cowok yang baru ditinggal mati sama pacar yang udah lama tinggal serumah sama dia. Pas lagi di wastafel, cowok itu memandangi deretan botol pembersih wajah, pelembab, dan kosmetik milik almarhum pacarnya. Karena kangen, si cowok itu ngambil satu botol pelembab, menuangkan sedikit isinya, lalu memakai lotion itu di wajahnya sambil berlinangan air mata…

Salt

I’m not a big fan of action movie but I always love Angelina Jolie’s movies. Dan untuk film ini pun, gue cukup menikmati kok. Sayangnya, cerita film ini gampang ketebak. Beda banget sama Wanted yang menyimpan lebih banyak kejutan yang unpredictable.

Sex and The City 2

Entah kenapa menurut gue, film ini enggak seburuk yang orang-orang bilang. Menurut gue keren aja umur udah lima puluhan tapi tetep seksi dan fashionable. Gue juga selalu suka sama cerita persahabatan di Sex and The City. Selain itu, gara-gara film ini, gue jadi kepengen nyobain makan siang mewah di tengah padang pasir, hehehe.

When in Rome

Di awal, gue suka banget sama jalan ceritanya. Tapi lama-lama, ceritanya jadi agak aneh dan berbau takhayul gitu. Not bad sih, lumayan enjoy juga gue nontonnya. Apalagi ditambah lokasi syuting di kota Roma yang arsitekturnya keren banget! Wuaaahhh, jadi nambah pengen liburan ke Italia deh…

The Joneses

Ceritanya tentang sekelompok orang marketing yang menyamar jadi satu keluarga harmonis. Tugas mereka hanya memamerkan barang-barang keluaran klien mereka supaya orang lain jadi iri kemudian membeli barang yang sama. Film ini termasuk lumayan lah ya, buat ngisi waktu luang. Tapi sayang konfliknya kurang tajem dan adegan romatisnya kurang dapet.

Prince of Persia

Banyak yang bilang, film ini bagus banget. Tapi kalo menurut gue, film ini cuma masuk ketegori not bad but not great enough. Adegan action-nya enggak begitu istimewa, begitu juga sama unsur romance yang menurut gue kurang menyentuh. Apalagi menurut gue, ending-nya nggak realistis. Loosing everyone then he could turn back the time and got them back? What a perfect life it that’s possible.

Karate Kid

Ini juga nggak sesuai sama ekspektasi gue secara orang-orang bilangnya film ini bagus banget. Karena menurut gue, dari segi cerita bener-bener biasa aja. Tapi anehnya, dari semua film action dalam review ini, justru Karate Kid yang adegan berantemnya paling seru dan enak dilihat.

The Date Night

Ini film lumayan lucu. Ada beberapa adegan yang bikin gue ketawa. Pesan moralnya juga lumayan dapet: jangan sampe usia pernikahan dan keberadaan anak-anak mengurangi romantisme suami-istri.

Vampire Sucks

This movie is simply sucks! Ini film enggak gue tonton sampe selesai. Tapi ada satu adegan yang lucu. Ceritanya, ketika trio vampir Victoria-James-Laurent muncul, mereka sempet berpose sambil bilang, “Black Eye Peas.” Gue baru nyadar… ciri-ciri fisik mereka emang mirip banget sama tiga personel BEP, hehe.

The A Team

Belum sampe lima belas menit nonton tapi gue udah ketiduran adalah suatu pertanda ini film enggak cukup bagus. Jagoannya udah tua-tua, konfliknya sulit dimengerti, adegan action-nya juga kurang seru, hingga akhirnya, belum sampe selesai filmnya udah gue matiin.

The Last Song

Cerita tentang cewek yang berbakat main piano tapi malah nolak beasiswa sekolah musik karena alasan personal nggak bikin gue jadi tertarik sama film ini. Entah kenapa, rasanya nggak ada chemistry buat terus nonton film ini gitu. Akhirnya, film ini juga enggak gue tonton sampe selesai.